memimpin, kemampuan memotivasi siswa, keyakinan akan kemampuan diri, tingkat toleransi.
G. Kerangka Berpikir
1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru.
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk merasakan, memahami dan dengan efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi
sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh yang manusiawi. Kemampuan ini pertama kali berkembang dari pengaruh keluarga.
Lingkungan keluarga merupakan faktor eksternal pertama yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan
emosional, sebab di lingkungan keluarga seseorang belajar bagaimana mengolah perasaan dirinya sendiri, bagaimana berpikir tentang perasaan
ini, menentukan pilihan-pilihan untuk bereaksi, dan bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut.
Kultur keluarga merupakan pandangan hidup yang mencakup cara berpikir, berperilaku, dan sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu
kesatuan sosial yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak sekaligus sebagai tempat untuk
pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik maupun psikis. Kultur keluarga bisa diidentifikasi berdasarkan dimensi-dimensinya. Dimensi
jarak kekuasaan power distance menunjukkan tingkatan atau sejauhmana PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tiap keluarga mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Pada keluarga dengan latar belakang budaya power
distance kecil, ada kecenderungan meminimalkan perbedaan status atau
kekuasaan, sehingga aturan-aturan yang ditetapkan dalam keluarga bersifat lebih longgar. Sedangkan pada keluarga dengan latar belakang budaya
power distance besar, cenderung mengembangkan aturan atau kebiasaan
dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Hal ini menyebabkan terdapatnya aturan-aturan yang dibuat oleh kepala keluarga
dan harus dipatuhi oleh setiap anggota keluarga. Anggota keluarga yang dari segi umur lebih muda diharuskan menaruh hormat kepada orang yang
lebih tua. Guru diharapkan mempunyai tingkat kecerdasan emosional ya ng
tinggi. Dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi guru akan mampu mengenali emosi dirinya sendiri dan orang lain, mampu
menangani emosi agar dapat terungkap dengan “pas”, mampu memotivasi diri, mampu berempati serta memiliki ketrampilan sosial dalam
berhubungan dengan orang lain rekan kerja dan siswa. Kemampuan ini akan berkembang bila guru tersebut berasal dari keluarga dengan latar
belakang budaya power distance kecil, dimana tidak terdapat aturan ketat yang menghambat perkembangan kecerdasan emosional setiap anggota
keluarga. Oleh sebab itu tingkat kecerdasan emosional guru dari keluarga ini lebih tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya
power distance besar, yang anggota keluarganya sangat terikat oleh
aturan-aturan ketat sebagai akibat dari kebiasaan untuk mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan.
Dimensi individualisme versus kolektivisme individualism versus collectivism
mengacu pada sejauhmana budaya dalam keluarga mendukung tendensi individualisme atau kolektivisme. Budaya
individualisme mendorong anggota-anggotanya agar mandiri otonom, menekankan tanggung jawab dan hak-hak pribadinya. Sementara budaya
kolektivisme menekankan kewajiban pada anggota keluarga daripada hak- hak pribadinya. Dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional, guru
dari keluarga dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi daripada guru dari
keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme, karena budaya individualisme menyebabkan tumbuhnya kemandirian secara emosional.
Berbeda dengan guru dari keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme yang mengalami perkembangan kecerdasan emosional yang
tergantung pada kepentingan kelompok. Dalam budaya kolektivisme, seseorang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan
kelompoknya, akibatnya secara emosional mereka tidak mandiri. Dimensi femininitas versus maskulinitas femininity versus
masculinity menunjukkan sejauhmana budaya dalam keluarga berpegang
teguh pada peran gender atau nilai-nilai seksual yang tradisional, yang didasarkan pada perbedaan biologis. Keluarga dengan latar belakang
budaya femininitas lebih mengutamakan hubungan interpersonal, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
keharmonisan, dan kinerja kelompok. Sedangkan pada keluarga dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan nilai asertifitas, prestasi,
dan performansi. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru dari keluarga dengan latar belakang budaya femininitas dimana ada
pembelajaran mengenai hubungan interpersonal dan keharmonisan dalam kinerja kelompok, akan mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang
tinggi. Keluarga dengan latar belakang budaya maskulinitas lebih cenderung berusaha mengedepankan faktor dari dalam diri sendiri tanpa
melihat luar. Sehingga anggota keluarga menjadi kurang luwes dalam menghadapi perubahan, kurang terbuka terhadap ide- ide serta informasi
baru. Kondisi inilah yang menjadi faktor pelemah dalam perkembangan kecerdasan emosional.
Pada dimensi penghindaran ketidakpastian uncertainty avoidance menunjuk sejauhmana pandangan anggota keluarga dalam menghadapi
situasi yang tidak pasti. Keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance
lemah, toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih tinggi. Biasanya keluarga ini lebih bersikap rileks dan sedikit
memiliki aturan. Dengan situasi ini anggota keluarga lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas.
Sementara pada keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance
kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Dalam kaitannya
dengan kecerdasan emosional, guru yang berasal dari keluarga dengan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah yang mempunyai kecenderungan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang
tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance
kuat. Rendahnya inisiatif dan ketidakmampuan dalam menghadapi situasi ketidakpastian yang dimiliki dalam keluarga
dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat mengakibatkan guru memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.
Pengaruh kultur keluarga dengan kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender
tradisional, masyarakat beranggapan bahwa laki- laki lebih dominan dalam menetapkan aturan dan memiliki kekuasaan penuh untuk mengambil
keputusan dalam keluarga ayah sebagai kepala keluarga sehingga laki- laki cenderung untuk mempertahankan power distance besar. Akibatnya
laki- laki kurang mampu membina hubungan komunikasi dengan anggota keluarga yang lain dan kurang terbuka terhadap informasi- informasi baru
dari luar. Berbeda dengan peran perempuan yang diposisikan sebagai seorang ibu, yang mampu menjembatani posisi anak dan ayah sehingga
kemampuannya dalam komunikasi lebih berkembang. Standar peran gender inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional seorang
perempuan lebih tinggi daripada laki- laki. Pada dimensi individualisme versus kolektivisme individualism
versus collectivism , laki- laki memiliki budaya individualisme yang lebih
tinggi daripada perempuan. Laki- laki berdasar ciri-ciri psikologisnya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai dengan ciri-ciri budaya individualisme. Dengan sifat ini laki- laki mempunyai tingkat kecerdasan
emosional yang lebih tinggi daripada perempuan. Ada kecenderungan perempuan kurang mandiri dan mempunyai ketergantungan dengan orang
lain yang lebih tinggi. Sedangkan untuk dimensi femininitas versus maskulinitas
femininity versus masculinity, laki- laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal
yang dipunyai laki- laki. Laki- laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain dalam taraf rendah yang menunjukkan bahwa tingkat
kecerdasan emosional yang dimiliki laki- laki lebih rendah daripada perempuan, dimana perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik
dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Perempuan berdasarkan ciri-ciri psikologisnya memiliki budaya
uncertainty avoidance yang kuat karena perempuan merasa terancam
dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Kondisi seperti itu mengakibatkan perempuan tidak
mempunyai sikap gigih dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan. Hal ini mencerminkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan emosional
yang rendah. Berbeda dengan laki- laki yang lebih cenderung senang mencoba hal- hal baru tanpa merasa terancam dengan risiko yang akan
dihadapi. Sikap gigih laki- laki dalam memperjuangkan kegagalan dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hambatan akan sesuatu yang tidak pasti mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional laki- laki daripada perempuan.
2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru
. Kecerdasan emosional berkembang seiring dengan perkembangan
diri seseorang, terutama di lingkungan teman sebaya lingkungan kerja, karena dalam lingkungan kerja seseorang akan berinteraksi dengan orang
lain dengan latar belakang budaya yang berbeda, hal ini akan membentuk kecerdasan emosional seseorang lebih berkembang. Dimana lingkungan
kerja ini merupakan faktor eksternal kedua yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional guru.
Kultur lingkungan kerja merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu
lingkungan disekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik secara emosional maupun intelektual, dalam menjalankan tugas-tugas yang
dibebankan. Kultur lingkungan kerja bisa diidentifikasikan berdasarkan dimensi-dimensinya. Pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya
power distance besar, kedudukan atasan dan bawahan adalah berbeda,
kondisi ini mengakibatkan kurang adanya kebebasan dalam bekerja, dan adanya pengaruh dominasi ya ng kuat dari atasan dalam bekerja. Dengan
demikian karyawan sebagai bawahan menjadi kurang berminat dalam bekerja, kurang memiliki pengendalian diri, tidak mampu bekerjasama dan
kurang mampu berkomunikasi dengan karyawan yang lain. Sehingga dapat disimpulkan guru yang bekerja pada lingkungan kerja dengan latar
belakang budaya power distance besar akan cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah, dibandingkan dengan guru yang
bekerja pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance
kecil. Pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance
kecil, terdapat kedudukan yang sama antara atasan dan bawahan serta sikap demokratis dalam bekerja yang akan meningkatkan kecerdasan
emosional guru. Budaya individualisme menekankan pada hubungan kerja atas
dasar transaksi bisnis, manajemen individual, serta pengelolaan pekerjaan secara individual. Sementara budaya kolektivisme menekankan pada
hubungan kekeluargaan, mana jemen kerja kelompok, dan pengelolaan pekerjaan yang dikembangkan secara bersama. Dalam hubungannya
dengan kecerdasan emosional, guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan
emosional yang tinggi daripada guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya kolektivisme, karena budaya individualisme mendukung
tumbuhnya kemandirian secara emosional. Berbeda dengan guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya kolektivisme yang
mengalami perkembangan kecerdasan emosional yang tergantung pada kepentingan kelompok. Dalam kondisi budaya kolektivisme, seseorang
memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya, akibatnya secara emosional mereka tidak mandiri.
Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan pada kerendahan hati dan kesetiakawanan, mengutamakan
mufakat serta prinsip bekerja untuk hidup. Sedangkan pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan pada
ketegasan ambisi dan persaingan, penuh inisiatif dalam mengatur pekerjaan serta berprinsip bahwa hidup untuk bekerja. Dalam kaitannya
dengan kecerdasan emosional, guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas dimana ada pembelajaran mengenai
hubungan interpersonal dan keharmonisan dalam kinerja kelompok, membentuk guru untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang
tinggi. Sedangkan kondisi lingkungan dengan latar belakang budaya maskulinitas membentuk guru memiliki tingkat kecerdasan emosional
yang rendah. Guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya
uncertainty avoidance lemah, guru lebih mengembangkan waktu sebagai
batasan kerja, dan dalam bekerja selalu termotivasi dengan prestasi, penghargaan atau rasa memiliki. Dengan situasi ini guru sebagai bawahan
lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Sementara pada lingkungan kerja dengan latar
belakang budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha untuk selalu bekerja keras, tidak
fleksibel dala m pemanfaatan waktu serta cenderung menghindari risiko dan mempertahankan diri. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional,
guru yang berada dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance
lemah inilah yang cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, daripada guru pada lingkungan kerja
dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat. Pengaruh kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional
akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender tradisional, laki- laki lebih banyak menjadi pemimpin. Karenanya
laki- laki memiliki kekuasaan dalam mengambil setiap keputusan. Oleh sebab itu power distance besar dipertahankan oleh laki- laki. Akibatnya
laki- laki kurang mampu membina hubunga n dengan orang lain dalam lingkungan kerja. Berbeda dengan peran perempuan yang diposisikan
sebagai seseorang yang mampu menjembatani, sehingga kemampuannya dalam komunikasi lebih berkembang. Standar peran gender inilah yang
mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional perempuan lebih tinggi dari pada laki- laki.
Pada dimensi individualism versus collectivism, seorang laki- laki memiliki budaya individualisme yang lebih tinggi daripada perempuan.
Laki- laki berdasar ciri-ciri psikologisnya mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai dengan ciri-ciri budaya individualisme. Dengan sifat ini
laki- laki mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
daripada perempuan. Karena perempuan kurang mandiri dan mempunyai ketergantungan dengan orang lain yang lebih tinggi.
Sedangkan untuk dimensi femininitas versus maskulinitas femininity versus masculinity
, laki- laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal
yang dipunyai laki- laki. Laki- laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain rekan kerja dan siswa dalam taraf rendah yang menunjukkan
bahwa tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki laki- laki lebih rendah daripada perempuan, dimana perempuan memiliki kemampuan menjalin
hubungan dengan orang lain yang lebih baik. Perempuan berdasarkan ciri-ciri psikologisnya memiliki budaya
uncertainty avoidance kuat, karena perempuan merasa terancam dengan
ketidakpastian, sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Kondisi seperti itu me ngakibatkan perempuan tidak
mempunyai sikap gigih dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan. Hal ini mencerminkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan emosional
yang rendah. Berbeda dengan laki- laki yang lebih cenderung senang mencoba hal- hal baru tanpa merasa terancam dengan risiko yang akan
dihadapi. Sikap gigih laki- laki dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan akan sesuatu yang tidak pasti mencerminkan tingginya tingkat
kecerdasan emosional laki- laki daripada perempuan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru.
Faktor eksternal ketiga yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional guru adalah lingkungan
masyarakat. Dalam lingkungan masyarakat seseorang akan berhadapan dengan etika, moral, dan nilai-nilai keagamaan. Interaksi seseorang
terhadap hal-hal tersebut juga praktis menentukan tingkat kecerdasan emosional guru. Kultur lingkungan masyarakat merupakan pandangan
hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai yang diakui bersama dalam sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial
dimana didalamnya kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu sama lain, terikat oleh tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang
dirumuskan dengan jelas. Pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power
distance besar, pengaruh kekuasaan atasan menjadi dominan, kekuasaan
yang ada cenderung didasarkan pada kharisma seseorang serta kemampuannya menggunakan kekuasaan. Hal ini menyebabkan guru yang
berada pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance
kecil, penggunaan kekuasaan menjadi subjek untuk kriteria baik atau buruk dan orang yang memiliki kekuasaan mencoba untuk
memperlihatkan kekuasaan yang lebih rendah daripada yang mereka punya, serta semua orang memiliki hak yang sama. Kondisi ini
mendukung warga masyarakat memiliki tingkat kecerdasan emosional PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang tinggi. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance besar, akan cenderung memiliki
kemampuan yang rendah dalam hal bekerjasama. Kondisi ini membentuk guru untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.
Dalam budaya individualisme setiap orang memiliki hak pribadi, kepentingan individu berlaku melebihi kepentingan bersama, hak dan
hukum didukung menjadi sama untuk semuanya, dan aktualisasi diri oleh setiap individu merupakan tujuan bersama. Sementara dalam budaya
kolektivisme kepentingan bersama berlaku melebihi kepentingan individu, karenanya kepentingan pribadi ditentang oleh kelompok, sehingga
keselarasan dan kesepakatan dalam masyarakat sosial merupakan tujuan bersama. Dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional, guru yang
tinggal di lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang
tinggi. Karena budaya individualisme mendukung tumbuhnya keyakinan terhadap emosi diri sendiri berkaitan dengan ketepatan pengambilan
keputusan-keputusan masalah pribadi. Berbeda dengan guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya kolektivisme yang
cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Dalam kondisi ini guru tidak memiliki keyakinan diri, akibatnya mereka memiliki
tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya femininitas
lebih mengorientasikan sikap solider, pemecahan masalah secara negosiasi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan kompromi, serta laki- laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam segala hal. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar
belakang budaya maskulinitas selalu mendukung pihak yang kuat, pemecahan masalah tanpa kompromi, serta emansipasi perempuan belum
diakui sepenuhnya. Guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya femininitas cenderung akan memiliki sikap empati yang
tinggi, akibatnya tingkat kecerdasan emosional guru tersebut menjadi tinggi daripada guru yang tinggal dalam lingkungan masyarakat dengan
latar belakang budaya maskulinitas. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty
avoidance lemah, protes warga lebih diterima, sehingga warga masyarakat
memiliki kebebasan dalam mengaktualisasikan diri. Sementara dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty
avoidance kuat, mengharuskan warganya untuk mematuhi peraturan yang
ada, dan protes dari warga masyarakat ditekan kurangnya aktualisasi. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional guru yang berada dalam
lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance
lemah inilah yang cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, daripada guru dalam lingkungan masyarakat
dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat. Pengaruh kultur lingkungan masyarakat terhadap kecerdasan
emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender tradisional, masyarakat beranggapan bahwa laki- laki,
yang lebih banyak sebagai pemimpin, selalu melihat kenyataan sebagai hal yang objektif dan lebih tekun dalam putusannya, karena laki- laki
berdasarkan ciri-ciri psikologisnya cenderung mempertahankan budaya power distance
besar. Berbeda dengan ciri-ciri psikologis perempuan yang lebih bersifat tanggap, lebih tabah, dan mudah menerima keadaan,
sehingga kemampuan perempuan dalam berempati lebih tinggi. Oleh sebab itu, perempuan cenderung mempertahankan budaya power distance
kecil. Sifat-sifat inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional perempuan lebih tinggi daripada laki- laki.
Pada dimensi individualism versus collectivism, laki- laki memiliki budaya individualisme yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki- laki
berdasar ciri-ciri psikologisnya mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai dengan ciri-ciri budaya individualisme, serta sifat self awareness yang
kuat. Dengan sifat ini seorang laki- laki mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada perempuan.
Sedangkan untuk dimensi femininitas versus maskulinitas femininity versus masculinity
, laki- laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal
yang dipunyai laki- laki. Laki- laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain di masyarakat dalam taraf rendah yang menunjukkan bahwa
tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki laki- laki lebih rendah daripada perempuan, dimana perempuan memiliki kemampuan menjalin hubungan
dengan orang lain yang lebih baik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Perempuan berdasarkan ciri-ciri psikologisnya memiliki budaya uncertainty avoidance
yang kuat, karena perempuan merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk
mengurangi risiko. Kondisi seperti itu mengakibatkan inisiatif yang tertutup dalam bertindak. Hal ini mencerminkan perempuan memiliki
tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Berbeda dengan laki- laki yang lebih cenderung terbiasa mengaktualisasikan diri secara rasional, sehingga
membentuk laki- laki untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Sikap gigih laki- laki dalam memperjuangkan kegagalan dan
hambatan akan sesuatu yang tidak pasti, mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional laki- laki daripada perempuan.
4. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru.
Keluarga dengan latar belakang budaya power distance besar, cenderung mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Hal ini
mengakibatkan guru sebagai kepala keluarga dengan locus of control eksternal semakin tidak memiliki keyakinan akan kemampuan diri
terutama dalam hal memimpin. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut rendah. Berbeda pada
guru dengan locus of control internal, yang diyakini memiliki keyakinan akan kemampuan diri, sehingga mampu mengendalikan dirinya maupun
orang lain. Kondisi inilah yang menyebabkan tingkat kecerdasan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
emosional yang dimiliki guru dengan locus of control internal lebih tinggi daripada guru dengan locus of control eksternal.
Keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan status dan mengutamakan kesejajaran.
Hal ini mengakibatkan guru sebagai kepala keluarga dengan locus of control
eksternal kurang memiliki keyakinan diri. Kondisi ini
mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini
memiliki keyakinan akan kemampuan diri. Guru dengan locus of control internal akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, karena
mengetahui akan kemampuan kelebihan dirinya, dan mampu menunjukkannya pada orang lain.
Pada dimensi individualisme versus kolektivisme individualism versus collectivism
, guru dengan locus of control internal lebih kuat pada budaya individualisme. Sebab pada kondisi ini tumbuhnya kemandirian
secara emosional dan keyakinan dari dalam diri lebih bisa berkembang dibandingkan pada budaya kolektivisme. Ini mencerminkan tingginya
tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru. Sedangkan guru dengan locus of control
eksternal lebih kuat pada budaya kolektivisme. Pada budaya kolektivisme, kepentingan kelompok lebih diutamakan, sehingga
keyakinan diri dari seseorang tergantung pada lingkungan sekitarnya. Hal ini menyebabkan guru dengan locus of control eksternal memiliki tingkat
kecerdasan emosional yang rendah. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pada dimensi femininitas versus maskulinitas femininity versus masculinity
, guru dengan locus of control internal mempunyai budaya maskulin yang kuat. Hal ini ditengarai dengan ciri budaya maskulinitas
yang cenderung menekankan nilai asertivitas, prestasi dan performansi yang lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan diri
yang penuh. Kondisi locus of control internal mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, sebab ada kemampuan untuk
memotivasi diri, sebagaimana unsur yang ada pada kecerdasan emosional. Sedangkan guru dengan locus of control eksternal berada pada budaya
femininitas yang kuat. Ciri budaya feminin yang cenderung mengutamakan hubungan interpersonal lebih banyak terlihat pada
seseorang dengan tingkat keyakinan diri yang rendah. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang rendah, sebab tidak ada
kemampuan untuk memotivasi diri, sebagaimana unsur yang ada pada kecerdasan emosional.
Keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha
menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko yang ada. Hal ini mengakibatkan guru sebagai kepala keluarga dengan locus of control
eksternal semakin tidak memiliki keyakinan diri dalam menghadapi risiko. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai
guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini memiliki keyakinan diri dalam menghadapi risiko. Guru
dengan locus of control internal akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, karena mampu meminimalisir risiko.
Sementara pada keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance
lemah, toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih tinggi. Biasanya keluarga ini lebih bersikap rileks dan memiliki aturan yang
bersifat fleksibel. Dengan situasi ini anggota keluarga lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas.
Guru dengan locus of control internal akan semakin yakin dengan dirinya sendiri dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini mencerminkan tingkat
kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut tinggi, karena mampu mengendalikan diri dalam kondisi ketidakpastian. Berbeda pada guru
dengan locus of control eksternal, kondisi keluarga yang sedikit memiliki aturan mengakibatkannya tidak bisa mengambil inisiatif sendiri dalam
menyelesaikan tugas. Ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional guru tersebut rendah.
5. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru.
Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan status dan mengutamakan
kesejajaran. Dimana terdapat kedudukan yang sama serta penerapan sikap dalam bekerja. Hal ini mengakibatkan guru sebagai anggota dalam
lingkungan kerja dengan locus of control eksternal tidak mampu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menyesuaikan diri dengan penerapan sikap demokratis dalam bekerja misal: tidak maukurang peduli dalam hal berpendapat. Sehingga tingkat
kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini mampu menyesuaikan
diri dengan budaya demokratis dalam lingkungan kerja. Guru dengan locus of control
internal akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, karena mampu berkomunikasi dengan orang lain dalam
penyesuaian diri dengan lingkungan kerja yang demokratis. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance
besar, akan mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan, dimana kedudukan atasan dan bawahan berbeda serta pengaruh dominasi atasan
yang masih kuat dalam hal pekerjaan. Hal ini mengakibatkan guru sebagai anggota dalam lingkungan kerja dengan locus of control
eksternal semakin tidak memiliki pengendalian diri dan kemampuan bekerjasama maupun berkomunikasi. Kondisi ini akan membentuk tingkat
kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini memiliki keyakinan
akan kemampuan diri serta kebebasan dalam membuat keputusan. Dengan kondisi locus of control internal ini maka guru akan memiliki tingkat
kecerdasan emosional yang tinggi. Pada dimensi individualisme versus kolektivisme individualism
versus collectivism , guru dengan locus of control internal lebih kuat pada
budaya individualisme. Sebab pada kondisi ini tumbuhnya kemandirian PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
secara emosional dan keyakinan dari dalam diri lebih bisa berkembang dibandingkan pada budaya kolektivisme. Hal ini mencerminkan tingginya
tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut. Sedangkan guru dengan locus of control eksternal lebih kuat pada budaya kolektivisme.
Sebab pada budaya kolektivisme, kepentingan kelompok lebih diutamakan, sehingga keyakinan diri dari seseorang tergantung pada
lingkungan sekitarnya, tidak mempunyai kemampuan persuasi dan semangat leadership. Hal ini menyebabkan seseorang dengan locus of
control eksternal memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.
Pada dimensi femininitas versus maskulinitas femininity versus masculinity
, guru dengan locus of control internal mempunyai budaya maskulinitas yang kuat. Hal ini ditengarai dengan ciri budaya maskulinitas
yang cenderung menekankan nilai asertivitas, prestasi dan performansi yang lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan diri
yang penuh. Budaya maskulinitas mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, sebab ada kemampuan untuk memotivasi diri,
sebagaimana unsur yang ada pada kecerdasan emosional. Sedangkan seorang guru dengan locus of control eksternal berada pada budaya
femininitas yang kuat. Ciri budaya femininitas yang cenderung mengutamakan hubungan interpersonal lebih banyak terlihat pada
seseorang dengan tingkat keyakinan diri yang rendah. Budaya femininitas mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang rendah, sebab tidak ada
kemampuan untuk memotivasi diri, sebagaimana unsur yang ada pada kecerdasan emosional.
Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance
lemah, toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih tinggi. Biasanya lingkungan kerja ini memiliki aturan yang bersifat fleksibel.
Dengan situasi ini guru sebagai anggota lingkungan kerja lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan
tugas. Guru dengan locus of control internal akan semakin yakin dengan dirinya sendiri dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini mencerminkan
tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru tersebut tinggi, karena mampu mengendalikan diri dalam kondisi ketidakpastian. Berbeda pada
guru dengan locus of control eksternal, kondisi lingkungan kerja yang sedikit memiliki aturan mengakibatkannya tidak bisa mengambil inisiatif
sendiri dalam menyelesaikan tugas. Ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional guru tersebut rendah.
Sementara pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance
kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko dan
mempertahankan diri dari risiko yang ada. Hal ini mengakibatkan guru sebagai anggota dalam lingkungan kerja dengan locus of control
eksternal semakin tidak memiliki keyakinan diri dalam menghadapi risiko. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai
guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang diyakini tetap akan memiliki keyakinan diri dalam menghadapi risiko. Karenanya guru dengan locus of control internal akan memiliki
tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, karena mampu meminimalisir risiko.
6. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru.
Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance
kecil berusaha meminimalkan perbedaan status dan mengutamakan kesejajaran, sehingga masing- masing anggota dalam
lingkungan masyarakat memiliki hak yang sama. Guru sebagai anggota dalam lingkungan masyarakat dengan locus of control eksternal, akan
cenderung memiliki kemampuan yang rendah dalam hal pengaktualisasian diri, karena merasa sudah didominasi oleh atasan, sekalipun telah berada
dalam lingkungan yang mengutamakan kesejajaran. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut
rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam hal pengaktualisasian diri.
Dengan demikian guru dengan locus of control internal akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.
Pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance
besar, akan mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan, sehingga pengaruh kekuasaan atasan menjadi dominan. Guru sebagai
anggota dalam lingkungan masyarakat dengan locus of control eksterna l, akan cenderung memiliki kemampuan yang rendah dalam bekerjasama
sebagai akibat dari rendahnya keyakinan diri atas dominasi atasan. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki guru
tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of control internal, yang diyakini tetap memiliki keyakinan diri sehingga mampu bekerjasama
walaupun dalam masyarakat yang lebih didominasi atasan. Dengan demikian guru dengan locus of control internal akan memiliki tingkat
kecerdasan emosional yang tinggi. Pada dimensi individualisme versus kolektivisme individualism
versus collectivism , guru dengan locus of control internal lebih kuat pada
budaya individualisme. Sebab pada kondisi ini tumbuhnya kemandirian secara emosional dan keyakinan dari dalam diri lebih bisa berkembang
dibandingkan pada budaya kolektivisme. Ini mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional yang dimilikinya. Sedangkan guru dengan
locus of control eksternal lebih kuat pada budaya kolektivisme. Sebab
pada budaya kolektivisme, kepentingan kelompok lebih diutamakan, sehingga keyakinan diri dari seseorang tergantung pada lingkungan
sekitarnya. Hal ini menyebabkan guru dengan locus of control eksternal memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.
Pada dimensi femininitas versus maskulinitas femininity versus masculinity
, guru dengan locus of control internal mempunyai budaya maskulinitas yang kuat. Hal ini ditengarai dengan ciri budaya maskulinitas
yang cenderung menekankan nilai asertivitas, prestasi dan performansi yang lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan diri
yang penuh. Budaya maskulinitas mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, sebab ada kemampuan untuk memotivasi diri.
Sedangkan seorang guru dengan locus of control eksternal berada pada budaya femininitas yang kuat. Ciri budaya femininitas yang cenderung
mengutamakan hubungan interpersonal lebih banyak terlihat pada seseorang dengan tingkat keyakinan diri yang rendah. Kondisi ini
mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang rendah, sebab tidak ada kemampuan untuk memotivasi diri.
Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance
lemah, toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih tinggi. Biasanya lingkungan masyarakat ini lebih bersikap rileks dan aturan
bersifat lebih fleksibel. Dengan situasi ini anggota lingkungan masyarakat lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam
menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat. Guru dengan locus of control
internal akan semakin yakin dengan dirinya sendiri dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang
dipunyai guru tersebut tinggi, karena mampu mengendalikan diri dalam kondisi ketidakpastian. Berbeda pada guru dengan locus of control
eksternal, kondisi lingkungan masyarakat yang sedikit memiliki aturan mengakibatkan guru dengan locus of control eksternal tidak bisa
mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
masyarakat. Ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional guru tersebut rendah.
Sementara pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat, anggota masyarakatnya merasa
terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko itu. Guru sebagai anggota dalam
lingkungan masyarakat dengan locus of control eksternal semakin tidak memiliki keyakinan diri karena setiap tindakannya berdasar pada aturan
yang dipatuhi. Kondisi ini mencerminkan tingkat kecerdasan emosional yang dipunyai guru tersebut rendah. Berbeda pada guru dengan locus of
control internal, yang diyakini akan memiliki keyakinan dalam mematuhi
aturan yang ada sebagai pedoman aktualisasi diri. Karenanya guru dengan locus of control
internal akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.
H. Perumusan Hipotesis