Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Sleman, DIY.

(1)

(2)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF SEX AND LOCUS OF CONTROL TOWARD THE RELATION AMONG FAMILY CULTURE, WORKPLACE CULTURE, AND

SOCIETY CULTURE WITH TEACHER’S EMOTIONAL INTELLIGENCE Survey: Teacher of Senior High Schools in Sleman Regency, Province of Daerah

Istimewa Yogyakarta. Suprapti

Sanata Dharma University 2007

This study aims to know: (1) the influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (2) the influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; (3) the influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence; (4) the influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (5) the influence of locus of control in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; (6) the influence of locus of control in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence.

This study was done in three state Senior High Schools and eight private Senior High Schools in Sleman Regency, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta in December, 2006. The technique of gathering data was questionnaire. By using purposive sampling technique and proportional sampling, the researcher gained 308 teachers as samples. The technique of analyzing the data was regression model that was developed by Chow.

The result shows: (1) there is influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,049 < a = 0,05); (2) there is influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,043 < a = 0,05); (3) there is influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,003 < a = 0,05); (4) there is not influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,426 > a = 0,05); (5) there is influence of locus of control in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,042 < a = 0,05); (6) there is not influence of locus of control in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,885 > a = 0,05).


(3)

(4)

(5)

(6)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Jika kita me nc inta i a p a ya ng kita ke rja ka n, Ma ka ha l se sulit a p a p un a ka n te ra sa mud a h, Pe ke rja a n se b e ra t a p a p un a ka n te ra sa ring a n,

Buka n ha nya itu, jika kita me nye na ng i p e ke rja a n d a n p ro fe si kita , Ma ka ta nta ng a n se b e sa r a p a p un

Bisa kita ub a h me nja d i p e lua ng ya ng lua r b ia sa ...

(xa vie r Que ntin Pra na ta )

Karya kecilku ini kupersembahkan untuk

:

Jesus Kristus juru selamatku,

Bunda Maria, bunda pelindungku,

Bapak, simbok, adik serta kakak-kakakku tercinta

yang telah memberikan perhatian serta dukungan yang

begitu berarti,

Mas Dhanang dengan pengertian dan motivasinya

selama ini.


(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 3 Mei 2007 Penulis

Suprapti


(8)

ABSTRAK

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN

EMOSIONAL GURU

Survei : Guru SMA di Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Suprapti

Universitas Sanata Dharma 2007

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: (1) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (2) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (3) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru; (4) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (5) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (6) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

Penelitian ini dilaksanakan di 11 SMA di Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Desember 2006. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner. Dengan menggunakan teknik purposive sampling dan proportional sampling, peneliti mendapatkan 308 guru sebagai sampel. Teknik analisis data menggunakan model persamaan regresi yang dikembangkan oleh Chow.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,049 < α = 0,05); (2) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,043 < α = 0,05); (3) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,003 < α = 0,05); (4) tidak ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,426 > α = 0,05); (5) ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,042 < α = 0,05); (6) tidak ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,885 > α = 0,05).


(9)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF SEX AND LOCUS OF CONTROL TOWARD THE RELATION AMONG FAMILY CULTURE, WORKPLACE CULTURE, AND

SOCIETY CULTURE WITH TEACHER’S EMOTIONAL INTELLIGENCE Survey: Teacher of Senior High Schools in Sleman Regency, Province of Daerah

Istimewa Yogyakarta. Suprapti

Sanata Dharma University 2007

This study aims to know: (1) the influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (2) the influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; (3) the influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence; (4) the influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (5) the influence of locus of control in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; (6) the influence of locus of control in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence.

This study was done in three state Senior High Schools and eight private Senior High Schools in Sleman Regency, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta in December, 2006. The technique of gathering data was questionnaire. By using purposive sampling technique and proportional sampling, the researcher gained 308 teachers as samples. The technique of analyzing the data was regression model that was developed by Chow.

The result shows: (1) there is influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,049 < a = 0,05); (2) there is influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,043 < a = 0,05); (3) there is influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,003 < a = 0,05); (4) there is not influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,426 > a = 0,05); (5) there is influence of locus of control in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,042 < a = 0,05); (6) there is not influence of locus of control in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,885 > a = 0,05).


(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kasih dan karunia yang berlimpah yang telah diberikan oleh Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Jenis Kelamin Dan

Locus Of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga, Kultur Lingkungan

Kerja Dan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional

Guru”. Survei: Guru SMA di Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan akhir mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan, semangat, dan doa dari berbagai pihak yang sangat mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis ingin menyampaiakan rasa syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas karunia, rahmat serta penyertaan

yang telah diberikan.

2. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Bapak Drs. Sutarjo Adisusilo J.R, selaku Ketua Jurusan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

4. Bapak S. Widanarto Prijowuntato, S.Pd., M.si. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakata.

5. Bapak L. Saptono, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang dengan sabar dan meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan nasehat, kritik


(11)

serta saran, serta pengarahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini sampai dengan selesai.

6. Bapak Ag. Heri Nugroho S.Pd. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, nasehat, dan saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

7. Bapak S. Widanarto P., S.Pd., M.Si. selaku dosen tamu yang telah memberikan saran dan pengarahan dalam skripsi ini.

8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah mencurahkan ilmunya serta dengan sepenuh hati dalam mendidik kami sehingga berguna untuk masa depan kami.

9. Mba’ Aris dan Pak Wawi yang telah melayani dan membantu selama menjalankan pendidikan di Univeritas Sanata Dharma Yogyakarta.

10.Bapak Kepala SMA 1 Sleman, SMA 1 Seyegan, SMA 1 Depok, SMA Muhammadiyah Seyegan, SMA Islam 2 Sleman, SMA Muhammadiyah Mlati, SMA Ma’arif 1 Sleman, SMA Tiga Belas Maret Depok (Gama), SMA Binatama Sleman, MAN III Yogyakarta, dan SMA Santo Agustinus yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam melaksanakan penelitian. Terima kasih banyak atas izin dan bantuannya.

11.Para Staf Karyawan, dan bapak serta ibu guru di 11 SMA di Kabupaten Sleman Yogyakarta.

12.Bapak dan Simbok (terimakasih untuk semua dukungan, pengorbanan, doa, dan cinta yang besar untuk ku...aku menyayangi kalian).


(12)

13.Mas Wahyu, Mas Ratno, Mbak Kunik, Mbak Atun, Adikku Si-El serta keponakanku Erik dan Ervin (terimakasih untuk semua bantuan, dukungan, pengorbanan, motivasi, dan segala keceriaan yang telah kalian berikan). 14.Mas Dhanang (terimakasih untuk doa, perhatian, motivasi, dan cintanya yang

selama ini telah kamu berikan).

15.Mbah Suto putri yang ada di surga terimakasih untuk doa restunya...

16.Teman–teman seperjuanganku Lina Cipluxs (makasih ya atas semua bantuan, waktu dan kebersamaannya... ayo diet’biar tambah cantik....), Sari (makasih telah merepotkan selama ini...jangan pernah bosen ya punya tamu aku terus...), MM (makasih atas kebersamaannya...jangan suka bohong lagi Em...) dan Tante Tutik (makasih atas kebersamaan serta resep-resep jitunya...) Terima Kasih juga untuk doa, semangat, persahabatan serta keceriaan yang telah kalian berikan selama ini.

17.Teman–teman seangkatanku PAK C’02 ( Risa, teman curhatku, “jangan bosen ya kalau aku ngoceh terus”, Ima “ayo terus berjuang”, Dita “Si pekerja baru”, Budhe Dewi “Si pekerja baru juga”, Dika “Si centil”, makasih ya bantuannya, Esti yang lagi berburu pekerjaan, Cat dengan petuah-petuah religiusnya, Dian yang lagi berjuang, Putri “ayo put jangan menyerah”, Banu “moga laris manis ya pulsanya”, Toro sang penakluk virus komputer, Thomas yang centil, Candra “bapak yang baik, kok tambah kurus aja...”, Satya yang lagi mo smangat kuliah, Valent “si muka ngantuk”, Tiara si usil, Tm “jangan ngelamun terus”, Ivon yang lagi menghilang, Andre si Bang Roma, Uchi “ayo jangan kuliah terus”, Lia “si pendiam yang lagi bisnis counter”, Dewi cilik


(13)

“kuliah yang rajin ya”, Heri “ayo smangat”, Sigit “frater” smangat Ter...) dan Wulan yang tambah cantik aja. Terima kasih atas kebersamaan dan kenangan-kenangan indah bersama kalian...

18.Teman-teman kos Gatot Kaca 6, Andri, Dhita, Rina, Yohana, mba Nur, mba Yati, mba Nonong mba Santi, Mba Yuli, Mas Iwan, Gun-gun, Bajuri, Nowo, Charles, dan Robert yang belum juga kukenal sampai sekarang, terimakasih atas kebersamaan dan suka duka yang telah kita lalui bersama.

19.Kris, terimakasih atas smangatnya. “jualan sengsu lagi yuk”. 20.Mas Anto’ Terima kasih atas waktu dan bantuannya.

21.Pihak-pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu terima kasih untuk doa, dukungan, dan perhatiannya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini jauh dari sempurna, sehingga masih perlu dikaji dan dikembangkan secara lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstuktif. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Penulis


(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Identifikasi Masalah……… 4

C. Rumusan Masalah ……… 5

D. Tujuan Penelitian……… 6

E. Manfaat Penelitian ……… 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kultur Keluarga ……… 8

1. Pengertian Kultur ……… 8

2. Pengertian Keluarga ……… 9

3. Dimensi Kultur Keluarga ……… 11

B. Kultur Lingkungan Kerja ……… 14

1. Pengertian Lingkungan Kerja ……… 14

2. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja ……… 15

C. Kultur Lingkungan Masyarakat ……… 17

1. Pengertian Masyarakat ……….. 17

2. Dimensi Kultur Lingkungan Masyarakat ……… 18


(15)

D. Kecerdasan Emosional ………. 21

1. Pengertian Emosi ……… 21

2. Pengertian Kecerdasan Emosional ………. 22

3. Dimensi Kecerdasan Emosional ……… 23

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional …. 27 E. Jenis Kelamin ……… 29

F. Locus of Control ……… 31

G. Kerangka Berpikir ……… 34

1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ………... 34

2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 40

3. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru .. 45

4. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……….. 49

5. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 53

6. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru .. 56

H. Perumusan Hipotesis ……… 60

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ……… 61

B. Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 61

1. Tempat Penelitian ……… 61

2. Waktu Penelitian ……… 62

C. Subyek dan Obyek Penelitian ……… 62

1. Subyek Penelitian ……… 62

2. Obyek Penelitian ……… 62

D. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ……… 62

1. Populasi Penelitian ……… 62


(16)

2. Sampel Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel ………… 63

E. Variabel Penelitian dan Pengukurannya ……… 63

1. Kecerdasan Emosional ……… 63

2. Kultur Keluarga……… 66

3. Kultur Lingkungan Kerja ……… 68

4. Kultur Lingkungan Masyarakat ……….. 69

5. Jenis Kelamin ……….. 71

6. Locus of Control ………... 72

F. Teknik Pengumpulan Data ………... 73

G. Pengujian Validitas dan Reliabilitas ………... 73

1. Uji Validitas ……….... 73

a. Kecerdasan Emosional ……….. 74

b. Kultur Keluarga ……… 75

c. Kultur Lingkungan Kerja ……….. 75

d. Kultur Lingkungan Masyarakat ……….... 76

e. Locus of Control ……… 76

2. Uji Reliabilitas ……… 77

H. Teknik Analisis Data ……… 80

1. Statistik Deskriptif……… 80

2. Pengujian Normalitas dan Linearitas ……….. 81

a. Uji Normalitas ……….. 81

b. Uji Linearitas ……… 82

3. Pengujian Hipotesis Penelitian ……… 83

a. Hipotesis I ………. 83

1) Rumusan hipotesis ……….. 83

2) Pengujian hipotesis ………. 83

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ……….. 85

1. Deskripsi Responden Penelitian ………. 85

2. Deskripsi Variabel Penelitian ………. 86

a. Kecerdasan Emosional Guru ……… 86


(17)

b. Kultur Keluarga ……… 88

1) Power Distance ………... 88

2) Individualism vs Collectivism ………. 89

3) Femininity vs Masculinity ………... 90

4) Uncertainty Avoidance ……… 92

c. Kultur Lingkungan Kerja ………. 95

1) Power Distance ……….. 95

2) Individualism vs Collectivism ………. 96

3) Femininity vs Masculinity ……… 98

4) Uncertainty Avoidance ……… 99

d. Kultur Lingkungan Masyarakat ……… 102

1) Power Distance ………... 102

2) Individualism vs Collectivism ………. 103

3) Femininity vs Masculinity ………... 105

4) Uncertainty Avoidance ……… 106

e. Locus of Control ………... 109

B. Analisis Data ………... 110

1. Pengujian Prasyarat Analisis Data ……….. 110

a. Pengujian Normalitas ……… 110

b. Pengujian Linearitas ………. 111

2 Pengujian Hipotesis ……… 113

a. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru …………... 113

1) Rumusan hipotesis I ……… 113

2) Pengujian hipotesis ………. 113

b. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ….. 115

1) Rumusan hipotesis II ……….. 115

2) Pengujian hipotesis ………. 115


(18)

c. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional

Guru ……….. 117

1) Rumusan hipotesis III ………. 117

2) Pengujian hipotesis ………. 117

d. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru …………... 119

1) Rumusan hipotesis IV ………. 119

2) Pengujian hipotesis ……… 119

e. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru …. 121 1) Rumusan hipotesis V……… 121

2) Pengujian hipotesis ………. 121

f. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……….. 123

1) Rumusan hipotesis VI ………. 123

2) Pengujian hipotesis ………. 123

C. Pembahasan Hasil Penelitian ……… 125

1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ………. 125

2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 128

3. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru .. 131

4. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 135

5. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 138


(19)

6. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional

Guru ……… 142

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……….. 146

B. Keterbatasan Penelitian………. 147

C. Saran ………. 148

DAFTAR PUSTAKA ……….. 151 LAMPIRAN


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1. Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional Guru ………. 64 Tabel 3.2. Operasionalisasi Variabel Kultur Keluarga ……… 67 Tabel 3.3. Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Kerja …………. 68 Tabel 3.4. Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat …… 70 Tabel 3.5. Operasionalisasi Variabel Locus of Control ……… 72 Tabel 3.6. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kecerdasan Emosional

Guru ……… 74

Tabel 3.7. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Keluarga ………….. 75 Tabel 3.8. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Lingkungan

Kerja ……… 75

Tabel 3.9. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Lingkungan

Masyarakat ……….. 76

Tabel 3.10. Hasil Pengujian Validitas Variabel Locus of Control …………. 76 Tabel 3.11. Hasil Pengujian Reliabilitas ……… 79 Tabel 4.1. Deskripsi Jenis Kelamin Responden ……….. 85 Tabel 4.2. Deskripsi Variabel Kecerdasan Emosional Guru ……… 87 Tabel 4.3. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi Power

Distance ………... 88

Tabel 4.4. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi

Individualism vs Collectivism ………. 89 Tabel 4.5. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi

Femininity vs Masculinity ……… 91 Tabel 4.6. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi

Uncertainty Avoidance ……… 92 Tabel 4.7. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga ……… 93 Tabel 4.8. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi

Power Distance ……….. 95


(21)

Tabel 4.9. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi

Individualism vs Collectivism ………. 96 Tabel 4.10. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi

Femininity vs Masculinity ……… 98 Tabel 4.11. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi

Uncertainty Avoidance ……… 99 Tabel 4.12. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja ………. 101 Tabel 4.13. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Power Distance ………. 102

Tabel 4.14. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Individualism vs Collectivism ………... 103 Tabel 4.15. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Femininity vs Masculinity ………. 105 Tabel 4.16. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Uncertainty Avoidance ………. 106 Tabel 4.17. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat …………... 108 Tabel 4.18. Deskripsi Variabel Locus of Control ……….. 109 Tabel 4.19. Hasil Pengujian Normalitas ……… 110 Tabel 4.20. Hasil Pengujian Linearitas Variabel Kultur Keluarga dengan

Variabel Kecerdasan Emosional Guru ……… 111 Tabel 4.21. Hasil Pengujian Linearitas Variabel Kultur Lingkungan

Kerja dengan Variabel Kecerdasan Emosional Guru …………. 112 Tabel 4.22. Hasil Pengujian Linearitas Variabel Kultur Lingkungan

Masyarakat dengan Variabel Kecerdasan Emosional Guru …… 112


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner ... 153 Lampiran 2 Data Prapenelitian ... 160 Lampiran 3 Validitas dan Reliabilitas ... 165 Lampiran 4 Data Induk ... 171 Lampiran 5 Data Distribusi Frekuensi ... 202 Lampiran 6 Hasil Uji Normalitas dan Linieritas ... 223 Lampiran 7 Hasil Uji Regresi ... 225 Lampiran 8 Tabel ... 233 Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian ... 235


(23)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu penentu keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah adalah guru. Guru adalah seorang pengajar. Sebagai seorang pengajar, guru dituntut untuk profesional yaitu memiliki kinerja tinggi dalam menjalankan amanah keguruannya, memiliki kreatifitas tinggi, memikirkan tentang bagaimana siswanya dapat mengetahui ilmu pengetahuan, mengetahui kondisi dirinya maupun siswanya. Untuk dapat menjadi guru yang profesional, seorang guru tidak hanya dituntut untuk memiliki tingkat kecerdasan intelektual tetapi juga kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang tinggi. Kecerdasan emosional guru ini mencakup kemampuan guru untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, serta hasrat keinginan diri sendiri dan orang lain.

Kecerdasan emosional menurut Goleman (http://www1.unpar.ac.id/web/column/rudiscolumn.asp?Koderekaman=02451

31215406176) adalah kemampuan merasakan, memahami, dan dengan efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, untuk membaca perasaan terdalam orang lain


(24)

2

(empati), kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta kemampuan untuk memimpin. Dengan demikian kecerdasan emosional merupakan modal keberhasilan diri guru dalam menjalankan profesinya. Ketrampilan guru akan hal-hal tersebut penting khususnya dalam menghadapi siswanya yang memiliki karakter yang berbeda.

Ada dua faktor yang secara umum berhubungan dengan kecerdasan emosional, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor-faktor yang ada dalam diri individu sendiri. Sedangkan faktor eksternal kecerdasan emosional merupakan faktor-faktor yang berasal dari perlakuan yang didapatkan dari lingkungan tempat seseorang berada atau tinggal. Lingkungan yang mempengaruhi kecerdasan emosional adalah keluarga, lingkungan teman-teman sebaya (rekan kerja), dan lingkungan masyarakat sosial. Pada masing-masing lingkungan tersebut, guru berhadapan dengan kebiasaan-kebiasan (kultur) yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga dengan demikian, karakter seorang guru akan terpola dari akulturasi dengan lingkungannya tersebut. Kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat mengambil peranan yang penting dalam menentukan tinggi atau rendahnya tingkat kecerdasan emosional seorang guru.

Ada dugaan bahwa terdapat perbedaan derajat hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional pada jenis kelamin guru yang berbeda. Pada guru yang berjenis kelamin perempuan, dipandang memiliki perkembangan kecerdasan


(25)

emosional yang lebih tinggi karena perempuan memiliki pola dasar yang terarah pada manusia, lebih tabah mudah menerima serta mampu mengendalikan, dan mengatur emosi dengan perasaan yang lebih menonjol. Sementara, pada guru yang berjenis laki-laki pada umumnya berperan sebagai kepala keluarga dan memegang kekuasaan mengambil keputusan dalam keluarga. Namun demikian laki-laki umumnya kurang dapat mengendalikan dan mengatur emosi, karena terdapat kecenderungan bahwa guru laki-laki lebih mengutamakan inteleklual dan rasionya dari pada emosi dan perasaan. Dengan demikian, diduga kuat bahwa derajat hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru akan lebih tinggi pada guru berjenis kelamin perempuan dibandingkan dengan guru berjenis kelamin laki-laki.

Di samping hal tersebut di atas, ada dugaan juga bahwa terdapat perbedaan derajat hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional pada guru dengan locus of control yang berbeda. Locus of control dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu: internal dan eksternal. Seorang guru yang memiliki locus of control internal merasa bahwa dirinya sendirilah yang menjadi sumber pencapaian keberhasilan dari segala tindakannya. Sedangkan guru dengan locus of control eksternal cenderung memandang bahwa dirinya, keputusan dan tindakannya sangat dipengaruhi oleh orang lain. Dengan demikian diduga kuat bahwa derajat hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru akan lebih tinggi


(26)

4

pada seorang guru yang memiliki locus of control internal dibandingkan dengan seorang guru yang memiliki locus of control eksternal.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah kultur keluarga, kultur lingkungan kerja dan kultur lingkungan masyarakat yang berbeda akan berhubungan dengan tingkat kecerdasan emosional pada guru dengan jenis kelamin dan locus of control yang berbeda. Penelitian ini selanjutnya dirumuskan dalam judul “PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL GURU” dan mengambil survei pada guru SMA di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi tingkat kecerdasan emosional seseorang. Faktor-faktor tersebut adalah faktor internal dan faktor ekternal. Faktor internal terdiri dari faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis meliputi ketrampilan emosional otak manusia. Sedangkan faktor psikologis meliputi keyakinan, rasa ingin tahu, niat, pengendalian diri, keterkaitan, dan kemampuan bekerja sama. Faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga, lingkungan teman-teman sebaya, dan lingkungan masyarakat. Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada faktor eksternal yaitu kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan variabel pemoderasi jenis kelamin dan locus of control.


(27)

C. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru?

2. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru?

3. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru?

4. Apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru?

5. Apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru?

6. Apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru?


(28)

6

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru.

2. Ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru.

3. Ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

4. Ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru.

5. Ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru.

6. Ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, yaitu: 1. Subjek Penelitian (Guru)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru untuk memperluas pengetahuan mereka tentang pentingnya memiliki kecerdasan emosional sehingga diharapkan dapat membantu subjek untuk memahami


(29)

bahwa kecerdasan emosional sangat penting dalam meningkatkan profesionalitas sebagai tenaga pendidik.

2. Peneliti Lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk mengadakan dan mengembangkan penelitian lanjutan dalam bidang kecerdasan emosional.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kultur Keluarga

1. Pengertian Kultur

Banyak ahli mendefinisikan kultur secara berbeda-beda. The American Heritage Dictionary (dalam Kotter, 1992:4) mendefinisikan kultur sebagai:

The totality of socially transmitted behavior patterns, arts, beliefs, institutions, and all other products of human work and thought characteristics of a community or population.

Kultur merupakan keseluruhan pola keperilakuan manusia, seni, kepercayaan, lembaga-lembaga, dan keseluruhan hasil karya manusia yang mewujudkan karakteristik-karakteristik yang dibawa dari komunitas atau masyarakatnya.

Tylor dalam Conrad Phillip Kottak (1991:37) mendefinisikan kultur sebagai berikut:

Cultur is that complex whole which includes knowledge, belief, arts, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.

Kultur merupakan sesuatu yang kompleks/menyeluruh mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan yang diperlukan manusia sebagai anggota masyarakat.


(31)

Sementara itu, Hofstede (1994:5) mengartikan kultur sebagai: A collective phenomenon, because it is at least partly shared with people who live or lived within the same social environment, which is there it was learned. It is collective programming of the mind which distinguishes the members of the one group or category of people from another.

Kultur merupakan bentuk pemprograman mental secara kolektif yang membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok yang lainnya dalam pola pikir, perasaan, dan tindakan anggota suatu kelompok. Hofstede (1994:4) karenanya menyebutkan kultur sebagai “software of the mind”. Sebagai bentuk pemprograman mental secara kolektif, kultur cenderung sulit berubah karena telah terkristalisasi dalam lembaga yang telah mereka bangun.

Dengan demikian kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama dalam suatu kelompok, yang mencakup pola berpikir, berperilaku, sikap nilai yang tercermin dalam wujud fisik maupun abstrak yang membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok yang lainnya.

2. Pengertian Keluarga

Yang dimaksud keluarga adalah keluarga asal anak, dimana anak dilahirkan, dibesarkan, dan hidup bersama ayah, ibu, dan saudaranya (Kartono, 1985:27). Sedangkan Paul B. Horton dalam Manurung (1995:47) mendefinisikan keluarga sebagai berikut:

The family is defined as a kinship grouping which provides for the rearing of children and for certain other human needs.


(32)

10

Keluarga diartikan sebagai suatu kelompok pertalian nasib keluarga yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup lainnya.

Sementara menurut Ahmadi (1991:239), keluarga dalam bentuk murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang belum dewasa. Satuan ini mempunyai sifat-sifat tertentu yang sama dimana saja dalam satuan masyarakat manusia. Keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik maupun psikis.

Dari definisi tentang kultur dan keluarga di atas, dapat disimpulkan bahwa kultur keluarga merupakan pandangan hidup yang mencakup cara berpikir, berperilaku, dan sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu kesatuan sosial yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak sekaligus sebagai tempat untuk pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik maupun psikis.

Sebagai tempat untuk membimbing anak, keluarga mempunyai peranan yang sangat besar bagi perkembangan anak, baik itu fisik maupun psikis. Dalam lingkungan keluarga, seseorang belajar bagaimana mengolah perasaan dirinya sendiri, bagaimana berpikir tentang perasaan ini, menentukan pilihan-pilihan untuk bereaksi, dan bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut. Pembelajaran tersebut nantinya akan melahirkan


(33)

pikiran, perilaku, dan sikap nilai yang tertanam dalam diri seseorang, yang merupakan cerminan dari tingkat kecerdasan emosional seseorang. Misalnya saja dalam keluarga yang mempunyai kebiasaan untuk saling bertukar pendapat mengenai kebijakan keluarga, akan melahirkan seseorang yang mampu berkomunikasi dengan baik dan mampu menghormati pendapat orang lain. Selain itu, keluarga juga berperan dalam pembentukan konsep tentang keberadaan orang lain ataupun konsep tentang hal-hal yang dilihat di sekitarnya. Misalnya, jika sejak kecil seseorang telah dididik untuk menghormati orang lain, maka akan tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa semua orang harus dihormati.

3. Dimensi Kultur Keluarga

Kultur keluarga terbagi menjadi 4 dimensi yaitu: (a) jarak kekuasaan (power distance); (b) penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance); (c) individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism); (d) maskulinitas versus femininitas (masculinity versus femininity).

Jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan atau sejauhmana tiap keluarga mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Keluarga dengan latar belakang budaya power distance besar akan cenderung mengembangkan aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Sementara keluarga dengan latar belakang budaya power distance


(34)

12

kecil akan berusaha untuk meminimalkan perbedaan-perbedaan status atau mengutamakan kesejajaran (equality).

Dalam dimensi kedua yaitu penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) menunjuk sejauhmana pandangan anggota keluarga dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. Keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat, merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga akan berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Lain halnya pada keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi terhadap situasi tidak pasti akan menjadi lebih tinggi.

Sementara itu dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism) mengacu pada sejauhmana suatu keluarga mendukung tendensi individualisme atau kolektivisme. Keluarga dengan latar belakang budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya untuk mandiri (otonom) dan merealisasikan hak-hak pribadinya. Sedangkan pada keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme menekankan kewajiban pada kelompok daripada hak-hak pribadinya.

Dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity versus femininity) menunjukkan sejauhmana suatu keluarga berpegang teguh pada peran gender atau nilai-nilai seksual tradisional yang didasarkan pada perbedaan biologis. Kelurga dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan peran yang lebih dominan dari pada perempuan. Biasanya dalam keluarga ini, bapak lebih dominan dalam menetapkan aturan-aturan keluarga


(35)

(tentang yang boleh atau tidak boleh dilakukan) dibandingkan pihak ibu. Sementara keluarga dengan latar belakang budaya femininitas mengutamakan nilai-nilai kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiakawanan. Oleh karena itu, dalam hubungan antar anggota keluarga orang tua tidak menghendaki adanya perbedaan-perbedaan yang tampak diantara mereka (misalnya: kerja atau tidak kerja).

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara lain: kekuasaan orang tua atas aturan, kepatuhan/rasa hormat terhadap orang tua atau terhadap anggota keluarga lain yang lebih tua, ketergantungan kepada orang tua dan kebiasaan dalam meminimalkan perbedaan status. Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) mencakup indikator yang meliputi: sikap dalam menghadapi ketidak pastian hidup dan penetapan aturan. Dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism) mencakup indikator antara lain: kebebasan untuk menyatakan pendapat, loyalitas pada anggota keluarga yang lain, keleluasaan untuk mandiri keterikatan sosial satu sama lain dalam keluarga, kebutuhan untuk berkomunikasi, dan perasaan yang muncul akibat pelanggaran atas suatu aturan atau norma tertentu. Sedangkan pada dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity versus femininity) mencakup indikator antara lain: peran ayah lebih dominan, perhatian yang lebih kepada anggota yang lebih kuat, anggota keluarga (laki-laki atau perempuan) memiliki cita-cita yang tinggi dan menghindari adanya perbedaan.


(36)

14

B. Kultur Lingkungan Kerja

1. Pengertian Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan (Nitisemito, 1982:183). Agus Ahyari (1986:125-126), mendefinisikan lingkungan kerja sebagai suatu lingkungan dimana karyawan tersebut bekerja dan melakukan tugas sehari-hari yang meliputi penafsiran perusahaan terhadap karyawan, kondisi kerja karyawan, dan hubungan karyawan di dalam perusahaan.

Pandji Anoraga dan Sri Suyati (1995:72), mendefinisikan lingkungan kerja sebagai lingkungan yang meliputi hubungan antar karyawan, hubungan dengan pimpinan, suhu, penerangan, dan sebagainya. Lingkungan kerja merupakan lingkungan di sekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik secara emosional maupun intelektual, dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.

Dari definisi tentang kultur dan lingkungan kerja di atas, kultur lingkungan kerja merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu lingkungan di sekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik secara emosional maupun intelektual, dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.


(37)

2. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja

Menurut Hofstede dalam Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2004:277), dimensi utama nilai yang berkaitan dengan kultur lingkungan kerja adalah: (a) jarak kekuasaan (power distance); (b) penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance); (c) individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism); (d) maskulinitas versus femininitas (masculinity versus femininity). Masing-masing dimensi ini berkaitan dengan perbedaan secara konkrit dalam hal sikap, opini, keyakinan, dan perilaku dalam organisasi kerja dan bentuk-bentuk dasar untuk memahami norma-norma sosial tertentu.

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan atau sejauhmana tiap budaya mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance besar akan cenderung mengembangkan aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Implikasinya biasanya ditandai dengan adanya struktur hirarki yang tinggi. Sedangkan kultur lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan status atau kekuasaan dan dalam hubungan kerjanya didukung oleh inisiatif dari atasan dan bawahan.

Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) menunjuk sejauhmana pandangan anggota lingkungan kerja dalam


(38)

16

menghadapi situasi yang tidak pasti. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat, merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga setiap anggotanya akan berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko dan mempertahankan harga diri. Berbeda pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi terhadap situasi ketidakpastian akan menjadi lebih tinggi, sehingga setiap anggotanya cenderung lebih senang mencoba hal-hal baru.

Budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya agar mandiri, menekankan tanggung jawab dan hak-hak pribadinya, sehingga mampu menumbuhkan kemandirian emosional pada instansi tempat seseorang bekerja. Budaya kolektivisme menekankan kewajiban kepada instansi (kelompok) tempat seseorang bekerja daripada hak-hak pribadinya.

Sedangkan dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity versus femininity) menunjukkan sejauhmana lingkungan kerja berpegang teguh pada peran gender. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan pada nilai ketegasan, ambisi, dan persaingan. Sedangkan pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiakawanan.

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara lain: perbedaan jarak antara atasan dan bawahan, tingkat pengawasan, dan sistem penggajian. Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) mencakup indikator: budaya kerja keras, orientasi waktu dalam


(39)

bekerja, kebebasan mengeluarkan ide, sumber motivasi dalam bekerja, dan dasar kedisiplinan kerja. Dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity versus femininity) mencakup indikator: cara mengatasi masalah, filosofi kerja, sikap atasan dalam memimpin, dan orientasi kerja. Dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism) mencakup indikator: dasar hubungan atasan bawahan, dasar pemberian gaji dan sistem manajemen kerja yang dianut.

C. Kultur Lingkungan Masyarakat

1. Pengertian Masyarakat

Masyarakat merupakan orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan (Selo Soemardjan dalam Soerjono Soekanto, 1982:22). Hal demikian berarti masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas (Ralph Linton dalam Soerjono Soekanto, 1982:22).

Sedangkan menurut Hasan Shadily, masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri atas beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan mempengaruhi satu sama lain (dalam Manurung, 1995:48). Sementara, Webster menguraikan masyarakat sebagai kehidupan suatu susunan sosial atau kehidupan suatu himpunan yang


(40)

18

dianggap seperti suatu sistem yang olehnya kehidupan individu dibentuk, terikat oleh cita-cita atau tujuan bersama, kepentingan bersama dalam taraf kehidupan (dalam Manurung, 1995:49). Jadi, masyarakat merupakan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dimana didalamnya kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu sama lain, terikat oleh tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang dirumuskan dengan jelas.

Dari definisi di atas, kultur lingkungan masyarakat merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai, yang diakui bersama dalam sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dimana didalamnya kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu sama lain, terikat oleh tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang dirumuskan dengan jelas.

2. Dimensi Kultur Lingkungan Masyarakat

Menurut Hofstede (1994:10), dimensi kultur lingkungan masyarakat adalah: (a) jarak kekuasaan (power distance); (b) penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance); (c) individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism); (d) maskulinitas versus femininitas (masculinity versus femininity).

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan sejauhmana tiap budaya mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Kultur lingkungan masyarakat dengan latar


(41)

belakang budaya power distance besar akan cenderung mengembangkan aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Hal ini ditandai dengan anggapan perangkat desa sebagai pihak yang sah dan tepat untuk dimintai pandangan tentang kriteria baik dan buruknya tindakan. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan status atau kekuasaan sehingga dalam hubungan bermasyarakat tidak menampakkan dirinya sebagai atasan dan warga tidak merasa sebagai bawahan.

Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) menunjuk sejauhmana pandangan anggota lingkungan masyarakat dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat, merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga anggota lingkungan masyarakat akan cenderung menghindari perubahan. Sementara pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah toleransi terhadap situasi tidak pasti akan menjadi lebih tinggi, sehingga anggota lingkungan masyarakat akan merubah aturan bersama jika dirasa aturan tersebut sudah tidak dapat lagi diterapkan.

Sementara dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism) mengacu pada sejauhmana suatu masyarakat mendukung tendensi individualisme atau kolektivisme. Lingkungan masyarakat dengan


(42)

20

latar belakang budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya untuk mandiri (otonom) dan merealisasikan hak-hak pribadinya. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya kolektivisme menekankan kewajiban pada kelompok daripada hak-hak pribadinya.

Sedangkan dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity versus femininity) menunjukkan sejauhmana lingkungan masyarakat berpegang teguh pada peran gender. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan pada nilai ketegasan, ambisi, dan persaingan. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiakawanan

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara lain: kewenangan dalam pengunaan kekuasaan, kepemilikan hak, performance of powerfull people, dasar kekuasaan, dan fokus manajemen terhadap aturan. Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) mencakup indikator yang meliputi: perlakuan terhadap pelanggaran aturan, sikap atasan terhadap kritik bawahan, dan letak kepercayaan. Dimensi individualisme versus kolektivisme (invidualism versus collectivism) mencakup indikator antara lain: orientasi kepentingan dalam masyarakat, tingkat kepentingan kehidupan pribadi, penetapan pendapat atas kelompok, perbedaan pelaksanaan hukum dan hak, tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan pada dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity versus femininity) mencakup


(43)

indikator antara lain: orientasi solidaritas, tingkat toleransi atas kesalahan, cara penyelesaian konflik, kuantitas wanita dalam menduduki jabatan politik, pengertian kebebasan wanita.

D. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Emosi

Pada awal sejarahnya, pendiri psikologi yaitu William James memahami emosi sebagai sebuah hasil dari reaksi perilaku kita terhadap sebuah stimulus yang menghasilkan reaksi tersebut. Selanjutnya Buck dalam Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2004:76) menyempurnakan definisi emosi menjadi:

The term of feelings: subjective, affective experiences of arousal, pleasure or displeasure, and the specific oprimary affects of anger, fear, happiness, sadness, surprise,


(44)

22

berlaku secara naluri bergantung pada situasi (Francisco Burzi, http://www.pts.com.my).

Dengan demikian dapat disimpulkan emosi adalah suatu gambaran jiwa manusia yang menunjukkan keadaan psikologis seseorang, dimana keadaan ini berlaku secara naluri bergantung pada situasi tertentu, dengan melibatkan pikiran dan perasaan sebagai reaksi terhadap stimulus tertentu sehingga dapat mendorong untuk melakukan suatu tindakan yang akan dilakukan.

2. Pengertian Kecerdasan Emosional

Menurut Daniel Goleman (http://www1.unpar.ac.id/web/ column/rudiscolumn.asp.koderekaman=0245131215406176) kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah kemampuan merasakan, memahami, dan dengan efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh yang manusiawi.

Kecerdasan emosional juga dapat dipandang sebagai suatu ketrampilan yang dimiliki seseorang yang meliputi pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan memotivasi diri, kesanggupan mengendalikan dorongan hati dan emosi, mengatur suasana hati, kemampuan membaca perasaan orang lain (empati) dan memelihara hubungan dengan baik, dan kemampuan menyelesaikan konflik serta memimpin (Fransisco Burzi, http://www.pts.com.my). Sedangkan kecerdasan emosional menurut Ge


(45)

Mozaik (Juni 2005) adalah kemampuan untuk mengenali, mengekspresikan dan mengelola emosi, baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain, dengan tindakan konstruktif, yang mempromosikan kerjasama sebagai tim yang mengacu pada produktivitas dan bukan pada konflik (http://www.ganeca.blogspirit.com).

Individu yang memiliki kecerdasan emosional tidak dikendalikan oleh emosi melainkan mengendalikan emosi, individu dapat memotivasi dirinya sendiri sehingga mandiri, juga mampu mempengaruhi emosi orang lain, bersikap ramah, simpati, murah hati dan toleransi. Jadi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan ketrampilan emosional, yang meliputi mengidentifikasi dan memberi nama emosi-emosi, mengungkapkan emosi, menilai intensitas emosi, menunda pemuasan, mengendalikan dorongan hati, menangani stres, memahami sudut pandang orang lain dan empati.

3. Dimensi Kecerdasan Emosional

Dimensi kecerdasan emosional mempunyai 5 (lima) komponen dasar (http://www.ganeca.blogspirit.com/archive/2005/06/23/ge_mozaik_

juni_2005_pentingnya_pendidikan_kecerdasan_emos.html) yaitu: a. Self-awareness (pengenalan diri)

Self-awareness merupakan kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri dan efeknya, mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri, dan


(46)

24

keyakinan terhadap emosi diri sendiri berkaitan dengan ketepatan pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi. Seorang guru yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pemimpin yang andal bagi kehidupannya sendiri, karena mempunyai kepekaan yang lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadinya.

Dimensi self-awareness mencakup indikator: mengenali emosi sendiri, mengetahui kekuatan, mengetahui keterbatasan diri, keyakinan akan kemampuan diri.

b. Self-regulation (penguasaan diri)

Self-regulation merupakan kemampuan untuk menangani emosi agar dapat terungkap dengan “pas”. Emosi yang dialami tidak ditekan atau diabaikan, tetapi tidak juga terjadi secara berlebihan.

Seseorang yang mempunyai penguasaan diri yang baik dapat lebih terkontrol dalam membuat tindakan agar lebih hati-hati. Penguasaan diri berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat tergantung pada kesadaran diri. Seorang guru yang memiliki self-regulation rendah, saat mengalami kegagalan dalam hidup, akan terus menerus dalam keadaan murung (tidak mampu menghibur dirinya sendiri), sementara seorang guru yang memiliki self-regulation tinggi dapat bangkit kembali dengan cepat saat mengalami kegagalan dalam hidup.


(47)

Dimensi self-regulation mencakup indikator: menahan emosi dan dorongan negatif, memelihara norma kejujuran dan integritas, bertanggung-jawab atas kinerja pribadi, keluwesan dalam menghadapi perubahan terbuka terhadap ide-ide serta informasi baru.

c. Self-motivation (motivasi diri)

Self-motivation berkaitan dengan kemampuan untuk memotivasi diri agar tetap berorientasi pada sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut: (1) cara mengendalikan dorongan hati; (2) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; (3)

kekuatan berpikir positif; (4) optimisme; (5) keadaan flow (mengikuti aliran).

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi. Seorang guru yang memiliki kendali diri emosional, menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mampu menyesuaikan diri dalam “flow”, cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.

Ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan rencana, seorang guru yang mempunyai tingkat kecerdasan emosional tinggi tidak akan bertanya “apa yang salah dengan saya ?”. Sebaliknya ia akan bertanya “apa yang dapat saya lakukan agar saya dapat memperbaiki masalah ini ?”.


(48)

26

Dimensi self-motivation mencakup indikator: dorongan untuk menjadi lebih baik, menyesuaikan dengan sasaran kelompok atau organisasi, kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan, kegigihan dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan.

d. Empathy (empati)

Empathy merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan jika dirinya sendiri yang berada pada posisi tersebut. Empati atau mengenal emosi orang lain yang dibangun berdasarkan pada kesadaran diri emosional, merupakan “ketrampilan bergaul”. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan


(49)

e. Social skills (ketrampilan sosial)

Dengan adanya 4 kemampuan seperti telah disebutkan di atas seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif. Kemampuan untuk memecahkan masalah bersama-sama lebih ditekankan dan bukan pada konfrontasi yang tidak penting yang sebenarnya dapat dihindari. Orang yang mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi mempunyai tujuan konstruktif dalam pikirannya. Membina hubungan dengan orang lain merupakan ketrampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki ketrampilan sosial seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.

Dimensi Social skills mencakup indikator: kemampuan persuasi, mendengar dengan terbuka dan memberi pesan yang jelas, kemampuan menyelesaikan pendapat, semangat leadership, kolaborasi dan kooperatif, team building.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Ada beberapa faktor yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional. Secara umum faktor-faktor tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam individu sendiri, yaitu: faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis merupakan faktor kesehatan fisiologis yang dimiliki individu. Susunan fisiologis yang berkaitan dengan


(50)

28

kecerdasan emosional adalah otak. Otak manusia adalah sumber pengetahuan tentang emosi karena di otak emosi dapat dideteksi dan dikenali, serta memberikan respon untuk bertindak.

Faktor psikologis berkaitan dengan sikap, motivasi, dan dorongan-dorongan internal lain yang memungkinkan sejauh mana individu memiliki kecerdasan emosional. Daniel Goleman (1999:274) menyatakan bahwa rasa keyakinan ingin tahu, niat atau kemauan, pengendalian diri, keterkaitan, kecakapan berkomunikasi dan kemampuan bekerja sama, mempengaruhi kecerdasan emosional individu yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Keyakinan, yaitu perasaan kendali dan penguasaan individu terhadap dirinya sendiri. Seseorang yang memiliki pengertian akan dirinya bahwa dia mampu membawa dirinya berdasarkan tuntutan situasi dan kondisi, cenderung berhasil dalam apa yang dikerjakannya.

b. Rasa ingin tahu, yaitu dorongan untuk mencari tahu atau menyelidiki sesuatu. Kebutuhan untuk memahami ini sifatnya positif dan memberikan kepuasan.

c. Niat, yaitu didorong dari dalam/inisiatif untuk berhasil, ketekunan atau hasrat untuk bertindak secara konsekuen untuk mencapai tujuan.

d. Pengendalian diri, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan tindakan dengan pola yang sesuai dengan usia, kendali yang mengarahkan diri untuk memperoleh hasil yang lebih besar.


(51)

e. Keterkaitan, yaitu kemampuan melibatkan diri dengan orang lain, dengan memahami situasi yang dialami oleh orang lain dan mampu berpikir dari sudut pandang orang lain.

f. Kecakapan berkomunikasi, yaitu kemampuan verbal, untuk bertukar gagasan, perasaan dan konsep dengan orang lain. Kemampuan mendengarkan dan memberi umpan balik berdasarkan rasa percaya dan keterkaitan dengan orang lain.

g. Kemampuan bekerjasama, yaitu bersikap kooperatif berarti mampu untuk menyeimbangkan kebutuhannya sendiri dengan kebutuhan orang lain dalam kegiatan kelompok.

Faktor eksternal adalah perlakuan yang diperoleh dari lingkungan yang mempengaruhi kecerdasan emosional. Lingkungan yang pertama-tama mempengaruhi kecerdasan emosional adalah keluarga, kemudian lingkungan teman sebaya (lingkungan kerja), dan masyarakat sosial.

E. Jenis Kelamin

Secara umum manusia diciptakan atas dua kategori yaitu laki-laki dan perempuan. Pembagian tersebut berdasarkan pada perbedaan yang melekat pada kedua jenis kelamin tersebut. Jenis kelamin menunjuk pada keseluruhan ciri-ciri yang membedakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan yaitu mengenai jasmani, kejiwaan, sifat, cara berpikir, perasaan dan sebagainya. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut mengarahkan pada pembagian kerja yang berbeda


(52)

30

antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan-perbedaan ini mengakibatkan perbedaan ciri-ciri, sifat dan karakteristik psikologis yang berbeda antara laki-laki dan perempuan (Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, 2004:253). Sewaktu menjadi dewasa, individu akan mempelajari peran-peran sosial melalui proses-proses penguatan dan peniruan. Sehingga pada akhirnya laki-laki dan perempuan memperoleh sikap, ketrampilan dan ciri-ciri kepribadian yang berbeda berdasarkan peran yang dikaitkan dengan jenis kelamin dalam lingkungannya.

Berikut disajikan tabel perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan (Gilarso, 2003:3):

Perbedaan Psikologis

Laki-laki Perempuan 1. Pola dasar pandangan keluar

terarah pada dunia/obyek

2. Suka menjelajah dan menyelidiki alam sekitar

3. Suka “membongkar dan

membangun”. Pria membangun dunia menjadi rumah tempat tinggal

4. Suka bekerja diluar, mencari nafkah, menguasai dunia

5. Suka mencoba, mencari, dan melihat-lihat

6. Aktif, mengambil inisiatif, suka kritik, dan protes

7. Intelek dan rasio lebih utama, dapat mengendalikan perasaan dengan akalnya

8. Lebih melihat kenyataan obyektif, terarah pada garis-garis besar, lebih teguh dalam putusan

1. Pola dasar pandangan ke dalam, terarah pada manusia

2. Lebih gemar tinggal di rumah, memelihara dan merawat

3. Menyayangi dan memelihara. Wanita pandai menciptakan suasana di rumah menjadi tempat yang membuat orang krasan

4. Perhatian lebih untuk pribadi sesama manusia (anak)

5. Butuh diperhatikan, senang dilihat dan dicari

6. Reaksi, menanggapi, lebih tabah, dan mudah menerima

7. Emosi dan perasaan lebih menonjol dan mempengaruhi pikirannya

8. Perhatian sampai detail-detail (hal kecil-kecil), cenderung intuitif, mudah mengubah keputusannya


(53)

9. Gelombang perasaan mendatar dan relatif stabil

10.Gairah seksual lebih berkobar, lebih bersifat jasmani biologis

9. Perasaan pasang surut

terpengaruh oleh siklus bulanan 10. Gairah seksual lebih rohani lebih

mementingkan cinta dan kemesraan

Secara terus menerus perbedaan-perbedaan psikologis tersebut akan semakin berkembang sesuai psikologi kepribadian masing-masing sehingga, pada akhirnya laki-laki dan perempuan akan memiliki kepribadian yang berbeda serta tingkat kecerdasan emosional yang berbeda pula. Berdasarkan sifat dan karakteristik psikologisnya, emosi dan perasaan pada perempuan lebih menonjol dan mempengaruhi pikirannya daripada laki-laki. Karenanya perempuan cenderung mempunyai tingkat kecerdasan emosional lebih tinggi dari pada laki-laki.

F. Locus of Control

Locus of control merupakan sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, 2004:209) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan. Rotter

mendefinisikan locus of control sebagai berikut


(54)

32

Locus of control as a generalized expectancy of the extent to which a person perceives that events in one’s life are consequences of one’s behavior.

Locus of control sebagai suatu harapan yang secara umum meluas dimana sering dirasakan seseorang dalam kejadian-kejadian dalam kehidupannya sebagai akibat dari suatu tingkah laku seseorang. Rotter (dalam Brigita Pujiwati, 2004:31) mendefinisikan locus of control berdasarkan teori belajar sosial, menjadi tiga aspek utama yaitu behavior potential (perilaku potensial), expectancy (harapan) dan reinforcement value (nilai penguat), ketiga aspek itu berhubungan satu dengan yang lain. Perilaku individu bergantung pada harapan-harapan dimana suatu tingkah laku tertentu akan memberi penguatan, dan nilai penguatan tersebut akan memuaskan kehidupan individu selanjutnya. Jika individu berhasil memperoleh penguatan yang diharapkan, maka ia cenderung meyakini bahwa penguatan itu akan diperoleh bukan dari dirinya sendiri. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa locus of control adalah anggapan sejauh mana orang tersebut merasakan adanya usaha yang telah dilakukan dan akibatnya.

Locus of control umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka. Keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya dipandang sebagai nasib, faktor keberuntungan, kesempatan karena kekuasaan orang lain atau karena kondisi-kondisi yang tidak dapat dikuasainya. Sedangkan individu dengan locus of control internal melihat diri mereka sangat dipengaruhi oleh dirinya sendiri.


(55)

Keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya dipandang sebagai akibat perilakunya.

Locus of control pada individu merupakan suatu konsep yang kontinum. Dalam artian, locus of control individu bergerak dari ekstrim eksternal dan ekstrim internal. Oleh karena itu setiap orang memiliki sekaligus faktor internal dan eksternal dalam dirinya. Perkembangan orientasi individu ke arah internal atau eksternal didapatkan melalui proses belajar. Pengalaman individu di masa lalu akan mempengaruhi perkembangan orientasi ini. Perbedaaan orientasi ini juga akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap suatu peristiwa atau situasi yang sedang dihadapi.

Individu yang berorientasi internal cenderung memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan dan tindakannya dianggap sangat menentukan akibat yang diterima, baik itu positif maupun negatif, lebih perspektif dan siap belajar dari lingkungan, memiliki daya tahan yang lebih besar terhadap pengaruh orang lain, lebih cepat dalam mengambil keputusan dan tindakan karena merasa mampu mengontrol lingkungannya.

Individu yang berorientasi eksternal, memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, tidak berpengaruh besar dalam mengendalikan akibat hidupnya, baik dalam mencapai tujuan maupun dalam melakukan penghindaran terhadap situasi yang tidak menyenangkan, lebih cemas dan depresif, serta kurang baik dalam melakukan aktivitas bermasyarakat dan lebih


(56)

34

mempunyai kemungkinan besar untuk menampakkan perilaku yang negatif seperti pasifitas, penarikan diri.

Dimensi locus of control internal dan eksternal mencakup indikator: sumber keberhasilan, sikap dalam menghadapi hambatan, kemampuan memimpin, kemampuan memotivasi siswa, keyakinan akan kemampuan diri, tingkat toleransi.

G. Kerangka Berpikir

1. Pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru.

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk merasakan, memahami dan dengan efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh yang manusiawi. Kemampuan ini pertama kali berkembang dari pengaruh keluarga. Lingkungan keluarga merupakan faktor eksternal pertama yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional, sebab di lingkungan keluarga seseorang belajar bagaimana mengolah perasaan dirinya sendiri, bagaimana berpikir tentang perasaan ini, menentukan pilihan-pilihan untuk bereaksi, dan bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut.

Kultur keluarga merupakan pandangan hidup yang mencakup cara berpikir, berperilaku, dan sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu


(57)

kesatuan sosial yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak sekaligus sebagai tempat untuk pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik maupun psikis. Kultur keluarga bisa diidentifikasi berdasarkan dimensi-dimensinya. Dimensi jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan atau sejauhmana tiap keluarga mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Pada keluarga dengan latar belakang budaya power distance besar, cenderung mengembangkan aturan atau kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Hal ini menyebabkan terdapatnya aturan-aturan yang dibuat oleh kepala keluarga dan harus dipatuhi oleh setiap anggota keluarga. Anggota keluarga yang dari segi umur lebih muda diharuskan menaruh hormat kepada orang yang lebih tua. Sedangkan pada keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil, ada kecenderungan meminimalkan perbedaan status atau kekuasaan, sehingga aturan-aturan yang ditetapkan dalam keluarga bersifat lebih longgar.

Guru diharapkan mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi guru akan mampu mengenali emosi dirinya sendiri dan orang lain, mampu menangani emosi agar dapat terungkap dengan “pas”, mampu memotivasi diri, mampu berempati serta memiliki ketrampilan sosial dalam berhubungan dengan orang lain (rekan kerja dan siswa). Kemampuan ini akan berkembang bila guru tersebut berasal dari keluarga dengan latar belakang budaya power distance


(58)

36

kecil, dimana tidak terdapat aturan ketat yang menghambat perkembangan kecerdasan emosional setiap anggota keluarga. Oleh sebab itu tingkat kecerdasan emosional guru dari keluarga ini lebih tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya power distance besar, yang anggota keluarganya sangat terikat oleh aturan-aturan ketat sebagai akibat dari kebiasaan untuk mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan.

Pada dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) menunjuk sejauhmana pandangan anggota keluarga dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. Keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko itu. Sementara pada keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih tinggi. Biasanya keluarga ini lebih bersikap rileks dan sedikit memiliki aturan. Dengan situasi ini anggota keluarga lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru yang berasal dari keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah yang mempunyai kecenderungan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat. Rendahnya inisiatif dan ketidakmampuan dalam menghadapi situasi ketidakpastian yang dimiliki


(59)

dalam keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat mengakibatkan guru memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.

Dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism) mengacu pada sejauhmana budaya dalam keluarga mendukung tendensi individualisme atau kolektivisme. Budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya agar mandiri (otonom), menekankan tanggung jawab dan hak-hak pribadinya. Sementara budaya kolektivisme menekankan kewajiban pada anggota keluarga daripada hak-hak pribadinya. Dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional, guru dari keluarga dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme, karena budaya individualisme menyebabkan tumbuhnya kemandirian secara emosional. Berbeda dengan guru dari keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme yang mengalami perkembangan kecerdasan emosional yang tergantung pada kepentingan kelompok. Dalam budaya kolektivisme, seseorang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya, akibatnya secara emosional mereka tidak mandiri.

Dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity versus femininity) menunjukkan sejauhmana budaya dalam keluarga berpegang teguh pada peran gender atau nilai-nilai seksual yang tradisional, yang didasarkan pada perbedaan biologis. Keluarga dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan nilai asertifitas, prestasi, dan performansi. Sedangkan pada


(60)

38

keluarga dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan hubungan interpersonal, keharmonisan, dan kinerja kelompok. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru dari keluarga dengan latar belakang budaya femininitas dimana ada pembelajaran mengenai hubungan interpersonal dan keharmonisan dalam kinerja kelompok, akan mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Keluarga dengan latar belakang budaya maskulinitas lebih cenderung berusaha mengedepankan faktor dari dalam diri sendiri tanpa melihat luar. Sehingga anggota keluarga menjadi kurang luwes dalam menghadapi perubahan, kurang terbuka terhadap ide-ide serta informasi baru. Kondisi inilah yang menjadi faktor pelemah dalam perkembangan kecerdasan emosional.

Pengaruh kultur keluarga dengan kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender tradisional, masyarakat beranggapan bahwa laki-laki lebih dominan dalam menetapkan aturan dan memiliki kekuasaan penuh untuk mengambil keputusan dalam keluarga (ayah sebagai kepala keluarga) sehingga laki-laki cenderung untuk mempertahankan power distance besar. Akibatnya laki-laki kurang mampu membina hubungan komunikasi dengan anggota keluarga yang lain dan kurang terbuka terhadap informasi-informasi baru dari luar. Berbeda dengan peran perempuan yang diposisikan sebagai seorang ibu, yang mampu menjembatani posisi anak dan ayah sehingga kemampuannya dalam komunikasi lebih berkembang. Standar peran gender inilah yang


(61)

mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional seorang perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

Perempuan berdasarkan ciri-ciri psikologisnya memiliki budaya uncertainty avoidance yang kuat karena perempuan merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Kondisi seperti itu mengakibatkan perempuan tidak mempunyai sikap gigih dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan. Hal ini mencerminkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Berbeda dengan laki-laki yang lebih cenderung senang mencoba hal-hal baru tanpa merasa terancam dengan risiko yang akan dihadapi. Sikap gigih laki-laki dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan akan sesuatu yang tidak pasti mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional laki-laki daripada perempuan.

Pada dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism), laki-laki memiliki budaya individualisme yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki berdasar ciri-ciri psikologisnya mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai dengan ciri-ciri budaya individualisme. Dengan sifat ini laki-laki mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada perempuan. Ada kecenderungan perempuan kurang mandiri dan mempunyai ketergantungan dengan orang lain yang lebih tinggi.


(62)

40

Sedangkan untuk dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity versus femininity), laki-laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal yang dipunyai laki-laki. Laki-laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain dalam taraf rendah yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki laki-laki lebih rendah daripada perempuan, dimana perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

2. Pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru


(63)

lingkungan kerja bisa diidentifikasikan berdasarkan dimensi-dimensinya. Pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance besar, kedudukan atasan dan bawahan adalah berbeda, kondisi ini mengakibatkan kurang adanya kebebasan dalam bekerja, dan adanya pengaruh dominasi yang kuat dari atasan dalam bekerja. Dengan demikian karyawan sebagai bawahan menjadi kurang berminat dalam bekerja, kurang memiliki pengendalian diri, tidak mampu bekerjasama dan kurang mampu berkomunikasi dengan karyawan yang lain. Sehingga dapat disimpulkan guru yang bekerja pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance besar akan cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah, dibandingkan dengan guru yang bekerja pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil. Pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil, terdapat kedudukan yang sama antara atasan dan bawahan serta sikap demokratis dalam bekerja yang akan meningkatkan kecerdasan emosional guru.

Guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha untuk selalu bekerja keras, tidak fleksibel dalam pemanfaatan waktu serta cenderung menghindari risiko dan mempertahankan diri. Sementara pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, guru lebih mengembangkan waktu sebagai batasan kerja, dan dalam bekerja selalu termotivasi dengan prestasi, penghargaan atau rasa memiliki. Dengan


(64)

42

situasi ini guru sebagai bawahan lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru yang berada dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah yang cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, daripada guru pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat.

Budaya kolektivisme menekankan pada hubungan kekeluargaan, manajemen kerja kelompok, dan pengelolaan pekerjaan yang dikembangkan secara bersama. Sementara budaya individualisme menekankan pada hubungan kerja atas dasar transaksi bisnis, manajemen individual, serta pengelolaan pekerjaan secara individual. Dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional, guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi daripada guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya kolektivisme, karena budaya individualisme mendukung tumbuhnya kemandirian secara emosional. Berbeda dengan guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya kolektivisme yang mengalami perkembangan kecerdasan emosional yang tergantung pada kepentingan kelompok. Dalam kondisi budaya kolektivisme, seseorang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya, akibatnya secara emosional mereka tidak mandiri.


(65)

Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan pada ketegasan ambisi dan persaingan, penuh inisiatif dalam mengatur pekerjaan serta berprinsip bahwa hidup untuk bekerja. Sedangkan pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan pada kerendahan hati dan kesetiakawanan, mengutamakan mufakat serta prinsip bekerja untuk hidup. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas, dimana ada pembelajaran mengenai hubungan interpersonal dan keharmonisan dalam kinerja kelompok, membentuk guru untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Sedangkan kondisi lingkungan dengan latar belakang budaya maskulinitas membentuk guru memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.

Pengaruh kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender tradisional, laki-laki lebih banyak menjadi pemimpin. Karenanya laki-laki memiliki kekuasaan dalam mengambil setiap keputusan. Oleh sebab itu power distance besar dipertahankan oleh laki-laki. Akibatnya laki-laki kurang mampu membina hubungan dengan orang lain dalam lingkungan kerja. Berbeda dengan peran perempuan yang diposisikan sebagai seseorang yang mampu menjembatani, sehingga kemampuannya dalam komunikasi lebih berkembang. Standar peran gender inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki.


(66)

44

Perempuan berdasarkan ciri-ciri psikologisnya memiliki budaya uncertainty avoidance kuat, karena perempuan merasa terancam dengan ketidakpastian, sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Kondisi seperti itu mengakibatkan perempuan tidak mempunyai sikap gigih dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan. Hal ini mencerminkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Berbeda dengan laki-laki yang lebih cenderung senang mencoba hal-hal baru tanpa merasa terancam dengan risiko yang akan dihadapi. Sikap gigih laki-laki dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan akan sesuatu yang tidak pasti mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional laki-laki daripada perempuan.

Pada dimensi individualism versus collectivism, seorang laki-laki memiliki budaya individualisme yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki berdasar ciri-ciri psikologisnya mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai dengan ciri-ciri budaya individualisme. Dengan sifat ini laki-laki mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada perempuan. Karena perempuan kurang mandiri dan mempunyai ketergantungan dengan orang lain yang lebih tinggi.

Sedangkan untuk dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity versus femininity), laki-laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal yang dipunyai laki-laki. Laki-laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain (rekan


(67)

kerja dan siswa) dalam taraf rendah yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki laki-laki lebih rendah daripada perempuan, dimana perempuan memiliki kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain yang lebih baik.

3. Pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

Faktor eksternal ketiga yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional guru adalah lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan masyarakat seseorang akan berhadapan dengan etika, moral, dan nilai-nilai keagamaan. Interaksi seseorang terhadap hal-hal tersebut juga praktis menentukan tingkat kecerdasan emosional guru. Kultur lingkungan masyarakat merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai yang diakui bersama dalam sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dimana didalamnya kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu sama lain, terikat oleh tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang dirumuskan dengan jelas.


(68)

46

cenderung memiliki kemampuan yang rendah dalam hal bekerjasama. Kondisi ini membentuk guru untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance kecil, penggunaan kekuasaan menjadi subjek untuk kriteria baik atau buruk dan orang yang memiliki kekuasaan mencoba untuk memperlihatkan kekuasaan yang lebih rendah daripada yang mereka punya, serta semua orang memiliki hak yang sama. Kondisi ini mendukung warga masyarakat memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.

Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat, mengharuskan warganya untuk mematuhi peraturan yang ada, dan protes dari warga masyarakat ditekan (kurangnya aktualisasi). Sementara dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, protes warga lebih diterima, sehingga warga masyarakat memiliki kebebasan dalam mengaktualisasikan diri. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional guru yang berada dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah yang cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, daripada guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat.

Dalam budaya individualisme setiap orang memiliki hak pribadi, kepentingan individu berlaku melebihi kepentingan bersama, hak dan hukum didukung menjadi sama untuk semuanya, dan aktualisasi diri oleh setiap


(69)

individu merupakan tujuan bersama. Sementara dalam budaya kolektivisme kepentingan bersama berlaku melebihi kepentingan individu, karenanya kepentingan pribadi ditentang oleh kelompok, sehingga keselarasan dan kesepakatan dalam masyarakat sosial merupakan tujuan bersama. Dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional, guru yang tinggal di lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Karena budaya individualisme mendukung tumbuhnya keyakinan terhadap emosi diri sendiri berkaitan dengan ketepatan pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi. Berbeda dengan guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya kolektivisme yang cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Dalam kondisi ini guru tidak memiliki keyakinan diri, akibatnya mereka memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya.

Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya maskulinitas selalu mendukung pihak yang kuat, pemecahan masalah tanpa kompromi, serta emansipasi wanita belum diakui sepenuhnya. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengorientasikan sikap solider, pemecahan masalah secara negosiasi dan kompromi, serta laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam segala hal. Guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya femininitas cenderung akan memiliki sikap empati yang tinggi, akibatnya tingkat kecerdasan emosional guru tersebut menjadi tinggi daripada guru yang


(1)

244 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

245 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

246 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

247 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

248 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)

249 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


Dokumen yang terkait

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survei pada siswa-siswa SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Sleman - Yogyakarta.

0 0 265

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

1 2 293

Pengaruh jenis kelamin locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei guru SMA di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 0 276

SKRIPSI PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

0 0 205

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL GURU Survei: Guru SMA di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta SKRIPSI Diajukan untu

0 0 274

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta - USD Repository

0 0 291

PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

0 2 203

PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

0 0 210

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Sleman, DIY - USD Repository

0 0 269

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masayarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kodya Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - US

0 0 268