BAB VII PERSEPSI PEKERJA TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN KERJA
PERUSAHAAN 7.1 Persepsi Pekerja
Persepsi pekerja PT. ITS tentang pelaksanaan peraturan kerja perusahaan adalah pandangan pekerja mengenai penerapan dan pelaksanaan sistem kerja yang
mengatur hubungan pekerja dengan pihak manajerial. Persepsi pekerja tersebut diukur dengan empat indikator yaitu pelaksanaan peraturan upah, jaminan sosial,
masa cuti, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Pemilihan indikator tersebut bedasarkan pada Undang-Undang No. 71984 tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan terutama Bagian III, Pasal 11 mengenai ketenagakerjaan Ayat 1 serta berdasarkan Undang-Undang
Ketenagakerjaan No. 25 Tahun 1997. Pengukuran persepsi pekerja dilakukan dengan penilaian skor menggunakan
skala nilai, dengan range satu sampai lima. Setelah diperoleh rata-rata, nilainya dikategorikan berdasarkan kisaran skor yaitu 1-1,8 dikategorikan sangat kurang
baik, 1,81–2,6 dikategorikan kurang baik, 2,61–3,4 dikategorikan cukup baik, 3,41–4,2 dikategorikan baik dan 4,21–5 dikategorikan sangat baik.
Tabel 9. Rataan Skor Persepsi Pekerja tentang Pelaksanaan Peraturan Kerja Perusahaan
Indikator Rataan Skor Persepsi
Total Rataan Skor Laki-laki
Perempuan Upah
Jaminan Sosial Masa Cuti
Perlindungan Kesehatan dan Keselamatan kerja
4,22 3,89
4,11 3,89
4,54 4,19
4,45 4,10
4,38 4,04
4,28 3,99
Total Rataan Skor 4,03
4,32 4,17
Keterangan: Kisaran skor 1 - 1,8= sangat kurang baik; 1,81 – 2,6= kurang baik; 2,61 –
3,4= cukup baik; 3,41 – 4,2= baik; 4,21 – 5= sangat baik
Hasil rataan skor dari seluruh indikator pada Tabel 9 di atas menunjukkan angka rata-rata sebesar 4,17 yang berarti persepsi seluruh pekerja tentang
pelaksanaan peraturan kerja perusahaan termasuk dalam kategori baik. Hal ini
berarti pekerja memandang perusahaan telah memperhatikan hak-hak pekerja dan melaksanakan peraturan-peraturan kerja dengan baik yang sesuai dengan
peraturan yang berlaku di perusahaan.
Hasil total rataan skor responden laki-laki dan responden perempuan ternyata berbeda. Total rataan skor laki-laki 4,03 yang berarti persepsi laki-laki
tentang pelaksanaan peraturan baik, sedangkan responden perempuan menunjukkan total rataan skor sebesar 4,32 yang berarti pelaksanaan peraturan
perusahaan sangat baik. Perbedaan hasil rataan skor responden perempuan dan laki-laki tersebut tidak berbeda nyata. Persepsi responden cenderung baik karena
dalam pelaksanaan peraturan kerja perusahaan tidak membeda-bedakan jenis kelamin, seluruh pekerja diperlakukan sama sesuai dengan peraturan perusahaan.
7.1.1 Persepsi Upah
Upah adalah sejumlah materi uang yang diterima oleh buruh dari pengusaha atau pemberi kerja atas pekerjaan yang telah dikerjakannya. Di
perusahaan peraturan mengenai pengupahan diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama PKB khususnya Bab VI yang berisi mengenai kebijaksanaan upah, tata
cara pembayaran upah, kenaikan upah berkala dan pembayaran upah lembur. Upah yang diterima oleh responden sudah sesuai dengan UMK Upah Minimum
Kabupaten untuk Kabupaten Purwakarta yaitu sebesar Rp. 1.0166.000,00. Upah responden tersebut dapat naik secara berkala dengan minimal masa kerja satu
tahun. Bekerja di luar jam kerja termasuk dalam kerja lembur, maka akan ada tambahan upah.
Pada Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa hasil rataan skor persepsi pekerja laki-laki dan perempuan tentang pelaksanaan peraturan upah menunjukkan angka
rata-rata sebesar 4,38 yang berarti termasuk dalam kategori sangat baik. Hal ini karena menurut responden perusahaan telah melaksanakan peraturan pengupahan
dengan baik. Perusahaan memberikan upah sesuai dengan UMK, pembayaran upah tepat waktu sesuai dengan tanggal yang ditentukan, dan perusahaan selalu
menaikkan upah pekerja secara berkala yaitu satu tahun sekali, upah lembur diberikan sesuai aturan, dan perusahaan upah penuh selama pekerja izin cuti. Hal
ini sesuai dengan yang diungkapkan responden yang menyatakan:
“Kalo di perusahaan ini pelaksanaan peraturan upah baik sekali mba, pembayaran upah kita tidak pernah telat dan via Bank, setiap tahun ada kenaikan upah dan
kenaikannya selalu dimusyawarahkan dulu” AB, 21 tahun.
Hasil rataan skor untuk responden laki-laki menunjukkan angka rata-rata sebesar 4,22 dan responden perempuan sebesar 4,54. Hasil rataan skor masing-
masing responden tersebut termasuk dalam kategori sangat baik. Dengan demikian baik responden laki-laki maupun perempuan memiliki persepsi tentang
pelaksanaan peraturan upah sangat baik. Hal ini dikarenakan perusahaan tidak membeda-bedakan besarnya upah yang diterima pekerjanya berdasarkan jenis
kelamin. Pembedaan pemberian upah di perusahaan ini berdasarkan pada masa kerja dan status pekerjanya. Di bawah ini kutipan salah satu responden laki-laki
yang mengungkapkan tentang pelaksanaan upah di perusahaan:
“kalo masalah upah sih di sini pelaksanaannya sudah baik mba, yah sesuai lah sama peraturan perusahaannya” DS, 20 tahun.
7.1.2 Persepsi Jaminan Sosial
Jaminan sosial merupakan fasilitas yang diberikan oleh perusahaan untuk seluruh pekerja sebagai bentuk pemeliharaan kesehatan pekerja. Di perusahaan
peraturan jaminan sosial ini diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama PKB dalam Bab VII mengenai jaminan sosial tenaga kerja, fasilitas kesehatan, dan pelayanan
kesehatan. Dalam penelitian ini, indikator jaminan sosial hanya diukur dengan melihat pelaksanaan pemberian jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan
perumahan dan kematian serta pemberian asuransi pekerja. Pada Tabel 9 di atas menunjukkan total rataan skor sebesar 4,04 yang berarti
seluruh responden penelitian memiliki persepsi tentang pelaksanaan peraturan jaminan sosial dalam kategori baik. Hal ini dikarenakan perusahaan telah
memberikan jaminan sosial tenaga kerja yang lebih lengkap yaitu menggunakan THAMRIN CARE, yang menurut perusahaan pelayanannya lebih lengkap
dibandingkan JAMSOSTEK. Perusahaan telah memberikan jaminan hari tua, seluruh pekerja diasuransikan, pekerja mendapatkan jaminan kesehata dan
kematian. Di bawah ini kutipan pernyataan salah satu informan mengenai peraturan jaminan sosial:
“Perusahaan ini memberikan jaminan sosial tenaga kerja untuk seluruh pekerja, bahkan jaminan sosialnya lebih bagus dari JAMSOSTEK kita pake THAMRIN
CARE fasilitasnya lebih lengkap” AE, 35 tahun.
Hasil rataan skor untuk masing-masing responden yaitu responden laki-laki menunjukkan rataan skor sebesar 3,89 dan responden perempuan sebesar 4,19.
Artinya baik responden laki-laki maupun perempuan memiliki persepsi tentang pelaksanaan peraturan perusahaan dalam kategori baik. Persamaan persepsi
tersebut dikarenakan perusahaan memberikan jaminan sosial yang sama baik untuk pekerja laki-laki maupun perempuan. Perbedaaan pemberian jaminan sosial
yaitu pekerja yang belum menikah memperoleh jaminan sosial hanya untuk pekerja sendiri, sedangkan untuk pekerja yang sudah menikah jaminan sosial
diberikan juga untuk istrisuami dan tiga orang anak, memang sesuai dengan peraturan perusahaan. Meskipun persepsi pelaksanaannya sudah baik, tapi salah
satu responden perempuan menyatakan bahwa apabila pekerja sakit dan menggunakan jaminan sosial perusahaan, obat yang diberikan rumah sakit
standar, apabila menginginkan obat yang lebih bagus harus bayar. Di bawah ini kutipan responden tersebut:
“Pelaksanaan jaminan sosial sih udah baik, tapi obat yang kita peroleh standar banget, kalo mau obat yang bagus tetep harus bayar sendiri” AB, 21 tahun.
7.1.3 Persepsi Masa Cuti
Masa cuti adalah waktu istirahat kerja yang diberikan oleh perusahaan kepada seluruh pekerja. Di perusahaan peraturan masa cuti diatur dalam
Perjanjian Kerja Bersama PKB dalam Bab V mengenai istirahat mingguan, cuti tahunan, cuti haid, hamil, gugur kandungan dan waktu izin meninggalkan
pekerjaan dengan upah tetap dibayar. Penelitian ini melihat pelaksanaan masa cuti dalam pelaksanaan pemberian waktu istirahat karena alasan haid, sakit,
mengalami gugur kandungan, menikah dan melahirkan tanpa mengurangi upah. Pada Tabel 9 di atas terlihat bahwa hasil total rataan skor untuk persepsi
pekerja tentang pelaksanaan masa cuti sebesar 4,28. Artinya persepsi pekerja tentang pelaksanaan masa cuti sangat baik. Hal ini karena perusahaan telah
melaksanakan peraturan masa cuti tersebut sesuai dengan peraturan. Perusahaan memberikan masa cuti kepada pekerja dengan mengisi formulir pengajuan izin
cuti dan apabila perempuan yang ingin cuti melahirkan harus disertai surat dokter.
Hasil rataan skor responden laki-laki dan perempuan ternyata berbeda. Rataan skor responden laki-laki menunjukkan angka rataan skor 4,11 yang berarti
persepsi responden laki-laki tentang pelaksanaan masa cuti baik dan rataan skor responden perempuan sebesar 4,45 yang berarti persepsinya sangat baik.
Perbedaan persepsi tersebut tidak berbeda nyata. Perbedaan persepsi dikarnakan pertanyaan dalam penelitian ini lebih banyak menanyakan pelaksanaan tentang
masa cuti untuk pekerja perempuan dalam hal pelaksanaan cuti haid, gugur kandungan dan hamil, sehingga dimungkinkan responden laki-laki tidak
mengetahui pelaksanaannya. Sesuai dengan yang diungkapkan responden laki-laki yang mengungkapkan bahwa :
“Saya kurang tau sih pelaksanaan masa cuti untuk cuti haid, melahirkan dan cuti hamil karna itu kan untuk perempuan aja, kalo peraturannya saya tau” DS, 20
tahun.
Meskipun rataan skor responden perempuan menunjukkan persepsi sangat baik, tapi untuk cuti haid salah satu responden menyatakan bahwa pelaksanaannya
tidak sesuai peraturan. Dalam peraturan mengenai cuti dinyatakan bahwa pekerja wanita tidak boleh diwajibkan masuk bekerja pada hari pertama dan kedua waktu
haid. Pelaksanaannya ternyata cuti haid lebih banyak diganti dengan uang, sehingga pekerja pada pertama dan kedua waktu haid tetap masuk kerja. Sebagian
responden tidak masalah diganti dengan uang, tapi sebagian lagi merasa lebih baik cuti untuk istirahat saja, karena sebagian perempuan memang sering sakit
perutmules pada saat hari pertama dan kedua waktu haid. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh salah satu responden perempuan yang menyatakan bahwa :
“Untuk cuti haid kalau bisa jangan diuangkan, lebih baik cuti untuk istirahat” BA, 21 tahun.
7.1.4 Persepsi Perlindungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja adalah salah satu fasilitas yang diberikan perusahaan kepada pekerja agar pekerja aman dan nyaman dalam
melaksanakan pekerjaan. Peraturan mengenai perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja pekerja diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama PKB Bab VIII
tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Penelitian ini menilai pelaksanaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja perusahaan dengan melihat
ketersediaan obat-obatan pertolongan pertama saat kecelakaan kerja kotak P3K, ketersediaan poliklinik khusus tenaga kerja, penyediaan peralatan keselamatan
kerja serta pemberian pekerjaan yang tidak berbahaya bagi kehamilan. Pada Tabel 9 di atas menunjukkan total rataan skor sebesar 3,99 yang
artinya persepsi pekerja tentang pelaksanaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja termasuk dalam kategori baik. Meskipun rataan skor tersebut
menunjukkan persepsi baik, ada beberapa responden yang menyatakan bahwa pelaksanaanya kurang maksimal karena letak klinik jauh dari tempat kerja dan
mess, serta P3K yang disediakan kurang lengkap dan jauh dari tempat kerja. Hal ini diungkapkan oleh responden perempuan yaitu K 21 tahun dan AB 21
tahun, yang menyatakan bahwa :
“Pelaksanaan peraturan mengenai perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja kerja sudah cukup baik, namun poliklinik yang telah disediakan di mess tidak
dimanfaatkan dengan baik serta P3K yang disediakan di pabrik juga kurang lengkap” K, 21 tahun.
“Pelaksanaannya tidak maksimal, letak klinik jauh, apabila ada kecelakaan kerja tidak segera di tangani harus ke rumah sakit dulu” AB, 21 tahun.
Hasil rataan skor untuk responden laki-laki menunjukkan angka sebesar 3,89 dan responden perempuan sebesar 4,10. Artinya persepsi responden laki-laki
dan perempuan tentang pelaksanaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja sudah baik. Seluruh pekerja memperoleh perlindungan yang sama.
Meskipun hasil rataan skor menunjukkan persepsi responden sudah baik, salah satu responden laki-laki menyatakan bahwa poliklinik yang ada ternyata tidak
berjalan maksimal karena tidak ada dokter yang jaga di poliklinik area, serta perusahaan tidak menyediakan peralatan khusus untuk keselamatan atau
keamanan setiap divisi.
7.2 Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Persepsi Pekerja tentang Pelaksanaan Peraturan Kerja Perusahaan
Hubungan antara karakteristik individu jenis kelamin, usia, pengalaman kerja, jumlah tanggungan dan status pernikahan dengan persepsi pekerja tentang
pelaksanaan peraturan kerja perusahaan upah, jaminan sosial, masa cuti, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja dianalisis dengan menggunakan
Uji Chi Square dan uji korelasi Rank-Spearman. Hasil pengujian hubungan
tersebut disajikan pada Tabel 10 di bawah ini.
Tabel 10. Hasil Pengujian Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Persepsi Pekerja tentang Pelaksanaan Peraturan Kerja Perusahaan
Karakteristik Individu
Koef. Korelasi
Persepsi Upah
Jaminan Sosial
Masa Cuti Perlindungan
Kesehatan dan Keselamatan
kerja Jenis Kelamin
Usia Pangalaman Kerja
Jumlah Tanggungan Status Pernikahan
χ
2
r
s
r
s
r
s
χ
2
0,298 -0,228
-0,283 -0,169
0,372 0,227
-0,267 -0,256
-0,139 0,294
0,225 -0,235
-0,286 -0,170
0,279 0,113
-0,185 -0,243
-0,079 0,320
Keterangan: Berhubungan nyata pada p0,05; Berhubungan sangat nyata pada p0,01 χ
2
=koefisien Chi Square; r
s
=koefisien Rank- Spearman
Berdasarkan Tabel 10 dapat terlihat bahwa terdapat beberapa karakteristik individu yang memiliki hubungan yang nyata dengan persepsi responden tentang
pelaksanaan peraturan kerja perusahaan. Karakteristik individu yang memiliki hubungan yang nyata tersebut yaitu antara usia dengan persepsi tentang
pelaksanaan peraturan upah, jaminan sosial dan masa cuti, antara pengalaman kerja dengan persepsi responden tentang pelaksanaan peraturan upah, jaminan
sosial, masa cuti, perlindungan kesehatan dan kemanan kerja serta antara status pernikahan dengan persepsi responden tentang pelaksanaan peraturan upah,
jaminan sosial, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Dengan demikian hipotesis kedua yang menyatakan “Terdapat hubungan nyata antara karakteristik
individu dengan persepsi pekerja tentang pelaksanaan peraturan kerja perusahaan” dapat diterima.
7.2.1 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Persepsi Pekerja tentang Pelaksanaan Peraturan Kerja Perusahaan
Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa jenis kelamin memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan nilai probabilitis lebih besar dari 0,05 p0,05 atau tidak
terdapat hubungan nyata dengan persepsi pekerja tentang pelaksanaan peraturan baik upah, jaminan sosial, masa cuti, perlindungan kesehatan dan keselamatan
kerja. Berdasarkan hasil pengujian antara jenis kelamin dan persepsi upah
memiliki nilai probabilitas sig sebesar 0,085 dimana nilainya lebih besar dari 0,05 p0,05 yang berarti hubungan antara jenis kelamin dan persepsi upah tidak
signifikan atau tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi terhadap pelaksanaan peraturan upah. Hal ini dikarenakan upah yang diberikan
perusahaan kepada pekerja tidak dibeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan upah yang sama. Upah yang diberikan
perusahaan sesuai dengan UMK setempat, yang membedakan besarnya upah pekerja yaitu lama masa kerja.
Berdasarkan hasil pengujian jenis kelamin dengan persepsi tentang pelaksanaan peraturan jaminan sosial diperoleh nilai probabilitas sig pada
persepsi jaminan sosial sebesar 0,202 dimana nilainya lebih besar dari 0,05 p0,05 yang berarti hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi jaminan
sosial tidak signifikan atau tidak terdapat hubungan. Hal ini dikarenakan pelaksanaan peraturan jaminan sosial diberikan kepada pekerja oleh perusahaan
tidak mengenal jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan memperoleh jaminan sosial yang sama. Pemberian jaminan sosial dibedakan kepada pekerja
berdasarkan status pernikahan, apabila sudah menikah perusahaan memberikan jaminan sosial kepada suamiistri dan maksimal untuk tiga orang anak.
Berdasarkan hasil pengujian antara jenis kelamin dengan persepsi tentang pelaksanaan peraturan masa cuti diperoleh nilai probabilitas sig pada persepsi
masa cuti sebesar 0,210 dimana nilainya lebih besar dari 0,05 p0,05 yang berarti hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi tentang pelaksanaan
peraturan masa cuti tidak signifikan atau tidak terdapat hubungan nyata. Hal ini disebabkan karena perusahaan memberikan masa cuti kepada seluruh pekerjanya,
baik laki-laki maupun perempuan memperoleh masa cuti. Berdasarkan hasil pengujian antara jenis kelamin dengan persepsi tentang
pelaksanaan peraturan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja diperoleh nilai probabilitas sig pada persepsi perlindungan kesehatan dan keselamatan
kerja sebesar 0,778 dimana nilainya lebih besar dari 0,05 p0,05 yang berarti hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi tentang pelaksanaan peraturan
perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja tidak signifikan atau tidak terdapat hubungan nyata. Hal ini dikarenakan perusahaan memberikan perlindungan
kesehatan dan keselamatan kerja kepada seluruh pekerja, baik laki-laki maupun perempuan. Seluruh pekerja memperoleh perlindungan kesehatan dan
keselamatan kerja sesuai dengan kebutuhan. 7.2.2 Hubungan antara Usia dengan Persepsi Pekerja tentang Pelaksanaan
Peraturan Kerja Perusahaan
Usia dalam penelitian ini cukup beragam yaitu antara usia 19-23 tahun, 24- 28 tahun dan 29-33 tahun. Hubungan antara usia dengan persepsi diuji dengan
menggunakan uji korelasi Rank-Spearman. Berdasarkan hasil pengujian antara usia dengan persepsi upah diperoleh nilai probabilitas sig sebesar 0,036 dimana
nilainya lebih kecil dari 0,05 p0,05 yang berarti usia memiliki hubungan yang nyata dengan persepsi upah dan memiliki hubungan negatif yang terlihat dari
koefisien korelasi yaitu -0,228 yang berarti semakin bertambah usia responden, maka semakin kurang baik persepsinya tentang pelaksanaan peraturan upah. Hal
ini dimungkinkan karena semakin bertambah usia responden kebutuhan untuk hidup semakin bertambah, jumlah tanggungan juga kemungkinan bertambah,
sehingga upah yang diterima tidak mencukupi kebutuhan. Seiring dengan bertambahnya usia responden merasa upah yang diberikan perusahaan masih
kurnag atau tidak cukup untuk biaya hidup responden. Berdasarkan pengujian antara usia dengan persepsi tentang pelaksanaan
peraturan jaminan sosial diperoleh nilai probabilitas sig sebesar 0,013 dimana nilainya lebih kecil dari 0,05 p0,05 yang berarti usia memiliki hubungan yang
nyata dengan persepsi jaminan sosial dan memiliki hubungan negatif yang terlihat dari koefisien korelasi yaitu -0,267 yang berarti semakin bertambah usia
responden, maka semakin kurang baik persepsinya tentang pelaksanaan peraturan jaminan sosial. Hal ini dikarenakan semakin bertambah usia responden kebutuhan
akan kesehatan dimungkinkan berbeda-beda dan semakin bertambah usia responden juga rentan terserang lebih banyak penyakit, sedangkan jaminan
kesehatan yang diberikan oleh perusahaan dibatasi hanya untuk penyakit tertentu. Berdasarkan pengujian antara usia dengan persepsi tentang pelaksanaan
peraturan masa cuti diperoleh nilai probabilitas sig sebesar 0,030 dimana nilainya lebih kecil dari 0,05 p0,05 yang berarti usia memiliki hubungan yang
nyata dengan persepsi masa cuti dan memiliki hubungan negatif yang terlihat dari
koefisien korelasi yaitu -0,235 yang berarti semakin bertambah usia responden, maka semakin kurang baik persepsinya tentang pelaksanaan peraturan masa cuti.
Hal ini mungkin dikarenakan semakin bertambah usia responden, semakin bertambah pula kesibukan dan keperluan hidupnya, sehingga responden
memerlukan waktu luang dan istirahat yang lebih banyak yang berarti mengharapkan masa cuti yang lebih panjang atau banyak dari perusahaan.
peraturan masa cuti yang berlaku di perusahaan mungkin masih kurang. Berdasarkan nilai probabilitas sig sebesar 0,090 dimana nilainya lebih
besar dari 0,05 p0,05 yang berarti usia memiliki hubungan yang tidak signifikan atau tidak memiliki hubungan yang nyata dengan persepsi tentang
pelaksanaan peraturan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Hal ini dikarenakan usia responden tidak mempengaruhi kebutuhan akan perlindungan
kesehatan dan keselamatan kerja, perusahaan memberikan perlindungan dengan meyediakan P3K, poliklinik, masker dan perlindungan lainnya kepada seluruh
pekerja. Kebutuhan akan perlindungan kesehatan dan keamanan kerja dibutuhkan saat kerja karena takut terjadi kecelakaan kerja, misalnya kecelakaan akibat
mesin, sehingga perlindungan yang diberikan dirasa cukup karena kebutuhannya sama setiap pekerja.
7.2.3 Hubungan antara Pengalaman Kerja dengan Persepsi Pekerja tentang
Pelaksanaan Peraturan Kerja Perusahaan
Hubungan karakteristik individu pengalaman kerja dengan persepsi pekerja diuji dengan menggunakan uji korelasi Rank-Spearman. Pengalaman kerja
merupakan bekal pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh karena pernah bekerja sebelumnya dan dilihat berdasarkan lama masa kerjanya. Berdasarkan
hasil penelitian pengalaman kerja responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu 0- 2 tahun, 2-4 tahun dan 4-6 tahun.
Pada Tabel 10 terlihat bahwa hasil pengujian antara pengalaman kerja dengan persepsi pekerja tentang pelaksanaan peraturan upah memiliki hubungan
yang sangat nyata dengan nilai probabilitas sig sebesar 0,009 dimana nilainya lebih kecil dari 0,01 p0,01 dan memiliki hubungan negatif yang terlihat dari
koefisien korelasi yaitu -0,319. Artinya semakin lama pengalaman kerja responden, semakin kurang baik persepsinya tentang pelaksanaan peraturan upah.
Hal ini dikarenakan responden yang memiliki pengalaman kerja sebelumnya akan membandingkan pelaksanaan peraturan upah di tempat kerjanya yang dulu
dengan pelaksanaan peraturan upah di tempat kerjanya sekarang. Semakin lama pengalaman kerja responden mungkin pengalaman kerjanya di beberapa tempat
kerja yang berbeda, maka persepsi responden akan cenderung kurang baik pada pelaksaaan peraturanupah di tempat kerja sekarang.
Berdasarkan hasil pengujian antara pengalaman kerja dengan persepsi tentang pelaksanaan peraturan jaminan sosial diperoleh nilai probabilitas sig
sebesar 0,018 dimana nilainya lebih kecil dari 0,05 p0,05. Artinya pengalaman kerja memiliki hubungan yang nyata dengan persepsi tentang pelaksanaan
peraturan jaminan sosial. Hasil pengujian juga menunjukkan hubungan negatif yang terlihat dari koefisien korelasi yaitu -0,269, yang berarti semakin lama
pengalaman kerja responden, semakin kurang baik persepsinya tentang pelaksanaan peraturan jaminan sosial. Sama halnya dengan pelaksanaan peraturan
upah, apabila responden memiliki pengalaman kerja sebelumnya, maka responden akan membandingkan pelaksanaan peraturan jaminan sosial pada tempat kerja
responden sebelumnya dengan pelaksanaan yang di tempat kerja sekarang. Berdasarkan hasil pengujian antara pengalaman kerja dengan persepsi
tentang peraturan pelaksanaan masa cuti diperoleh nilai probabilitas sig sebesar 0,008 dimana nilainya lebih kecil dari 0,01 p0,01. Artinya pengalaman kerja
memiliki hubungan yang sangat nyata dengan persepsi tentang pelaksanaan peraturan masa cuti. Hasil pengujian juga menunjukkan hubungan negatif yang
terlihat dari koefisien korelasi yaitu -0,288, yang berarti semakin lama pengalaman kerja responden, semakin kurang baik persepsinya tentang
pelaksanaan peraturan masa cuti. Responden yang memiliki pengalaman kerja akan cenderung membandingkan pelaksanaan masa cuti di tempat kerja yang lama
dengan tempat sekarang responden bekerja. Apabila pelaksanaan peraturan masa cuti di tempat kerja responden sekarang kurang baik dari tempat kerja
sebelumnya, maka persepsi responden juga akan kurang baik. Berdasarkan hasil pengujian antara pengalaman kerja dengan persepsi
tentang peraturan pelaksanaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja kerja diperoleh nilai probabilitas sig sebesar 0,025 dimana nilainya lebih kecil
dari 0,05 p0,05. Artinya pengalaman kerja memiliki hubungan yang nyata dengan persepsi tentang pelaksanaan peraturan pelaksanaan perlindungan
kesehatan dan keselamatan kerja. Hasil pengujian juga menunjukkan hubungan negatif yang terlihat dari koefisien korelasi yaitu -0,304, yang berarti semakin
lama pengalaman kerja responden, semakin kurang baik persepsinya tentang pelaksanaan peraturan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Sama
seperti pelaksanaan peraturan upah, jaminan sosial dan masa cuti, responden memiliki pengalaman kerja yang lama, responden akan membandingkan
pelaksanaan peraturan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja yang lama dengan tempat sekarang responden bekerja.
7.2.4 Hubungan antara Jumlah Tanggungan dengan Persepsi Pekerja tentang Pelaksanaan Peraturan Kerja Perusahaan
Hubungan karakteristik individu jumlah tanggungan dengan persepsi tentang pelaksanaan peraturan kerja diuji dengan menggunakan uji korelasi Rank-
Spearman. Jumlah tanggungan responden dibagi menjadi tiga kelompok yaitu 0-1 orang, 2-3 orang dan 4 orang. Jumlah tanggungan diduga memiliki hubungan
nyata dengan persepsi pekerja tentang pelaksanaan peraturan kerja perusahaan. Pada Tabel 10 terlihat bahwa hasil pengujian menunjukkan nilai probabilitas
sig lebih besar dari 0,05 p0,05 yang artinya jumlah tanggungan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan seluruh persepsi tentang pelaksanaan
peraturan kerja baik persepsi tentang upah, jaminan sosial, masa cuti maupun perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Hubungan antara jumlah
tanggungan dengan persepsi pekerja juga memiliki hubungan negatif yang terlihat dari nilai koefisien korelasinya. Artinya semakin banyak jumlah tanggungan
responden, semakin kurang baik persepsinya tentang pelaksanaan peraturan kerja, dan sebaliknya. Semakin sedikit jumlah tanggungan, semakin baik persepsi
tentang pelaksanaan peraturan kerjanya. Tidak adanya hubungan yang nyata antara jumlah tanggungan dengan persepsi dimungkinkan karena sesuai dengan
hasil deskriptif, jumlah tanggungan responden lebih banyak pada jumlah 0-1 orang yang berarti jumlah tanggungan responden berada pada kategori rendah.
Karena jumlah tanggungan responden lebih banyak yang rendahsedikit, sehingga
jumlah tanggungan tersebut tidak berpengaruh pada persepsi pekerja tentang pelaksanaan peraturan kerja perusahaan.
7.2.5 Hubungan antara Status Pernikahan dengan Persepsi Pekerja tentang
Pelaksanaan Peraturan Kerja Perusahaan
Status pernikahan dibagi menjadi dua kategori yaitu belum menikah dan menikah. Hubungan antara status pernikahan dengan persepsi tentang pelaksanaan
peraturan kerja diuji dengan menggunakan Uji Chi Square. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah status pernikahan memiliki hubungan yang nyata
dengan persepsi pekerja tentang pelaksanaan peraturan kerja perusahaan. Pada Tabel 10 terlihat bahwa status penikahan memiliki hubungan yang
sangat nyata dengan persepsi pekerja tentang pelaksanaan peraturan upah. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas sig yang menunjukkan nilai 0,003 yang
berarti nilainya lebih kecil dari 0,01 p0,01. Status pernikahan memiliki hubungan nyata dengan persepsi karena pihak perusahaan dalam hal pelaksanaan
peraturan upah tidak membeda-bedakan upah yang diberikan baik untuk pekerja yang sudah menikah atau belum menikah. Padahal pekerja yang sudah menikah
kemungkinan memiliki kebutuhan hidup yang lebih banyak dibandingkan yang belum menikah, selain kebutuhan untuk diri sendiri responden yang sudah
menikah membutuhkan keperluan rumah tangga juga. Sehingga pelaksanaan peraturan upah tersebut dipersepsikan berbeda bagi yang sudah menikah dan
belum menikah. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai probabilitas sig untuk persepsi
jaminan sosial sebesar 0,045 yang berarti nilainya lebih kecil dari 0,05 p0,05. Artinya status pernikahan memiliki hubungan yang nyata dengan persepsi tentang
pelaksanaan peraturan jaminan sosial. Hal ini dikarenakan pihak perusahaan dalam pelaksanaan peraturan jaminan sosial membedakan antara yang sudah
menikah dan belum menikah. Apabila pekerja sudah menikah, perusahaan memberikan jaminan sosial untuk keluarga responden juga yaitu untuk istrisuami
dan maksimal tiga orang anak, sedangkan pekerja yang belum menikah hanya memperoleh jaminan sosial untuk pekerja saja tidak dengan keluarganya.
Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai probabilitas sig untuk persepsi masa cuti sebesar 0,066 yang berarti nilainya lebih besar dari 0,05 p0,05.
Artinya status pernikahan memiliki hubungan yang tidak nyata dengan persepsi pekerja tentang pelaksanaan peraturan masa cuti. Hal ini dikarenakan pekerja
yang sudah menikah memiliki masa cuti yang berbeda, apabila melahirkan dan gugur kandungan diberi cuti, sedangkan responden yang belum menikah
memperoleh waktu cuti yang sama. Akan tetapi baik responden laki-laki maupun perempuan yang belum menikah tidak memberikan persepsi yang berbeda dengan
responden yang sudah menikah. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh nilai probabilitas sig untuk persepsi
perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja sebesar 0,021 yang berarti nilainya lebih kecil dari 0,05 p0,05. Artinya status pernikahan memiliki hubungan yang
nyata dengan persepsi tentang pelaksanaan peraturan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Perusahaan memberikan pekerja perlindungan kesehatan dan
keselamatan kerja yang sama tidak dibedakan antara pekerja yang sudah dan belum menikah. Kemungkinan ada faktor lain yang mempengaruhi perbedaan
persepsi responden yang sudah menikah dan belum menikah, apabila sudah punya anak seharusnya perusahaan menyediakan juga tempat menyusui bayi pada saat
waktu kerja.
7.3 Hubungan antara Relasi Gender dalam Pembagian Kerja dengan Persepsi Pekerja tentang Pelaksanaan Peraturan Kerja Perusahaan
Hubungan antara relasi gender dalam pembagian kerja reproduktif dan produktif dengan persepsi tentang pelaksanaan peraturan kerja upah, jaminan
sosial, masa cuti, perlindungan dan keselamatan kerja dianalisis dengan menggunakan uji Rank-Spearman. Hasil pengujian hubungan tersebut tersaji
dalam Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Hasil Pengujian Hubungan antara Relasi Gender dalam Pembagian
Kerja dengan Persepsi Pekerja tentang Pelaksanaan Peraturan Kerja Perusahaan
Keterangan : Berhubungan nyata pada p0,05
Relasi Gender dalam Pembagian
Kerja Persepsi
Upah Jaminan
Sosial Masa Cuti
Perlindungan Kesehatan dan
Keselamatan kerja Reproduktif
Produktif -0.043
0,138 -0,028
0,062 -0,133
0,162 -0,247
0,052
Berdasarkan Tabel 11 di atas terlihat bahwa hanya ada satu relasi gender dalam pembagian kerja yang berhubungan dengan persepsi pekerja tentang
pelaksanaan peraturan kerja perusahaan. Relasi gender dalam pembagian kerja tersebut yaitu reproduktif berhubungan nyata dengan persepsi pekerja tentang
pelaksanaan peraturan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Dengan demikian hipotesis keempat yang menyatakan “Terdapat hubungan nyata antara
relasi gender dalam pembagian kerja dengan persepsi pekerja tentang pelaksanaan peraturan kerja perusahaan dan persepsi pekerja tentang pelaksanaan peraturan
kerja perusahaan ditinjau dari konsep KKG” ditolak, karena hanya ada satu variabel karakteristik yang berhubungan nyata dan yang lainnya tidak memiliki
hubungan nyata. Relasi gender dalam pembagian kerja di keluarga responden dalam bidang
reproduktif lebih banyak dikerjakan oleh perempuan. Responden dalam penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan yang berstatus pekerja di suatu perusahaan,
yang berarti bekerja dalam bidang produktif. Dengan hal ini responden perempuan bertanggung jawab untuk bekerja dalam bidang reproduktif dan
produktif, sehingga perempuan mengalami beban kerja. Hasil pengujian pada Tabel 11 di atas terlihat bahwa relasi gender dalam
pembagian kerja pada bidang reproduktif tidak memiliki hubungan yang nyata dengan persepsi tentang pelaksanaan peraturan upah, jaminan sosial dan masa
cuti, karena memiliki nilai probabilitas sig lebih besar dari 0,05 p0,05. Sedangkan relasi gender dalam pembagian kerja dalam bidang reproduktif
memiliki hubungan yang nyata dengan persepsi tentang pelaksanaan peraturan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja dengan nilai probabilitas sig
0,023 dimana nilainya lebih kecil dari 0,05 p0,05. Hal ini dikarenakan responden yang memiliki beban kerja yaitu responden yang bekerja reproduktif
sekaligus produktif akan cepat lelah atau kecapean sehingga memerlukan perlindungan untuk kesehatan dan keselamatan kerja yang baik.
Hubungan antara relasi gender dalam pembagian kerja bidang produktif dengan persepsi pekerja tentang pelaksanaan peraturan kerja perusahaan baik
pelaksanaan peraturan upah, jaminan sosial, masa cuti, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja tidak memiliki hubungan yang nyata karena memiliki nilai
probabilitas sig lebih besar dari 0,05 p0,05. Hal ini dikarenakan responden yang bekerja dalam bidang produktif telah merasa hak-haknya dalam pelaksanaan
peraturan kerja perusahaan telah terpenuhi. Seluruh pekerja baik laki-laki maupun perempuan memperoleh upah sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten UMK,
perusahaan memberikan kenaikan upah secara berkala setiap satu tahun sekali. Pekerja memperoleh jaminan kesehatan, hari tua, jaminan kematian dan
diasuransikan. Pekerja juga memperoleh masa cuti sesuai dengan peraturan dan upah tetap dibayar penuh selama masa cuti. Perusahaan juga menyediakan
poliklinik meskipun pelaksanaannya kurang baik dan P3K meskipun obat-obatan yang tersedia tidak lengkap dan tempatnya jauh dari tempat kerja.
BAB VIII PERSEPSI PEKERJA TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN KERJA