13 tidak bisa ditolerir, serangan hama dan penyakit, pencurian dan penjarahan sampai
dengan jatuhnya harga jual karena kelebihan penawaran. Pada umumnya siklus kebutuhan cabai di Indonesia meningkat menjelang
waktu-waktu tertentu, misalnya memasuki bulan puasa, lebaran, natal, dan tahun baru. Pada saat-saat tersebut, permintaan cabai yang tinggi diiringi dengan harga
yang melambung. Selain faktor tersebut, harga cabai menjadi sangat mahal karena pada waktu-waktu tersebut biasanya bertepatan dengan musim hujan.
Biasanya petani yang menanam cabai sedikit dan banyak pula yang gagal panen karena serangan hama dan penyakit, akibatnya keberadaan cabai di pasaran
menjadi sangat langka dan secara otomatis harganya melonjak tajam. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, pasar cabai untuk luar
negeri pun masih luas. Saat ini pasar yang masih bisa dibidik adalah Hongkong, Amerika, Eropa dan yang paling utama adalah RRC, sebab RRC masih
memprioritaskan industrinya sehingga sebagian besar sayur-sayuran dan buah- buahan yang dibutuhkan untuk konsumsi terpaksa harus diimpor dari luar Nixon
MT, 2010. Dari gambaran kebutuhan tersebut, jelas bahwa bertanam cabai masih mempunyai prospek yang cukup potensial, baik cabai hibrida, cabai besar,
cabai rawit maupun cabai keriting.
2.3 Studi Penelitian Terdahulu
Analisis pendapatan usahatani banyak digunakan untuk mengetahui sejauh mana kegiatan usahatani yang dilakukan memberikan manfaat untuk orang yang
melakukannya petani. Studi mengenai analisis pendapatan dilakukan oleh Hendrawanto 2008 dan Siregar 2010, dimana keduanya menganalisis tentang
usahatani cabai merah di daerah yang berbeda yaitu di Desa Sukagalih, Kabupaten Bogor dan di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Bogor. Alat analisis yang
digunakan yaitu analisis pendapatan usahatani dan analisis RC. Hasil analisis pendapatan usahatani yang dilakukan menunjukkan secara garis besar adalah
sama, dimana kegiatan usahatani cabai merah dapat memberikan keuntungan bagi petani.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendrawanto 2008 memperlihatkan bahwa usahatani cabai merah petani per 2.080 meter persegi di Desa Sukagalih
menghasilkan penerimaan total sebesar Rp 12.393.734,32 dengan biaya tunai
14 yang dikeluarkan sebesar Rp 4.793.752,22 dan biaya total sebesar Rp
7.820.121,47; sehingga pendapatan kerja petani yang diterima yaitu sebesar Rp 4.597.870,97; maka diperoleh nilai RC atas biaya tunai sebesar 2,59 dan RC atas
biaya total sebesar 1,59. Hasil penelitian Siregar 2010 menunjukkan bahwa, nilai RC usahatani cabai merah organik lebih tinggi jika dibandingkan nilai RC
pada cabai merah non organik, hal ini dikarenakan terdapat perbedaan harga yang diterima antara petani organik dengan petani non organik. Harga cabai yang
diterima petani organik lebih tinggi dibandingkan petani non organik. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan untuk cabai merah non organik dengan luasan lahan 1 ha menghasilkan penerimaan sebesar Rp 78.000.000 dengan biaya tunai
yang dikeluarkan sebesar Rp 18.827.500 dan biaya total sebesar Rp 52.634.166; sehingga pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh yaitu sebesar Rp 59.172.500
dan pendapatan atas biaya total adalah sebesar Rp 52.365.834; maka diperoleh nilai RC atas biaya tunai sebesar 4,14 dan nilai RC atas biaya total sebesar 3,04.
Sedangkan untuk cabai merah organik dengan luasan lahan 1 ha menghasilkan penerimaan sebesar Rp 176.000.000 dengan biaya tunai yang dikeluarkan sebesar
Rp 26.841.000 dan biaya total sebesar Rp 38.069.666 sehingga pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh yaitu sebesar Rp 149.159.000 dan pendapatan atas
biaya total adalah sebesar Rp 137.930.334; maka diperoleh nilai RC atas biaya tunai sebesar 6,56 dan nilai RC atas biaya total sebesar 4,62.
Penelitian yang menganalisis mengenai pendapatan usahatani pada
komoditas sayuran dilakukan oleh Nadhwatunnaja 2008 dan Sujana 2010. Hasil penelititian Sujana 2010 menunjukkan bahwa penerimaan yang diterima
oleh petani tomat anggota kelompok tani adalah Rp 93.408.741 sedangkan total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 65.079.497; sehingga pendapatan atas biaya
total sebesar Rp 28.329.244 maka nilai RC atas biaya total yang diperoleh yaitu sebesar 1,44.
Untuk petani tomat non anggota kelompok tani, memperoleh penerimaan sebesar Rp 90.541.310 dan total biaya yang dikeluarkan adalah Rp
69.776.249; sehingga pendapatan atas biaya total sebesar Rp 20.765.060 sehingga menghasilkan nilai RC atas biaya total sebesar 1,30.
Nadhwatunnaja 2008 menunjukkan bahwa pendapatan petani paprika hidroponik anggota Koptan Mitra
Sukamaju lebih tinggi dibandingkan petani non anggota petani paprika hidroponik
15 yaitu dengan pendapatan atas biaya tunai dan biaya total petani anggota Koptan
Mitra Sukamaju masing-masing sebesar Rp 19.638.973,12 dan Rp 7.916.973,12. Sedangkan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total petani non
anggota masing-masing sebesar Rp 15.943.192,79 dan Rp 4.221.192,79. Begitu juga dengan nilai RC, nilai RC pada petani anggota Koptan Mitra Sukamaju
lebih tinggi dibandingkan dengan non anggota, yaitu dengan nilai RC atas biaya tunai petani adalah 1,74 dan nilai RC 1,21. Sedangkan nilai RC petani non
anggota adalah 1,62 untuk biaya tunai dan 1.11 untuk biaya total. Walaupun terdapat perbedaan karakteristik produk, namun secara garis besar dapat diambil
kesimpulan bahwa kegiatan usahatani sayuran, termasuk cabai merah memberikan keuntungan bagi petani yang dapat dilihat dari hasil analisis pendapatan usahatani
yang nilainya lebih dari nol dan nilai RC yang nilainya lebih dari 1. Analisis efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi digunakan untuk
mengetahui sejauh mana efisiensi penggunaan faktor produksi input yang dapat mempengaruhi produksi output. Analisis efisiensi penggunaan faktor-faktor
produksi dapat dilakukan dengan menggunakan analisis fungsi produksi Cobb- Douglas dan rasio NPMBKM. Hasil analisis fungsi produksi Cobb-Douglass
masih dilakukan oleh peneliti yang sama yaitu Nadhwatunnaja 2008 dan Sujana 2010. Hasil penelitian keduanya menunjukkan bahwa nilai koefisien
determinasi R
2
pada usahatani paprika hidroponik dan usahatani tomat apel menunjukkan nilai lebih dari 50 persen dimana nilai tersebut mengartikan bahwa
model yang dihasilkan layak untuk meramalkan kondisi ke depan secara akurat. Selain itu jika dilihat dari uji multikolinieritas melalui nilai VIF yang kurang dari
10, maka tidak terdapat masalah multikolinieritas pada kedua model penelitian tersebut. Melalui uji statistik diperoleh bahwa faktor-faktor yang berpengaruh
nyata terhadap produksi tomat apel pada petani anggota kelompok tani yaitu variabel benih, pupuk kandang, pupuk P, pupuk K, pestisida cair dan tenaga kerja,
dan pada petani non kelompok tani variabel yang berpengaruh nyata pada produksi tomat apel yaitu benih, pupuk kandang, pupuk K, pestisida cair dan
tenaga kerja. Sedangkan untuk produksi paprika hidroponik dari hasil penelitian menyebutkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi pada
selang kepercayaan 99 persen adalah nutrisi dan pestisida, dimana pada selang
16 kepercayaan 99 persen mengartikan bahwa faktor-faktor produksi tersebut sangat
berpngaruh terhadap produksi paprika hidroponik, karena tingkat kesalahannya hanya satu persen. Untuk selang kepercayaan 95 persen faktor produksi yang
dianggap berpengaruh adalah faktor produksi luas lahan. Sedangkan faktor produksi yang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi paprika adalah tenaga
kerja.
2.4 Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu