Analisis Pendapatan Usahatani dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Perah Peternak Desa Cibeureum Kabupaten Bogor

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agribisnis merupakan salah satu sektor dalam kegiatan perekonomian berbasis kekayaan alam yang dimanfaatkan dalam melakukan kegiatan usaha berorientasi profit atau keuntungan. Tiap sektor ekonomi memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain dalam hal kegiatan usaha dan komoditi usaha. Agribisnis memiliki kontribusi yang memiliki peran penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi tersebut antara lain produk pangan yang dihasilkan dari kegiatan usaha di sektor agribisnis, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu sektor agribisnis yang memberikan andil positif bagi perekonomian Indonesia adalah sektor peternakan. Sumbangan sektor peternakan dalam Produk Domestik Bruto sebesar Rp. 82.835,4 milyar atau 1,6 persen pada tahun 2008 dan masih akan menyumbang 1,6 persen pada tahun 2009.

Sumbangan Nilai Produk Domestik Bruto dari sektor peternakan tersebut membuktikan bahwa sektor peternakan merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting di dalam pembangunan nasional. Selain itu sektor peternakan merupakan sektor yang terus mengalami peningkatan dengan ditandai oleh nilai ekspor sektor peternakan yang mencapai total nilai ekspor komoditi peternakan sebesar US$ 19,28 juta pada Juli 2009 dan nilai impor komoditi peternakan mencapai US$ 132,84 juta yang terdiri dari Komoditi Ternak mencapai US$ 42,40 juta dan komoditi Hasil Ternak Pangan mencapai US$ 90,44 juta.

Peran subsektor peternakan sebagai salah satu tonggak perekonomian Indonesia tercermin di dalam peningkatan nilai Produk Domestik Bruto yang terus bertambah tiap tahunnya. Pemerintah berupaya untuk terus meningkatkan nilai Produk Domestik Bruto tiap tahunnya, dengan harapan pertumbuhan ekonomi di Indonesia terus meningkat pula. Cerminan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1, tentang Produk Domestik Bruto Tahun 2004 - 2008 (atas dasar harga berlaku) berikut ini.


(2)

Tabel 1. Produk Domestik Bruto di Indonesia Tahun 2004 - 2008 (atas dasar harga berlaku)

No Jenis lahan Tahun (Rp. Miliar)

2003 2005 2006 2007*) 2008**) 1 Bahan Makanan 165.558,2 181.331,6 214.346,3 265.090,9 347.841,7 2 Perkebunan 51.590,6 56.433,7 63.401,4 81.595,5 106.186,4 3 Peternakan 40.634,7 44.202,9 51.074,7 61.325,2 82.835,4 4 Kehutanan 19.678,3 22.561,8 30.065,7 35.883,7 39.992,1 5 Perikanan 54.091,2 59.639,3 74.335,3 97.697,3 136.435,8 6 Jumlah Lahan

Pertanian Lain 331.553,0 364.169,3 433.223,4 541.592,6 713.291,4 7 PDB Nasional 2.273.141,5 2.774.281,1 3.339.216,8 3.949.321,4 4.954.028,9

Keterangan : *) Angka Sementara. **) Angka Sangat Sementara

Sumber : BPS Pusat (2011)

Pada Tabel 1 menjelaskan bahwa sektor peternakan tidak langsung memperlihatkan pertambahan Produk Domestik Bruto yang signifikan tiap tahunnya. Namun sektor peternakan selalu menunjukkan tren positif setiap tahunnya, seperti ketika pada 2006 menunjukkan PDB sebesar 51,074.7 Milyar dan tahun berikutnya terjadi peningkatan sebesar 61,325.2 Milyar. Hal ini menunjukkan bahwa sektor peternakan akan selalu mengalami peningkatan positif dan perkembangan yang baik.

Sektor peternakan merupakan salah satu roda penggerak ekonomi nasional, bahkan Campbell dan Lasley dalam Daryanto (2009) menyatakan bahwa negara yang kaya ternak, tidak pernah miskin dan negara yang miskin ternak tidak pernah kaya. Pernyataan tersebut tergambar jelas pada kondisi negara Indonesia yang memiliki kemampuan dan sumber daya alam yang melimpah untuk dapat mengembangkan komoditi ternak khususnya sapi perah yang akan menghasilkan susu menjadi komoditi unggulan. Susu segar merupakan satu dari sekian banyak komoditi pangan yang dihasilkan oleh industri peternakan, susu segar berasal dari ternak sapi perah yang memiliki kandungan dan gizi yang baik baik kesehatan dan memiliki sistem industri yang kokoh dan lengkap.


(3)

Keberadaan komoditi susu segar di masyarakat sangat dibutuhkan sebagai salah satu sumber energi dan protein potensial yang berasal dari hewani. Oleh karena itu masyarakat di negara maju sekarang lebih memilih susu segar. Susu disebut sebagai makanan yang hampir sempurna karena mengandung protein, karbohidrat, lemak, mineral, enzim-enzim, serta vitamin. Hal ini yang menjadi pemikiran dasar bahwa masyarakat berhak mengkonsumsi susu segar sebagai asupan yang bergizi dan sehat. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2006), susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain. Seekor sapi perah dewasa setelah melahirkan anak akan mampu memproduksi air susu melalui kelenjar susu, yang secara anatomis disebut ambing. Produksi air susu dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi.

Kebutuhan energi dan nutrisi yang cukup dalam susu sapi memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan fisik dan otak pada manusia. Nilai energi dan nutrisi dari susu sapi segar dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Informasi Nilai Energi dan Nutrisi yang Terkandung dalam Tiap 100 gram Susu Sapi.

Kandungan (isi) Satuan Nilai/gram

Energi Kcal 66

KJ 275

Air Gram 87.8

Karbohidrat Gram 4.8

Protein Gram 3.2

Lemak Gram 3.9

Sumber : Ensiklopedia Britannica (2002) dalam Erika, dkk (2007)

Pada Tabel 2 menunjukkan nilai informasi dan nutrisi yang terkandung dalam setiap 100 gram susu sapi mengandung unsur-unsur yang positif dan sangat baik bagi manusia serta untuk pertumbuhan anak, baik secara fisik maupun perkembangannya.


(4)

Daryanto (2009) menjelaskan bahwa Indonesia memiliki keunggulan (comparative advantage) yang tinggi di bidang peternakan sebagaimana tercermin dari potensi sumber daya ternak dan industri peternakan kita yang berbasis sumber daya lokal atau dikenal dengan istilah resources based industries. Dengan penjelasan Daryanto (2009) tersebut harus dilihat lebih jelas dari perspektif ekspor impor peternakan khususnya komoditi susu segar, bahwa terdapat suatu industri yang besar dan mampu menopang keberadaan kegiatan perekonomian yang potensial dan siap untuk selalu dikembangkan. Perspektif dari penjelasan tersebut tercermin pada bulan Juli tahun 2009 yang menyatakan bahwa total nilai ekspor komoditi peternakan mencapai US$ 19,28 juta, dan komoditi susu segar memiliki nilai ekspor sebesar US$ 5,26 juta dari US$ 4,54 juta atau naik 15,80% dari tahun sebelumnya. Dengan nilai ekspor tersebut, dapat dikatakan bahwa potensi ekspor komoditi susu segar Indonesia memiliki prospek yang cerah dan menjanjikan. Cerminan dari nilai ekspor impor tersebut memberikan pengaruh positif kepada industri peternakan untuk terus berkembang dan memanfaatkan celah dan peluang yang masih terbuka lebar untuk terus diupayakan semaksimal mungkin. Daryanto (2009) memberikan penjelasan secara lugas mengenai besarnya potensi yang dapat dihasilkan oleh industri peternakan melalui mekanisme ekspor impor dan perputaran bisnis yang dilakukan bagi pertumbuhan ekonomi.

Namun demikian, nilai ekspor dan impor yang merupakan wujud dari cerminan sektor peternakan kita tidak dapat serta – merta menjadi suatu acuan yang mendalam. Unsur populasi menjadi bagian vital dari perkembangan industri susu di Indonesia karena untuk dapat menghasilkan susu segar yang baik dan sehat, diperlukan ternak berupa sapi perah yang baik pula serta pemeliharaan dan penanganan yang baik. Karena penanganan yang baik serta pemeliharaan yang optimal dapat meningkatkan kualitas susu segar yang dihasilkan serta tingkat produksi yang diinginkan. Oleh karena itu sapi perah menjadi suatu tools di dalam proses mendapatkan susu segar berkualitas, maka keberadaan sapi perah harus selalu dijaga baik secara populasi maupun tingkat produksi. Keberadaan populasi ternak di Indonesia, khususnya sapi perah dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.


(5)

Tabel 3. Populasi Ternak Ruminansia di Indonesia Tahun 2005 – 2009.

No Jenis Tahun (ribu ekor)

2005 2006 2007 2008 2009*)

1 Sapi Potong/Beef

Cattle 10,569 10,875 11,515 12,257 12,603 2 Sapi Perah/Dairy Cattle 361 369 374 458 487 3 Kerbau/Buffalo 2,128 2,167 2,086 1,931 2,046 4 Kambing/Goat 13,409 13,790 14,470 15,147 15,656 5 Domba/Sheep 8,327 8,980 9,514 9,605 10,472

Keterangan : *) Angka Sementara Sumber : Ditjennak (2011)

Dijelaskan pada Tabel 3 bahwa populasi sapi perah di Indonesia terakhir berjumlah 487.000 ribu ekor pada tahun 2009, hanya mengalami kenaikan sedikit dari tahun sebelumnya yang berjumlah 458.000 ribu ekor. Peningkatan sebesar 6,33 persen ini sebenarnya tidak mampu untuk memenuhi jumlah kebutuhan susu segar sesuai dengan kebutuhan dalam negeri, adapaun tingkat produksi susu segar yang berasal dari sapi perah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Produksi Susu Segar dan Tingkat Konsumsi Susu Segar di Indonesia Tahun 2003 – 2009.

No Tahun Produksi Susu Konsumsi Susu

(ton produksi) persentase (Ton konsumsi) persentase

1 2003 553.000 - 1.021.802 -

2 2004 549.000 -0,63 1.237.986 21,15 3 2005 535.962 -2,54 1.291.294 4,30 4 2006 616.549 15,03 1.354.235 4,87 5 2007 567.683 3,29 1.758.243 29,83 6 2008 646.953 1,58 2.156.510 22,65

7 2009*) 679.331 - - -

Keterangan : *) Angka Sementara Sumber : Ditjennak (2011)


(6)

Tabel 4 menjelaskan bahwa terjadi volatilitas produksi dan peningkatan konsumsi nasional. Pada tingkat produksi tahun 2004 terjadi penurunan tingkat produksi dari total produksi sebesar 549.000 ton, kemudian turun kembali sebesar 535.962 ton pada tahun 2005. Penurunan tingkat produksi kembali terjadi pada tahun 2007 sebesar 567.683 ton dari total tahun sebelumnya sebesar 616.549 ton. Banyak hal yang menyebabkan fluktuasi produksi ini terjadi, namun pada umumnya Indonesia memiliki prospek pengembangan usaha sapi perah yang relatif besar, karena melihat dari semakin meningkatnya tingkat konsumsi nasional.

Provinsi Jawa Barat dikenal sebagai salah satu sentra produksi susu sapi perah penghasil terbaik dan terbanyak kedua di Indonesia setelah Provinsi Jawa Timur (Lampiran 1). Bahkan pada tahun 2008 produksi susu segar di Jawa barat mencapai 225.212 ton, berbeda dengan produksi susu segar Provinsi Jawa Timur yang berada di peringkat pertama penghasil susu segar terbanyak di Indonesia yang pada tahun 2008 mencapai angka produksi sebesar 312.270 ton. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki karakteristik yang cocok untuk usaha sapi perah. salah satu karakteristik yang menjadi dukungan pengembangan usahaternak sapi perah adalah sumber bahan baku yang melimpah yang berasal dari limbah pertanian, ketersediaan air, dan iklim yang cocok untuk sapi perah dalam berproduksi. Keberadaan industri susu di Jawa Barat memang sudah sejak dahulu menjadi komoditi primadona, bukan hanya karena letak geografis yang memungkinkan usahaternak sapi perah penghasil susu segar tersebut dapat dilaksanakan, namun selain itu budaya masyarakat sunda yang gemar untuk beternak dan memanfaatkan hasil ternak untuk dikonsumsi maupun dijual menjadikan komoditi susu segar terus berkembang di masyarakat baik sebagai usaha rakyat maupun sebagai usaha komersial dengan tingkat pendapatan yang relatif besar sesuai dengan skala usaha yang dijalankan.

Menurut Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2011), Kabupaten Bogor merupakan wilayah penghasil susu segar kelima terbesar setelah Bandung, Garut, Kuningan, dan Sumedang (Lampiran 2). Kabupaten Bogor memiliki potensi usahaternak sapi perah penghasil susu segar yang cukup baik, hal ini dapat terlihat dari tingkat populasi yang terus berkembang. Rata-rata perkembangan populasi


(7)

sapi perah di Kabupaten Bogor mengalami pertumbuhan sebesar 2,94 persen untuk setiap tahunnya. Tidak hanya dari segi populasi ternak sapi perah saja perkembangan Kabupaten Bogor dapat dilihat, namun juga dari segi produksi susu segar yang dihasilkan. Pada Tabel 5 diungkapkan bahwa ternyata populasi sapi perah dan produksi susu segar di Kabupaten Bogor tidak selamanya mengalami peningkatan, bahkan terlihat jelas pada tahun 2006 populasi sapi perah Kabupaten Bogor mengalami defisit sebesar -5,74 persen, sedangkan dari segi produksi susu segar pada tahun yang sama pula jumlah produksi susu segar mengalami penurunan sebesar 9.038 ton, berbeda jauh dari produksi tahun sebelumnya sebesar 11.446 ton. Namun setelah penurunan angka populasi dan produksi tersebut, Kabupaten Bogor terus mengalami peningkatan, bahkan pada tahun 2008 populasi sapi perah mencapai angka 5.907 ekor dengan peningkatan produksi sebesar 10.442 ton, dan memiliki rata- rata produksi antara tahun 2004 hingga tahun 2008 mencapai 2,67 persen, namun kembali turun menjadi 2,21 persen tahun 2010. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usahaternak sapi perah penghasil susu segar di Kabupaten Bogor berpotensi dikembangkan, sehingga diharapkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan penduduk khususnya Kabupaten Bogor.

Tabel 5. Perkembangan Populasi Sapi Perah dan Produksi Susu Segar di Kabupaten Bogor Tahun 2004 – 2010.

Tahun Populasi Sapi Perah (ekor) Perkembangan (%) Produksi Susu Segar (ton)

Rata – rata Produksi tahun 2004 –

2010 (%)

Produktivitas (%)

2004 5.356 4,00 11.279

2,67

2,1

2005 5.435 1,47 11.446 2,1

2006 5.123 (5,74) 9.038 1,78

2007 5.268 2,83 9.294 1,76

2008 5.907 12,13 10.422 1,76

2009 7.131 20,72 10.767 3,31 1,5

2010 7.288 2,20 11.005 2,21 1,5


(8)

Salah satu penghasil susu segar yang berasal dari sapi perah di Kabupaten Bogor adalah daerah yang berada di wilayah Kecamatan Cisarua. Apabila melihat dari letak geografis Cisarua, daerah ini memiliki iklim yang cocok untuk usahaternak sapi perah dan sangat bagus untuk mendapatkan susu segar yang sehat dan berkualitas, terlihat dari letak wilayah dan dekat dengan wilayah pakan hijauan di sekitar daerah tersebut, yang merupakan salah satu bahan makanan pokok dari sapi perah. Kecamatan Cisarua merupakan daerah peternakan sapi perah terbesar dan merupakan daerah yang cocok untuk mengembangkan peternakan sapi perah, karena terdapat delapan desa yang berada pada ketinggian 500 – 700 meter di atas permukaan laut dan dua desa yang berada pada ketinggian > 700 meter d.p.l., selain itu Kecamatan Cisarua merupakan daerah berbukit dengan ketinggian 500 – 1750 meter d.p.l, dengan kisaran suhu antara 180 - 220 C, dengan kondisi wilayah tersebut dan ketinggian tanah yang bagus maka Cisarua memiliki banyak pilihan untuk dijadikan tempat peternakan sapi perah.

Selain terkenal dengan daerah wisata alamnya, Cisarua merupakan sentra peternakan sapi perah terbesar di seluruh Kabupaten Bogor. Dilihat dari sisi populasi, Cisarua merupakan wilayah terbesar kedua setelah Cijeruk dengan total populasi 1.461 ekor, kemudian jumlah peternak yang mencapai 205 peternak yang tergabung ke dalam lima kelompok peternak. Jumlah terbesar peternak berada di wilayah Desa Cibeureum yang memiliki 90 peternak. Data terakhir yang diperoleh dari Koperasi Giri Tani periode Mei-Juni 2011 mencapai total produksi susu segar yang dihasilkan Kecamatan Cisarua mencapai 12.917 liter.

Tujuan dari usahaternak yang dilakukan oleh peternak di Desa Cibeureum adalah untuk memperoleh pendapatan. Menurut Soekartawi (2002) Pendapatan didapatkan dari selisih penerimaan dan semua biaya. Maka berdasarkan teori Soekartawi tersebut, para peternak di Desa Cibeureum berupaya mengejar penerimaan sebaik mungkin dan meminimalisir seluruh biaya, sedangkan untuk mengukur tingkat pendapatan peternak diperlukan suatu analisis terkait hal tersebut. Maka analisis pendapatan usahatani bisa digunakan untuk mengkaji lebih dalam tentang pendapatan peternak.

Pada dasarnya tiap pendapatan petani terkait dengan tiap biaya yang dikeluarkan. Biaya yang dikeluarkan oleh peternak selalu bergantung kepada tiap


(9)

faktor input produksi yang digunakan, dan tiap peternak menggunakan jumlah input produksi yang berbeda – beda karena disesuaikan dengan kebutuhan peternak dan tingkat populasi yang dimiliki. Sehingga analisis yang terkait biaya dan pendapatan para peternak menjadi sangat penting untuk dikaji.

1.2 Perumusan Masalah

Peternakan sebagai sektor yang mempunyai peranan besar terhadap perekonomian nasional, namun komoditi susu segar yang merupakan salah satu dari produk peternakan sering mengalami permasalahan yang kerap menghambat, baik secara makro maupun mikro. Daryanto (2009) mengungkapkan bahwa diantara hambatan yang mempengaruhi pertumbuhan sektor peternakan, diantaranya pertama, bahan baku kurang tersedia, sehingga Indonesia masih harus mengimpor, akibatnya biaya produksi relatif tinggi. Kedua, iklim investasi (misalnya ekonomi biaya tinggi, proses perizinan yang lama dan berbelit, sarana dan prasarana jalan dan transportasi kuarang, penegakan hukum yang ketat tidak ada) belum kondusif bagi para investor, ketiga, harga bahan bakar minyak dan pakan yang naik (terkait persaingan (food-fibre-feed-fuel) menyebabkan meningkatnya biaya produksi, pengolahan, dan transportasi hasil-hasil peternakan.

Keempat, kualitas sumber daya manusia (SDM) yang relatif rendah. Kelima, modal terbatas sehingga menghambat pengembangan usaha. Keenam, penyakit mewabah di beberapa daerah.

Salah satu penghasil susu sapi segar Kabupaten Bogor di Desa Cibereum Kecamatan Cisarua adalah peternak yang tergabung ke dalam Kelompok Tani Ternak Sapi Perah. Terdapat dua kelompok peternak yaitu Baru Sireum dan Bina Warga, dengan total keseluruhan anggota sebesar 41 anggota aktif dan masih melakukan kegiatan peternakan. Pada tahun 2003, para peternak sapi perah melalui KUD Giri Tani melakukan kerjasama dengan perusahaan Cimory dalam rangka memberikan suplai bahan baku susu. Kebutuhan bahan baku susu oleh perusahaan Cimory sampai tahun 2010 mencapai total 5.520.000 liter susu, dan permintaan terhadap bahan baku susu segar dari Desa Cibeureum ini akan terus bertambah seiring dengan perluasan usaha dan perkembangan perusahaan Cimory di masa yang akan datang. Pasokan susu para peternak harus memenuhi pasokan


(10)

tetap setiap harinya untuk memenuhi klausul kontrak sebesar minimal 10.000 liter per hari dari para peternak ke KUD Giri Tani, namun kontrak baru sudah disusun dan disetujui dengan poin kontrak yang diperbaharui untuk minimum pasokan menjadi sebesar 20.000 liter per hari. Selain itu angka produksi susu peternak di desa ini hanya mampu berproduksi rata – rata di kisaran 14 liter/ekor/hari.

Faktor-faktor input produksi yang diperkirakan memiliki dampak cukup signifikan bagi hasil produksi susu segar cukup banyak, diantaranya pakan konsentrat, hijauan, tenaga kerja, obat – obatan, ketersediaan air. Hal inilah yang harus diteliti dan dianalisis, seberapa besar pengaruh input produksi terhadap hasil produksi dan input produksi mana yang memiliki dampak signifikan.

Seiring dengan adanya peningkatan input produksi maka akan berdampak terhadap jumlah biaya yang dikeluarkan oleh peternak untuk tiap input produksi. Biaya – biaya yang berkaitan dengan input produksi merupakan bagian dari analisis pendapatan usahatani. Karena setiap faktor input yang digunakan tentu akan berpengaruh terhadap besar atau kecilnya jumlah biaya yang dikeluarkan oleh peternak, selain biaya juga terdapat faktor lain yang menentukan, yaitu tingkat penerimaan yang diperoleh dari produksi susu yang dihasilkan dikalikan dengan harga jual susu yang telah ditentukan oleh koperasi, maka analisis terkait dengan struktur biaya yang berujung kepada pendapatan adalah dengan menggunakan analisis pendapatan usahatani. Selain itu cara untuk meningkatkan penerimaan peternak adalah dengan meningkatkan produksi susu melalui penambahan atau pengurangan kuantitas per input produksi yang digunakan. Sehingga para peternak sapi perah penghasil susu segar tentu saja tidak terlepas dari faktor – faktor produksi, dan perlu mengetahui faktor apa saja yang signifikan terhadap peningkatan produksi susu serta implikasinya terhadap pendapatan usahatani peternak sapi perah di Desa Cibeureum, agar para peternak mampu untuk mendapatkan informasi dan menjadikan hasil analisis ini sebagai suatu dasar pengambilan keputusan yang baik. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan bahwa permasalahan yang akan dikaji pada analisis ini adalah

1. Bagaimana tingkat analisis pendapatan usahatani pada peternak susu sapi perah di Desa Cibeureum.


(11)

2. Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi produksi susu sapi perah pada peternak di Desa Cibereum.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis tingkat pendapatan usahatani pada peternak susu sapi perah di

Desa Cibeureum

2. Menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi pada peternak di desa Cibeureum

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini ditujukan untuk dapat berperan serta di dalam memberikan pemaparan dan dapat bermanfaat untuk berbagai pihak, antara lain : 1. Manfaat kepada para peternak di desa Cibeureum melalui Kelompok ternak

maupun Koperasi untuk mengetahui input produksi apa saja yang mempengaruhi produksi, sehingga dapat menanganinya dengan baik dan mampu untuk mengembangkan usahaternak yang dilakukan serta meningkatkan pendapatan.

2. Manfaat untuk para pembuat kebijakan peternakan setempat, diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk mengambil keputusan di dalam menentukan kebijakan terkait susu segar di wilayah Kabupaten Bogor pada umumnya dan Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua pada Khususnya.

3. Manfaat untuk penulis adalah penelitian ini memiliki fokus dan mensinergikan serta mengaplikasikan teori yang telah didapat oleh penulis dalam perkuliahan dengan keadaan dan kondisi nyata di lapangan.

4. Manfaat untuk akademisi yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan dapat berguna, selain itu penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dasar bagi penelitian – penelitian selanjutnya, sebagai bahan informasi, dan bahan pustaka keperluan penelitian lainnya.


(12)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

1. Penelitian ini dibatasi pada analisis tingkat pendapatan usahatani pada para petenak susu sapi perah di Desa Cibeureum dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi perah.

2. Lingkup penelitian ini dilakukan pada peternak di Desa Cibeureum yang tergabung ke dalam Koperasi Giri Tani, Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor yang tergabung ke dalam dua kelompok ternak yaitu Kelompok Tani Ternak Sapi Perah Baru Sirem dan Kelompok Tani Ternak Sapi Perah Bina Warga. 3. Objek pada penelitian ini dibatasi hanya sapi laktasi dengan range umur

antara 3-8 tahun atau laktasi pertama hingga laktasi kelima.


(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Usaha Peternakan Sapi Perah.

Peternakan sapi perah di Indonesia umumnya merupakan usaha keluarga di pedesaan dalam skala kecil, sedangkan usaha skala besar masih sangat terbatas dan umumnya merupakan usaha sapi perah yang baru tumbuh. Komposisi peternak sapi perah diperkirakan terdiri dari 80 persen peternak kecil dengan kepemilikan sapi perah kurang dari empat ekor, 17 persen peternak dengan kepemilikan sapi perah empat sampai tujuh ekor, dan tiga persen kepemilikan sapi perah lebih dari tujuh ekor. Menurut (Mubyarto 1989, diacu dalam Alpian 2010), memaparkan peternakan berdasarkan pola pemeliharaan usahaternak di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu : peternakan rakyat, peternakan semi komersil dan peternakan komersil.

1) Peternakan Rakyat dengan cara melakukan pemeliharaan ternak secara tradisional. Pememliharaan dengan menggunakan cara ini dilakukan setiap hari oleh anggota kelompok keluarga peternak, dengan keterampilan yang dimiliki masih sederhana dan menggunakan bibit ternak lokal dalam jumlah dan mutu yang terbatas. Memiliki tujuan utama yaitu pemeliharaan sebagian hewan kerja sebagai pembajak sawah atau tegalan.

2) Peternakan Rakyat Semi Komersil dengan keterampilan beternak yang dikategorikan cukup. Kemudian penggunaan bibit unggul, obat-obatan, serta makanan penguat cenderung meningkat. Tujuan utama pemeliharaan untuk menambah pendapatan keluarga dan konsumsi sendiri.

3) Peternakan Komersil dijalankan oleh peternak yang mempunyai kemampuan dalam segi modal, sarana produksi, dengan teknologi yang cukup modern. Seluruh tenaga kerja dibayar dan makanan ternak dibeli dari luar dalam jumlah besar.

Selain pengelompokkan peternakan di Indonesia yang dilakukan oleh Mubyarto (1989) diacu dalam Alpian (2010), peternakan pun memiliki sejarah cukup panjang di Indonesia, maka Yusdja (2005) memaparkan bahwa usaha sapi perah telah berkembang sejak tahun 1960 ditandai dengan pembangunan usaha – usaha swasta dalam usaha sapi perah di sekitar Sumatera Utara, Jawa Barat, dan


(14)

Jawa Tengah. Mulai tahun 1977, Indonesia mulai mengembangkan agribisnis sapi perah ditandai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. SKB ini merumuskan kebijakan dan program pengembangan agribisnis sapi perah di Indonesia. Setidaknya terdapat dua dasar yang digunakan yakni agribisnis sapi perah dikembangkan melalui koperasi/KUD sapi perah dan pemasaran susu diatur oleh koperasi dan Industri Pengolahan Susu.

Selain itu Yusdja (2005) juga memperlihatkan bahwa industri sapi perah di Indonesia mempunyai struktur relatif lengkap yakni peternak, pabrik pakan, dan pengolahan susu yang relatif maju dan kapasitas yang cukup tinggi, dan tersedianya kelembagaan peternak yakni Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Sementara itu struktur produksi susu sapi perah terdiri atas usaha besar, UB (lebih dari 100 ekor), usaha menengah, UM (30 – 100 ekor), usaha kecil, UK (10 – 30 ekor) dan usaha rakyat, UR (1 – 9 ekor). UR pada umumnya merupakan anggota koperasi. UK berkembang di Sumatera Utara, sedangkan UB dan UM berkembang di Pulau Jawa. Situasi kontribusi produksi susu sekarang adalah US, UM, UK dan UR masing-masing 1, 5, 7, 90 persen. Selanjutnya kelompok US, UM, UK disebut sebagai pihak swasta atau US.

Peternakan sapi perah telah dimulai sejak abad ke-19 yaitu dengan pengimporan sapi-sapi bangsa Ayrshire, Jersey, dan Milking shorthorn dari Australia. Pada permulaan abad ke-20 dilanjutkan dengan mengimpor sapi-sapi

Fries Holland (FH) dari Belanda. Sapi perah dewasa yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah sapi Fries Holland (FH) yang memiliki produksi susu tertinggi dibandingkan sapi jenis lainnya (Sudono, 1999), lihat Tabel 6. Kondisi peternakan sapi perah di Indonesia saat ini adalah skala usaha kecil (dua sampai lima ekor), motif usahanya adalah rumah tangga, dilakukan sebagai usaha sampingan atau usaha utama, masih jauh dari teknologi serta didukung oleh manajemen usaha dan permodalan yang masih lemah (Erwidodo,1993). Di Indonesia populasi bangsa sapi Fries Holland (FH) merupakan yang terbesar diantara jumlah populasi bangsa sapi perah yang lain.

Sentra peternakan sapi di dunia ada di negara Eropa (Skotlandia, Inggris, Denmark, Perancis, Switzerland, Belanda), Italia, Amerika, Australia, Afrika dan Asia (India dan Pakistan). Sapi Friesian Holstein misalnya, terkenal dengan


(15)

produksi susunya yang tinggi (lebih dari 6350 kg/th), dengan persentase lemak susu sekitar 3-7 persen. Namun demikian sapi – sapi perah tersebut ada yang mampu berproduksi hingga mencapai 25.000 kg susu/tahun, apabila digunakan bibit unggul, diberi pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak, lingkungan yang mendukung dan menerapkan budidaya dengan manajemen yang baik. Saat ini produksi susu di dunia mencapai 385 juta m2/ton/thn, khususnya pada zone yang beriklim sedang. Produksi susu sapi indonesia (terutama peternak kecil) masih kurang dari 10 liter/hari dan jauh dari standar normalnya 12 liter/hari (rata-ratanya hanya 5-8 liter/hari).

Usaha peternakan sapi perah di Indonesia umumnya terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu. Berkaitan dengan terkonsentrasinya usaha peternakan sapi perah tersebut, Sutardi (1981) mengemukakan bahwa usaha peternakan sapi perah di Indonesia terletak pada dua wilayah ekstrim yaitu: 1) wilayah yang memiliki kondisi fisik alam yang rendah akan tetapi memiliki kondisi sosial ekonomi yang tinggi dan 2) wilayah dengan kondisi alam yang tinggi tetapi mempunyai kondisi sosial ekonomi yang rendah. Pada dasarnya, tipe wilayah (1) merupakan dataran rendah yang terletak di sekitar kota besar dan bersuhu panas, dan tipe wilayah (2) menggambarkan pedesaan yang terletak di dataran tinggi dan bersuhu sejuk. Beberapa kelemahan yang timbul dari karakteristik tersebut adalah rendahnya penyediaan hijauan dan performa produksi pada tipe wilayah (1) serta minimnya penyediaan konsentrat dan rantai pemasaran susu di tipe wilayah (2).

Namun usahaternak sapi perah merupakan usaha yang menguntungkan dibandingkan dengan usahaternak yang lain. Beberapa keuntungan usahaternak sapi perah menurut Nurdin (2011) yaitu : 1) peternakan sapi perah termasuk usaha yang bersifat tetap, karena produksi susu dalam suatu usaha peternakan sapi perah tidak banyak bervariasi dari tahun ke tahun jika dibandingkan dengan hasil pertanian lainnya (biasanya variasi tidak lebih dari 2 persen), 2) sapi perah memiliki kemampuan untuk merubah bahan makanan menjadi protein hewani dan kalori dengan lebih efisien dibandingkan ternak lainnya, 3) jaminan pendapatan (income) dari usaha sapi perah adalah tetap, karena sapi perah akan berproduksi setiap hari secara terus menerus sepanjang tahun, 4) penggunaan tenaga kerja yang tetap dan tidak musiman, 5) pakan relatif mudah didapat dan murah, karena


(16)

sapi perah dapat menggunakan berbagai jenis hijauan yang tersedia atau sisa-sisa hasil pertanian, 6) sapi perah ikut menjaga kesuburan tanah dan pelestarian lingkungan, karena kesuburan tanah dapat dipertahankan dengan memanfaatkan kotoran sapi perah sebagai pupuk kandang, 7) pedet jantan bisa dijual dan dijadikan sapi potong, sedangkan pedet betina bisa dipelihara hingga dewasa dan menghasilkan susu.

Tabel 6. Produksi Susu Bangsa Sapi Perah.

No Bangsa Sapi Perah Produksi Susu

(kg/tahun)

Persentase Lemak Susu (%)

1 Ayshire 5000 4,0

2 Brown Swiss 5000 – 5500 4,0

3 Guernsey 4500 4,7

4 Fries Holland 5750 3,7

5 Jersey 4000 5,0

Sumber : Bade dan Blakey (1991)

Pada tahun 1957 telah dilakukan perbaikan mutu genetik sapi madura dengan jalan penyilangan dengan sapi Red Deen. Persilangan lain yaitu antara sapi lokal (peranakan Ongole) dengan sapi perah jenis Frisian Holstein guna memperoleh sapi perah jenis baru yang sesuai dengan iklim dan kondisi cuaca di Indonesia.

Kemampuan sapi perah dalam menghasilkan susu ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan, dan pemberian pakan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu antara lain umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar sapi, manajemen pemeliharaan dan pakan. Sapi perah umur dua tahun akan menghasilkan susu sekitar 70 sampai 75 persen dari produksi susu tertinggi sapi yang bersangkutan. Pada umur tiga tahun akan menghasilkan susu 80 sampai 85 persen, sedangkan umur empat sampai lima tahun menghasilkan susu 92 sampai 98 persen (Schmidt dan Hutjuers, 1998). Oleh karena itu faktor


(17)

yang akan mempengaruhi produksi susu perlu diperhatikan dengan seksama dan ditangani dengan sebaik mungkin dengan tujuan memperoleh hasil yang optimal.

2.1.1 Jenis Ternak Sapi Perah.

Sapi adalah hewan ternak penting yang memiliki fungsi sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja, dan kebutuhan energi lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50 persen (45 – 55 persen) kebutuhan daging di dunia, 95 persen kebutuhan susu, dan 85 persen kebutuhan kulit. Sapi berasal dari familia Bovide, seperti halnya Bison, Banteng, Kerbau (Bubalus), Kerbau Afrika (Scnyherus), dan Anoa. Penyebaran sapi mulai dilakukan sekitar 400 tahun SM. Sapi diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian menyebar ke tanah Eropa, Afrika, dan seluruh wilayah Asia. Menjelang akhir abad ke-19 sapi Ongole dari India mulai masuk ke pulau Sumba dan sejak itu pulau tersebut dijadikan tempat pembiakan sapi Ongole murni.

Pada permulaan abad ke-20 banyak sekali perusahaan sapi perah dipinggiran kota-kota besar di pulau Jawa dan Sumatera. Mayoritas perusahaan merupakan milik pengusaha dari Eropa, Cina, India dan Arab. Hanya segelintir kecil milik pribumi (penduduk asli). Bangsa sapi perah yang terdapat pada masa tersebut adalah Frisian Holstein atau biasa disebut Fries Holland, Jersey,

Ayrshire, Dairy Shorhorn dan Hissar, namun pada kenyataannya jenis sapi perah yang terus berkembang adalah Fries Holland. Sedangkan bangsa sapi Hissar

masih terus tetap diternakkan didaerah Sumatera bagian Utara dan Daerah Istimewa Aceh, namun populasinya tidak terlampau besar.

2.1.2 Karakteristik Sapi Perah.

Secara garis besar, bangsa – bangsa sapi (Bos) yang terdapat di dunia terdapat dua jenis, yaitu pertama kelompok yang berasal dari sapi Zebu (Bos Indicus) atau jenis sapi berpunuk yang berasal dan tersebar di wilayah daerah tropis, kedua kelompok dari Bos Primigenius yang tersebar di daerah sub tropis atau lebih dikenal dengan Bos Taurus. Jenis sapi perah yang unggul dan paling banyak dipelihara adalah sapi Shorhorn dari Inggris, Frisian Holstein dari Belanda, Yersey dari selat Channel antara Kepulauan Inggris dan Perancis, Brown


(18)

Swiss dari Switzerland, Red Danish dari Denmark, dan Droughtmaster dari Australia.

Hasil survei di Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi Bogor menunjukkan bahwa jenis sapi perah yang paling cocok dan menguntungkan untuk dibudidayakan di Indonesia adalah Jenis sapi perah Frisian Holstein. Hal tersebut didasari oleh tingkat produksi susu yang dihasilkan lebih besar dari jenis lain dalam satu tahun dan memiliki kadar lemak yang lebih kecil (Tabel 6), bila dibandingkan dengan jenis sapi perah lain sehingga menyehatkan bagi kesehatan.

2.2 Komoditi Susu dan Perkembangannya.

Daryanto (2009) mengemukakan bahwa dalam peta perdagangan internasional produk-produk susu, saat ini Indonesia berada pada posisi sebagai

net-consumer. Sampai saat ini industri pengolahan susu nasional masih sangat bergantung pada impor bahan baku susu. Jika kondisi tersebut tidak dibenahi dengan membangun sebuah sistem agribisnis yang berbasis peternakan, maka Indonesia akan terus menjadi negara pengimpor hasil ternak khususnya susu sapi.

Dilihat dari sisi konsumsi, sampai saat ini konsumsi masyarakat Indonesia terhadap produk susu masih tergolong sangat rendah bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Konsumsi susu masyarakat Indonesia hanya 8 liter/kapita/tahun itu pun sudah termasuk produk-produk olahan yang mengandung susu. Konsumsi susu negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Singapura rata-rata mencapai 30 liter/kapita/tahun, sedangkan negara-negara Eropa sudah mencapai 100 liter/kapita/tahun. Masih menurut Daryanto (2009) menyatakan Seiring dengan semakin tingginya pendapatan masyarakat dan semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, dapat dipastikan bahwa konsumsi produk-produk susu oleh penduduk Indonesia akan meningkat. Perkiraan peningkatan konsumsi tersebut merupakan peluang yang harus dimanfaatkan dengan baik. Produksi susu segar dan produk-produk derivatnya seharusnya dapat ditingkatkan. Kondisi produksi susu segar Indonesia saat ini, sebagian besar (91 persen) dihasilkan oleh usaha rakyat dengan skala usaha 1-3 ekor sapi perah per peternak.


(19)

Skala usahaternak kecil seperti ini jelas kurang ekonomis karena keuntungan yang didapatkan dari hasil penjualan susu hanya cukup untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup peternak nya saja. Dari sisi produksi kepemilikan sapi perah tiap peternak perlu ditingkatkan. Menurut manajemen modern sapi perah, skala ekonomis bisa dicapai dengan kepemilikan 10-12 ekor sapi per peternak.

Daryanto (2009) kembali menjabarkan bahwa dilihat dari sisi kelembagaan, sebagian besar peternak sapi perah yang ada di Indonesia merupakan anggota koperasi susu. Koperasi tersebut merupakan lembaga yang bertindak sebagai mediator antara peternak dengan industri pengolahan susu. Koperasi susu sangat menentukan posisi tawar peternak dalam menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan, dan harga yang akan diterima peternak. Peranan koperasi sebagai mediator perlu dipertahankan. Pelayanannya perlu ditingkatkan dengan cara meningkatkan kualitas SDM koperasi serta memperkuat networking dengan industri-industri pengolahan. Adaptasi kelembagaan contract farming akan sangat membantu terwujudnya upaya ini.

Terkait dengan agribisnis susu, pada tahun 1983 Pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan dan Koperasi. Dalam SKB tersebut industri pengolah susu diwajibkan menyerap susu segar dalam negeri sebagai pendamping dari susu impor untuk bahan baku industrinya. Proporsi penyerapan susu segar dalam negeri ditetapkan dalam bentuk rasio susu yaitu perbandingan antara pemakaian susu segar dalam negeri dan susu impor

yang harus dibuktikan dalam bentuk ”bukti serap” (BUSEP). BUSEP tersebut

bertujuan untuk melindungi peternak dalam negeri dari persaingan terhadap susu impor. Namun dengan adanya Inpres No 4 Tahun 1998 yang merupakan bagian dari LoI yang ditetapkan oleh IMF, maka ketentuan pemerintah yang membatasi impor susu melalui BUSEP menjadi tidak berlaku lagi, sehingga susu impor menjadi komoditi bebas masuk. Persoalan di industri hilir pun ada, misalnya tarif BM yang tidak harmonis antara produk susu (5 persen) dengan bahan baku lain seperti gula (35 persen) dan kemasan (5 – 20 persen). Guna meningkatkan pangsa


(20)

pelaku pasar domestik dalam pasar susu segar Indonesia, BUSEP perlu diberlakukan kembali dan tarif BM produk susu perlu peninjauan kembali.

2.3 Industri Susu segar di Indonesia dan Kebijakan Pemerintah.

Dalam menghadapi dan memperbaiki kondisi industri susu di Indonesia pemerintah pada tanggal 21 Juli 1982 mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan dan Koperasi, dengan SKB Nomor 236/Kpb/VII/1982; Nomor 341/M/SK/1982, dan Nomor 521/Kpts/UM/7/1982 tentang pengembangan usaha peningkatan produksi susu, pengolahan dan pemasaran susu di dalam negeri yang mewajibkan industri pengolahan susu untuk menyerap susu dari peternak rakyat. SKB tersebut meyatakan bahwa Industri Pengolahan Susu (IPS) diwajibkan menyerap susu segar dalam negeri (SSDN) sebagai pendamping dari susu impor untuk bahan baku industrinya. Proporsi penyerapan SSDN ditetapkan dalam

bentuk “rasio susu”, yaitu perbandingan antara pemakaian SSDN dan susu impor.

Pada tanggal 2 Januari 1985, pemerintah mengeluarkan Inpres No. 2 Tahun 1985, sebagai tindak lanjut dari SKB sebelumnya. Berdasarkan Inpres tersebut, pemerintah membentuk Tim Koordinasi Persusuan Nasional (TPKN) yang tugasnya menetapkan rasio antara penyerapan SSDN dengan impor susu oleh IPS. Usaha untuk mendapatkan ijin mengimpor susu, maka IPS harus menunjukkan Bukti Serap (Busep) susu segar dalam negeri. Kebijakan pemerintah tersebut diharapkan dapat mengurangi dan mengatasi permasalahan persusuan di Indonesia.

Adanya jaminan dan pembinaan yang serius dari pemerintah akan mendukung perkembangan usaha peternakan sapi perah secara pesat, khususnya di lokasi – lokasi yang memang telah memiliki tradisi beternak sapi perah. Tradisi yang dimaksud adalah sumber daya manusia yang memiliki keterampilan yang cukup baik, sumber daya alam/lingkungan serta perangkat pemasaran yang mendukung usaha peternakan sapi perah termasuk penyediaan sarana penampungan susu, pendinginan (Cooling Unit), transportasi dan industri.

Sejak Februari tahun 1998, ketika Letter of Intent (LoI) ditandatangani oleh IMF dan Pemerintah Indonesia, maka sejak saat itu hingga sekarang, produk


(21)

pertanian termasuk susu menjadi komoditi yang bebas diperdagangkan tanpa ada proteksi yang selama ini berlaku. Realisasi dari kebijakan tersebut adalah dicabutnya surat keputusan bersama tentang Busep dan ratio susu, dengan dikeluarkannya Inpres 4/1998, sehingga mekanisme impor dan perdagangan susu sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar.

Selama 18 tahun terakhir, peranan produksi susu segar dalam negeri sebagai substitusi impor terlihat makin meningkat, tercermin dari meningkatnya rasio penyerapan susu segar dalam negeri terhadap susu impor dari 1:20 pada tahun 1979 menjadi 1:2,4 pada tahun 1996 dan 1:2,0 pada tahun 1997 (GKSI, 2000), meskipun kebijakan Busep dan rasio susu memang sudah tidak ada lagi, namun bentuk kerja sama dan saling membutuhkan antara peternak sapi perah dengan industri pengolahan susu sudah terjadi sejak lama, sejak kebijakan tersebut dikeluarkan. Krisis ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan 1997 menyebabkan harga susu impor menjadi sangat mahal, sehingga industri pengolahan susu dalam negeri lebih memilih untuk tetap menyerap produksi susu segar dalam negeri disebabkan harga susu segar produksi dalam negeri lebih murah dibandingkan harga susu impor, karena fluktuasi nilai tukar mata uang Rupiah yang tinggi. Yusdja (2005) mengungkapkan bahwa produksi susu segar usaha peternakan rakyat diperkirakan sekitar 88 persen disalurkan ke industri pengolahan susu, sedangkan pencabutan kebijakan tentang Busep dan rasio susu menyebabkan industri pengolahan susu hanya akan membeli susu segar dalam negeri jika harganya lebih murah dari harga bahan baku impor. Bila terjadi sebaliknya, industri pengolahan susu dalam negeri akan menggunakan bahan baku susu impor, karena belum adanya jalinan kemitraan. Dengan kata lain industri susu nasional akan mengalami permasalahan yang cukup pelik, karena tidak adanya daya serap dari pasar (koperasi, IPS), dan secara perlahan industri peternakan sapi perah penghasil susu akan megalami kebangkrutan massal karena tidak adanya saling kerjasama baik dalam hal harga jual maupun saluran pemasarannya.

Kategori industri pengolahan susu dalam negeri yang termasuk ke dalam daftar DNI akan menghambat investasi baru masuk kedalam industri. Kebijakan ini berakibat struktur pasar persaingan diantara perusahaan pengolahan susu sulit


(22)

ditembus oleh pendatang baru. Namun syarat perpaduan dengan industri peternakan sapi perah merupakan peluang dan upaya positif untuk menciptakan sistem agroindustri susu Indonesia yang lebih baik, kompetitif dan berbasis sumber daya lokal. Dengan demikian industri susu di Indonesia masih memiliki kekuatan dan kekurangan dari sudut pandang regulasi kebijakan pemerintah di dalam membangun suatu sistem industri susu yang tangguh di Indonesia.

2.4 Tata Laksana Pemeliharaan Sapi Perah

Menurut Sudono (1985) diacu dalam Heriyatno (2009) faktor – faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi perah dipengaruhi oleh keturunan sebesar 30 persen dan lingkungan sebesar 70 persen. Faktor – faktor tersebut antara lain yaitu ; 1) Bangsa dan rumpun sapi, 2) Lama bunting (gestation period), 3) Masa Laktasi, 4) Estrus, 5) Umur Sapi, 6) Interval beranak (calving interval), 7) Masa kering kandang, 8) Frekuensi pemerahan, 9) Besarnya ukuran sapi, 10) pakan dan tata laksana pemeliharaan.

Namun keseluruhan faktor-faktor yang menjadi perhatian untuk memacu produksi susu tersebut tidak terlepas dari aspek- spek yang perlu dicermati di dalam pemeliharaan sapi perah adalah diantaranya penyediaan bibit unggul, pemberian pakan (konsentrat dan hijauan), perkandangan, penanganan penyakit, perkawinan, pemerahan, penanganan pasca panen (pemerahan), penanganan limbah, pemasaran, dan distribusi (Sudono et al., 2003).

Menurut Alpian (2010) umumnya variasi dalam produksi susu di beberapa peternakan sapi perah disebabkan oleh perbedaan dalam makanan dan tata laksananya. Sudono (1999) menjelaskan bahwa pemberian makanan yang banyak pada sapi yang kondisinya jelek pada waktu sapi itu sedang dikeringkan dapat meningkatkan susu sebesar 10-30 persen.

Pemberian air sangat penting untuk produksi susu, karena susu 87 persen terdiri dari air dan 50 persen dari badan sapi terdiri dari air. Jumlah air yang dibutuhkan tergantung pada produksi susu yang dihasilkan sapi, suhu sekelilingnya dan macam makanan yang diberikan. Sehingga dari kedua pernyataan itu, produksi susu bergantung dari input-input produksi yang diberikan oleh peternak dan cara peternak mengolah ransum pakan serta pengaturan tata


(23)

laksana yang baik akan menimbulkan hasil yang positif berupa produksi yang berkelanjutan.

2.5 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Produksi.

Dalam kaitan dengan faktor – faktor yang mempengaruhi produksi, Soekartawi (1986) memaparkan bahwa penggunaan faktor produksi yang akan dipakai dalam analisis selain tergantung dari penting tidaknya pengaruh penggunaannya terhadap produksi juga dibatasi pada faktor poduksi yang dapat dikontrol.

Penelitian yang mengungkapkan tentang faktor – faktor yang mempengaruhi produksi adalah Alpian (2010), Heriyatno (2009) dan Sihite (1998). Alpian (2010) meneliti tentang faktor – faktor yang mempengaruhi produktivitas susu dan pendapatan peternak sapi perah di Sumedang, sedangkan Heriyatno (2009) menganalisis pendapatan dan faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi perah di tingkat peternak pada anggota Koperasi Serba Usaha Karya Nugraha di Kuningan. Hampir sama dengan Heriyatno (2009) dan Alpian (2010), sihite (1998) menganalisis faktor produksi yang mempengaruhi usaha peternakan sapi perah di Sukabumi.

Hasil penelitian Alpian (2010) mengungkapkan tentang faktor – faktor yang mempengaruhi produktivitas susu bahwa berdasarkan hasil pendugaan model nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 74,9 persen. Nilai determinasi (R2) 74,9 persen tersebut menunjukkan variasi produktivitas yang dapat dijelaskan secara bersama-sama oleh faktor hijauan, konsentrat, ampas tahu, vaselin, dan tenaga kerja, sedangkan 25,1 persen lagi dijelaskan oleh faktor – faktor diluar model. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa hijauan mempunyai nilai koefisien yaitu 0,6761, konsentrat sebesar 0,31289 dan ampas tahu sebesar 0,08651 artinya dengan meningkatkan pemakaian sebesar satu persen ketiga input tersebut akan meningkatkan produktivitas sebesar nilai koefisiennya. Selain itu ketiga faktor ini masing – masing mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas susu. Sementara untuk tenaga kerja mempunyai nilai koefisien negatif yaitu -0,55327 artinya dengan meningkatkan penggunaan input tersebut justru akan menurunkan produktivitas sebesar 0,55327. Selain itu faktor tenaga


(24)

kerja mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas susu. Dengan kata lain faktor yang mempengaruhi produksi susu terletak pada variabel Hijauan, Konsentrat, Ampas tahun dan Tenaga kerja.

Berbeda halnya dengan hasil penelitian Alpian (2010), Heriyatno (2009) memaparkan dalam hasil penelitiannya bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi produksi susu di tingkat peternak menunjukkan jumlah pemberian pakan konsentrat, jumlah pemberian pakan hijauan, dan masa laktasi berpengaruh nyata terhadap produktivitas sapi perah peternak, sedangkan faktor besarnya biaya usaha tidak berpengaruh nyata. Fungsi produksi yang digunakan untuk menganalisis usaha ternak sapi perah menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 40,2 persen. Nilai tersebut memiliki pengertian bahwa 40,2 persen hubungan antara faktor – faktor produksi yang digunakan dengan jumlah produksi susu dapat dijelaskan oleh produksi tersebut dan sebesar 59,8 persen hubungan tersebut dijelaskan faktor lain. Sedangkan Sihite (1998), menjelaskan dalam penelitiannya bahwa dalam mengidentifikasi faktor – faktor produksi yang mempengaruhi usaha peternakan sapi perah terdapat beberapa variabel yang diukur yaitu jumlah produksi susu sebagai variabel dependen, jumlah makanan penguat, jumlah makanan hijauan, jumlah tenaga kerja, dan jumlah sapi laktasi. Pada taraf nyata 0,05 persen hanya jumlah pakan hijauan yang mempengaruhi produksi susu secara signifikan, sedangkan jumlah makanan penguat dan persentase sapi laktasi berpengaruh nyata pada taraf nyata 0,10. Jumlah tenaga kerja tidak berpengaruh terhadap produksi susu.

Melihat dari penelitian yang dilakukan oleh Alpian (2010), Heriyatno (2009) dan Sihite (1998), menunjukkan sekaligus menjelaskan tentang faktor – faktor yang mempengaruhi suatu produktivitas susu, namun dari ketiga penelitian tersebut memiliki perbedaan hasil faktor yang mempengaruhi suatu produksi susu dan tempat penelitian yang berbeda sehingga memperlihatkan karakteristik produktivitas susu di berbagai daerah. Selain itu terdapat kesamaan dalam objek penelitian yaitu sapi perah, selain itu ketiga penelitian yang dilakukan oleh Alpian (2010), Heriyatno (2009) dan Sihite (1998) menggunakan analisis pendapatan usahatani R/C Rasio, produksi dan pendapatan dengan fungsi Cobb Douglas. Dan ketiga penelitian tersebut memiliki hasil perhitungan usahatani dengan nilai R/C


(25)

rasio lebih dari satu yang mengandung arti menguntungkan, sedangkan hasil dari fungsi Cobb Douglas menunjukkan hubungan faktor – faktor input yang digunakan dengan output yang dihasilkan.

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti memiliki sejumlah perbedaan dan kesamaan, kesamaan yang dimaksudkan yaitu sama – sama menggunakan objek penelitian susu dan metode analisis yang digunakan. Namun yang membedakan dari penelitian sebelumnya adalah peneliti akan menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi produksi susu di daerah Cisarua dengan menggunakan perhitungan analisis pendapatan usahatani dan analisis Produksi Cobb Douglas.


(26)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis merupakan suatu alur pemikiran yang bersifat teoritis dengan mengacu kepada teori-teori yang berkaitan dengan penelitian. Penelitian ini mencakup teori produksi.

3.1.1 Teori Produksi

Nicholson (1999) diacu dalam Alpian (2010) menjelaskan bahwa produksi adalah kegiatan yang menghasilkan output dengan berbagai kombinasi input dan teknologi terbaik yang tersedia. Handoko (1984) menjelaskan bahwa produksi merupakan usaha-usaha pengelolaan secara optimal penggunaan sumberdaya (atau sering disebut faktor-faktor produksi), tenaga kerja, mesin-mesin, peralatan, bahan mentah, dan sebagainya, dalam proses transformasi bahan mentah dan tenaga kerja menjadi berbagai produk dan jasa.

Jika melihat dari perspektif pertanian menurut Soekartawi et.al (1986) menyebutkan bahwa hubungan kuantitatif antara masukan dan produksi dikenal dengan istilah fungsi produksi. Fungsi produksi yang dimaksud merupakan hubungan fisik atau teknis antara faktor-faktor yang dipergunakan dengan jumlah produk yang dihasilkan per satuan waktu, tanpa memperhatikan harga, baik harga faktor-faktor produksi maupun harga produksi. faktor seperti tanah, pupuk, tenaga kerja, modal, iklim, dan sebagainya itu mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Karena petani mengetahui berapa jumlah masukan yang dipakai maka ia dapat menduga berapa produksi yang akan dihasilkan. Jika di dalam lingkup peternakan khususnya sapi perah, maka faktor yang dimaksudkan Soekartawi et.al (1986) pada penelitian ini diantaranya pakan konsentrat, hijauan, obat-obatan, air dan tenaga kerja.

Hubungan antara faktor produksi (input) dan produksi (output) biasanya disebut dengan fungsi produksi atau disebut dengan factor relationship. Output

biasanya menjadi variabel yang dijelaskan (Y), sedangkan input biasanya menjadi variabel yang menjelaskan (X). Hubungan fisik yang terjadi antara input dan output tersebut dapat ditunjukkan dengan penambahan input (X) tertentu maka


(27)

akan meningkatkan ouput (Y). Maka secara matematis fungsi produksi tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:

Dimana :

Y = tingkat produksi atau output yang dihasilkan

F = bentuk hubungan yang mentransformasikan faktor – faktor produksi dalam hasil produksi

X = faktor – faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, menurut Soekartawi et.al (1986) terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan secara seksama di dalam memilih bentuk fungsi produksi, yaitu :

1. bentuk fungsi produksi harus dapat menggambarkan dan mendekati keadaan yang sebenarnya. Untuk itu diperlukan pengalaman yang mampu menduga bahwa bentuk fungsi produksi yang akan dipakai adalah yang paling baik.

2. Bentuk fungsi produksi yang dipakai harus mudah diukur atau dihitung secara statistik.

3. Fungsi produksi itu dapat dengan mudah diartikan. Khususnya arti ekonomi dari parameter yang menyusun fungsi produksi tersebut.

Soekartawi et.al (1986) menjelaskan apabila Y merupakan produksi dan Xi

adalah masukan atau faktor – faktor dari produksi, maka besar kecilnya Y juga tergantung dari besar kecilnya X1, X2, X3, ... , Xn yang dipakai.

Hubungan masukan dan produksi pertanian mengikuti kaidah kenaikan hasil yang berkurang, atau dikenal dengan hukum The Law of Deminishing Return. Tiap tambahan unit masukan akan mengakibatkan proporsi unit tambahan produksi yang semakin kecil dibanding unit tambahan masukan tersebut. Kemudian suatu ketika sejumlah unit tambahan masukan akan menghasilkan produksi yang semakin terus berkurang (Soekartawi et.al, 1986)

Menurut Soekartawi et.al (1986), terdapat dua tolak ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat produktivitas dari suatu proses produksi, yaitu Produk Marjinal (PM) dan Produk rata – rata (PR). Produk marjinal adalah penambahan


(28)

atau pengurangan keluaran (output) yang dihasilkan dari setiap penambahan satu satuan masukan (input) yang digunakan. Produk Rata – rata adalah tingkat produksi yang dicapai setiap satuan faktor produksi (input). Kedua tolak ukur ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

Perubahan dari jumlah produksi yang disebabkan oleh faktor produksi yang digunakan dapat dinyatakan dengan elastisitas produksi. Elastisitas produksi (Ep) merupakan persentase perbandingan dari output yang dihasilkan sebagai akibat dari persentase dari input yang digunakan, dan berikut elastisitas produksi dapat dirumuskan yaitu:

Kemudian Pada gambar 1 dapat dilihat dan dicermati hubungan antara Total Produksi (TP), Produk Rata – rata (PR) dan Produk Marjinal (PM).


(29)

Keterangan :

X : Faktor Produksi

Y : Hasil (output) Produksi

TP : Total Produksi

PR : Produk Rata – Rata

PM : Produk Marginal

Daerah I : Daerah Produksi Irasional Daerah II : Daerah Produksi Rasional Daerah III : Daerah Produksi Irasional

Gambar 1. Tahapan Suatu Proses Produksi

Sumber : Soekartawi (2003)

Y = f(x)

TP

PM

PR X X

I II III

Ep>1 0<Ep<1 Ep<0 Y


(30)

Berdasarkan Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa suatu proses produksi dapat dibagi ke dalam tiga wilayah daerah produksi berdasarkan elastisitas produksi dari faktor – faktor produksi, yaitu daerah produksi I, daerah produksi II, dan daerah produksi III.

1. Daerah I

Daerah I menunjukkan Produk Marjinal lebih besar dari Produk Rata – rata (PR) hal ini mengindikasikan bahwa tingkat rata – rata variabel input (X) ditransformasikan ke dalam produk (Y) meningkat nilai Ep > 1, artinya adalah bahwa setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan mengakibatkan penambahan output yang selalu besar dari satu persen. Pada daerah ini belum mencapai produksi optimal dengan pendapatan yang layak sehingga daerah ini tidak rasional (irasional).

2. Daerah II

Daerah II terjadi saat Produk Marjinal (PM) menurun dan lebih rendah dari Produk Rata – rata (PR). Pada keadaan ini PM sama atau lebih rendah dari PR. Daerah II berada diantara X2 dan X3. Daerah ini memiliki nilai Ep antara 1 dan 0 (0 < Ep < 1), artinya adalah setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi paling tinggi satu persen dan paling rendah nol persen. Pada tingkat tertentu dari penggunaan faktor produksi di daerah ini akan memberikan keuntungan maksimum, sehingga daerah ini disebut daerah rasional dalam berproduksi.

3. Daerah III

Daerah ini memiliki nilai elastisitas produksi lebih kecil dari nol (Ep < 0). Pada daerah ini Produk Total (PT) mengalami penurunan yang ditunjukkan oleh Produk Marjinal (PM) yang bernilai negatif yang berarti setiap penambahan faktor produksi akan mengakibatkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan dan mengurangi pendapatan, karena itu daerah ini dinamakan sebagai daerah tidak rasional (irasional).


(31)

3.1.2 Teori Biaya

Biaya dalam usahatani merupakan suatu pengorbanan yang dilakukan oleh tiap pelaku usaha tersebut yang terdiri dari petani, nelayan, dan peternak, dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang maksimal dari usaha yang dikelolanya. Sedangkan menurut Soekartawi et al., (1986) biaya adalah semua nilai faktor produksi dalam periode produksi tertentu yang dinyatakan dengan nilai uang tertentu. Menurut Doll dan Orazem (1987) diacu dalam Alpian (2010) biaya produksi adalah pengeluaran yang terjadi dalam pengorganisasian dan melaksanakan proses produksi.

Biaya usahatani dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap merupakan biaya yang tidak ada kaitannya dengan jumlah barang yang diproduksi, namun peternak akan tetap mengeluarkan besarnya biaya tersebut untuk komoditi yang dihasilkan pada aktivitas usahatani tersebut. Biaya tidak tetap adalah biaya yang akan berubah apabila luas usahanya berubah, biaya ini ada apabila terdapat suatu barang yang diproduksi.

Hampir sama dengan teori biaya yang dinyatakan oleh Soekartawi et.al

(1986), Lipsey (1995) memaparkan bahwa biaya total dibagi menjadi dua bagian yaitu biaya tetap total dan biaya variabel total. Berikut dapat dilihat pada Gambar 2 mengenai kurva yang dapat menjelaskan dari teori yang diutarakan oleh Lipsey (1995) tersebut.


(32)

Keterangan :

TC : Biaya Total (Fixed Cost)

TVC : Biaya Variable Total (TotalVariable Cost) TFC : Biaya Tetap Total (Total Fixed Cost)

Gambar 2. Kurva Biaya Total Dalam Jangka Pendek

Sumber : (Lipsey, 1995)

Biaya tetap total (TFC) adalah biaya yang yang tidak pernah berubah meskipun produksi berubah, sedangkan biaya variabel total (TVC) adalah biaya yang berkaitan langsung dengan output, yang bertambah besar dengan meningkatnya produksi. Biaya total (TC) mewakili penjumlahan dari biaya variabel dan biaya tetap.

3.1.3 Teori Pendapatan

Menurut Soekartawi et al., (1986) pendapatan usahatani dibagi menjadi dua macam yaitu pendapatan biaya atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai usahatani merupakan selisih antara penerimaan tunai usahatani dengan pengeluaran tunai usahatani.

Penilaian besarnya penerimaan yang dihasilkan dari setiap uang yang dikeluarkan dalam suatu kegiatan usahatani dapat digunakan perhitungan rasio penerimaan atas biaya R/C rasio. Menurut Soekartawi (2002) analisis R/C rasio terbagi menjadi dua yaitu R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total. Hasil perhitungan R/C > 1 mempunyai arti bahwa usahatani tersebut menguntungkan, sedangkan nilai R/C < 1 maka usahatani tersebut tidak menguntungkan, dan apabila nilai R/C = 1 maka usahatani tersebut berada pada keuntungan normal.

Pendapatan kotor disebut juga penerimaan, pada Gambar 3 dapat dicermati hubungan antara pendapatan kotor (TR) dan biaya total (TC) seperti yang dipaparkan oleh (Nicholson, 1999) adalah sebagai berikut


(33)

Gambar 3. Kurva Pendapatan (TR) dan Kurva Biaya Total (TC) jangka Pendek

Sumber : (Nicholson, 1999)

Kurva pendapatan (TR) jangka pendek seperti dalam Gambar 3 menjelaskan bahwa ketika output 0, biaya total sama dengan biaya tetap (TFC). Karena input tetap, biaya tersebut tidak berubah sementara output berubah. Untuk output yang rendah, maka Total Coast (TC) melebihi penerimaan (TR) dan mengakibatkan kerugian. Sedangkan penerimaan (TR) melebihi biaya total (TC), maka hal ini menguntungkan.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Usahaternak sapi perah penghasil susu segar dapat dijadikan pilihan utama mata pencaharian dan solusi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Usaha ini sangat menguntungkan karena memiliki prospek yang baik. Prospek yang baik tersebut ditandai dengan meningkatnya jumlah permintaan masyarakat akan susu segar setiap tahunnya, susu segar menjadi salah satu komoditi yang terus berkembang secara ekonomi maupun industri. Usaha susu segar juga memiliki kemudahan dalam hal akses pasar dan memiliki perputaran modal yang sangat cepat, karena struktur industri susu yang cukup kuat dan lengkap dengan instrumen-instrumen yang dibutuhkan

TF TC TR Pendapatan

biaya

Q1 Q2

Keluaran (Output)


(34)

oleh industri tersebut di Indonesia. Kondisi tersebut sangat membantu dalam meraih keuntungan.

Peternak Desa Cibeureum yang tergabung ke dalam kelompok-kelomok ternak memiliki kemampuan untuk menghasilkan susu dengan rata-rata produksi mencapai rata-rata 14 liter per hari, namun untuk wilayah dengan dataran tinggi yang cocok dengan produksi susu sapi perah seperti di Desa Cibereum, Cisarua, produksi susu yang dihasilkan bisa mencapai angka 17 liter/ekor/hari berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi Bogor pada Tahun 2004. Hasil produksi tersebut menyebabkan kekhawatiran terhadap kontrak yang telah dibuat oleh Koperasi Giri Tani selaku pengumpul susu dan penghubung antara peternak kepada konsumen utama yaitu PT. Cisarua Mountain Dairy atau lebih dikenal dengan sebutan Cimory.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi dan menganalisis pendapatan usahatani peternak sapi perah di Desa Cibeureum.Sedangkan input-input produksi yang diperkirakan akan mempengaruhi produksi yaitu konsentrat, hijauan, obat-obatan, air dan tenaga kerja. Faktor yang akan dianalisis yaitu faktor produksi yang memiliki tujuan untuk melihat pengaruh input-input tersebut terhadap produksi susu sapi perah. Oleh sebab itu akan dilakukan analisis fungsi produksi menggunakan model fungsi Cobb Douglas, dan melihat sejauh mana model fungsi tersebut untuk melihat signifikansi input tersebut, berpengaruh nyata atau tidak berpengaruh nyata terhadap produksi dan analisis usahatani mempunyai tujuan untuk melihat apakah usahaternak yang dilakukan oleh peternak responden masih dapat dikategorikan menguntungkan atau tidak. Secara umum bagan mengenai kerangka pemikiran operasional penelitian tersebut disajikan dalam Gambar 4.


(35)

Keterangan :

: Hubungan Koordinasi : Feed back

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional

Aktivitas peternak susu sapi perah Desa Cibeureum, Kec. Cisarua, Kabupaten Bogor

Permasalahan :

1. Kemampuan produksi susu bervariasi dan berfluktuatif 2. Produktivitas rendah

3. Kontrak baru dari KUD, minimal pasokan 20.000 liter/hari

Analisis Usahatani 1. Analisis Penerimaan 2. Analisis Struktur Biaya 3. Analisis Pendapatan

Hasil analisis melihat faktor yang memiliki pengaruh signifikan terhadap produksi dan pendapatan usahaternak dari peternak di Desa Cibeureum

melalui Analisis Pendapatan Usahatani Analisis fungsi produksi

Cobb Douglas

Faktor – faktor produksi : 1. Konsentrat

2. Hijauan 3. Obat – obatan 4. Air

5. Tenaga kerja

Alternatif rekomendasi mengantisipasi permasalahan


(36)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cibeureum, Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Jawa Barat merupakan sentra kedua terbesar industri susu di Indonesia setelah Provinsi Jawa Timur, dan Kabupaten Bogor berada di peringkat kelima kota penghasil susu segar di provinsi Jawa Barat (BPS, 2010). Pemilihan wilayah Kecamatan Cisarua dan Desa Cibeureum didasari karena daerah tersebut merupakan sentra industri penghasil susu terbesar di Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan, terhitung dari bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Juni 2011.

4.2 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Kedua data ini berbentuk data kualitatif dan kuantitatif. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden yang dipilih dan pengisian kuesioner. Proses wawancara dan pengisian kuesioner dilakukan terhadap para peternak di wilayah penelitian dan pihak yang terkait dengan kegiatan produksi susu dan penelitian. Data primer diantaranya berupa data produksi, data populasi, dan data kegiatan lainnya atau aktivitas para peternak yang diperoleh dengan menggunakan instrumen kuisioner, berupa list question atau daftar tanya yang diajukan oleh peneliti kepada peternak. Berkaitan dengan kuisioner, maka peneliti melakukan persiapan berupa list question atau daftar tanya mengenai identitas responden dan karakteristik responden, serta daftar kuisioner tentang produksi. Daftar tanya tersebut diantaranya nama, umur, alamat, pendidikan, dan gambaran umum usahaternak yang dilakukan oleh responden. Selain itu kuisioner mencoba untuk menggali tentang gambaran umum proses produksi yang dilakukan oleh peternak mulai dari tahapan persiapan pemeliharaan, proses pemerahan, hingga tahapan proses pasca produksi, dan list question lain yang saling mendukung dan melengkapi untuk melengkapi data yang dibutuhkan pada penelitian ini.


(37)

Data sekunder diperoleh melalui studi literatur dari berbagai literatur yang ada di perusahaan, Desa Cibeureum, Kecamatan Cisarua, Koperasi Giri Tani Kabupaten Bogor, Kelompok Tani Ternak Sapi Perah (KTTSP) Baru Sireum, Kelompok Tani Ternak Sapi Perah (KTTSP) Bina Warga, Badan Metereologi dan Klimatologi Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi dan Balai Penelitian Ternak (BPT) Pajajaran, Pusat Litbang Pertanian Juanda Bogor, Pusat Studi Ekonomi Kementrian Pertanian, Perpustakaan Pusat IPB, Jurnal Ilmiah, buku-buku ekonomi dan pertanian yang berkaitan dengan penelitian, dan literatur lainnya yang mendukung penelitian ini.

4.3 Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara observasi, wawancara, diskusi, dan melalui kuesioner. Proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode non-propability sampling yaitu teknik

justified sampling (sampel yang ditentukan), penentuan responden dilakukan oleh pihak koperasi Giri Tani selaku wadah organisasi yang menangani para peternak secara legal (hukum). Sedangkan jumlah data responden yang ditentukan sebesar 36 responden peternak, yang terdiri dari dua kelompok ternak, yaitu KTTSP Baru Sireum sebanyak 13 peternak dan KTTSP Bina Warga sebanyak 23 peternak, yang merupakan wadah resmi anggota terintegrasi kepada Koperasi Giri Tani selaku badan resmi yang mengelola organisasi serta menaungi kelompok ternak di wilayah tersebut, dengan alasan bahwa kedua kelompok ini memiliki jumlah peternak terbesar yang berada di wilayah di Desa Cibeureum. Selain itu jumlah responden yang dipilih dianggap memiliki informasi yang dibutuhkan untuk penelitian. Pemilihan sampel berdasarkan atas kebijakan pengurus KUD selaku otoritas. Penentuan jumlah data tersebut didasari untuk memenuhi aturan umum

minimal data statistik ≥ 30 sampel karena sudah terdistribusi normal dan dapat digunakan untuk memprediksi populasi yang diteliti.

Data yang diambil merupakan data sapi laktasi yang total sepenuhnya hanya berproduksi menghasilkan susu, dengan range umur sapi 3 – 8 tahun, atau


(38)

sapi laktasi pertama hingga sapi laktasi kelima. Range umur sapi dapat dilihat pada (Lampiran 7) tentang perkembangan umur sapi perah. Hal ini dikarenakan kebutuhan produksi (input dan output produksi) dari sapi berbeda di tiap umurnya.

Observasi dilakukan dengan melakukan pencatatan langsung di lokasi penelitian tentang kegiatan peternak dan berbagai kegiatan produksi yang dihadapi oleh peternak melalui instrumen kuisioner. Wawancara, diskusi, dan pengisian kuesioner dilakukan untuk memperoleh data mengenai gambaran umum lokasi penelitian, data harga input dan output. Data primer dan data sekunder yang telah didapatkan kemudian diolah dan dianalisis untuk mengetahui pengaruh faktor – faktor produksi terhadap produksi susu.

4.4 Metode Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan pendekatan deskriptif untuk mengetahui gambaran umum tentang responden (peternak), gambaran umum tentang pelaksanaan budidaya sapi perah yang akan menghasilkan susu dan gambaran tentang wilayah penelitian. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis pendapatan Usahatani dan R/C rasio serta menggunakan fungsi Cobb Douglas untuk menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi produksi peternak. Semua data yang telah diperoleh akan diolah melalui perhitungan analisis data kuantitatif dengan menggunakan alat bantu program komputer MicrosoftOffice Excel 2007 dan Minitab 14.

4.4.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis mengenai hasil analisis dari perhitungan pada penelitian ini dan rekomendasi yang dapat diterapkan oleh para peternak di wilayah Desa Cibeureum untuk mengambil keputusan tentang faktor – faktor yang dapat berpengaruh terhadap produksi susu serta memberikan gambaran tentang hasil serta pengaruhnya kepada peternak.


(39)

4.4.2Analisis Pendapatan Usahatani

Menurut Soekartawi et.al (1986) pendapatan atau revenue usahatani merupakan semua nilai produk yang dihasilkan dari suatu usahatani dalam periode tertentu, satu musim tanam, atau dalam satu satuan kegiatan usaha. Analisis pendapatan usahaternak susu diperoleh dari perhitungan penerimaan dan biaya – biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usahaternak susu. Penghitungan penerimaan usahatani (usahaternak susu) dapat dilakukan menggunakan rumus :

TR = Q x P

Keterangan :

TR : Penerimaan Usahatani Q : Produksi

P : Harga Produk

Menurut Soekartawi et.al (1986) biaya adalah semua nilai faktor produksi yang dipergunakan untuk menghasilkan suatu produk dalam periode produksi tertentu yang dinyatakan dengan nilai tertentu. Biaya usahaternak susu terdiri dari dua jenis yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dibayar dengan uang, seperti biaya sarana produksi yang diperlukan untuk usahaternak susu, sedangkan biaya yang diperhitungkan adalah biaya untuk menghitung berapa besarnya pendapatan kerja peternak dan modal. Biaya tunai seperti konsentrat, hijauan, obat – obatan, air dan tenaga kerja. Sedangkan komponen biaya yang diperhitungkan meliputi pengeluaran tidak tunai yang dikeluarkan oleh petani seperti sewa lahan dan penyusutan sarana produksi

Sedangkan biaya penyusutan merupakan biaya nilai beli suatu benda investasi atau peralatan yang dikurangi dengan nilai sisa jika dibagi dengan lamanya peralatan atau benda investasi dipakai (umur ekonomis). Biaya penyusustan ini di dalam penelitian diperhitungkan dengan menggunakan metode garis lurus, yaitu diasumsikan nilai sisa dianggap nol. Penghitungan nilai sisa pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :


(40)

Keterangan : Nb : Nilai beli Ns : Nilai sisa N : Lama pakai

Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dengan biaya usahatani. Dalam usahatani, pendapatan dibagi menjadi dua macam yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan biaya total. Kedua macam jenis pendapatan ini dapat dirumuskan sebagaimana berikut :

1. Pendapatan atas tunai = TR – BT

2. Pendapatan atas total = TR – (BT – BD)

Keterangan :

TR : Pendapatan kotor/penerimaan BT : Biaya tunai

BD : Biaya yang diperhitungkan

4.4.3 Analisis R/C Rasio

Penilaian dengan perbandingan antara penerimaan dan biaya yang dikeluarkan untuk usaha ini adalah dengan menggunakan analisis R/C rasio. Analisis ini juga digunakan untuk mengetahui efisiensi usahatani yang dilakukan, hal tersebut dapat dilihat dari perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya pada tiap - tiap usahatani atau dengan kata lain hasil dari penghitungan R/C rasio penerimaan atas biaya, dapat mengetahui apakah suatu kegiatan usahatani dapat dikategorikan menguntungkan atau tidak dalam pelaksanaannya.

Analisis R/C rasio dibedakan menjadi dua macam, yang terdiri dari R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total, dan kedua macam perhitungan tersebut dapat dirumuskaan sebagai berikut :


(41)

Dari penilaian R/C rasio tersebut dapat diketahui apabila :

R/C rasio > 1 = usaha tersebut menguntungkan untuk dilakukan R/C rasio < 1 = usaha tersebut tidak menguntungkan

R/C rasio = 1 = usaha tersebut berada pada keuntungan normal

4.4.4 Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu

Analisis pada penelitian ini menggunakan model fungsi Cobb Douglas, model ini dipilih karena fungsi Cobb Douglas merupakan suatu fungsi persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, variabel yang satu disebut variabel bebas yang menjelaskan (X) atau independent variable, dan variabel yang lain disebut variabel tidak bebas yang menjelaskan (Y) atau dependent variable. Analisis faktor – faktor ini digunakan untuk menjelaskan hubungan antara output dan

input. Hubungan fungsi antara X dan Y ini dilakukan secara regresi. Model fungsi Cobb Douglas ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

Untuk menduga model Cobb Douglas tersebut maka model tersebut perlu dilinierkan dengan menggunakan bentuk double logaritma natural (ln), maka bentuk persamaanya seperti berikut :

Keterangan :

Y : Produksi (liter)


(1)

____________________________________________________________ ____________________________________________________________ 17. Berapakah waktu (jam) yang digunakan di dalam proses produksi oleh

para tenaga kerja?

____________________________________________________________ ____________________________________________________________

Tabel 1. Luas, Lokasi, dan Status Kepemilikan No Klasifikasi Luas Lahan

(ha)

Lokasi Status

Kepemilikan ***) Tempat *) Jarak (m)

1 Lahan Keseluruhan

... ... ... ...

2 Lahan Kandang

... ... ... ...

3 Lahan Kantor **)

... ... ... ...

4 Lahan Pengolahan Susu**)

... ... ... ...

Keterangan : *) a. Di dalam Desa Cibeureum b. Di luar Desa Cibeureum c. Luar Kecamatan Cisarua

**) Isi jika terdapat kantor dan tempat pengolahan susu. ***) Milik pribadi atau sewa (kontrak)

Tabel 2. Tabel Kepemilikan Ternak

No Nama

Kandang Total Sapi perah Produktif (ekor) Total Sapi Laktasi (ekor) Total Sapi Pedet (ekor) Total Sapi Bunting (ekor) Sistem kepemilikan*)

1 ... ... ... ... ...

2 ... ... ... ... ...

3 ... ... ... ... ...

4 ... ... ... ... ...

5 ... ... ... ... ...


(2)

Tabel 3. Tabel Input Produksi

No Uraian Volume Harga per

satuan Nilai (Rp) Keterangan

1 Populasi (ekor) ... ... ... ...

2 Konsentrat (kg) ... ... ... ...

3 Hijauan (kg) ... ... ... ...

4 Obat - obatan (ltr) ... ... ... ...

5 Air (liter) ... ... ... ...

6 Tenaga Kerja

(HOK) ... ... ... ...

7 Vitamin (liter) ... ... ... ...

8 Saprodi (sarana

produksi) ... ... ... ...

Tabel 4. Sarana dan Peralatan yang digunakan. No Nama Alat yang

digunakan

Volume (fisik)

Harga per

Satuan Nilai (Rp) Keterangan 1

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12


(3)

(4)

RINGKASAN

FAHMI ABIDIN ACHMAD. Analisis Pendapatan Usahatani dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Perah Peternak Desa Cibeureum Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NETTI TINAPRILLA).

Salah satu sektor agribisnis yang memberikan andil positif bagi perekonomian Indonesia adalah sektor peternakan. Sumbangan subsektor peternakan dalam Produk Domestik Bruto sebesar Rp. 82.835,4 milyar atau 1,6 persen pada tahun 2008 dan masih akan menyumbang 1,6 persen pada tahun 2009. Hal tersebut membuktikan bahwa sektor peternakan merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting di dalam pembangunan nasional. Selain itu sektor peternakan merupakan sektor yang terus mengalami peningkatan dengan ditandai oleh nilai ekspor sektor peternakan yang mencapai total nilai ekspor komoditi peternakan sebesar US$ 19,28 juta pada Juli 2009 dan nilai impor komoditi peternakan mencapai US$ 132,84 juta yang terdiri dari Komoditi Ternak mencapai US$ 42,40 juta dan komoditi Hasil Ternak Pangan mencapai US$ 90,44 juta. Kabupaten Bogor merupakan wilayah penghasil susu segar kelima terbesar setelah Bandung, Garut, Kuningan, dan Sumedang. Kabupaten Bogor memiliki potensi usahaternak sapi perah penghasil susu segar yang cukup baik, hal ini dapat terlihat dari tingkat populasi yang terus berkembang. Rata–rata perkembangan populasi sapi perah di Kabupaten Bogor mengalami pertumbuhan sebesar 2,94 persen untuk setiap tahunnya. Salah satu penghasil susu segar yang berasal dari sapi perah di Kabupaten Bogor adalah daerah yang berada di wilayah Kecamatan Cisarua. Selain terkenal dengan daerah wisata alamnya, Cisarua merupakan sentra peternakan sapi perah terbesar di seluruh Kabupaten Bogor. Dilihat dari sisi populasi, Cisarua merupakan wilayah terbesar kedua setelah Cijeruk dengan total populasi 1.461 ekor, kemudian jumlah peternak yang mencapai 205 peternak yang tergabung ke dalam lima kelompok peternak. Namun jumlah terbesar peternak berada di wilayah Desa Cibeureum yang memiliki 90 peternak. Angka produksi susu peternak di desa ini hanya mampu berproduksi di kisaran 14 liter/ekor/hari, masih jauh dari angka ideal yang ditetapkan berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi – Bogor tahun 2004 sebesar 17 liter/ekor/hari.

Faktor-faktor input produksi yang diperkirakan memiliki dampak cukup signifikan bagi hasil produksi susu segar cukup banyak, diantaranya pakan konsentrat, hijauan, tenaga kerja, obat – obatan, ketersediaan air. Pemilihan wilayah Penelitian Desa Cibeureum didasari karena daerah tersebut merupakan sentra industri penghasil susu terbesar di Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan, terhitung dari bulan Mei-Juni 2011. Proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode non-propability sampling yaitu teknik justified sampling (sampel yang ditentukan), penentuan responden dilakukan oleh pihak koperasi Giri Tani selaku wadah organisasi yang menangani para peternak secara legal (hukum). Sedangkan jumlah data responden yang ditentukan sebesar 36 responden peternak, yang terdiri dari dua kelompok ternak, yaitu KTTSP Baru Sireum sebanyak 13 peternak dan KTTSP Bina Warga


(5)

sebanyak 23 peternak. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan pendekatan deskriptif untuk mengetahui gambaran umum tentang responden (peternak), gambaran umum tentang pelaksanaan budidaya sapi perah yang akan menghasilkan susu dan gambaran tentang wilayah penelitian. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis pendapatan Usahatani dan R/C rasio serta menggunakan fungsi Cobb Douglas untuk menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi produksi peternak.

Berdasarkan hasil analisis total penerimaan peternak responden di Desa Cibeureum mencapai angka Rp 244.296.000, jumlah angka hasil analisis ini tidak terlepas dari bervariasinya jumlah liter susu yang dihasilkan, yang berasal dari populasi besar sapi yang terdistribusi kepada para peternak, dengan rata–rata penerimaan per peternak sebesar Rp 6.786.000. Hasil analisis untuk pendapatan atas biaya tunai menunjukkan nilai rata–rata pendapatan atas biaya tunai pada peternak responden sebesar Rp 3.710.769 pada bulan Juni Tahun 2011. Sedangkan nilai rata–rata pendapatan atas biaya total pada peternak responden sebesar Rp 3.885.683 pada bulan Juni Tahun 2011. Kemudian dari perhitungan analisis R/C rasio didapatkan hasil nilai rata–rata R/C rasio tunai adalah 2,26 yang memiliki arti bahwa setiap pengeluaran tunai sebesar Rp 1, akan menghasilkan penerimaan sebesar 2,26. Dengan tingkat rasio sebesar 2,26 maka usahaternak sapi laktasi ini dapat dikategorikan usaha yang menguntungkan. Sedangkan nilai rata–rata R/C total adalah 2,11, dan angka tersebut memiliki arti bahwa setiap satu rupiah biaya total yang dikeluarkan peternak akan memperoleh penerimaan sebesar 2,11, sama halnya dengan tingkat rata–rata R/C rasio tunai yang menguntungkan, maka nilai R/C rasio atas total pun dikategorikan menguntungkan karena nilai R/C rasio lebih dari satu dikategorikan menguntungkan. Nilai R/C rasio per ekor adalah 2,09 kemudian dari perhitungan R/C rasio per ekor atas total didapatkan hasil 2,09 dan R/C rasio per ekor atas tunai 2,21. Pendapatan per ekor atas biaya tunai sebesar Rp 1.132.099, dan pendapatan per ekor atas biaya total sebesar Rp 1.185.462.

Hasil pendugaan model dengan menggunakan model fungsi Cobb-Douglas yang dilakukan menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 53,6 persen dengan nilai determinasi terkorelasi sebesar 45,8 persen. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 53,6 persen tersebut menunjukkan bahwa dari variasi produksi dapat dijelaskan secara bersamaan oleh faktor konsentrat, faktor hijauan, faktor obat, faktor air dan faktor tenaga kerja. Nilai 46,4 persen lainnya dapat dijelaskan oleh faktor–faktor lain yang berada di luar model, faktor–faktor yang berada di luar model tersebut yang diduga memiliki pengaruh terhadap produksi susu sapi perah yaitu vaselin, iklim dan cuaca, penyakit, lingkungan peternakan dan tatalaksana ternak. nilai konsentrat dari koefisien regresi sebesar 0,6008 merupakan nilai koefisien regresi terbesar dibanding yang lain, dan memiliki arti bahwa faktor input produksi konsentrat bersifat responsif dan memiliki agresifitas peningkatan produksi susu paling besar dibanding faktor produksi yang lain, sehingga apabila faktor ini dinaikkan maka akan sangat berpegaruh besar terhadap keseluruhan total produksi susu peternak responden. Sehingga apabila terdapat prioritas faktor input yang harus lebih dulu dinaikkan input produksinya, maka faktor konsentrat berada di urutan pertama prioritas, karena akan mendongkrak produksi susu secara masif. Faktor produksi hijauan memiliki nilai koefisien


(6)

regresi sebesar 0,5757, Nilai koefisien regresi ini mengandung arti bahwa setiap penambahan obat sebesar satu persen maka produksi susu akan meningkat sebesar 0,25105 persen dan nilai koefisien regresi tersebut memiliki arti bahwa apabila terjadi penambahan input obat (obat dan vitamin) akan meningkatkan produksi susu sebesar 0,25105. Sedangkan nilai Faktor produksi tenaga kerja memiliki nilai koefisien regresi negatif sebesar -0,24692 namun berpengaruh nyata terhadap taraf nyata lima persen dengan nilai Thitung sebesar 3,57, artinya adalah -Thitung < -Ttabel maka H0 ditolak. Sehingga nilai koefisien regresi negatif tersebut memiliki arti bahwa jumlah input tenaga kerja sudah berlebihan (over capacity) dan apabila terjadi penambahan input produksi tenaga kerja sebesar satu persen akan sangat berpengaruh signifikan terhadap penurunan produksi susu sebesar 0,24692 dengan menganggap faktor produksi lain tetap (cateris paribus). Faktor input produksi air tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap produksi, yaitu sebesar -0,0054 dan nilai koefisien regresi ini mencerminkan arti bahwa setiap penambahan atau pengurangan jumlah input air sebesar satu persen tidak akan berpengaruh terhadap produksi susu.