Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia terkenal dengan negara yang berbasis kuat dibidang pertanian Agraris. Sebagian besar penduduk Indonesia bertempat tinggal di pedesaan dan bekerja disektor pertanian. Berdasarkan Sensus Penduduk SP tahun 1971 penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan sebesar 82,6 persen, SP tahun 1990 sekitar 76,4 persen Yudohusodo, 1998. Data Supas 1995 menunjukkan bahwa terdapat 64,1 persen penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan. Sedangkan SP tahun 2000 menghitung dari total jumlah penduduk 201.241.999 jiwa terdapat 115.861.372 57,6 penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan dan kemudian menurun, berdasarkan data sebaran penduduk perdesaan dan perkotaan BPS tahun 2004 menunjukkan adanya penurunan sebesar 0,7 persen yang kemudian menjadi sebesar 56,7 persen. Walaupun data jumlah penduduk yang tinggal di perdesaan dalam kurun waktu tahun 1971an sampai dengan tahun 2004 cenderung terjadi penurunan namun, penurunan tersebut relatif kecil 6,2 - 0,7 sehingga jumlah penduduk masih relatif lebih besar yang tinggal di daerah perdesaan. Rustiadi 2006, menyatakan jumlah penduduk yang tinggal diperdesaan lebih terlihat ekstrim bila di bandingkan dengan wilayah Kawasan Timur Indonesia KTI yang rata-rata sebesar 70 persen lebih. Sementara masih tingginya jumlah penduduk yang tinggal di daerah perdesaan tersebut juga diikuti dengan adanya masalah disparitas pembangunan. Terutama strategi pembangunan yang masih memihak ke perkotaan urban-bias. Strategi pembangunan masa lalu yang terlalu menekankan kepada efesiensi dan mengabaikan distribusi pemerataan ekonomi distribution telah menimbulkan kesenjangan pembangunan yang semakin melebar, terutama antara daerah perdesaan dan perkotaan rural-urban. Kebijakan pembangunan masa lalu kemudian menjadi sumber krisis yang satu kepada krisis yang lain, berantai dan belum terputuskan sampai sekarang. Pendekatan pembangunan cenderung hanya memperhatikan kepada pertumbuhan ekonomi makro yang menekankan kepada kapital fisik yang telah mengakibatkan terjadinya Bab I. Pendahuluan 2 kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Kesenjangan pembangunan yang signifikan secara makro menurut Anwar 2005 misalnya antara desa-kota. Ketidak seimbangan pembangunan menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah antar satu dengan yang lainnya. Wilayah hinterland perdesaan menjadi melemah karena terjadi pengurasan sumber daya backwash, rendahnya pendapatan dan pengangguran besar yang menyebabkan terjadinya aliran bersih net-transfer. Kondisi tersebut diikuti dengan adanya konversi lahan pertanian ke nonpertanian di wilayah perdesaan, walaupun kondisi tersebut terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di perdesaan. Banyak penduduk di pedesaan yang kehilangan atau tidak mempunyai lahan pertanian lagi, terjadilah mobilitas penduduk dan pada keadaan ini mendorong terjadinya migrasi penduduk keluar baik dalam bentuk dan pola permanen maupun non-permanen, bergerak dari desa ke kawasan perkotaan yang sedang maupun sudah tumbuh. Maka, perhatian masyarakat perdesaan mulai tertuju pada daerah lain yang mampu memberikan harapan akan pekerjaan baru dan upah yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Fenomena migrasi desa-kota oleh beberapa peneliti dianggap penting karena pada satu pihak dianggap sebagai komponen pertumbuhan daerah perkotaan urban growth, tetapi pada pihak lain merupakan indikasi adanya masalah-masalah sosial ekonomi terutama di daerah perdesaan. Fenomena migrasi dalam beberapa studi ditemukan dapat memperlemah perkembangan kota-kota, banyak menimbulkan biaya-biaya sosial social costs, seperti yang terjadi pada perkembangan kota-kota besar di Indonesia yang mengalami “over- urbanization”. Perkembangan mega-urban seperti Jabodetabek, Bandung dan Gerbangkertasusila Gresik, Bangkalan, Mojokerta, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan, kondisi tersebut dicirikan oleh berbagai bentuk ketidak efesienan dan permasalahan, seperti banyaknya urbanit, meluasnya slum area, tingginya tingkat pencemaran, merebaknya tingkat kriminalitas serta banyaknya pedagang kakilima dadakan yang umum disebut dengan sektor informal. Todaro 2003 berpendapat bahwa penyebab mengalirnya penduduk perdesaan ke daerah lain salah satunya adalah faktor faktor ekonomi misalnya: tidak tersedianya lapangan pekerjaan, sempitnya lahan pertanian, rendahnya Bab I. Pendahuluan 3 tingkat upah, meluasnya kemiskinan dan lambatnya pembangunan ekonomi di perdesaan. Daerah lain yang menjadi sasaran urbanit pada awalnya adalah daerah terdekat yang memberikan harapan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat perdesaan. Sampai saat ini, dalam beberapa studi migrasi di Indonesia menunjukkan hasil bahwa faktor ekonomi merupakan alasan utama seseorang melakukan migrasi. Naim 1979 dalam studinya terhadap pola migrasi suku Minangkabau mengungkapkan, bahwa faktor ekonomi merupakan faktor yang asasi built-in dalam sifat perantauan orang Minangkabau. Hasil Survai migrasi pedesaan- perkotaan di Indonesia yang dilakukan LEKNAS-LIPI tahun 1973 Suharso et al.,1976 menemukan bahwa pria bermigrasi ke perkotaan adalah untuk mendapatkan penghidupan ekonomi yang lebih baik 50,5 dan tidak adanya pekerjaan di desa 21,7 . Sekitar 90 sampai 100 persen dari para migran sirkuler menyatakan bersirkulasi dari pedesaan karena tidak cukupnya kesempatan kerja di desa asal Hugo, 1978. Sedangkan kondisi yang dapat menimbulkan mobilitas penduduk menurut Mantra 1994, adalah dimana daerah asal dan daerah tujuan terdapat perbedaan nilai kefaedahan wilayah Place Utility, daerah tujuan harus mempunyai nilai kefaedahan wilayah yang lebih tinggi dari daerah asal. Sejalan dengan itu, konsep Resource Endowment RE dari suatu wilayah yang mengatakan bahwa perkembangan ekonomi wilayah dalam pembangunan, bergantung pada sumberdaya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komuditas yang dihasilkan dari sumberdaya itu. Secara implisit konsep RE menekankan pada pentingnya keterbukaan wilayah yang dapat meningkatkan aliran modal dan teknologi yang dibutuhkan untuk pembangunan wilayah dan peningkatan pendapatan masyarakat. Pedesaan yang kurang mendapat RE membutuhkan keterbukaan wilayah. Keterbukaan wilayah perdesaan akan menciptakan alternatif peluang pekerjaan untuk mendapatkan tambahan pendapatan bagi penduduk pedesaan, yang pada umumnya hanya mengandalkan sektor pertanian subsisten. Oleh karena itu, arah pergerakan penduduk perdesaan akan cenderung ke perkotaan yang memiliki kekuatan-kekuatan yang lebih besar. Fenomena diatas, sebenarnya sudah banyak dikupas oleh para ahli Demografi, seperti Zelinsky dalam Sagara 2002, Hugo 1987 dan Titus 1987. Mengikuti konsep mobilitas Bab I. Pendahuluan 4 yang dikemukakan oleh Zelinsky, terdapat hubungan antara tingkat modernisasi suatu daerah dengan perkembangan tipe mobilitas penduduk. Walaupun demikian, tingkat arus gerak penduduk juga tidak terlepas dari karakteristik sosial ekonomi dan budaya masing-masing daerah asal migran bertempat tinggal. Karakeristik sosial ekonomi dan budaya masyarakat pedesaan di pulau Jawa menjadi suatu pertimbangan tersendiri untuk menilai perkembangan tipe mobilitas penduduk. Pertimbangan lain yang juga melekat di masyarakat pedesaan pulau Jawa ialah norma sosial, seperti faktor kecintaannya terhadap keluarga dan tanah leluhur di desa, pertimbangan tersebut dalam beberapa penelitian mampu mempengaruhi keputusan seseorang untuk memilih bentuk bermigrasi misalnya jenis migrasi sirkulasi atau pulang balik sirkuler. Migrasi sirkuler menurut Mantra 1994 adalah merupakan jenis mobilitas penduduk nonpermanen, terjadi akibat adanya gaya sentripetal yang mengikat orang-orang pedesaan kurang lebih sama kuat dengan gaya sentrifugal yang mendorong orang-orang pedesaan untuk keluar dari desa mereka. Bentuk mobilitas tersebut adalah merupakan kompromi dari adanya dua gaya yang hampir sama kuatnya serta biasanya akan dipilih penghalang antara jarak dan transportasi yang relatif mudah diatasi. Kabupaten Lamongan mempunyai jumlah perdesaan terbesar di Jawa Timur. Kabupaten ini mempunyai 472 desa, 12 kelurahan dan 27 kecamatan dengan tingkat pertumbuhan penduduk 1,58 persen pada tahun 2004. Secara geografis kabupaten ini terletak di pantai utara Jawa Timur dan merupakan daerah berkembangnya kota raya “Gerbangkertasusila”, wilayah tersebut juga identik dengan nuansa religi, kental dengan masyarakat yang relatif lebih maju dan civilized Anonim, 1964. Tingkat pertumbuhan penduduk yang cenderung fluktuatif dan relatif rendah, dari sepuluh tahun terakhir rata-rata 0,62 persen, Tabel 1 menunjukkan jumlah penduduk Kabupaten Lamongan menurut jenis kelamin berdasarkan hasil registrasi penduduk sepuluh tahun terakhir dan tingkat pertumbuhannya. Fenomena migrasi sirkuler di Kabupaten Lamongan sudah lama terjadi. Kondisi geografis yang menguntungkan dan transportasi yang semakin maju ikut mendukung fenomena tersebut. Migrasi sirkuler terjadi bukan hanya dari desa ke kota-kota besar di Indonesia Jakarta, Bogor, Surabaya, dst. tetapi juga terjadi dari daerah pedesaan bagian selatan ke daerah pesisir Pantai Utara Bab I. Pendahuluan 5 migrasi lokal. Kecamatan Paciran dan Kecamatan Brondong adalah dua kecamatan yang secara geografis terletak di kawasan pesisir Pantai Utara. Dua kecamatan tersebut umumnya menjadi daerah tujuan bagi migran lokal yang mondok maupun yang pulang-balik comutting. Kondisi tersebut menyebabkan tingkat kepadatan penduduk yang relatif lebih tinggi dibanding dua puluh lima kecamatan yang lain. Fluktuasi jumlah penduduk dari tahun 1995 sebesar 0,31 persen dan mengalami kenaikan yang tajam pada tahun 2001 sebesar 0,90. Persen. Namun kemudian, turun kembali pada tahun 2002 dan tahun 2003 hingga sebesar 0, 53 dan 0,62 persen. Pertumbuhan penduduk terbesar terjadi pada tahun 2004, sebesar 1,53 persen dari jumlah penduduk tahun sebelumnya yaitu sebesar 1.224.812 juta jiwa, hal itu disebabkan semakin bertambahnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Tabel 1 Jumlah penduduk Kabupaten Lamongan menurut jenis kelamin berdasarkan hasil registrasi penduduk sepuluh tahun terakhir dan tingkat pertumbuhannya No. Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah Tingkat Pertumbuhan Tahun 1. 1995 571.091 602.182 1.173.273 0,31 2. 1996 575.400 605.447 1.180.847 0,65 3. 1997 577.787 607.650 1.185.847 0,39 4. 1998 579.808 609.236 1.189.044 0,30 5. 1999 582.108 611.536 1.193.644 0,39 6. 2000 585.259 614.844 1.200.103 0,54 7. 2001 591.023 619.856 1.210.879 0,90 8. 2002 594.101 623.215 1.271.316 0,53 9. 2003 598.572 626.240 1.224.812 0,62 10. 2004 611.219 632.933 1.244.152 1,58 Sumber: BPS Kabupaten Lamongan Tahun 1995 sampai Tahun 2004 Walaupun luas wilayah relatif sama, jumlah penduduk dan tingkat kepadatan di bagian wilayah pantai utara Kabupaten Lamongan Kecamatan Paciran dan Kecamatan Brondong relatif lebih tinggi dibanding dibagian wilayah selatan kecamatan Pucuk dan Kecamatan Sukodadi. Data BPS Kabupaten Lamongan mencatat bahwa kecamatan yang mempunyai kepadatan Penduduk tertinggi adalah kecamatan Paciran 1549,6 orangkm dan Kecamatan Brondong 713,9 orangkm2, dengan luas wilayah yang relatif sama dari 25 kecamatan lainnya lihat Tabel 2. Fenomena tersebut diyakini akan berdampak bukan hanya pada daerah tujuan tetapi juga berdampak pada rumahtangga dan Bab I. Pendahuluan 6 pembangunan desa asal. Rumahtangga migran sektor informal secara sengaja datang ke daerah tujuan dengan motif, karakteristik dan budaya yang relatif sama. Umumnya karena keterdesakan ekonomi rumahtangga yang terus meningkat, datang dan kembali lagi yang secara administrasi sulit untuk di data. Tabel 2 Jumlah Penduduk Kabupaten Lamongan per kecamatan pada tahun 2001 sampai tahun 2004, luas wilayah tahun 2002 dan kepadatan penduduk tahun 2002 Jumlah Penduduk Tahun No. Kecamatan 2001 2002 2003 2004 Luas Wilayah 2002 Kepadat an pddk orang km2 2002 1. Sukorame 19.997 20.032 20.032 20.044 41,47 483,7 2. Bluluk 21.043 21.059 21.500 21.562 54,15 389 3. Ngimbang 41.962 42.085 42.106 42.069 114,33 368,1 4. Sambeng 48.968 49.095 49.299 49.325 195,44 251,2 5. Mantup 41.218 41.222 41.311 42.329 93,07 442,9 6. Kembangbahu 44.279 44.316 44.291 44.346 63,84 694,2 7. Sugio 54.893 54.892 54.886 60.702 91,29 601,3 8. Kedungpring 52.563 53.151 53.306 53.291 84,43 629,5 9. Modo 45.594 45.697 45.698 50.404 77,80 587,4 10 Babat 75.652 75.707 75.915 76.144 62,95 1202,7 11 Pucuk 47.631 47.666 47.559 47.535 44,84 1063 12 Sukodadi 48.397 48.336 48.802 49.803 52,32 923,9 13 Lamongan 60.598 61.072 61.266 61.802 40,38 1512,5 14 Tikung 61.641 38.360 38.672 38.716 52,99 724 15 Sarirejo - 23.715 23.702 23.654 47,39 500,4 16 Deket 43.371 43.324 43.121 43.174 50,05 865,6 17 Glagah 43.996 44.083 44.149 44.363 40,52 1088 18 Karangbinangun 39.756 41.662 43.711 43.919 52,88 788 19 Turi 49.706 49.766 50.431 51.061 58,69 848 20 Kalitengah 33.810 33.895 33.954 35.936 43,35 782 21 Karanggeneng 42.409 42.896 43.606 44.253 51,32 836 22 Sekaran 44.421 44.562 44.674 44.791 49,65 897,5 23 Maduran 34.669 35.239 34.989 35.172 30,15 1168,8 24 Laren 46.988 46.977 47.207 47.350 96,00 489,3 25 Solokuro 41.193 41.042 41.755 42.351 101,02 406,3 26 Paciran 73.857 74.212 75.082 76.098 47,89 1549,6 27 Brondong 52.312 53.247 53.788 53.908 74,59 714 T o t a l 1..210.879 1.217.316 1.224.812 1.244.152 1.812,80 671,5 Sumber: BPS Kabupaten Lamongan Tahun 2001 sampai Tahun 2004 Dalam beberapa studi dilaporkan bahwa sektor informal banyak menampung migran dari daerah pedesaan Suchamdi, 1999 dan Sukwika, 2003. Pada umumnya para migran bergerak menuju ke pusat kota. Walaupun daerah tujuan migran pada umumnya bukan daerah pusat kota tetapi daerah pantai utara. Namun dua kecamatan tujuan migran tersebut adalah merupakan daerah kota penyangga dari pusat kota kabupaten. Jarak dari daerah tujuan menuju ke pusat kota kabupaten Lamongan relatif lebih jauh 48 Km dibandingkan apabila Bab I. Pendahuluan 7 para migran bergerak secara langsung dari daerah asal menuju pusat kota kabupaten 17 Km. Dengan demikian, gerak penduduk sirkuler lokal rumahtangga sektor informal dari daerah perdesaan kabupaten Lamongan merupakan hal yang menarik untuk diteliti.

1.2. Rumusan Masalah