subsidi bidang lain bantuan langsung tunai, beras miskin, kartu sehat, beasiswa, dan lain-lain.
2.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Harga Premium
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 55 tahun 2005 telah diatur bahwa harga ekonomis BBM didasarkan pada Mean of Platts Singapore MOPS atau
harga rata-rata yang digunakan oleh negara Singapura. Selain itu, ada penambahan biaya distribusi dan margin yang akan diterima PT. Pertamina, yang
disebut dengan faktor alpha. Selain kedua faktor tersebut, dalam perhitungan BBM ditambahkan pula pajak.
2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Subsidi BBM merupakan salah satu yang menarik perhatian masyarakat luas karena berhubungan dengan pengeluaran riil mereka. Subari pada tahun 2008
menganalisis tentang dampak kebijakan penurunan subsidi BBM terhadap indikator makroekonomi. Penelitian ini difokuskan pada indikator-indikator
makroekonomi seperti inflasi, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah dan neraca pembayaran. Hasilnya, jika pemerintah menurunkan
jumlah subsidi BBM atau menaikkan harga BBM akan berdampak pada terjadinya inflasi namum tidak terlalu signifikan, terjadinya penurunan pertumbuhan
nasional, terjadinya peningkatan pengangguran, menurunnya nilai tukar rupiah relatif terhadap mata uang asing dan terjadinya defisit neraca pembayaran.
Pada tahun 1998, terjadi guncangan ekonomi politik di dalam negeri. Hal ini memengaruhi kebijakan pemerintah pada tahun 2000 untuk mengurangi
jumlah subsidi BBM. Nikensari dan Trianoso pada tahun 2003 menganalisis dampak penurunan subsidi BBM terhadap perekonomian Indonesia dengan model
analisa komputasi keseimbangan umum. Data yang digunakan adalah data yang dibangun pada tahun 2000 dengan menggunakan tahun dasar data tahun 1998.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah menyebabkan harga beberapa komoditas meningkat. Tetapi untuk jangka pendek,
kenaikan harga BBM masih berdampak positif pada variabel PDB dan variabel ekonomi lainnya, sedangkan untuk jangka panjang apabila kondisi perekonomian
tidak lebih baik dari kondisi perekonomian pada tahun 1998, maka akan menyebabkan penurunan persentase PDB dan variabel ekonomi lainnya.
Subsidi non-BBM memiliki peran yang penting juga dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Patriadi dan Handoko pada tahun 2005 melakukan
analisis evaluasi kebijakan subsidi non BBM subsidi pupuk, beras, suku bunga, kredit, obligasi publik, raskin. Analisis ini menggunakan penghitungan beban
fiskal subsidi non-BBM terhadap APBN dan membandingkannya selama beberapa tahun dengan anggaran yang berbeda di Indonesia. Mereka menemukan
bahwa beban subsidi non-BBM terhadap APBN ternyata relatif lebih ringan daripada beban subsidi BBM. Meskipun subsidi BBM memiliki porsi yang besar
dalam APBN, subsidi non-BBM perlu dipertahankan untuk membantu masyarakat yang memiliki daya beli rendah.
Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, memiliki kebijakan subsidi BBM yang responsif dengan tingkat konsumsi BBM. Granado,
Coady dan Gillingham 2010 menganalisis ketidakseimbangan manfaat dari subsidi BBM terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Penelitian
mereka memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang mereka observasi. Mereka menganalisis dampak langsungnya berdasarkan data pengeluaran BBM
untuk memasak, listrik dan transportasi. Hasilnya, peningkatan harga BBM pada tahun 2003 hingga tahun 2008 memiliki dampak yang signifikan pada tingkat
kesejahteraan rumah tangga. Beberapa negara dengan kebijakan harga jual BBM yang cukup tinggi mencerminkan tingkat pendapatan negara tersebut yang cukup
tinggi juga. Hal ini membuat subsidi BBM menjadi salah satu instrumen kebijakan yang sangat penting dalam melindungi rumah tangga miskin dalam
menghadapi tingginya harga minyak dunia. Transparansi dalam memberikan informasi tentang subsidi BBM kepada publik dapat mendukung reformasi dalam
subsidi BBM.
2.4 Kerangka Pemikiran