Pengumpulan data Pengolahan data

pantai bergantung pada kebutuhan. Elevasi dan geomorfologi di lokasi penelitian tidak mengalami perubahan yang berarti perubahan konstan, sehingga penggunaan data elevasi dan geomorfologi dengan tahun yang terdahulu masih dianggap representatif untuk mewakili tahun penelitian. Data kenaikan muka laut yang diunduh dari situs resmi AVISO merupakan data yang telah mengalami pembaharuan update pada bulan April 2011. Data tinggi gelombang menggunakan data angin tahunan sebanyak 10 tahun. Penggunaan 10 tahun data tinggi gelombang ini dimaksudkan untuk mendapatkan rata-rata tinggi gelombang, sehingga data tersebut dapat digunakan pada tahun penelitian. Data tinggi pasang surut menggunakan data hasil pemodelan perangkat lunak MIKE 21 selama 10 tahun 2001 – 2010. Data tinggi pasang surut juga dapat diperoleh dari situs resmi University of Hawaii Sea Level Center UHSLC yang dapat diunduh dengan alamat http:ilikai.soest.hawaii.eduuhscldatai.html . Proses analisis kerentanan wilayah pesisir selatan Yogyakarta terhadap kenaikan muka laut meliputi empat tahapan, yaitu: pengumpulan data, pengolahan data, survei lapang dan analisis data.

3.2.2.1. Pengumpulan data

Pengumpulan data seperti data perubahan garis pantai, elevasi, kenaikan muka laut, tinggi gelombang dan pasang surut diperoleh dengan cara mengunduhnya dari situs resmi yang menyediakan data tersebut. Peta Rupa Bumi Indonesia diperoleh dari Badan Informasi Geospasial BIG. Informasi dan sumber perolehan data dapat dilihat pada Tabel 1.

3.2.2.2. Pengolahan data

Pengolahan data digunakan untuk mendapatkan nilai dari masing-masing parameter kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka laut. Parameter tersebut selanjutnya diberikan nilai score untuk kemudian disatukan menjadi indeks kerentanan pesisir dengan menggunakan persamaan Coastal Vulnerability Index CVI dari Gornitz dan White 1992. 1 Data geomorfologi Data yang diperlukan untuk mengidentifikasi kelas geomorfologi dapat diperoleh dari Peta Rupa Bumi Indonesia RBI Badan Informasi Geospasial BIG. Jenis data RBI yang digunakan adalah data land used tata guna lahan dengan skala 1:25000. Peta tersebut selanjutnya dipindai scan sehingga diperoleh peta digital dengan format .jpg. Sebelum dilakukan pengolahan, peta tersebut dikoreksi terlebih dahulu dengan menggunakan program Global Mapper 9. Koreksi peta ini bertujuan agar peta memiliki koordinat yang tepat. Peta yang sudah dikoreksi tersebut selanjutnya didigitasi sehingga didapatkan data tata guna lahan berupa air tawar, hutan rawa, pasir, semakbelukar, rawa, rumputtanah kosong, pemukiman, empang, tegalan, kebun, dan sawah irigasi. Data tata guna lahan tersebut kemudian dikelaskan berdasarkan kelas indikator yang dikemukakan oleh Gornitz dan White 1992. Kelompok-kelompok jenis tutupan lahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Daratan aluvial, meliputi empang, penggaraman, sawah irigasi, sawah tadah hujan, tegalanladang, kebunperkebunan 2. Rawa payau, meliputi semakbelukar dan rawa 3. Hutan mangrove 4. Bangunan pantai, meliputi gedung dan pemukiman 5. Air tawar, meliputi estuari, lagoon dan delta 6. Pantai berpasir meliputi pasir pantai dan pasir darat Parameter dari kelas morfologi yaitu pantai bertebing rendah, pantai bertebing sedang dan pantai bertebing tinggi ditentukan dengan menggunakan pendekatan kemiringan daratan dekat pantai dari data elevasi citra satelit Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer ASTER. Penyusunan data geomorfologi yang telah diperoleh selanjutnya dikelompokkan kedalam kelas pengelompokkan dari Gornitz 1991, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. 2 Data perubahan garis pantai Pengolahan citra satelit Landsat ini bertujuan untuk mendapatkan informasi garis pantai dan perubahannnya. Citra satelit Landsat memiliki resolusi spasial 30 m × 30 m pada saluran multispektral yang relatif cukup baik untuk digunakan pada berbagai kajian tematik. Nilai perubahan garis pantai mtahun didapat dari perbandingan citra satelit Landsat yang berbeda tahun atau multitemporal. Masing-masing citra berbeda tahun tersebut yang berformat .tiff di-import ke dalam software ER Mapper 6.4 sehingga citra tersebut menjadi berformat .ers. Kemudian dilakukan pemrosesan citra yang meliputi proses kombinasi band kanal, penajaman kontras agar mendapatkan visualisasi citra yang optimal, koreksi geometrik untuk mendapatkan hasil citra yang memiliki Citra Satelit Landsat Pemrosesan citra Landsat dengan perangkat lunak ER Mapper 6.4, yang terdiri dari: 1. Kombinasi band 2. Penajaman kontras 3. Koreksi geometrik 4. Cropping citra Proses konversi data raster dan data vektor dengan ArcGIS 9.3: 1. Digitasi garis pantai 2. Overlay dengan polygon garis pantai 3. Penghitungan perubahan garis pantai koordinat tepat atau mendekati bumi, dan pemotongan cropping citra untuk mendapatkan area of interest. Setelah pemrosesan citra, selanjutnya adalah proses konversi data raster dan data vektor dengan menggunakan software ArcGIS 9.3. Citra tersebut kemudian didigitasi pada layar on screen. Digitasi ini dimaksudkan untuk mendapatkan batas garis pantai dari masing-masing citra yang berbeda tahun. Hasil digitasi dari masing-masing citra kemudian ditumpang susun overlay untuk mengetahui perubahan yang terjadi. Diagram pengolahan data untuk perubahan garis pantai dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Diagram Alir Pengolahan Data Perubahan Garis Pantai 3 Data ketinggian elevasi pantai Digital Elevation Model DEM merupakan salah satu model untuk menggambarkan bentuk topografi permukaan bumi sehingga dapat divisualisasikan dalam bentuk 3 dimensi. Data elevasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Global Digital Elevation Model GDEM turunan dari satelit ASTER. Cakupan data GDEM hampir seluruh permukaan bumi dan mempunyai resolusi spasial yang cukup bagus yaitu 30 meter dengan akurasi ketinggian 20 meter ASTER GDEM, 2009. Data GDEM selanjutnya diolah dengan perangkat lunak Global Mapper 9, untuk menentukan area of interest, kemudian dilakukan pengolahan data dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Pengolahan GDEM untuk menghasilkan parameter elevasi, dimana nilai elevasi tersebut kemudian diklasifikasikan sesuai dengan indeks kerentanan yang ditentukan oleh Gornitz 1991 pada Tabel 2. 4 Data kenaikan muka laut Satelit altimetry TopexPoseidon TP dan Jason 1-Jason 2 merupakan satelit yang mempunyai misi untuk mempelajari dinamika laut global dan fenomena pasang surut air laut. Data yang dihasilkan berformat Network Common Data Form NetCDF menggunakan sistem grid berukuran 0,25°×0,25° atau kurang lebih berukuran 27,8 km × 27,8 km dengan cakupan seluruh dunia. Pengolahan data trend kenaikan muka laut diawali dengan mengekstrak data berformat NetCDF .nc dengan menggunakan Ocean Data View ODV menjadi data berformat teks .txt pada area yang diinginkan. Data dengan format .txt tersebut kemudian diinterpolasi dengan perangkat lunak Surfer 9. Interpolasi data ini dilakukan untuk mengisi kekosongan data Lampiran 2. Ukuran spasial grid dalam menginterpolasi disesuaikan dengan ukuran sel yaitu 1 km × 1 km. Selanjutnya hasil interpolasi tersebut dipotong cropping sesuai dengan daerah kajian dan diekspor menjadi data berformat .xyz dengan menggunakan Global Mapper 9. Proses terakhir untuk memasukkan nilai terdekat dengan sel garis pantai maka dilakukan overlay dengan sel garis pantai dan proses digitasi dengan menggunakan Surfer 9. Proses pengolahan data kenaikan muka laut dapat dilihat pada Gambar 4. Data Sea Level Trend AVISO Pengekstrakan data dan cropping data dengan menggunakan Ocean Data View ODV 4 Interpolasi data dengan Surfer 9 Cropping data dengan Global Mapper 9 Pendigitasian dengan Surfer 9 Visualisasi dengan ArcGIS 9.3 Gambar 4. Diagram Alir Pengolahan Data Kenaikan Muka Laut 5 Data pasang surut Langkah pertama dalam mempredikasi tinggi pasang surut di perairan selatan Yogyakarta adalah menentukan titik koordinat pada sel. Penentuan titik koordinat ini dilakukan karena input pada saat memprediksi pasang surut adalah koordinat titik. Penggunaan koordinat titik juga dimaksudkan untuk mendapatkan tinggi pasang surut yang dekat dengan garis pantai. Titik koordinat sel yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 3. Proses selanjutnya adalah pengolahan dengan menggunakan perangkat lunak MIKE 21 Lampiran 4 untuk mendapatkan nilai predikasi tinggi pasang surut. Data predikasi tinggi pasang surut yang telah di-export dalam bentuk ASCII tersebut diolah dengan menggunakan Microsoft Excel untuk mendapatkan nilai tunggang pasang surut. Tunggang pasang surut tidal range merupakan perbedaan tinggi air pada saat pasang tertinggi dengan tinggi air pada saat surut terendah. Tunggang pasang surut didapatkan dari pasang tertinggi HHW dikurangi dengan surut terendah LLW. TR = HHW – LLW ……………………………………………………. 1 Dimana: TR = Tidal Range tunggang pasang surut HHW = Highest High Water air pasang tertinggi LLW = Lowest Low Water air surut terendah 6 Data gelombang Data tinggi gelombang diperkirakan dari data angin harian selama 10 tahun 2001-2010 yang diunduh dari European Centre for Medium-Range Weather Forecast ECMWF. Data angin tersebut merupakan data kecepatan angin pada ketinggian 10 meter di atas permukaan laut, terdiri dari nilai-nilai grid berdasarkan garis lintang dan bujur dari komponen kecepatan angin zonal dan meridional u dan v. Data angin yang telah diunduh dari tanggal 1 Januari 2000 – 31 Desember 2010 tersebut berformat Network Common Data Form NetCDF, selanjutnya diekstrak dengan menggunakan perangkat lunak Ocean Data View ODV versi 4 sehingga menghasilkan data berformat teks .txt. Sebelum tahap pengekstrakan data, terlebih dahulu dilakukan pemilihan wilayah yang digunakan dengan batas koordinat 7° - 10° LS dan 108° - 112° BT. Menurut Triatmodjo 1999, pembangkitan gelombang oleh angin yang utama dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: kecepatan angin, lamanya angin berhembus durasi, dan daerah fetch. Pentingnya ketiga faktor ini menyebabkan perlunya dilakukan beberapa langkah dalam menggunakan data angin sebelum digunakan untuk memperoleh data tinggi gelombang pecah. a Koreksi data angin Perhitungan gelombang melalui data angin dapat dilakukan stelah dilakukan beberapa koreksi, yaitu: koreksi ketinggian, koreksi rata-rata kecepatan angin untuk durasi 1 jam, koreksi pengukuran kecepatan angin di darat ke laut, dan koreksi stabilitas. Pada penelitian ini data angin yang digunakan sudah berada pada ketinggian 10 meter di atas permukaan laut sehingga koreksi yang dilakukan hanya koreksi durasi dan stabilitas. i Koreksi durasi Koreksi ini dilakukan untuk mengoreksi durasi angin rata-rata observasi dengan durasi angin yang digunakan untuk peramalan gelombang. Koreksi ini menggunakan persamaan U. S. Army Corps of Engineers, 2003: ; untuk satuan meterdetik ………………….….. 2 ; untuk t 3600 .. ……. 3 - ; untuk 3600 t 36000 ………….... 4 ; ………………………………………………… 5 dimana t = durasi angin dalam detik; U f = kecepatan angin sebelum koreksi durasi; dan U 3600 = kecepatan dangin dalam 1 jam setelah koreksi durasi. ii Koreksi stabilitas Koreksi stabilitas dilakukan karena adanya perbedaan temperatur antara udara dan air laut. Fetch yang lebih dari 16 km, diperlukan koreksi stabilatas. Kecepatan setelah koreksi didapat dari persamaan U. S. Army Corps of Engineers, 2003: …………………………………………………… 6 dimana U c = kecepatan angin setelah setelah mengalami koreksi stabilitas mdet; U w = kecepatan angin sebelum dikoreksi stabilitas mdet; dan R T = koefisien beda temperature udara – air laut. Karena perbedaan temperatur antara udara dan air tidak diketahui, maka diasumsikan sebagai kondisi tidak stabil R T = 1,1. b Penentuan fetch Resio dan Vincent 1979 dalam U. S. Army Corps of Engineers 2003 menyatakan bahwa kondisi gelombang pada area fetch relatif tidak dipengaruhi oleh lebar fetch, sehingga tidak perlu digunakan untuk memprediksi fetch efektif. Peda penelitian ini, garis lurus digunakan untuk menentukan fetch pada setiap arah mata angin. Berdasarkan letak geografisnya, Pantai Selatan Yogyakarta dapat diterjang gelombang yang dibangkitkan oleh angin yang berasal dari arah selatan, barat daya dan barat. Jika panjang fetch yang diperoleh lebih dari 200 km maka panjang fetch maksimum yang digunakan adalah 200 km U. S. Army Corps of Engineers, 2003. c Perhitungan tinggi dan periode gelombang Tinggi dan periode gelombang di laut dalam diprediksi dari data kecepatan angin dengan menggunakan persamaan U. S. Army Corps of Engineers, 2003: - …………………………………………. 7 ; ………………………………… 8 ………………………………………………….. 9 ……………………………………. 10 dimana H mo = tinggi gelombang laut dalam; T p = periode gelombang laut dalam; X = jarak fetch dimana angin berhembus; U 10 = kecepatan angin pada ketinggian 10 meter; u = kecepatan friksi “friction velocity”; C D = koefisien gesekan “drag e i ie ”. Pada kondisi gelombang tumbuh sepenuhnya “ y deve ed w ve”, perhitungan tinggi dan periode gelombang laut dilakukan dengan menggunakan persamaan: - ……………………………………………… 11 dan …………………………………………………. 12 d Sudut gelombang pecah Gelombang pecah dihitung dengan menerapkan prinsip refraksi cahaya, yaitu dengan menggunakan persamaan Snellius seperti pada Gambar 5. Gambar 5. Refraksi Gelombang Pada saat kontur kedalaman berubah d o menjadi d 1 , maka terjadi perubahan kecepatan gelombang C o menjadi C 1 . Perubahan ini juga menyebabkan berubahnya sudut datang gelombang terhadap pantai α o menjadi α 1 . Hukum Snellius dapat ditulis dengan persamaan: i α i α ………………………………………………….. 13 dimana α o = sudut gelombang di laut dalam, C o = kecepatan gelombang di laut dalam, α 1 = sudut gelombang pada kedalaman 1, dan C 1 = kecepatan gelombang pada kedalaman 1. ………………………………………………… 14 ……………………………………………….. 15 ……………………………………………….. 16 …………………………………………………. 17 dimana L o = panjang gelombang di laut dalam. Diasumsikan bahwa kontur adalah lurus dan paralel, maka berlaku persamaan: i α = konstan, maka i α i α ………………………………………………………. 18 e Tinggi gelombnag pecah Perhitungan gelombang pecah perlu memperhitungkan pengaruh transformasi gelombang utama yakni pengaruh refraksi dan shoaling perubahan kedalaman karena arah gelombang datang tidak selalu tegak lurus dengan garis pantai. Penentuan besar sudut datang gelombang di perairan dalam disesuaikan dengan sudut datang angin. Oleh karena itu, tinggi gelombang pecah dihitung dengan menggunakan persamaan Komar dan Gaughan, 1973 dalam U. S. Army Corps of Engineering, 2002: H b =H mo K s K r …………………………………………………. 19 dimana K s adalah koefisien shoaling dan K r adalah koefisien refraksi yang dihitung dengan persamaan: …………………………………………………….. 20 dimana …………………………………………………….. 21 d i d d ……………………….. 22 α α - i α - i α ………………………………………... 23 dimana α o = sudut gelombang di laut dalam, α 1 = sudut gelombang pada kedalaman 1, dan C 1 = kecepatan gelombang pada kedalaman 1.

3.2.2.3. Survei lapang