Respon Pengemudi Jasa Transportasi Angkutan Umum Kota (Angkot) Kota Bogor Terhadap Kenaikan Harga BBM Jenis Premium

(1)

1.1 Latar belakang

Indonesia merupakan negara pengekspor dan pengimpor, baik untuk minyak mentah (crude oil) maupun produk-produk minyak (oil product) termasuk bahan bakar minyak. Produksi minyak mentah Indonesia saat ini menunjukan trend yang menurun sehingga perlu dilakukannya impor minyak bumi untuk memenuhi permintaan kebutuhan minyak mentah dalam negeri.

Tabel 1. Produksi dan Impor Minyak Bumi Indonesia Tahun 2004-2011 Tahun Produksi (Ribu Barel) Impor (Ribu Barel)

2005 341.203 148.489.589

2006 322.350 118.302.860

2007 305.137 116.232.183

2008 312.484 115.811.511

2009 301.663 97.005.665

2010 300.872 120.119.377

2011* 289.445 101.093.030

Sumber: Ditjen Migas, 2011 Keterangan: *Data sementara

Bahan Bakar Minyak (BBM) memegang peranan sangat penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu: 1) sebagai bahan baku produksi, 2) bahan bakar proses industrialisasi, dan 3) sebagai komoditas ekspor penghasil devisa negara (Ditjen Migas, 2005).

Harga BBM di Indonesia dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak dunia, yang mengakibatkan pemerintah menggunakan asumsi harga minyak dunia dalam menentukan harga BBM dan penentuan dalam menyusun APBN. Pemerintah menyepakati harga minyak mentah yang diasumsikan dalam APBN sebesar US$ 90 per barel dengan anggaran untuk pengadaan subsidi energi khususnya BBM pada RAPBN 2012 adalah sebesar 123.599,7 miliar rupiah, sedangkan selama Februari rata-rata harga minyak mentah sudah mencapai US$ 122,17 per barel. Hal ini juga diikuti dengan peningkatan konsumsi solar dan premium dari 35,8 juta kilo liter pada tahun 2010 menjadi 38.5 juta kilo liter pada tahun 2011 lalu (Ditjen Migas, 2012).


(2)

Besarnya harga dan jumlah konsumsi BBM berdampak langsung pada besarnya anggaran yang harus dialokasikan oleh pemerintah dalam APBN.

Tabel 2. Produksi dan Konsumsi BBM Indonesia Tahun 2005-2010 Tahun Konsumsi BBM (Ribu Barel) Produksi BBM (Ribu Barel)

2005 397.802 268.530

2006 374.691 257.821

2007 383.453 244.296

2008 388.107 251.531

2009 379.142 24.289

2010 388.241 254.433

Sumber: Ditjen Migas (2011)

Peningkatan konsumsi BBM membuat permintaan akan subsidi BBM juga semakin meningkat, sehingga harus adanya penanggulangan akan hal ini. Pemerintah berencana menaikan harga BBM bersubsidi pada 1 April 2012, dengan segala pertimbangan kenaikan harga BBM bersubsidi ditunda sampai enam bulan mendatang seiring dengan pengamatan lonjakan harga minyak dunia.

Saat ini, harga BBM di Indonesia jenis premium sebesar Rp 4.500 dan Solar Rp 4.500, dengan harga tersebut masih cenderung lebih rendah apabila dibandingkan dengan harga BBM negara lain seperti Malaysia harga eceran bensin yang disubsidi sebesar RM 1.90 atau dirupiahkan menjadi Rp 5.753 (Ditjen Migas, 2012).

Kenaikan harga BBM yang direncanakan pemerintah bukanlah kejadian pertama, sebelumnya pada bulan Mei 2008 harga rata-rata minyak mentah Indonesia mencapai US$ 121 per barel. Pada saat itu, pemerintah terpaksa menaikan harga premium dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.000 per liter. Per 1 Desember 2008 harga premium menjadi Rp 5.500 per liter karena rata-rata minyak mentah Indonesia turun menjadi US$ 95,87 per barel diturunkan kembali harga BBM sampai dengan Rp 4.500 (Ditjen Migas, 2011)

Premium dan solar merupakan jenis BBM bersubsidi yang mulai diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia sejak Tahun 1977. Sasaran subsidi BBM khususnya pada bidang transportasi adalah kendaraan bermotor milik


(3)

pemerintah, transportasi darat bermotor yang memakai plat kuning, sepeda motor, sumua jenis ambulance, mobil jenazah dan mobil pemadam kebakaran. Saat ini, BBM bersubsidi yang paling banyak dikonsumsi adalah jenis premium.

BBM menjadi faktor produksi utama dalam semua aktivitas usaha yang dilakukan oleh manusia begitupun dalam bidang jasa transportasi angkutan umum kota (angkot). Meningkatnya jumlah penduduk akan berdampak kepada meningkatnya jumlah pemakaian jasa angkutan umum karena tidak semua masyarakat memiliki kendaraan pribadi. Jumlah kendaraan yang semakin meningkat menyebabkan besaran konsumsi BBM akan terus meningkat.

Kenaikan harga BBM tentunya akan berdampak pada setiap kegiatan yang menggunakan BBM. Transportasi nasional menjadi pemegang peranan penting dalam mendukung pembangunan nasional, sehingga apabila terjadi peningkatan harga BBM secara tidak langsung akan mengganggu proses pembangunan ekonomi nasional. Pengaruh tidak langsung lainnya yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga BBM adalah meningkatnya harga sarana produksi dan barang-barang konsumsi.

Tabel 3. Jumlah Kendaraan Bermotor Jawa Barat dan Jenis Kendaraan (unit) Tahun 2008-2010

Tahun Mobil Penumpang Bus Truk Sepeda Motor Jumlah Total 2008 507.552 162.705 451.495 2.126.612 3.248.364 2009 526.508 171.000 451.987 2.378.188 3.527.683 2010* 548.641 177.578 469.412 2.615.527 3.811.158 Sumber : BPS, Statistik Indonesia 2011

Keterangan : * angka sementara

Jasa transportasi angkutan umum kota yang disebut angkutan kota (angkot) merupakan jenis angkutan umum masal yang mengangkut orang untuk mencapai suatu tujuan lokasi tertentu. Karakteristik kendaraan yang dimiliki angkot mempermudah menurunkan dan menaikan penumpang dimana saja dengan rute wilayah tertentu. Masyarakat yang tidak memiliki kendaraan pribadi akan memilih angkutan kota (angkot) dalam membantu setiap aktivitas mereka sehingga angkot menjadi sangat penting karena menjadi pilihan banyak masyarakat.


(4)

Tabel 4. Jumlah Angkutan Umum Kota (Angkot) Kota Bogor Tahun 2007-2009 Tahun Jumlah Angkutan Kota (unit)

2007 3.443

2008 3.452

2009 3.316

Sumber : Dishub Kota Bogor , 2011

Kota Bogor dengan jumlah penduduk sebesar 946.204 jiwa pada tahun 2009 merupakan salah satu wilayah yang cukup padat penduduk di Jawa Barat (BPS, 2011). Banyaknya jumlah penduduk Kota Bogor diimbangi dengan banyaknya jumlah angkutan kota (angkot) yang dimiliki oleh Kota Bogor.

1.2 Perumusan Masalah

Konsumsi minyak Indonesia yang tinggi yang tidak disertai dengan tingginya produksi minyak mentah dalam negeri menyebabkan pemerintah melakukan impor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Naiknya harga minyak dunia akan menyebabkan naiknya penerimaan pendapatan negara. Namun, pada saat yang sama pengeluaran negara akan turut naik.

Setiap kenaikan harga sebesar US$ 1 barel, dengan asumsi kurs Rp 9.000 per dolar akan menaikan penerimaan sebesar Rp 3,37 triliun. Namun, kenaikan US$ 1 per barel itu juga meningkatkan pengeluaran negara yang berasal dari kenaikan subsidi BBM sebesar Rp 2,83 triliun, subsidi listrik Rp 280 milyar, dana bagi hasil untuk daerah Rp 470 milyar dan kenaikan anggaran pendidikan sebesar Rp 720 milyar jadi total pengeluaran negara sebesar Rp 4,3 triliun. Setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1 per barel, APBN harus menanggung beban tambahan Rp 900 milyar (Kementerian ESDM, 2012).

Dengan perhitungan sebelumnya, Kementerian ESDM memperkirakan apabila harga BBM bersubsidi dinaikan sebesar Rp 1.000 maka akan menghemat anggaran sebesar Rp 21 triliun, dan jika harga BBM bersubsidi dinaikkan sebesar Rp 1.500 maka akan menghemat anggaran sebesar Rp 23 triliun. Jika harga BBM bersubsidi dinaikan sebesar Rp 2.000 maka akan menghemat Rp 33 triliun (Kementerian ESDM, 2012).

Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi tentunya akan menyebabkan muncul berbagai tanggapan pro dan kontra dari masyarakat.


(5)

Fauziah (2003) mengungkapkan bahwa kenaikan harga BBM pada 17 Januari 2002 telah berdampak pada menurunnya pendapatan usaha nelayan khususnya di Pelabuhan Ratu. Kenaikan harga BBM menyebabkan terjadinya ketidakstabilan harga dan konsumsi. Begitu pula dengan pendapatan yang akan diterima oleh jasa angkutan umum kota (angkot), perubahan harga BBM jenis premium akan menurunkan pendapatan yang akan di terima.

Harga BBM saat ini adalah Rp 4.500 per liter, sedangkan harga BBM dunia adalah Rp 8.400 per liter, sehingga besaran subsidi BBM per liter adalah Rp 3.900 per liter. Usulan pada RAPBN 2012, rencana harga BBM bersubsidi dinaikkan sebesar Rp 1.500 per liter menjadi Rp 6.000 per liter. Kenaikan harga tersebut akan menjadikan besarnya harga subsidi BBM yang akan ditanggung oleh pemerintah dalam APBN menjadi sebesar Rp 2.400 per liter (Ditjen Migas, 2011)

Posisi BBM yang memengaruhi biaya produksi pada suatu usaha serta fungsi transportasi sebagai penggerak roda perekonomian suatu wilayah membuat kedua faktor tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kenaikan harga BBM akan diikuti oleh kenaikan biaya industri transportasi khususnya angkutan kota (angkot). Kenaikan BBM tersebut menyebabkan kenaikan tarif angkutan yang akan dibebankan oleh masyarakat sebagai pengguna jasa transportasi ini. Kenaikan tarif akan mendorong masyarakat untuk beralih menggunakan kendaraan roda dua karena masyarakat beranggapan akan lebih hemat dan cepat apabila menggunakan kendaraan roda dua dibandingkan dengan angkutan kota, akibatnya terjadi penurunan jumlah pengguna alat transportasi angkutan kota (angkot). Keadaan tersebut akan menurunkan penerimaan pendapatan yang diperoleh pengemudi angkutan kota (angkot) sehingga menyebabkan tingginya respon tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM.

Kajian mengenai bagaimana respon pengemudi jasa angkutan umum kota (angkot) mengenai adanya rencana kenaikan harga BBM akan dikaji lebih lanjut pada penelitian ini, alasan pengambilan penelitian jasa angkutan umum kota (angkot) karena alat transportasi ini banyak digunakan oleh masyarakat suatu wilayah dan mendominasi angkutan di setiap perkotaan yang ada di Indonesia.


(6)

Berkenaan dengan latar belakang yang telah dipaparkan, maka masalah yang akan diteliti adalah:

1. Menghitung besarnya Willingness to Pay pengemudi jasa transportasi angkutan umum kota (angkot) dalam kenaikan harga BBM dan faktor-faktor yang memengaruhinya.

2. Bagaimana respon dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi respon setuju atau tidak setuju pengemudi jasa angkutan umum kota (angkot) terhadap kenaikan harga BBM.

1.3 Tujuan

Tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah:

1. Menghitung besarnya Willingness to Pay pengemudi jasa angkutan umum kota (angkot) terhadap kenaikan harga BBM.

2. Menganalisis bagaimana respon dan faktor-faktor yang memengaruhi respon setuju atau tidak setuju pengemudi jasa angkutan umum kota (angkot) terhadap kenaikan harga BBM.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, diantaranya:

1. Bagi akademisi dan peneliti khususnya dalam subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan faktor-faktor yang memengaruhinya.

2. Bagi pemerintah Kota Bogor, agar tetap memerhatikan kebijakan yang akan dipilih terkait kesesuaian tarif angkutan umum kota (angkot), yang diimbangi dengan besarnya kesedian membayar jasa transportasi angkutan umum kota (angkot).

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) wilayah penelitian dibatasi pada wilayah Kotamadya Bogor; (2) objek penelitian adalah pengemudi jasa transportasi angkutan umum kota (angkot) di wilayah penelitian sebagai responden; (3) responden adalah pengemudi angkot Kota Bogor; (4) harga BBM bersubsidi yang akan dibahas di sini adalah BBM jenis premium.


(7)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Bahan Bakar Minyak

Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia, yang dalam pengolahan dan penyalurannya dikuasai oleh negara. Hal ini sesuai dengan pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan pemerintah ditetapkan sebagai pemegang kuasa pertambangan. Secara etimologi, minyak (petroleum) berasal dari dua kata, yaitu: Petro yang berarti batu dan leaum yang memiliki arti minyak. Minyak merupakan campuran kimia yang disebut hydrocarbons karena terdiri atas campuran molekul karbon dan hidrogen. Pembentukan minyak diawali dari sedimentasi sisa-sisa tumbuhan dan binatang yang terkubur selama jutaan tahun dan sebagian besar terjadi di bawah dasar lautan. Material-material organik tersebut membentuk reservoir-reservoir minyak. Bahan bakar minyak adalah suatu senyawa organik yang dibutuhkan dalam suatu pembakaran dengan tujuan untuk mendapatkan energi. Bahan bakar minyak merupakan hasil dari destilasi minyak bumi (crude oil) menjadi fraksi-fraksi yang diinginkan. Pembagian BBM ke dalam fraksi-fraksi mengakibatkan dikenalnya berbagai macam produk BBM dengan tingkat kualitas yang berbeda serta kegunaan yang berbeda pula (Pertamina, 2002).

Produk-produk yang termasuk ke dalam kategori BBM adalah (Pertamina, 2002):

1. Avgas (Aviation Gasoline), merupakan BBM jenis khusus yang dihasilkan dari fraksi minyak bumi yang dirancang untuk bahan bakar pesawat udara dengan tipe mesin sistem pembakaran dalam (internal combution), mesin piston dengan sistem pengapian. Kinerja Avgas tergantung pada sifat anti ketukan yang di sebut dengan angka oktan (Octane Number) untuk harga di bawah 100 serta angka perilaku (performence number) di atas 100.

2. Avtur (Aviation Turbine), yaitu jenis BBM yang khusus dihasilkan dari frakasi minyak bumi. Avtur digunakan untuk bahan bakar pesawat udara


(8)

dengan tipe mesin turbin (external combution). Kinerja Avtur ditentukan oleh sifat kebersihan, sifat pembakaran dan sifat pada suhu rendah.

3. Bensin, jenis bahan bakar minyak ini merupakan nama umum untuk beberapa jenis BBM yang diperuntukkan untuk mesin dengan pembakaran dengan letupan api. Nilai mutu yang dimiliki setiap jenis berbeda yang dihitung berdasarkan nilai RON (Randon Octane Number). Kemudian dibedakan menjadi menjadi dua jenis yaitu:

1) Premium (RON 88) atau motor gasoline atau petrol: merupakan bahan bakar minyak jenis distilat berwarna kekuningan yang jernih. Penggunaan jenis ini adalah untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin bensin .

2) Pertamax (RON 92) : Pertamax direkomendasikan untuk kendaraan yang diproduksi diatas tahun 1990 terutama yang telah menggunakan teknologi setara dengan electronic fuel injection dan catalytic converters.

4. Minyak Tanah (Kerosene), merupakan BBM jenis distilat tidak berwarna jernih. Minyak tanah biasanya digunakan untuk keperluan bahan bakar rumah tangga dan sebagian kecil jenis industri.

5. Minyak Solar, yaitu BBM jenis distilat yang digunakan untuk mesin “compreession ignition” yaitu mesin diesel yang dikompresi pada langkah induksi adalah udara yang dikompresi menimbulkan tekanan dan panas yang tinggi sehingga dapat membakar solar yang disemprotkan oleh injector. Jenis mesin diesel dengan kecepatan tinggi (di atas 100 rpm) banyak menggunakan jenis BBM ini.

6. Minyak Diesel atau Industrial Diesel Oil (IDO) atau Marine Diesel Fuel (MDF), yaitu BBM jenis distilat yang mengandung fraksi-fraksi yang merupakan campuran dari distilat fraksi ringan dan berat (residual fuel oil) dan berwarna hitam gelap dan tetap cair pada suhu rendah. Penggunaan minyak diesel pada umumnya oleh kendaraan-kendaraan dengan putaran sedang atau lambat (300-1000 rpm) dan juga digunakan pada pembakaran langsung dalam dapur-dapur industri.


(9)

7. Minyak Bakar atau Merine Fuel Oil merupakan BBM jenis residu bukan distilat serta berwarna hitam gelap. Minyak bakar lebih kental daripada minyak diesel dan mempunyai titik tuang (pour point) yang lebih tinggi dari minyak diesel. Minyak bakar digunakan pada pembakaran langsung dalam dapur-dapur industri besar, pembangkit listrik tenaga uap dan kegiatan lainnya yang cukup ekonomis.

Harga BBM di Indonesia adalah harga yang diatur oleh pemerintah dan berlaku sama di seluruh wilayah Indonesia. Pada dasarnya, pemerintah bersama DPR menetapkan harga BBM setelah memerhatikan biaya-biaya pokok penyediaan BBM yang diberikan Perusahaan Tambang Minyak dan Gas (Pertamina) serta tingkat kemampuan (willingness to pay) masyarakat. Belakangan, dalam upaya menyesuaikan harga BBM di dalam negeri dengan perkembangan harga BBM internasional, dikeluarkan Keputusan Presiden yang memungkinkan Pertamina untuk secara berkala menyesuaikan penyesuaian harga otomatis tersebut tidak terus dapat dipertahankan.

2.1.2 Transportasi

Transportasi berasal dari kata Latin yaitu tranportare, di mana trans berarti seberang atau sebelah dan portare berarti mengangkut atau membawa. Sehingga transportasi dapat didefinisikan sebagai mengangkut atau membawa (sesuatu) ke sebelah lain atau dari suatu tempat ke tempat lainnya. Ini berarti transportasi merupakan suatu jasa yang diberikan, guna menolong orang dan barang untuk dibawa dari suatu tempat ke tempat lainnya.

Menurut Undang-undang No 4 Pasal 3 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Transportasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan yang cepat dan efisien. Angkutan darat sebagai bagian dari sistem transportasi secara keseluruhan turut memberikan kontribusi yang sangat besar dalam meningkatkan perekonomian di suatu wilayah, terlihat pada daerah yang memiliki jaringan angkutan darat sebagai sarana yang dapat membantu mempercepat proses kegiatan manusia.

Transportasi kota atau angkutan kota, merujuk kepada kendaraan umum dengan rute yang sudah ditentukan. Tidak seperti bus yang mempunyai halte


(10)

sebagai tempat perhentian yang sudah ditentukan, angkutan kota dapat berhenti untuk menaikan atau menurunkan penumpang di mana saja dengan karakter kendaraan kecil, kepemilikan sebagian besar adalah individu, untuk melayani rute jarak pendek yang penetapannya dilakukan oleh pemerintah. Angkutan Kota (angkot) sampai saat ini masih mendominasi pelayanan angkutan perkotaan di kota-kota Indonesia dalam UU No. 22 tahun 1998.

2.1.3 Subsidi

Subsidi kepada konsumen dapat diberlakukan apabila manfaat sosial marjinal lebih besar dibandingkan manfaat privat marginal. Sebaliknya, subsidi kepada produsen dapat diberlakukan bila manfaat privat marjinal lebih besar dibandingkan manfaat sosial marginal (Mangkoesoebroto, 2001).

Subsidi merupakan pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah keluaran (output). Pengertian lainnya, subsidi adalah salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang juga diartikan sebagai pajak negatif yang akan menambah pendapatan mereka yang menerima subsidi atau mengalami peningkatan pendapatan riil apabila mereka mengkonsumsi atau membeli barang-barang yang disubsidi oleh pemerintah dengan harga jual yang rendah. Subsidi dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy) (Suparmoko, 2003).

2.1.4 Permintaan

Jumlah komoditi total yang ingin dibeli oleh masyarakat rumah tangga merupakan jumlah yang diminta (quantity demanded) untuk komoditi tersebut (Lipsey, 1993). Banyaknya barang yang akan dibeli semua rumah tangga pada periode waktu tertentu dipengaruhi oleh variabel, harga barang itu sendiri, rata-rata penghasilan rumah tangga, harga barang substitusi, selera, distribusi pendapatan dan besarnya populasi (Lipsey, 1993).


(11)

Suatu hipotesis ekonomi dasar bahwa harga suatu barang dan kuantitas yang akan diminta berhubungan secara negatif dengan faktor lain tetap sama. Dengan kata lain, semakin rendah harga suatu barang maka jumlah yang akan diminta untuk komoditi itu akan semakin besar, dan semakin tinggi harga semakin rendah jumlah yang diminta (Marshall).

Harga

P

Permintaan

Q Jumlah

Gambar 1. Surplus Konsumen Marshallian

Subsidi akan memengaruhi besarnya harga barang, sehingga semakin rendah harga suatu barang maka jumlah yang akan diminta untuk barang tersebut akan semakin besar. Begitupun sebaliknya semakin besar harga suatu barang maka akan semakin sedikit jumlah permintaan akan barang tersebut (Hanley and Spash, 1993)

2.1.5 Willingnes To Pay (WTP)

Secara umum, Willingnes To Pay (WTP) atau kemauan/keinginan untuk membayar didefinisikan sebagai jumlah yang dapat dibayarkan seorang konsumen untuk memperoleh suatu barang atau jasa. WTP adalah harga maksimum dari suatu barang yang ingin dibeli oleh konsumen pada waktu tertentu. Sedangkan pengertian WTP pada berapa kesanggupan konsumen untuk membeli suatu barang. WTP itu sebenarnya adalah harga pada tingkat konsumen yang merefleksikan nilai barang atau jasa dan pengorbanan untuk memperolehnya. Disisi lain, WTP ditujukan untuk mengetahui daya beli konsumen berdasarkan persepsi konsumen (Fauzi, 2006)

Konsep WTP konsumen terhadap suatu barang atau jasa harus dimulai dari konsep utilitas, yaitu manfaat atau kepuasan karena mengkonsumsi barang atau


(12)

jasa pada waktu tertentu. Setiap individu ataupun rumah tangga selalu berusaha untuk memaksimumkan utilitasnya dengan pendapatan tertentu yang kemudian menentukan jumlah permintaan barang atau jasa yang akan dikonsumsi. Permintaan diartikan sebagai jumlah barang atau jasa yang mau atau ingin dibeli atau dibayar (Willingness to Buy or Willingness to Pay) oleh konsumen pada harga tertentu dan waktu tertentu. Utilitas yang akan didapat oleh seorang konsumen memiliki kaitan dengan harga yang dibayarkan yang dapat diukur dengan WTP. Sejumlah uang yang ingin dibayarkan oleh konsumen akan menunjukan indikator utilitas yang diperoleh dari barang

Konsep WTP yang digunakan melalui pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) yang merupakan pendekatan yang pada dasarnya menanyakan secara langsung kepada masyarakat berapa maksimum WTP untuk manfaat tambahan dan atau berapa besarnya maksimum Willingness to Accept (WTA) sebagai kompensasi dari kerusakan barang lingkungan (Hanley dan Spash, 1993)

Tahap yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu mendapatkan penawaran besarnya nilai WTP dan memperkirakan nilai rata-rata WTP (Hanley dan Spash, 1993). Memperkirakan penawaran besarnya nilai WTP dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk memeroleh nilai WTP, yaitu:

a. Bidding Game, yaitu metode tawar menawar di mana responden ditawarkan sebuah nilai tawaran yang dimulai dari nilai terkecil hingga nilai terbesar hingga mencapai nilai WTP maksimum yang sanggup dibayarkan oleh responden.

b. Closed-ended Referendum, yaitu dengan memberikan sebuah nilai tawaran tunggal kepada responden, baik responden setuju ataupun responden tidak setuju dengan nilai tersebut.

c. Payment Card, yaitu nilai tawaran yang disajikan dalam bentuk kisaran nilai yang dituangkan dalam sebuah kartu yang mungkin mengindikasikan tipe pengeluaran responden terhadap barang atau jasa publik yang diberikan.


(13)

d. Open-ended quation, yaitu suatu metode pertanyaan terbuka tentang WTP maksimum yang sanggup mereka berikan dengan tidak adanya nilai tawaran sebelumnya.

2.1.6 Model Logit

Model Logit adalah model regresi non-linear yang menghasilkan sebuah persamaan dimana variabel tak bebas bersifat kategorikal paling dasar dari model tersebut menghasilkan binary value seperti angka 0 dan 1. Angka yang dihasilkan mewakili suatu kategori tertentu yang dihasilkan dari perhitungan probabilitas terjadinya kategori tersebut. Bentuk dasar probabilitas dalam model logit dapat dijelaskan pada Tabel 5.

Tabel 5. Probabilitas dalam Model Logit Yi Probabilitas

0 1-Pi

1 Pi

Total 1

Sumber: Gujarati (2003)

Gujarati (2003) menjelaskan bahwa penggunaan model logit seringkali digunakan data dalam klasifikasi. Contoh penggunaan data tersebut seperti dalam kategori dalam kepemilikan rumah, dimana 0 memiliki arti tidak memiliki rumah dan 1 memiliki arti memiliki rumah.

Penentuan kepemilikan rumah tersebut dipengaruhi oleh variabel-variabel interikat. Variabel-variabel bebas tersebut dapat bersifat baik nominal, interval, dan rasio.       − = P P Li 1 ln

di mana Li adalah Logit. Bentuk (P/1-P) disebut rasio kecenderungan (odds ratio).

2.1.7 Analisis CrosstabsChi Square

Analisis Crosstabs merupakan analisis dasar untuk hubungan antar variabel kategori (nominal-ordinal) (Trihendradi, 2009). Penambahan variabel kontrol untuk mempertajam analisis sangat dimungkinkan. Crosstabs data digunakan unutk mengetahui hubungan atau distribusi respon antara variabel data dalam


(14)

bentuk baris dan kolom. Sedangkan analisis Crosstabs-Chi Square adalah suatu analisis hubungan antara variabel data nominal (Yamin, 2009).

Crosstabs digunakan untuk menggambarkan jumlah data dan hubungan antar variabel. Selain itu, untuk menguji ada tidaknya hubungan antar variabel minimal nominal dilakukan uji hipotesis.

Uji ketergantungan untuk crosstabs pada statistik ditentukan melalui Uji Chi-Square dengan mengamati ada tidaknya hubungan antar variabel yang dimasukan (baris dan kolam).

Penentuan Uji Chi-Square menggunakan hipotesis yaitu: H0 : Tidak ada hubungan antara baris dan kolom

H1 : Ada hubungan antara baris dan kolom

2.1.8 Regresi Linear Berganda

Analisis regresi linear berganda merupakan suatu metode yang digunakan untuk menguraikan pengaruh variabel-variabel independen yang memengaruhi variabel dependennya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data cross section. Menurut Gujarati (2006) metode OLS dapat digunakan jika dipenuhi asumsi-asumsi sebagai berikut:

a. Varians bersyarat dari residual adalah konstan atau homoskedastik. b. Tidak ada autokolerasi dalam residual.

c. Variasi residual menyebar normal.

d. Nilai rata-rata dari unsur residual sama dengan nol.

e. Nilai-nilai peubah tetap untuk contoh-contoh yang berulang. f. Tidak ada hubungan linear sempurna antara peubah bebas.

2.1.9 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Studi mengenai Apakah persoalannya pada subsidi BBM tinjauan terhadap masalah subsidi BBM, ketergantungan pada minyak bumi, manajemen energi nasional dan pembangunan infrasruktur energi menguraikan tentang pengertian dasar, praktek, dan kritik mengenai subsidi BBM yang diterapkan di Indonesia. Dikemukakan perkembangan perdagangan perdagangaan minyak bumi yang dilakukan indonesia. Langkah keluar dari perangkap subsidi BBM, bahwa


(15)

sebagian masalah subsidi BBM dapat diatasi melalui pengembangan manajemen energi nasional, yang menekankan efisiensi konsumsi BBM dan pengembangan diversifikasi sumber energi. Upaya tersebut dipertegas melalui rencana pembangunan infrastruktur energi (Nugroho, 2005)

Penelitian mengenai efektivitas dan kompensasi subsidi dan dampak penghapusan subsidi BBM di Indonesia dengan hasil penelitian kenaikan harga BBM sebesar 10 persen–15 persen maka akan terjadi kontraksi pada perekonomian nasional (Esta Lestari, 2004).

Penelitian tentang kesediaan dalam membayar terhadap produk organik telah dilakukan oleh banyak peneliti diluar negeri. Di Yunani, Krystallis dan Chryssohodis (2005) yang meneliti tentang consumer willingness to pay for organic food, menggunakan analisis faktor menghasilkan pemilihan solusi enam faktor berdasarkan 16 dari 22 variabel awal. Faktor-faktor ini menyumbang total 63,3 persen dari total varian dijelaskan oleh model. Peneliti menyebut faktor pertama yaitu “kualitas dan keamanan” terdiri dari pelebelan, bahan baku, wilayahnegara asal, penggunaan metode tradisional, dan sertifikasi proses produksi. Faktor ke dua disebut “kepercayaan” terdiri dari kepercayaan dalam kualitas lebel atau logo, badan makanan kepercayaan sertifikasi, dan kepercayaan para pedagang yang menjual produk-produk bersertifikat. Faktor ke tiga disebut dengan faktor “indera” terdiri dari variabel warna cerah, rasa, aroma. Faktor ke 4 disebut “sensitifitas” terdiri dari variabel harga dan diskon. Faktor ke 5 dan ke 6 disebut “kenyamanan” dan “brand name value”. Peneliti menyatakan bahwa yang menyebabkan konsumen berani untuk membayar lebih mahal untuk produk organik adalah anggapan mereka tentang produk tentang produk organik yang kualitasnya lebih baik serta aman dikonsumsi.

2.2 Kerangka Pemikiran

Kenaikan harga minyak dunia saat ini, tidak diimbangi dengan cadangan minyak bumi mentah yang dimiliki oleh Indonesia. Permintaan akan minyak bumi semakin meningkat dan produksi justru mengalami trend yang sebaliknya, sehingga untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri Indonesia harus mengimpor minyak bumi.


(16)

Harga BBM yang disubsidi saat ini sudah tidak sesuai dengan anggaran yang diajukan oleh pemerintah di dalam RAPBN 2012. Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan pembengkakan pada anggaran sehingga akan menyebabkan defisit APBN. Dalam RAPBN 2012, jumlah subsidi BBM diperkirakan lebih kecil bila dibandingkan dengan jumlah subsidi yang terealisasi. Sampai pada bulan Maret tahun 2012, harga minyak mentah dunia melonjak hingga US$ 120 per barel. Padahal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012, pemerintah menetapkan subsidi sebesar Rp 123 triliun dengan asumsi harga minyak US$ 90 per barel. Hal tersebut juga akan menyebabkan terjadinya defisit APBN (Ditjen Migas, 2012)

Kenaikan harga minyak dunia dan pertimbangan defisit APBN memaksa pemerintah untuk melakukan tindakan pencegahan dalam mengatasi defisit APBN. Pencegahan yang dilakukan dengan meningkatkan harga jual bahan bakar minyak (BBM). Tentunya hal ini akan membuat banyak respon yang beragam dari masyarakat atau pelaku ekonomi. Sebagian masyarakat setuju dengan kebijakan tersebut, sebagian masyarakat lain tidak setuju dengan kebijakan menaikan harga BBM. Mereka yang tidak setuju mengenai rencana pemerintah menaikan harga BBM beranggapan naiknya BBM akan memicu terjadinya peningkatan harga bahan-bahan kebutuhan sehari-hari.

Begitupun dengan transportasi angkutan umum kota atau angkot akan terkena dampak secara langsung karena alat transportasi tesebut menggunakan bahan bakar minyak dalam menjalankan mesin kendaraan. Angkot merupakan kendaraan yang sebagian besar menggunakan bahan bakar bersubsidi jenis premium. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai implikasi rencana kenaikan harga BBM terhadap jasa transportasi angkutan umum kota wilayah Kota Bogor. Kerangka pemikiran operasional dapat disajikan pada Gambar 2.


(17)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional

2.3 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan kerangka pemikiran, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Jarak tempuh memiliki pengaruh negatif terhadap respon kenaikan harga BBM, sebab jarak tempuh menunjukkan berapa banyak BBM yang dikonsumsi. Semakin jauh jarak yang ditempuh maka akan semakin tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM.

2. Usia memiliki pengaruh negatif terhadap respon kanaikan harga BBM, sebab semakin bertambah usia maka akan semakin tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM. Hal ini dikarenakan semakin bertambahnya usia maka lapangan pekerjaan yang akan diperoleh akan semakin kecil.

3. Jumlah tanggungan memiliki pengaruh negatif terhadap respon kenaikan harga BBM. Hal ini terkait dengan besarnya pengeluaran responden setiap hari. Semakin banyak jumlah tanggungan maka akan semakin tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM dikarenakan akan bertambahnya pengeluaran mereka.

Willingness to pay

Respon dan faktor-faktor yang memengaruhi respon jasa transportasi angkutan umum kota

Rekomendasi untuk Kebijakan Implikasi terhadap jasa

angkutan umum kota (angkot)

Jasa transportasi angkutan umum kota

Rencana kenaikan harga BBM Besarnya subsidi pada

APBN

Kenaikan harga minyak dunia Konsumsi dan produksi BBM Indonesia


(18)

4. Pengaruh pemakaian BBM per hari memiliki hubungan yang negatif terhadap respon kenaikan harga BBM. Hal ini menunujukkan semakin meningkatnya pemakaian BBM perhari maka akan semakin tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM dikarenakan responden harus membayar lebih mahal untuk membeli BBM.

5. Lama waktu berkendaraan perhari memiliki hubungan positif terhadap respon kenaikan harga BBM. Semakin lama berkendaraan maka akan memengaruhi respon setuju dengan adanya kenaikan harga BBM dikarenakan semakin lama berkendaraan maka pendapatan yang diterima akan semakin tinggi.


(19)

II. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Bogor. Pemilihan wilayah dilakukan dengan pertimbangan wilayah tersebut memiliki jumlah angkutan umum kota (angkot) mencapai 3412 pada tahun 2012 (Dishub, 2012).

Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2012, meliputi pembuatan kuesioner, pengumpulan data primer, pengumpulan data sekunder, dan pembahasan.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Pada penelitian ini data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini untuk menjawab bagaimana respon setuju atau tidak kenaikan harga BBM dari pengemudi jasa transportasi angkutan umum (angkot) yang menggunakan bahan bakar bersubsidi jenis premium, diperoleh melalui survey dengan menggunakan teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data Sekunder diperoleh dari, Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan, Direktorat Jendral Minyak dan Gas, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Dinas Perhubungan dan Transportasi kota Bogor, serta Dinas Pendapatan Daerah Kota Bogor.

3.3 Metode Pengumpulan Contoh

Metode pengambilan sampel data primer dalam penelitian ini menggunakan metode Convenience Sampling (Accidental Sampling). Pemilihan teknik ini karena tidak semua anggota populasi memiliki peluang yang sama bagi unsur atau anggota populasi yang telah diberi nomor urut (Juanda, 2009). Dalam hal ini penentuan sampel berdasarkan kebetulan di mana apabila pengemudi angkutan umum bersedia untuk di wawancarai maka orang tersebut akan menjadi responden. Sampel yang diwawancarai sebanyak 60 sampel. Pengambilan responden 60 orang berdasarkan asumsi kenormalan jumlah data lebih dari sama dengan 30 responden.


(20)

3.4 Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis secara kualitatif dan kuantiatif. Kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program software Microsoft Excel 2010 dan SPSS version 16.0 for windows. Metode analisis data dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Metode Analisis Data Berdasarkan Tujuan Penelitian

No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis

1

Analisis besarnya Willingness to Pay pengemudi angkutan umum kota terhadap kenaikan harga BBM

Wawancara dengan media kuesioner kepada responden

Perhitungan dugaan rataan, regresi linear berganda

2

Respon kenaikan harga BBM dan faktor-faktor yang memengaruhi respon pengemudi jasa angkutan umum Kota Bogor terhadap kenaikan harga BBM Wawancara dengan media kuesioner kepada responden Analisis regresi logit, crosstabs

3.5 Analisis Besaran Willingness To Pay Responden Terhadap Kenaikan Harga BBM

Analisis WTP menggunakan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) merupakan pendekatan yang pada dasarnya menanyakan secara langsung kepada masyarakat berapa besarnya maksimum Willingness to Pay (WTP) untuk manfaat tambahan dan atau berapa besarnya maksimum Willingness to Accept (WTA) sebagai kompensasi dari kerusakan barang lingkungan (Hanley dan Spash, 1993).

Tahap-tahap yang dilakukan pada penelitian ini adalah (Hanley dan Spash, 1993):

1. Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP

Untuk mendapatkan nilai penawaran yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Payment Card (metode nilai kisaran) yaitu responden diberikan nilai kisaran yang mungkin mengindikasikan tipe pengeluaran responden untuk nilai moneter (rupiah ingin dibayar) untuk kesanggupan membayar kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium. Metode ini dipilih karena peneliti ingin lebih menyempitkan pilihan nilai rupiah yang dibayar oleh responden dari kenaikan harga BBM bersubsidi.


(21)

2. Memperkirakan Besaran Rata-rata WTP

Setelah wawancara dilakukan dengan media kuesioner maka untuk mengetahui berapa besaran kesediaan membayar responden, WTP dapat diduga dengan nilai tengah dari kelas atau interval WTP responden ke-i. Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui WTP yang benar berada antar jawaban yang dipilih. Dugaan rataan WTP dibagi dengan rumus :

WTP = Wi, Pfi Keterangan :

WTP = Dugaan WTP (rupiah)

Wi = Batas bawah WTP pada kelas ke- i Pfi = Frekuensi relatif kelas ke-i

n = Jumlah kelas i = Sampel

3.6 Analisis Crosstabs

Fungsi dari analisis crosstabs adalah untuk menggambarkan jumlah data dan hubungan antarvariabel. Pada uji statistik ditentukan melalui Uji Chi-Square dengan mengamati ada tidaknya hubungan antarvariabel yang dimasukan (baris dan kolom).

Penentuan Uji Chi-Square menggunakan hipotesis yaitu:

H0 : Faktor yang diuji tidak berhubungan nyata dengan respon responden

H1 : Faktor yang diuji berhubungan nyata dengan respon responden

Pengambilan keputusan dengan menggunakan nilai Asymp. Sig. (2-sided) yang terdapat pada Chi-Square Test. Apabila nilai Asymp. Sig. (2-sided) lebih dari 0,05 maka H0 diterima. Apabila nilai Asymp. Sig. (2-sided) kurang dari 0,05

maka H0 ditolak yang artinya ada hubungan antara baris dan kolam (Wahana,

2007).

3.7 Analisis Model Logit

Penentuan tingkat penerimaan responden terhadap pembayaran jasa lingkungan sebagai upaya konservasi dikumpulkan melalui data binner. Data binner merupakan bentuk data yang menggambarkan pilihan “ya atau tidak”.


(22)

Dengan kondisi seperti ini, jenis penggunaan regresi yang sesuai untuk pemodelan adalah regresi logit. Hal yang membedakan model regresi logit dengan regresi biasa adalah peubah terikat dalam model bersifat dikotomi (Hosmer dan Lameshow, 1989). Bentuk fungsi ini model logit adalah :

      − = pi 1 pi log Logit(pi) e

Logit(pi) = β0 + β1JRKi+ β2USIAi+ β3JTGi+ β4 JBBMi+ β5LBi+ εi di mana:

Logit(pi) = Peluang responden setuju atau tidak dengan kenaikan harga BBM (bernilai 1 untuk “setuju” dan bernilai 0 untuk “tidak setuju”)

β0 = Intersep

β1, β2,β3,..,β5 = Koefisien dari regresi JRΚ = Jarak tempuh (km) USIA = Usia responden (tahun) JTG = Jumlah tanggungan (orang)

JBBM = Jumlah BBM yang digunakan per hari (liter) LB = Lama Waktu Berkendaraan per hari (jam)

ε = Galat

Pengujian terhadap parameter model dilakukan untuk memeriksa kebaikan model. Uji statistik yang dilakukan adalah dengan menggunakan statistik rasio odd, uji G atau likelihood ratio, dan statistik uji Wald.

1. Rasio Odd

Rasio odd merupakan rasio peluang terjadi pilihan-1 terhadap peluang terjadi pilihan-0 (Juanda, 2009). Koefisien bertanda positif menunjukan nilai rasio odd yang lebih besar dari satu, hal tersebut mengindikasikan bahwa peluang kejadian sukses lebih besar dari peluang kejadian tidak sukses. Sedangkan koefisien yang bertanda negatif mengindikasikan bahwa peluang kejadian tidak sukses lebih besar dari peluang kejadian sukses (Juanda, 2009).

2. Uji G

The log-likelihood biasa dikenal sebagai – 2 LL (- two times the loglikelihood) di mana nilai tersebut dapat memperkirakan distribusi chi-squere (


(23)

χ 2) dan memungkinkan penentuan level signifikansi. Statistik uji G adalah uji rasio kemungkinan maksimum (likelihood ratio test) yang digunakan untuk menguji peranan variabel penjelas secara serentak. Rumus umum untuk uji G atau Likelihood Ratio adalah (Hosmer dan Lemeshow, 1989):

G = - 2 ln

Pengujian terhadap hipotesis pada uji G adalah sebagai berikut: H0 : ß1= ... = ßn = 0

H1 : minimal ada satu nilai ß1tidak sama dengan nol, dimana i = 1,2,3,...,n

Statistik G akan mengikuti sebaran χ 2 dengan derajat bebas α. Kriteria keputusan yang diambil adalah jika G lebih besar dari χ 2p(a) maka hipotesis nol ditolak. Uji G juga dapat digunakan untuk memeriksa apakah nilai yang diduga dengan variabel di dalam model lebih baik jika dibandingkan dengan model tereduksi (Hosmer dan Lemeshow, 1989).

3. Uji Wald

Uji wald digunakan untuk uji nyata parsial bagi masing-masing koefisien variabel. Dalam pengujian hipotesa, jika koefisien dari variabel penjelas sama dengan nol, hal ini berarti variabel penjelas tidak berpengaruh pada variable respon. Uji wald mengikuti sebaran normal baku dengan kaidah keputusan menolak H0 jika W lebih besar dari Zα/2 atau p-value kurang dari α. (Hosmer dan

Lemeshow, 1989).

3.8 Regresi Linear Berganda

Suatu model dikatakan baik apabila bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator), yaitu memenuhi asumsi klasik atau terhindar dari masalah-masalah multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Untuk itu dilakukan uji untuk terhadap model apakah terjadi penyimpangan-penyimpangan asumsi klasik. Setiap estimator OLS harus memenuhi kriteria BLUE, yaitu best (yang

terbaik), linear (merupakan fungsi linear dari sampel), unbiased (rata-rata nilai harapan (E(bi) harus sama dengan nilai yang sebenarnya (bi)), efficient estimator


(24)

3.8.1 Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model regresi, variabel bebas dan variabel terikatnya mempunyai distribusi normal atau tidak. Suatu model regresi dikatakan baik, apabila memiliki distribusi normal ataupun mendekati normal. Normalitas dapat dideteksi dengan melihat gambar histogram, tetapi seringkali polanya tidak mengikuti bentuk kurva normal, sehingga sulit untuk disimpulkan. Pada penggunakan software SPSS, dapat dilihat berdasarkan nilai Asymp. Sig. (2-tailed) pada N-par test, jika nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari alpha, maka data terdistribusi normal.

3.8.2 Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel-variabel eksogen dalam persamaan regresi berganda. Jika nilai R2 yang diperoleh tinggi (antara 0,8 dan 1) tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang signifikan pada taraf uji tertentu dan tanda keofisien regresi dugaan tidak sesuai teori maka model yang digunakan berhubungan dengan masalah multikolinearitas (Gujarati, 1997).

Hal utama yang menyebabkan terjadinya multikolinearitas pada model regresi yaitu kesalah teoritis dalam pembentukan model fungsi regresi yang dipergunakan atau terlampau kecilnya jumlah pengamatan yang akan dianalisis dengan model regresi.

Tindakan perbaikan terhadap multikolinearitas dapat dilakukan dengan berbagai alternatif sebagai berikut:

1. Menggunakan extraneous atau informasi sebelumnya. 2. Mengkombinasikan data cross section dan data time series. 3. Membuang variabel yang berkorelasi.

4. Mentransformasikan data.


(25)

3.8.3 Uji Autokorelasi

Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa tidak ada autokorelasi atau korelasi serial antara error term (εt). Dengan pengertian lain, error term menyebar bebas atau Cov(εi, εj) = E(εi, εj) = 0, untuk semua i ≠ j. Jika antar error term tidak bebas atau E (εi, εj) ≠ 0, untuk semua i ≠ j, maka terdapat masalah autokorelasi (Juanda, 2009). Autokorelasi sering terjadi pada data time series, dimana error term pada suatu periode waktu secara sistematik tergantung kepada error term pada periode-periode waktu yang lain.

Konsekuensi dari adanya autokorelasi yaitu varian yang diperoleh dari estimasi dengan ECM bersifat under estimate, yaitu nilai varian parameter yang diperoleh lebih kecil daripada nilai varian yang sebenarnya.

Cara mendeteksi ada tidaknya autokorelasi bisa dilakukan dengan melihat nilai Durbin Watson (DWstatistik), kemudian membandingkannya dengan DWtabel.

Sebuah model dapat dikatakan terbebas dari autokorelasi jika nilai DWstatistik

terletak di area nonautokorelasi. Penentuan area tersebut dibantu dengan nilai tabel dl dan du. Pengujian menggunakan hipotesis sebagai berikut (Juanda, 2009): H0 : Tidak terdapat autokorelasi

H1 : Terdapat autokorelasi

Tabel 7. Kerangka Identifikasi Autokorelasi

Nilai DW Hasil

< DW < 4 Tolak , korelasi serial negatif < DW < Hasil tidak dapat ditentukan 2 < DW < Terima , tidak ada korelasi serial

< DW < 2 Terima , tidak ada korelasi serial < DW < Hasil tidak dapat ditentukan 0 < DW < Tolak , korelasi serial positif Solusi dari masalah autokorelasi adalah:

1. Penghilangan variabel yang sebenarnya berpengaruh terhadap variabel endogen.

2. Kesalahan spesifikasi model. Hal tersebut diatasi dengan mentransformasi model, misalnya dari model linear menjadi model non linear atau sebaliknya.


(26)

3.8.4 Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi yang penting dari model regresi linear klasik adalah varian residual yang konstan (homoskedastisitas). Rumusan homoskedatisitas adalah sebagai berikut:

Var(εi) = E(εi2) = σ2

di mana:

εi = unsur disturbance,

σ = nilai varians.

Apabila asumsi tersebut tidak terpenuhi maka varian residual tidak lagi bersifat konstan disebut dengan heteroskedastisitas. Konsekuensi dari adanya heteroskedastisitas yaitu:

a. Estimasi dengan menggunakan ECM tidak akan lagi memiliki varian yang minimum atau estimator tidak efisien.

b. Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varian yang tinggi sehingga prediksi menjadi tidak efisien.

Uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi apakah data yang diamati terjadi heteroskedastisitas atau tidak yaitu dengan uji White Heteroskedasticity. Apabila nilai probability Obs*R-Square lebih kecil dari taraf nyata berarti terdapat gejala heteroskedastisitas pada model, dan sebaliknya.

3.9 Pengujian Statistik Analisis Regresi 3.9.1 Koefisiensi Determinasi (R2)

Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur kedekatan hubungan antara variabel bebas yang digunakan dengan variabel terikat. Koefisien determinasi adalah angka yang menunjukkan besarnya proporsi atau persentase variasi variabel terikat yang dijelaskan oleh variabel bebas secara bersama-sama. Besarnya R2 berada diantara 0 dan 1 (0<R2<1). Hal ini menunjukkan bahwa semakin mendekati satu, nilai R2 berarti dapat dikatakan bahwa model tersebut baik. Karena semakin besar hubungannya antara variabel bebas dengan variabel terikat. Dengan kata lain, semakin mendekati satu maka variasi variabel terikat hampir seluruhnya dipengaruhi dan dijelaskan oleh variabel bebas.


(27)

3.9.2 Uji F-statistic

Uji F-statistic digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen yang digunakan dalam penelitian secara bersama-sama signifikan memengaruhi variabel dependen. Nilai F-statistic yang besar lebih baik dibandingkan dengan F-statistic yang rendah. Nilai Prob(F-statistic) merupakan tingkat signifikansi marginal dari F-statistic. Dengan menggunakan hipotesis pengujian sebagai berikut:

H0 : β1 = β2 =…= βk =0

H1 : minimal ada salah satu βi yang tidak sama dengan nol

Tolak H0 jika F-statistic lebih besar dari F α(k-1,NT-N-K) atau

Prob(F-statistic) lebih kecil dari α. Jika H0 ditolak, maka artinya dengan tingkat keyakinan 1-α kita dapat menyimpulkan bahwa variabel independen yang digunakan di dalam model secara bersama-sama signifikan memengaruhi variabel dependen.

3.9.3 Uji t-statistic

Uji t-statistic digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Tolak H0 jika t-statistic lebih besar dari t α/2(NT-K-1) atau (t-statistic) lebih kecil dari α. Jika H0 ditolak, maka artinya dengan tingkat keyakinan 1-α kita dapat

menyimpulkan bahwa variabel independen ke-i secara parsial memengaruhi variabel dependen.

3.10 Variabel Penelitian

Variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah respon (setuju atau tidak setuju) pengemudi angkutan kota (angkot) terhadap kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium, sementara variabel-variabel bebas yang digunakan adalah jarak (JRK), usia (USIA), jumlah tanggungan (JTG), jumlah premium per hari (JBBM) serta lamanya berkendara (LB).


(28)

3.11 Definisi Operasional Penelitian

Berikut ini adalah definisi operasional variabel pada penelitian ini:

a. Variabel terikat yang digunkan memiliki jawaban bernilai nol dan satu dimana:

• 0 = jika responden tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM • 1 = jika responden setuju terhadap kenaikan harga BBM b. Jarak Tempuh (JRK)

Mencerminkan jarak yang ditempuh responden selama berkendaraan. Variabel ini diduga dapat memengaruhi responden untuk merespon setuju atau tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM, karena semakin jauh jarak yang ditempuh oleh responden peluang tidak setuju akan semakin dengan alasan karena akan memperbesar pengeluaran yang dibutuhkan untuk membeli BBM jenis premium.

c. Usia (USIA)

Variabel ini diduga dapat memengaruhi responden untuk merespon setuju atau tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM semakin bertambah usia maka akan semakin tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM. Hal ini dikarenakan terbatasnya lapangan pekerjaan yang dikhususkan untuk usia lanjut.

d. Jumlah Tanggungan (JTG)

Variabel ini mencerminkan jumlah anggota keluarga yang ditanggung oleh responden. Variabel ini diduga berpengaruh karena jumlah tanggungan terkait dengan besarnya pengeluaran responden setiap hari, semakin besar jumlah tanggungan responden maka peluang tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM akan semakin besar karena akan berdampak pada kenaikan harga kebutuhan sehari-hari yang harus dikeluarkan oleh responden.

e. Jumlah Pemakaian BBM (JBBM)

Variabel ini mencerminkan jumlah BBM jenis premium yang dikonsumsi oleh responden setiap hari. Variabel ini diduga akan memengaruhi responden terhadap respon setuju atau tidak kenaikan harga BBM. Jika semakin besar jumlah pemakaian BBM maka peluang untuk tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM


(29)

akan semakin tidak setuju karena akan memperbesar alokasi biaya yang harus dikeluarkan oleh responden untuk memenuhi kebutuhan konsumsi BBM.

f. Lama Waktu Berkendaraan (LB)

Variabel ini melihat lamanya waktu berkendaraan responden dalam satu hari dengan menggunakan satuan jam. Respon pengemudi yang di analisis pada variabel ini, yaitu semakin lama berkendaraan per hari maka peluang untuk setuju terhadap kenaikan harga BBM akan semakin tinggi bila dibandingkan dengan respon tidak setuju. Hal tersebut dikarenakan responden akan menerima pendapatan lebih tinggi dengan semakin lamanya waktu berkendaraan.


(30)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Karakteristik Responden Jasa Transportasi Angkutan Umum Kota (Angkot) yang Berbahan Bakar Premium di Kota Bogor

Jasa transportasi angkutan umum kota ini digunakan sebagai sarana transportasi yang paling dominan keberadaannya di setiap wilayah perkotaan sehingga yang menjadi responden adalah angkot Kota Bogor baik yang memiliki pangkalan atau yang tidak memiliki pangkalan angkot.

Trayek angkutan kota di Kota Bogor memiliki jumlah 23 trayek dengan jumlah unit sebanyak 3412 unit pada Tahun 2012 (Dishub, 2012). Penentuan tarif angkutan yang diberlakukan oleh pemerintah daerah atau Dinas Perhubungan (Dishub, 2012). Selain itu pemerintah daerah Kota Bogor membuat beberapa peraturan mengenai rute jarak yang ditempuh tiap-tiap trayek dan beberapa trayek diberlakukan ‘Shift’ atau pembagian jam kerja, pembagian Shift ini diberlakukan hanya beberapa trayek.

Shift ini dimaksudkan agar tidak terjadinya kelebihan jumlah angkutan kota (angkot) dan menghindari kemacetan yang terjadi dibeberapa wilayah Kota akibat terlalu banyaknya kendaraan. Adapun trayek-trayek yang menjadi responden disajikan pada Tabel 8.

Tabel. 8 Banyaknya Jumlah Angkutan Umum Kota (angkot) yang Menjadi Responden

No. Trayek Jumlah Responden (orang)

1. 01 5

2. 02 8

3. 03 18

4. 05 1

5. 07 7

6. 08 1

7. 09 8

8. 14 1

9. 15 2

10. 16 2

11. 19 7


(31)

4.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Respon terhadap Kenaikan Harga BBM

Respon pengemudi transportasi jasa angkutan umum terhadap kenaikan harga BBM, diperoleh sebanyak 60 responden yang dimintai pendapatnya mengenai kenaikan harga BBM, sebanyak 46 responden menyatakan tidak setuju dengan adanya kenaikan harga BBM dan 14 responden menyatakan setuju dengan kenaikan harga BBM.

Responden yang tidak setuju memiliki alasan yang sama yaitu apabila terjadi kenaikan harga BBM akan manaikan harga bahan kebutuhan pokok serta akan menaikan harga setoran kepada pemilik mobil angkot karena seluruh responden yang memberikan keterangan bukanlah pemilik mobil, sehingga dengan kenaikan BBM menyebabkan naiknya setoran yang harus mereka bayar.

Responden yang setuju dengan kenaikan harga BBM memilikibeberapa alasan diantaranya pendapatan yang didapatkan responden bukan hanya dihasilkan dari pendapatan trayek tetapi responden memiliki pendapatan lain, sehingga menurut responden naiknya harga BBM tidak akan berpengaruh besar terhadap pendapatan yang dihasilkan.

Kenaikan harga BBM akan diikuti dengan kenaikan tarif angkutan kota (angkot) karena penentuan tarif dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan bagi responden untuk merespon setuju terhadap kenaikan harga BBM.

Sumber : Data primer, Kota Bogor (2012)

Gambar 3. Respon Setuju atau Tidak Pengemudi Jasa Transportasi Angkutan Umum Kota terhadap Kenaikan Harga BBM


(32)

Pengemudi angkutan umum kota (angkot) yang setuju lebih sedikit dibandingkan dengan pengemudi yang tidak setuju terlihat dari besarnya persentase responden yang tidak setuju sebanyak 77 persen, dan besarnya responden yang menyatakan setuju dengan adanya kenaikan harga BBM sebesar 23 persen.

4.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Besaran Willingnes to Pay

(WTP) Harga BBM

Pilihan kesediaan membayar responden telah ditentukan berada pada nilai-nilai yaitu kisaran Rp 4.500 , Rp 5.000 , Rp 5.500, Rp 6.000. Kisaran tersebut dibuat karena adanya rencana pemerintah menaikan BBM sampai dengan Rp 6.000. Nilai harga BBM yang berlaku saat ini yaitu Rp 4.500 menjadi salah satu pilihan WTP dikarenakan beberapa responden tidak menginginkan adanya kenaikan harga BBM.

Sumber : Data Primer, Kota Bogor (2012)

Gambar 4. Distribusi Responden Berdasarkan WTP per Liter

Gambar 4 menunjukan bahwa responden terbanyak berada pada WTP Rp 5.000 sebanyak 26 responden. Besaran jumlah responden yang paling sedikit berada pada nilai WTP Rp 6.000, hal ini disebabkan karena responden yang memiliki pekerjaan lain di luar trayek hanya sedikit dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki pekerjaan lain di luar trayek sehingga pendapatan yang diterima dari trayek yang dijalankan lebih kecil responden kecil yang kemudian mengakibatkan kecilnya nilai kemampuan membayar atas kenaikan harga BBM.


(33)

Tabel 9. Hubungan Antara Respon dengan Willingness To Pay Harga BBM

Respon WTP Total

Rp 4000-5000 Rp >5000-6000

Tidak Setuju 37 9 46

Setuju 8 6 14

Total 45 15 60

Pada Tabel 9 dapat dilihat hubungan yang terjadi antara respon dengan willingness to pay yang mampu dibayar responden berada pada kisaran harga Rp 4000-5000 dengan jumlah responden sebanyak 45 responden. Hal tersebut dapat disimpulkan semakin rendah willingness to pay yang mampu mereka bayar akan semakin memiliki respon tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM.

4.1.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jarak Tempuh Selama Berkendaraan

Jarak tempuh responden dimulai dari jarak tempuh 5 km sampai dengan 15 km dalam berkendaraan. Jarak tempuh tersebut merupakan ketetapan dari peraturan yang dibuat oleh pemerintah Kota Bogor. Distribusi jarak tempuh berkendaraan dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber: Data Primer, Kota Bogor (2012)

Gambar 5. Distribusi Responden Berdasarkan Jarak Tempuh

Berdasarkan Gambar 5 terlihat banyaknya responden barada pada jarak tempuh lebih besar dari 10 sampai dengan 15 km sebanyak 44 responden dan jarak tempuh 5 km sampai dengan 10 km sebesar 16 responden atau 27 persen.


(34)

Tabel 10. Hubungan Antara Respon dengan Jarak yang Ditempuh

Respon Jarak yang ditempuh (km) Total 5-10 >10-15

Tidak Setuju 11 35 46

Setuju 5 9 14

Total 16 44 60

Tabel 10 menunjukan bahwa data responden yang diambil untuk wawancara sebesar 16 responden mempunyai karakteristik jarak tempuh berkendara sebesar 5-10 km bahwa hubungan antara respon dengan jarak yang ditempuh, mayoritas dari responden yang tidak setuju berada pada jarak tempuh >10-15 km. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin jauh jarak yang ditempuh maka akan semakin memberikan respon tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM.

4.1.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan

Sebagian besar responden memiliki tanggungan tiga orang terdiri dari dua anak dan satu istri, banyaknya jumlah tanggungan mengindikasikan banyaknya pengeluaran yang harus dialokasikan oleh responden, sehingga semakin banyak jumlah tanggungan akan menyebabkan respon tidak setuju terhadap kenaikkan harga BBM. Alokasi yang tinggi untuk membeli BBM dengan pendapatan yang tidak bertambah akan mengurangi kesejahteraan responden. Distribusi jumlah tanggungan ini terlihat pada Gambar 6.

Sumber: Data Primer, Kota Bogor (2012)


(35)

Gambar 6 menunjukan responden yang memiliki jumlah tanggungan terbanyak terdapat pada responden dengan jumlah tanggungan sebesar tiga orang atau 42 persen dari keseluruhan dan pada jumlah tanggungan dua orang sebanyak 19 orang, dengan jumlah tanggungan satu orang, sebanyak enam responden, dan jumlah tanggungan empat orang sebanyak enam responden.

Tabel 11. Hubungan Antara Respon dengan Jumlah Tanggungan

Respon

Jumlah Tanggungan (orang)

Total

1-3 4-6

Tidak Setuju 38 8 46

Setuju 12 2 14

Total 50 10 60

Tabel 11 menggambarkan hubungan antara respon dengan jumlah tanggungan, terlihat bahwa mayoritas dari responden yang tidak setuju memiliki jumlah tanggungan sebanyak 1-3 orang.

4.1.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Pemakaian Bahan Bakar Minyak Jenis Premium

Pemakaian BBM jenis premium terbesar terdapat pada 11 sampai dengan 15 liter per hari. Pemakaian BBM oleh pengemudi tergantung berapa lama waktu berkendaraan dan seberapa jauh jarak tempuh berkendaraan, sehingga pada Gambar 7 terlihat distribusi pada jumlah pemakain harga BBM cukup bervariatif.

Sumber: Data Primer, Kota Bogor (2012)

Gambar 7. Distribusi Responden Berdasarkan Pemakaian Bahan Bakar Minyak Jenis Premium per Hari


(36)

Semakin banyak pemakaian BBM per hari akan memberikan dampak semakin tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM, karena memengaruhi banyaknya biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi konsumsi jumlah BM yang kemudian akan berpengaruh pada berkurangnya pendapatan yang diterima. Tabel 12. Hubungan Antara Respon dengan Jumlah BBM yang Digunakan per

Hari

Respon

Jumlah BBM Yang Digunakan Perhari (Liter)

Total >5-10 >11-15 >15-20 >20-25

Tidak Setuju 5 39 1 1 46

Setuju 3 10 1 0 14

Total 8 49 2 1 60

Tabel 12 menjelaskan hubungan antara respon dengan jumlah BBM yang digunakan perhari. Terlihat bahwa respon angkot yang tidak setuju dengan adanya kenaikan harga BBM berada pada jumlah >11-15 liter per hari. Hal ini mengindikasikan semakin banyak jumlah BBM yang digunakan per hari akan semakin tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM.

4.1.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Waktu Berkendaraan Rata-rata lamanya responden dalam berkendara berada pada kisaran lima sampai dengan sepuluh jam per hari dengan jumlah responden sebanyak 42 responden. Kisaran tersebut muncul dikarenakan adanya peraturan daerah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah yang membatasi waktu berkendaraan pada beberapa trayek atau biasa disebut peraturan shift. Dibatasinya lama waktu berkendaraan menyebabkan sulitnya responden menambah jumlah pendapatan yang diterima yang kemudian memengaruhi banyaknya respon tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM. Distribusi lama waktu berkendaraan terlihat pada Gambar 8.


(37)

Sumber: Data Primer, Kota Bogor (2012)

Gambar 8. Distribusi Responden Terhadap Lama Waktu Berkendaraan per Hari

Hubungan respon setuju atau tidak terhadap kenaikan harga BBM terlihat pada Tabel 13, yang dapat di artikan bahwa semakin lama waktu berkendaraan per hari akan memberikan peluang lebih besar untuk responden merespon setuju dengan adanya kenaikan harga BBM.

Tabel 13. Hubungan Antara Respon dengan Lama Waktu Berkendara per Hari

Respon Lama Waktu Berkendara Total 5-10 jam 11-15 jam

Tidak setuju 36 10 46

Setuju 6 8 14

Total 42 18 60

4.1.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Trayek per Hari Besarnya pendapatan per hari yang diterima oleh responden terbanyak berada pada kisaran 0 sampai dengan Rp 50.000 per hari sebanyak 82 persen dari keseluruhan responden. Hal tersebut dikarenakan adanya peraturan mengenai jarak, waktu berkendaraan dan besaran tarif angkutan pengguna jasa transportasi ini yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah, dengan adanya peraturan tersebut menyebabkan sulitnya responden mendapatkan pendapatan tinggi dari pendapatan trayek.


(38)

Sumber: Data Primer, Kota Bogor (2012)

Gambar 9. Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Trayek Tabel 14 menunjukan semakin sedikit pendapatan yang diperoleh responden maka akan semakin tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM. Hal ini disebabkan karena pendapatan yang kecil menyebabkan kesejahteraan menurun sehingga peluang respon tidak setuju akan lebih besar dibanding peluang respon setuju.

Tabel 14. Hubungan Antara Respon dengan Pendapatan Trayek

Respon Pendapatan Total

Rp 0-50 rb Rp >50-100rb Rp 150-200rb

Tidak Setuju 40 5 1 46

Setuju 9 4 1 14

Total 49 9 2 60

4.1.9 Karakteristik Responden Berdasarkan Perubahan Tarif Angkutan Karakteristik responden berdasarkan perubahan tarif angkutan yang diinginkan responden dinilai dengan satuan moneter atau rupiah. Besarnya tarif yang menjadi pilihan responden berada pada kisaran Rp 1.500 sampai dengan Rp 2.000, pilihan nilai tertinggi dari kenaikan tarif akibat adanya kenaikan harga BBM dikarenakan responden beranggapan bahwa tarif saat ini yang sedang berlaku tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah sehingga pendapatan responden dirasa kurang menutupi pengeluaran atas biaya-biaya yang terjadi.


(39)

Sumber : Data Primer, Kota Bogor (2012)

Gambar 10. Distribusi Responden Berdasarkan Perubahan Tarif Angkutan Hubungan respon setuju atau tidak setuju dengan adanya perubahan tarif, bahwa responden yang memiliki pilihan nilai perubahan tarif yang kecil cenderung lebih banyak peluang tidak setuju dibandingkan dengan peluang setuju terhadap kenaikan harga BBM, sehingga semakin besar nilai perubahan tarif akan mendorong responden untuk merespon setuju dengan kenaikan harga BBM. Hal tersebut dapat dilihat dari Tabel 15.

Tabel 15. Hubungan Antara Respon dengan Perubahan Tarif Angkutan

Respon Perubahan Tarif Angkutan Total Rp 500-1000 Rp >1 000-1 500

Tidak Setuju 24 22 46

Setuju 10 4 14

Total 34 26 60

4.2 Analisis Willingness To Pay (WTP) Jasa Angkutan Umum Kota (Angkot) terhadap Kenaikan Harga BBM

Analisis yang digunakan pada penelitian ini untuk menganalisis besarnya WTP responden terhadap kenaikan harga BBM. Berdasarkan nilai WTP didapatkan dari hasil wawancara kepada responden dengan metode kuesioner, didapat biaya yang bersedia dibayarkan oleh responden untuk kenaikan harga bahan bakar minyak jenis premium per liter. Perolehan nilai WTP yang ada pada kuesioner yang memiliki kelipatan Rp 500 pada setiap perubahan nilai. Besarnya


(40)

biaya yang menjadi pilihan hanya dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu Rp 5.000, Rp 5.500 dan Rp 6.000 untuk bahan bakar premium per liter. Nilai tersebut diperoleh dengan melihat rencana harga yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar Rp 6.000.

Perhitungan nilai WTP berdasarkan data distribusi kenaikan harga BBM dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Dugaan Nilai WTP untuk Kenaikan Harga BBM per Liter No Besaran (Rp) Frekuensi Frekuensi Relatif Jumlah (Rp)

1 4.500 19 0,32 1.425,00

2 5.000 26 0,43 2.166,67

3 5.500 13 0,22 1.191,67

4 6.000 2 0,03 200.00

Total 60 1 4.893,33

Sumber : Data Primer, Kota Bogor (2012)

Pada Tabel 16 menjelaskan pada kenyataannya banyak responden yang setuju dengan adanya kenaikan harga BBM, hal ini dapat dilihat dari tabel WTP. Hasil wawancara yang disajikan pada Tabel 16 dengan jumlah responden terbanyak yaitu 26 responden memilih nilai WTP sebesar Rp 5.000 dengan demikian dapat diperoleh nilai rataan WTP sebesar Rp 4.893,33 per liter premium. Nilai frekuensi relatif didapat dari pembagian antar nilai frekuensi dibagi dengan total nilai frekuensi, sedangkan untuk mendapatkan nilai jumlah adalah hasil frekuensi relatif dikalikan dengan besaran rupiah yang menjadi pilihan WTP.

Berdasarkan hasil WTP nilai total sebesar Rp 4.893,33, apabila pemerintah berencana menaikan harga BBM samapai dengan Rp 6.000 maka kesediaan membayar responden hanya 26,2 persen dari kenaikan harga yang direncanakan oleh pemerintah. Nilai WTP yang lebih kecil dari rencana kenaikan dari pemerintah ini dikarenakan oleh beberapa faktor, pengemudi jasa angkutan umum kota (angkot) memiliki pendapatan yang kecil, menurut responden ketetapan tarif yang ditetapkan oleh pemerintah daerah terlalu kecil sehingga untuk mencukupi biaya pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh responden lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang diterima.


(41)

Harga BBM bersubsidi khususnya premium saat ini adalah Rp 4.500, sedangkan nilai total WTP yang dihasilkan sebesar Rp 4.893,33 per liter premium. Nilai tersebut dapat diartikan bahwa pengemudi jasa transportasi angkutan umum kota (angkot) Kota Bogor setuju dengan rencana kebijakan kenaikan harga BBM jika tidak lebih dari Rp 5.000 karena WTP yang mereka miliki lebih rendah bila dibandingkan dengan rencana kenaikan harga BBM yang direncanakan pemerintah yaitu sebesar Rp 6.000.

Tabel 17. Distribusi Responden dengan Nilai Willingness to Pay Pengemudi Jasa Angkutan Umum Kota (Angkot) terhadap Kenaikan Harga BBM

No WTP (Rp) Jumlah Responden

1 4.500 19

2 5.000 26

3 5.500 13

4 6.000 2

Total 60

Sumber : Data Primer, Kota Bogor (2012)

Tabel 17 menggambarkan banyaknya jumlah responden yang memilih nilai Willingness to Pay dari kenaikan harga BBM per liter. Dari Tabel 17 dapat menggambarkan kurva permintaan dari jumlah reponden yang bersedia membayar kenaikan harga BBM.

Harga Premium (Rp per liter )

6.000

5.500

5.000 Permintaan

2 13 26 Jumlah responden

Gambar 11. Kurva Permintaan dari Jumlah Responden yang Bersedia Membayar Premium per Hari

Setiap kenaikan harga WTP yang dipilih responden, jumlah responden yang bersedia pada harga premium tersebut semakin sedikit dikarenakan faktor-faktor yang memengaruhi seperti tarif angkutan, jarak tempuh dan lama waktu berkendaraan yang memengaruhi pendapatan yang diterima oleh pengemudi


(42)

angkutan umum kota (angkot). Responden terbanyak berada pada nilai WTP tingkat harga Rp 5.000 dengan jumlah responden yang bersedia sebanyak 26 responden.

4.3 Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Willingness to Pay (WTP) Pengemudi Jasa Angkutan Umum Kota (Angkot) terhadap Kenaikan Harga BBM

Faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan nilai WTP pengemudi angkot dapat dilakukan analisis dengan menggunakan model regresi linear berganda. Variabel-variabel yang digunkan untuk menganalisis WTP ini menggunakan seluruh variabel karakteristik responden. Hasil pegolahan pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai R2 adalah 0,868 yang artinya 86,8 persen keragaman nilai WTP dapat dijelaskan oleh masing-masing variabel bebas yang ada pada model. Nilai Durbin-Watson sebesar 2,438 memiliki arti bahwa model bebas dari masalah autokorelasi.

Tabel 18. Faktor-Faktor yang Memengaruhi WTP Pengemudi Angkutan Umum Kota (Angkot) Kota Bogor terhadap Kenaikan Harga BBM

Variabel Koefisien P-Value

Intersep 5,990 0,000

Jarak -0,007 0,598

Usia* 0,005 0,064

Jumlah Tanggungan 0,037 0,223

Jumlah Pemakaian BBM 0,006 0,430

Lama Waktu Berkendaraan -0,006 0,605

Pendapatan Trayek -0,003 0,814

Perubahan Tarif yang diinginkan* -1,011 0,000 R2= 0,868 F-Hitung= 34,691 Durbin-Watson= 2,438

Keterangan : *signifikan pada taraf nyata 10%

Jarak memiliki nilai p-value sebesar 0,598 yang artinya jarak tidak signifikan pada taraf nyata sepuluh persen terhadap WTP karena nilai p-value lebih besar dari taraf nyata. Koefisien bernilai negatif artinya kenaikan satu km jarak maka semakin kecil WTP sebesar 0,007 yang bersedia dibayarkan. Variabel usia memiliki p-value sebesar 0,064 artinya usia berpengaruh signifikan pada taraf


(43)

nyata sepuluh persen terhadap WTP. Tanda positif dan Nilai koefisien 0,005 pada variabel usia memiliki arti bahwa semakin bertambah satu tahun usia responden maka akan semakin semakin meningkatkan sebesar 0,005 nilai WTP yang mampu dibayarkan oleh responden.

Jumlah tanggungan memiliki nilai koefisien positif dengan nilai koefisien sebesar 0,037 memiliki arti bahwa semakin bertambah satu orang jumlah tanggungan maka akan semakin besar nilai WTP yang dipilih. Nilai p-value sebesar 0,223 berarti variabel jumlah tanggungan tidak signifikan pada taraf nyata sepuluh persen terhadap WTP. Lama waktu berkendaraan per hari memiliki p-value 0,605 yang artinya tidak berpengaruh signifikan terhadap besaran pilihan nilai WTP pada taraf nyata sepuluh persen.

Pendapatan trayek memiliki nilai p-value 0,814 artinya pendapatan trayek tidak berpengaruh signifikan pada taraf nyata sepuluh persen. Perubahan tarif angkutan yang diinginkan oleh responden merupakan variabel yang memengaruhi besarnya pemilihan nilai WTP yang mamapu dibayarkan oleh responden karena pperubahan tarif memiliki p-value sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf nyata sepuluh persen. koefisien negatif yang ada pada perubahan tarif memeiliki arti bahwa semakin bertambah satu rupiah perubahan tarif yang diinginkan akan semakin kecil nilai WTP yang dipilih sebesar 1,011. Hasil tersebut tidak sama dengan hasil dilapangan, hal ini karena semakin tinggi nilai WTP yang dipilih responden diperngaruhi karena adanya pendapatan lain diluar trayek.

4.4 Analisis Respon Pengemudi Jasa Angkutan Umum Kota Terhadap Kenaikan Harga BBM

Analisiss setiap variabel bebas dengan respon dilakukan untuk melihat apakah terdapat pengaruh respon pengemudi jasa angkutan umum kota (angkot) terhadap kenaikan harga BBM. Uji ketergantungan untuk crosstabs menggunakan chi-kuadrat dengan software SPSS version 16.0 for windows. Hasil (output) dari analisis crosstabs disajikan pada Tabel 19.

Penentuan Chi-square test menggunakan hipotesis yaitu:

H0 :Faktor yang diuji tidak berhubungan nyata dengan respon responden H1 :Faktor yang diuji berhubungan nyata dengan respon responden


(44)

Tabel 19. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respon terhadap Kenaikan Harga BBM Kota Bogor dengan Menggunakan Crosstabs

Variabel Signifikan Df Chi-squarehitung

Jarak 0.382 1 0.764

Usia 7.964 3 0.047

Jumlah Tanggungan 0.785 1 0.075

Jumlah Pemakaian BBM 0.526 3 2.231

Lama Waktu Berkendara* 0.011 1 6.406

Keterangan: *Nyata pada taraf kepercayaan 90%

Faktor-faktor pada Tabel 19 dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Hubungan antara Respon Kenaikan Harga BBM dengan Jarak

Hubungan antara jarak tempuh dengan respon di peroleh dari uji chi-square, menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jarak dengan respon pada tingkat kepercayaan 90 persen. Nilai Asymp. Sig (2-sided) Pearson chi-square adalah 0,382 lebih besar dari taraf nyata 10 persen (α=10%). Nilai tersebut menunjukan jarak tidak memiliki hubungan terhadap respon, karena pengemudi angkutan umum kota (angkot) menyadari akan adanya penurunaan pendapatan apabila terjadi dikenaikan harga BBM.

2. Hubungan antara Respon Kenaikan Harga BBM dengan Usia.

Hubungan antara respon dengan usia responden yang diperoleh dengan menggunakan analisis crosstabs. Nilai Asymp. Sig (2-sided) Person Chi-Square adalah 0,47 lebih besar dari taraf nyata (α=10%). Nilai tersebut menyatakan bahwa keputusan pengujian variabel tersebut adalah bahwa usia tidak berhubungan dengan respon pengemudi angkutan umum kota (angkot) pada taraf

nyata 10 persen (α=10%). Dengan kata lain, usia tidak memiliki hubungan yang

nyata terhadap respon pengemudi mengenai kenaikan harga BBM pada taraf kepercayaan sebesar 90 persen.

3. Hubungan antara Respon Kenaikan Harga BBM dengan Jumlah Tanggungan.

Nilai Asymp.Sig (2-sided) Person Chi-Square adalah 0,785 (df=10) lebih

besar dari taraf nyata (α=10%). Nilai tersebut menyatakan bahwa keputusan pengujian variabel tersebut adalah jumlah tanggungan tidak berhubungan dengan respon pengemudi mengenai kenaikan harga BBM pada taraf nyata 10 persen


(45)

dengan kata lain, jumlah tanggungan tidak memiliki hubungan nyata terhadap respon pengemudi angkutan umum kota (angkot) mengenai kenaikan harga BBM pada taraf kepercayaan 90 persen.

4. Hubungan antara Respon Kenaikan Harga BBM dengan Pemakaian BBM per Hari.

Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan crosstabs, menyatakan hasil Nilai Asymp.Sig (2-sided) Person Chi-Square adalah 0,526 (df=3) lebih besar dari

taraf nyata (α=10%). Nilai tersebut menyatakan bahwa tidak ada hubungan nyata

terhadap respon rencana kenaikan harga BBM ditinjau dari jumlah pemakaian BBM per hari pada taraf kepercayaan 90 persen.

5. Hubungan antara Respon Kenaikan Harga BBM dengan Lama Waktu Berkendaraan per Hari

Kondisi lama berkendara responden perhari berdasarkan survey lamanya berkendara responden per hari memiliki hubungan yang nyata. Hal ini terlihat dari uji yang telah dilakukan menyatakan bahwa nilai Nilai Asymp.Sig (2-sided) Person Chi-Square adalah 0,011 pada df = 1 atau lebih kecil dari taraf nyata

(α=10%). Dengan demikian, nilai tersebut menyatakan bahwa lama waktu

berkendaraan per hari berhubungan nyata terhadap respon pada taraf kepercayaan 90 persen.

Tabel 20. Hasil Pengujian Logit untuk Respon

Hasil Pengujian Model Nilai Yang Diperoleh Hosmer and Lemeshow Test 0,960

Overall Precentage 76,7

Tabel 20 menyajikan hasil dari pengujian untuk model logit yang diperoleh, maka interpretasi dari nilai-nilai adalah sebagai berikut :

1. Hasil Hosmer and Lemeshow Test dapat dilihat nilai dari p-value sebesar 0,960 lebih besar dari taraf nyata 5 persen (0,05) maka tolah H0 yang

artinya model logit adalah Fit.

2. Nilai Overall Precentage sebesar 76,7 yang artinya model logit mampu mengklasifikasikan secara tepat sebesar 76,7 persen.


(46)

Tabel 21. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respon Setuju atau Tidak Setuju Pengemudi Jasa Angkutan Umum Kota terhadap Kenaikan Harga BBM dengan Menggunakan Logit

Variabel Koefisien P-Value Rasio Odd

Jarak -0,185 0,255 0,831

Usia 0,033 0,244 1,033

Jumlah Tanggungan* -0,674 0,084 0,510

Jumlah Pemakaian BBM Per Hari 0,045 0,562 1,046

Lama Berkendara* 0,236 0,081 1,267

Constant -1,793 0,341 0,166

Keterangan: *Nyata pada tingkat kepercayaan 90%

Logit(pi) = -1,793 – 0,185 JRKi + 0,033 USIAi – 0,674 JTGi + 0,045 JBBMi + 0,236 LBi + εi

Tabel 21 merupakan hasil output yang menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi respon, antara lain:

1. Pengaruh jarak terhadap respon setuju atau tidak setuju pengemudi jasa transportasi angkutan umum kota (angkot) perihal kenaikan harga BBM.

Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,255 lebih besar dari taraf

nyata 10 persen (α=0,1) maka terima H0 yang artinya jarak tidak berpengaruh

nyata terhadap respon kenaikan harga BBM. Hal ini karena setiap responden memiliki jarak tempuh yang sama setiap berkendara sehingga kurangnya respon yang dihasilkan berdasarkan jarak. Tanda negatif pada koefisien mengindikasikan bahwa setiap kenaikan 0,185 km jarak akan memengaruhi responden untuk merespon tidak setuju mengenai kenaikan harga BBM sehingga semakin jauh jarak yang ditempuh oleh responden maka akan semakin tidak setuju dengan rencana kenaikan harga BBM, karena jarak yang jauh akan membutuhkan konsumsi BBM yang semakin banyak. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa semakin jauh jarak yang ditempuh maka akan semakin tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM. Hasil nilai Odds Ratio yang didapat adalah 0,831 artinya semakin jauh jarak tempuh maka peluang untuk tidak setuju adalah 0,831 kalinya dibandingkan dengan setuju terhadap rencana kenaikan harga BBM.


(47)

2. Pengaruh usia terhadap respon setuju atau tidak setuju pengemudi jasa transportasi angkutan umum kota perihal kenaikan harga BBM

Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,244 lebih besar dari taraf nyata 10 persen (α=0,1) maka terima H0 yang artinya usia tidak berpengaruh nyata terhadap kenaikan harga BBM. Usia tidak berpengaruh nyata terhadap terhadap respon dikarenakan berapapun usia responden tidak memengaruhi terhadap besarnya pendapatan yang diterima responden sehingga respon yang diterima lambat terhadap usia. Koefisien pada model mengindikasikan semakin meningkat usia responden sebesar 0.033 tahun maka akan semakin setuju dengan kenaikan harga BBM. Berbeda dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa semakin bertambah usia responden akan semakin tidak setuju. Hal ini, disebabkan karena semakin bertambah usia maka semakin mangalami kesulitan dalam mencari pekerjaan lain, terbentur kriteria yang disyaratkan pada pekerjaan lain. Nilai Rasio Odd 1,033 artinya semakin bertambahnya usia maka peluang untuk respon setuju adalah 1,033 kalinya dibandingkan dengan peluang tidak setuju.

3. Pengaruh jumlah tanggungan terhadap respon pengemudi jasa transportasi angkutan umum kota perihal kenaikan harga BBM

Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,084 lebih kecil dari taraf nyata

10 persen (α=0,1) maka tolak H0 yang artinya pengaruh jumlah tanggungan berpengaruh nyata terhadap respon rencana kenaikan harga BBM. Jumlah tanggungan memiliki respon yang cepat terhadap rencana kenaikan harga BBM karena terkait seberapa besar pengeluaran responden. Koefisien negatif pada model mengindikasikan semakin bertambah jumlah tanggungan sebesar 0,674 maka akan semakin tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM dengan kenaikan harga BBM. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah tanggungan maka akan semakin tidak setuju. Nilai Rasio Odd yang dihasilkan adalah sebesar 0,510 artinya semakin tinggi jumlah tanggungan maka peluang untuk tidak setuju adalah 0,510 kalinya dibandingkan dengan setuju terhadap kenaikan BBM.


(48)

4. Pengaruh jumlah pemakaian BBM per hari terhadap respon setuju atau tidak setuju pengemudi jasa transportasi angkutan umum kota perihal kenaikan harga BBM

Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,562 lebih besar dari taraf nyata 10 persen (α=0,1) maka terima H0 yang artinya pengaruh pemakaian BBM per hari tidak berpengaruh nyata. Pemakaian BBM yang digunakan oleh responden setiap harinya sama karena jarak yang ditempuh responden tidak pernah bertambah sehingga respon dari pemakaian BBM per hari memiliki respon yang lambat terhadap kenaikan harga BBM kecuali terjadi kemacetan total. Koefisien positif yang ada pada model mengindikasikan peningkatan pemakaian BBM per hari sebesar 0,045 akan menyebabkan respon setuju terhadap kenaikan harga BBM. Hal ini berbeda dengan hipotesis awal dikarenakan sedikitnya pendapatan yang dihasilkan oleh responden salah satunya karena peraturan pemerintah mengenai “shift” pada beberapa trayek. Nilai rasio Odd 1,046 artinya semakin banyak pemakaian BBM premium per hari maka peluang untuk setuju adalah 1,046 kalinya dibandingkan dengan peluang tidak setuju terhadap kenaikan BBM.

5. Pengaruh lama waktu berkendaraan terhadap respon setuju atau tidak setuju pengemudi jasa transportasi angkutan umum kota perihal kenaikan harga BBM

Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,084 lebih kecil dari taraf nyata

10 persen (α=0,1) maka tolak H0 yang artinya pengaruh lama berkendara

berpengaruh nyata terhadap respon kenaikan harga BBM. Lama berkendara dapat merespond dengan cepat karena semakin lama waktu berkendaraan maka akan semakin bertambah pendapatan yang dihasilkan responden. Koefisien yang ada pada model bernilai positif, yang dapat diartikan peningkatan lama waktu berkendaraan per hari sebesar 0.236 akan semakin setuju dengan adanya kenaikan harga BBM. Kesimpulan yang didapat sesuai dengan hipotesis sebelumnya bahwa semakin lama waku berkendaraan perhari maka akan semakin setuju dengan kenaikan harga BBM. Rasio Odd yang didapat adalah 1,267 yang artinya semakin lama waktu berkendaraan perhari maka peluang untuk setuju adalah 1,267 kalinya dibandingkan dengan peluang tidak setuju terhadap kenaikan BBM.


(1)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 2.231a 3 .526

Likelihood Ratio 2.246 3 .523

Linear-by-Linear Association .455 1 .500 a. 5 cells (62,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,23.

Respon * Jum.Tggungan

Crosstab

Count

Jum.Tggungan

Total

1 2

Respon Tidak Setuju 38 8 46

Setuju 12 2 14

Total 50 10 60

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .075a 1 .785

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .077 1 .782

Fisher's Exact Test 1.000 .574

Linear-by-Linear

Association .073 1 .787

N of Valid Casesb 60

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,33. b. Computed only for a 2x2 table


(2)

Respon * Jarak

Crosstab

Count

Jarak

Total 5-10 10.1-15

Respon Tidak Setuju 11 35 46

Setuju 5 9 14

Total 16 44 60

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .764a 1 .382

Continuity Correctionb .280 1 .597

Likelihood Ratio .734 1 .392

Fisher's Exact Test .492 .292

Linear-by-Linear

Association .752 1 .386

N of Valid Casesb 60

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,73. b. Computed only for a 2x2 table

Respon * Usia

Crosstab

Count

Usia

Total 31-40 41-50 51-60 61-70

Respon Tidak Setuju 23 20 2 1 46

Setuju 7 3 4 0 14


(3)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 7.964a 3 .047

Likelihood Ratio 7.146 3 .067

Linear-by-Linear Association .783 1 .376

N of Valid Cases 60

a. 4 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,23.


(4)

Lampiran 4.

Output

Regresi Linear Berganda

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 7.299 7 1.043 34.691 .000a

Residual 1.112 37 .030

Total 8.411 44

a. Predictors: (Constant), X7, X3, X1, X6, X2, X5, X4 b. Dependent Variable: WTP

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson

1 .932a .868 .843 .17337 2.438

a. Predictors: (Constant), X7, X3, X1, X6, X2, X5, X4 b. Dependent Variable: WTP


(5)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 5.990 .184 32.574 .000

X1 -.007 .013 -.035 -.532 .598 .848 1.179 X2 .005 .003 .126 1.912 .064 .823 1.216 X3 -.037 .030 -.085 -1.240 .223 .754 1.326

X4 .006 .007 .080 .798 .430 .355 2.817

X5 -.006 .012 -.044 -.522 .605 .509 1.963 X6 -.002 .010 -.020 -.237 .814 .508 1.969 X7 -1.011 .072 -.929 -14.028 .000 .814 1.228 a. Dependent Variable: WTP

Taraf nyata 10%

Keterangan Variabel:

Y

:

Willingness to Pay

(Rupiah)

X1

: Jarak (Km)

X2

: Usia (Tahun)

X3

: Jumlah Tanggungan (Orang)

X4

: Jumlah Pemakaian BBM per Hari (Liter)

X5

: Lama Waktu Berkendaraan per Hari (Jam)

X6

: Pendapatan Trayek (Rupiah)

X7

:Perubahan Tarif yang diinginkan Responden terhadap Kenaikan Harga

BBM (Rupiah)


(6)

CHAIRUN NISA

. Respon Pengemudi Jasa Transportasi Angkutan Umum Kota

(Angkot) Kota Bogor Terhadap Kenaikan Harga BBM Jenis Premium (dibimbing

oleh

MUHAMMAD FIRDAUS

).

Harga BBM di Indonesia dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak dunia,

yang mengakibatkan pemerintah menggunakan asumsi harga minyak dunia dalam

menentukan harga BBM serta penentuan dalam menyusun APBN. Pemerintah

menyepakati harga minyak mentah yang diasumsikan sebesar US$ 90 per barel

sedangkan selama Februari rata-rata harga minyak mentah sudah mencapai US$

122,17 per barel. Hal ini juga diikuti dengan peningkatan konsumsi solar dan

premium dari 35,8 juta kilo liter pada tahun 2010 menjadi 38.5 juta kilo liter pada

tahun 2011 (Ditjen Migas, 2011).

BBM menjadi faktor produksi utama dalam semua aktivitas usaha yang

dilakukan oleh manusia begitupun dalam bidang jasa transportasi angkutan umum

kota (angkot).

Tujuan penelitian ini adalah menghitung besarnya

Willingness To

Pay

(WTP) angkutan umum kota (angkot) terhadap kenaikan harga BBM jenis

premium, menganalisis bagaimana respon setuju atau tidak terhadap kenaikan

harga BBM dan faktor-faktor yang memengaruhi respon setuju atau tidak

terhadap kenaikan harga BBM jenis premium.

Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor pada bulan Maret sampai Mei 2012.

Responden penelitian ini adalah pengemudi angkutan umum kota (angkot)

sebanyak 60 responden, yang diambil secara

convenience sampling

(

accidental

sampling

). Pemilihan teknik ini dikarenakan tidak semua anggota populasi

memiliki peluang yang sama bagi anggota populasi yang telah diberi nomor urut

(Juanda, 2009). Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.

Penelitian ini menggunakan analisis regresi logit,

crosstabs

dan perhitungan nilai

tengah.

Berdasarkan perhitungan WTP, responden hanya mampu membayar

kenaikan sampai dengan Rp 4.893,33. Analisis respon dan faktor-faktor yang

memengaruhi kenaikan harga BBM dilakukan dengan model Logit diperoleh hasil

jumlah tanggungan dan lama berkendara merupakan faktor yang memengaruhi

respon setuju atau tidak setuju terhadap kenaikan harga BBM.

Hasil

Crosstabs

diperoleh hasil faktor-faktor yanga memengaruhi kenaikan

harga BBM adalah lama waktu berkendara perhari. Adanya perbedaan hasil

dikarenakan

, pada pengujian setiap variabel (uji

crosstabs

) untuk menggambarkan

jumlah data dan hubungan antarvariabel (nominal-ordinal). Sedangkan pada uji

seluruh variabel (uji

logit

) model regresi non-

linear

yang menghasilkan sebuah

persamaan menghasilkan variabel terikat bersifat kategorikal paling dasar dari

model tersebut menghasilkan

binary value

seperti angka 0 dan 1.

Hasil penelitian ini memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat

dipertimbangkan oleh pemerintah, yaitu: besarnya nilai rata-rata WTP responden

yang dapat dijadikan acuan dalam penetapan harga kenaikan BBM sebesar Rp

4.893,33 sehingga kenaikan harga BBM tidak lebih dari WTP masyarakat

khususnya pengemudi angkutan umum kota.