78
1. Lama tinggal dengan P-Value sebesar 0.092 yang artinya bahwa variabel ini
berpengaruh nyata terhadap nilai WTA rumahtangga dengan taraf nyata α =
0.10. Nilai koefisien bertanda negatif - berarti jika rumahtangga yang memiliki lama tinggal yang lebih lama, maka nilai WTA akan semakin kecil.
Rumahtangga yang telah lama tinggal di pemukiman ini kurang mengetahui perkembangan nilai NJOP sehingga nilai WTA semakin kecil.
2. Jarak ke sumber bising dengan P-value sebesar 0.055 yang artinya bahwa
variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA rumahtangga dengan taraf nyata
α = 0.10. Nilai koefisien bertanda positif + berarti jika rumahtangga tinggal semakin jauh ke sumber bising, maka nilai WTA akan semakin besar.
Hal ini dikarenakan semakin jauh jarak rumah ke sumber bising, maka tingkat risiko semakin kecil sehingga nilai WTA yang diberikan lebih besar
dibandingkan rumahtangga yang memiliki rumah lebih dekat dengan sumber bising. Hasil pengolahan data yang menunjukkan variabel jarak ke sumber
bising merupakan variabel yang signifikan, maka pengolahan data dapat lebih spesifik yaitu pengolahan data berdasarkan strata jarak ke sumber bising.
Hasil pengolahan data tersebut dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 9.
7.4. Kebijakan Ekonomi Sosial Lingkungan Pemukiman di Dekat Jalur KRL
Pengelolaan lingkungan
di Indonesia
khususnya di Jakarta memang belum berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pemukiman yang padat
baik di lahan milik penduduk sendiri atau lahan milik pemerintah. Pemukiman padat ini sebagian terletak pada wilayah yang kurang baik untuk dijadikan
pemukiman, yaitu salah satunya pemukiman di dekat jalur KRL. Kenyataannya memang pemukiman lebih dulu dibangun dibandingkan jalur KRL yaitu sebelum
79
peresmian jalur KRL. Peresmian elektrifikasi jalur KRL ini bersamaan dengan hari ulang tahun ke 50 Staats Spoorwegen perusahaan kereta api milik Belanda,
sekaligus juga peresmian stasiun Tanjung Priuk yang baru yaitu pada 6 April 1925. Elektrifikasi jalur KRL yang mengelilingi kota Batavia Jakarta selesai
pada 1 Mei 1927 . Elektrifikasi tahap selanjutnya dilakukan pada jalur KRL rute Batavia Jakarta Kota-Buitenzorg Bogor dan mulai dioperasionalkan pada
tahun 1930. Jalur kereta listrik di Batavia ini menandai dibukanya sistem angkutan umum massal yang ramah lingkungan, yang merupakan salah satu
sistem transportasi paling maju di Asia pada zamannya. Kereta listrik pada masa itu telah menjadi andalan para penglaju commuter untuk bepergian, terutama
bagi para penglaju yang bertempat tinggal di Bogor dan bekerja di Jakarta Kondisi pemukiman yang telah lama berdiri ini, memang sulit untuk
dilaksanakan ganti rugi. Hal ini dikarenakan lamanya jarak waktu dari adanya jalur KRL hingga saat ini. Rencana pemerintah untuk mengganti rugi yang sudah
lama terdengar namun masih ditutup-tutupi dan terkesan mengulur-ulur waktu membuat masyarakat terkadang resah dan merasa dipermainkan. Sebagian dari
masyarakat bersedia menerima jika ada rencana ganti rugi dengan syarat pemerintah sungguh-sungguh melaksanakan rencana ini dan bersedia memberikan
ganti rugi yang sesuai sehingga kedua belah pihak yaitu masyarakat dan pemerintah masing-masing merasa diuntungkan. Namun, sebagian masyarakat
lainnya mengharapkan ganti rugi tidak dilaksanakan, mereka hanya ingin adanya perbaikan kondisi perbatasan jalur KRL dengan pemukiman diantarannya, adanya
tembok atau tanaman seperti pohon-pohon sebagai pengurang risiko kecelakaan dan kebisingan. Hal ini dikarenakan pembatas yang terbuat dari besi telah banyak
yang rusak sehingga terkadang terjadi kecelakaan karena masyarakat yang
80
menyeberang tidak pada tempatnya. Selain itu, kebersihan juga menjadi permasalahan penting yang terjadi, para penumpang KRL sering membuang
sampah sembarangan yaitu, dengan membuangnya saat kereta sedang berjalan melalui jendela atau pintu kereta sehingga membuat perbatasan jalur KRL dan
pemukiman menjadi kotor. Kriminalitas juga terkadang terjadi salah satunya adalah penumpang kereta yang sebagian besar pelajar kerap kali melempar batu
ke arah pemukiman penduduk, sehingga membuat masyarakat geram. Oleh sebab itu, kebijakan ganti rugi sebaiknya secepatnya dilaksanakan oleh pemerintah
dengan cara yang tidak merugikan salah satu pihak dan berjalan dengan damai karena pada kenyataannya banyak rencana ganti rugi yang berjalan dengan
kekerasan dan tindak kriminal. Hal ini tentunya tidak pernah diharapkan terjadi baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Rencana ini tidak hanya diterapkan
pada wilayah pemukiman dekat jalur KRL tetapi juga wilayah yang tidak baik untuk dijadikan pemukiman sehingga akan tercipta tata lingkungan yang baik
yang tidak membahayakan dan memberikan kenyamanan bagi kehidupan masyarakat.
81
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan