Karakteristik Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011

(1)

KARAKTERISTIK PENDERITA MENINGOENSEFALITIS RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN TAHUN 2007-2011

SKRIPSI

Oleh :

NIM. 081000064 RISTARI MALAU

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

KARAKTERISTIK PENDERITA MENINGOENSEFALITIS RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN TAHUN 2007-2011

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

NIM. 081000064 RISTARI MALAU

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul:

KARAKTERISTIK PENDERITA MENINGOENSEFALITIS RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN TAHUN 2007-2011

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh:

NIM. 081000064 RISTARI MALAU

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 13 Agustus 2012 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH

NIP. 194904171979021001 NIP. 196404041992031005 Drs. Jemadi, M.Kes

Penguji II Penguji III

drh. Rasmaliah, M.Kes

NIP. 195908181985032002 NIP. 197803312003121001

dr. Taufik Ashar, MKM

Medan, September 2012 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan.

NIP. 196108311989031001 Dr. Drs. Surya Utama, MS


(4)

ABSTRAK

Meningoensefalitis merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah di negara berkembang. Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan jumlah penderita meningoensefalitis rawat inap tahun 2007-2011 sebanyak 120 orang.

Untuk mengetahui karakteristik penderita meningoensefalitis rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2007-2011 dilakukan penelitian deskriptif dengan desain case series. Populasi penelitian, seluruh data semua penderita meningoensefalitis yang dirawat inap tahun 2007-2011 sebanyak 120 data. Analisa data dengan Chi-square, Mann-whitney, Kruskal Wallis.

Hasil penelitian menunjukkan, umur termuda 11 hari, umur tertua 90 tahun, proporsi tertinggi yaitu pada kelompok umur 0-5 tahun 53,4%, laki-laki 28,4% dan perempuan 25,0%; suku Batak 77,5%; agama Kristen Protestan 57,5%; tidak bekerja 56,6%; Luar Kota Medan 53,3%; somnolen 25,8%; demam usia <5 tahun 96,6%, demam ≥5 tahun 90,2%, letargi 72,5%; lama rawatan rata-rata 5,72 hari; CFR 32,5%. Uji Chi-square tidak ada perbedaan bermakna antara proporsi keadaan sewaktu datang berdasarkan tempat tinggal (p=0,493), lama rawatan rata-rata penderita meningoensefalitis yang datang dalam keadaan compos mentis secara bermakna lebih lama daripada penderita yang datang dengan incompos mentis (p=0,021); lama rawatan penderita yang sembuh/PBJ secara bermakna lebih lama daripada PAPS, meninggal, pindah rumah sakit (p=0,000).

Diharapkan kepada pihak rumah sakit agar melengkapi data penderita seperti PBJ, dan menyarankan agar ibu yang mempunyai balita agar memberikan imunisasi pada anaknya, serta segera memeriksakan diri apabila memiliki gejala demam, kejang, dan letargi.


(5)

ABSTRACT

Meningoencephalitis is one of infection disease still become a problem in developing country. The number of patients with meningoencephalitis were hospitalized in Santa Elisabeth Medan in 2007-2011 was 120 patients.

The purpose of this descriptive study with case series design is to analyse the characteristic of the patient with meningoencephalitis were hospitalized in Santa Elisabeth Medan in 2007-2011. The population for this study was 120 patients. Data analysed by using Chi-square, Mann-whitney, Kruskal Wallis.

The result of this study reveals that, the youngest is 11 days, the oldest is 90 years old, the highest proportion of patient with meningoencephalitis in the age group 0-5 years old 53,4%, male 28,4% and female 25,0%; ethnic Batak 77,5%, Christian 57,5%; doesn’t work 56,6%; from out of Medan 53,3%; somnolen 25,8%; fever of age <5 years 96,6%; fever of age ≥5 years 90,2%; letarghy 72,5%; the average length of treatment was 5,72 days; CFR 32,5%. The result of Chi-Square, there were no significant differences between the arrival condition by their home (p=0,493); the average length of treatment significance was more length in compos mentis arrival condition compared with incompos mentis arrival condition (p=0,021), the average length of treatment significance was more length for home healthy/home treatment than back home by own request, death patient, and leave of hospital (p=0,000)

It is suggested that the management of Santa Elisabeth Hospital Medan to complete the filling out patient’s status card by including home treatment, and to mother who has child 0-<5 years old suggested to give an imunnization to their child, and immediately checked out when have the symptons of fever, convulsions and letarghy.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ristari Malau

Tempat/Tanggal lahir : Kabanjahe, 21 Maret 1990 Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Kawin Anak ke : 1 dari 3 Bersaudara

Alamat Rumah : Jalan Luku No. 14 Kwala Bekala Medan

Riwayat Pendidikan

1. Tahun 1995-1996 : TK Ora Et Labora Kabanjahe 2. Tahun 1996-2003 : SD RK Xaverius III Kabanjahe 3. Tahun 2003-2005 : SMP RK Xaverius I Kabanjahe 4. Tahun 2005-2008 : SMA Negeri I Kabanjahe 5. Tahun 2008-2012 : Fakultas Kesehatan Masyarakat


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ‘’Karakteristik Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua penulis Drs. Saur P.Malau dan Marta Ujung yang telah membesarkan dengan penuh pengorbanan, selalu memberikan doa, dukungan, semangat yang tiada hentinya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang mendukung penulisan skripsi ini:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

2. Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes selaku Ketua Departemen Epidemiologi yang telah memberikan masukan, pengarahan dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, MPH selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan masukan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.


(8)

4. Bapak Drs. Jemadi, M.kes selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan masukan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

5. Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes dan Bapak dr. Taufik Ashar, MKM selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan dan pengarahan untuk penyempurnaan skripsi ini.

6. Ibu Ir. Indra Chahaya, Msi. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan nasehat selama perkuliahan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Direktur dan Kepala Bagian Rekam Medik beserta seluruh pegawai di bagian Rekam Medik Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan yang telah memberikan izin dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian.

8. Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

9. Adik-adikku (Rajakson Malau, Kristina), Tante, Paman, dan semua keluargaku buat doanya dan dukungan yang diberikan.

10. Kelompok Kecil D’Luvena (Kak Eva, Kak Maria, Kak Lusi, Stella, Vani, Yosi, Susan) buat semangatnya, dukungan, doa dan kebersamaan selama ini. 11. Pemuda-Pemudi GKPI Padang Bulan Medan, Seksi kerohanian dan Pengurus

Pemuda-Pemudi GKPI Wilayah Medan II buat doa, semangat, dukungan serta motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

12. Teman-teman Epidemiologi stambuk 2008 (Vani, Stella, Cristivany, Dian, Nelli, Stiphani, Ani, Rani, Vika, Edi, Devi, Pivit, Syafni, Dewi, Linda, Helpi,


(9)

Jojo, Meri, Dewi) dan lain-lain yang tidak disebutkan di sini, buat semangat, doa, serta kebersamaan dalam penyusunan skripsi ini.

13. Teman-teman karib ku dari semester 1 (Dian, Okta, Vina, Vesta, Sartika, Eka) yang memberikan motivasi, semangat dan doa kepada penulis. Buat sahabatku Parasian Silalahi, ST. yang memberikan motivasi, semangat, dan doa buat penulis.

Akhirnya kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan doa, motivasi, semangat, penulis ucapkan terima kasih semoga Tuhan melimpahkan berkatNya.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2012 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1.Tujuan Umum. ... 4

1.3.2. Tujuan Khusus ... 4

1.4.Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Definisi Meningoensefalitis ... 7

2.2. Etiologi Meningoensefalitis. ... 8

2.3. Anatomi dan Fisiologi ... 12

2.3.1. Anatomi Otak ... 12

2.3.2. Histologi Susunan Saraf Pusat ... 13

2.3.3. Anatomi Selaput Otak ... 13

2.4. Patofisiologi Meningoensefalitis ... 16

2.5. Gejala Klinis ... 17

2.6. Epidemiologi Meningoensefalitis ... 23

2.6.1. Distribusi Frekuensi Meningoensefalitis ... 23

2.6.2. Determinan Meningoensefalitis ... 26

2.7. Prognosis Meningoensefalitis ... 30

2.8. Komplikasi ... 31

2.8. Pencegahan Meningoensefalitis... 32

2.8.1. Pencegahan Primer ... 32

2.8.2. Pencegahan Sekunder ... 33

2.8.3. Pencegahan Tertier ... 36

BAB 3 KERANGKA KONSEP... 37

3.1. Kerangka Konsep... 37

3.2. Definisi Operasional ... 37

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 41

4.1. Jenis Penelitian. ... 41

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41


(11)

4.2.2. Waktu Penelitian ... 41

4.3. Populasi dan Sampel ... 41

4.3.1. Populasi ... 41

4.3.2. Sampel ... 42

4.4. Metode Pengumpulan Data... 42

4.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 42

BAB 5. HASIL PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 43

5.1.1. Profil Rumah Sakit ... 43

5.1.2. Visi ... 43

5.1.3. Misi ... 43

5.1.4. Pelayanan Medis ... 43

5.2. Analisa Deskriptif 5.2.1. Proporsi Penderita Meningoensefalitis Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ... 44

5.2.2. Proporsi Penderita Meningoensefalitis Berdasarkan Sosiodemografi ... 46

5.2.3. Proporsi Penderita Meningoensefalitis Berdasarkan Keadaan Sewaktu Datang ... 47

5.2.4. Proporsi Penderita Meningoensefalitis Berdasarkan Gejala Subjektif ... 48

5.2.5. Proporsi Penderita Meningoensefalitis Berdasarkan Gejala Objektif ... 49

5.2.6. Lama Rawatan Rata-rata Penderita Meningoensefalitis ... 50

5.2.7. Proporsi Penderita Meningoensefalitis Berdasarkan Pemeriksaan Penunjang ... 50

5.2.8. Proporsi Penderita Meningoensefalitis Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ... 52

5.3. Analisa Statistik ... 57

5.3.1. Umur Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ... 57

5.3.2. Keadaan Sewaktu Datang Berdasarkan Tempat Tinggal ... 58

5.3.3. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Keadaan Sewaktu Datang ... 59

5.5.4. Keadaan Sewaktu Datang Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ... 60

5.5.5. Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ... 61

BAB 6. PEMBAHASAN ... 62

6.1. Analisa Deskriptif ... 62

6.1.1. Proporsi Penderita Meningoensefalitis Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ... 62

6.1.2. Proporsi Penderita Meningoensefalitis Berdasarkan Sosiodemografi ... 64


(12)

6.1 3. Proporsi Penderita Meningoensefalitis Berdasarkan Keadaan

Sewaktu Datang ... 69

6.1.4. Proporsi penderita meningoensefalitis berdasarkan gejala subjektif ... 70

6.1.5. Proporsi penderita meningoensefalitis berdasarkan gejala objektif ... 73

6.1.6. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita Meningoensefalitis ... 74

6.1.7. Proporsi Penderita Meningoensefalitis Berdasarkan Pemeriksaan Penunjang ... 75

6.1.8. Proporsi Penderita Meningoensefalitis Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ... 76

6.2. Analisa Statistik ... 81

6.2.1. Umur Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ... 81

6.2.2. Keadaan Sewaktu Datang Berdasarkan Tempat Tinggal ... 82

6.2.3. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Keadaan Sewaktu Datang ... 84

6.2.4. Keadaan Sewaktu Datang Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ... 85

6.2.6. Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ... 86

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

7.1. Kesimpulan ... 88

7.2. Saran ... 89 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN I. Master Data II. Hasil Uji Statistik

III. Surat Permohonan Izin Penelitian IV. Surat Keterangan Selesai Penelitian


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1. Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Santa Elisabeth

Medan Tahun 2007-2011 ... 44 Tabel 5.2. Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap

Berdasarkan Sosiodemografi di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 46 Tabel 5.3. Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap

Berdasarkan Keadaan Sewaktu Datang di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 47 Tabel 5.4. Distribusi proporsi penderita meningoensefalitis berdasarkan gejala

subjektif Pada Umur <5 Tahun di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 48 Tabel 5.5. Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Berdasarkan Gejala

Subjektif Pada Umur ≥5 Tahun di Rumah Sakit Santa Elisabeth

Medan Tahun 2007-2011 ... 49 Tabel 5.6. Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Berdasarkan Gejala

Objektif di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 .... 49 Tabel 5.7. Lama Rawatan Rata-rata Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap di

Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 50 Tabel 5.8. Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap

Berdasarkan Pemeriksaan Penunjang di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 51 Tabel 5.9. Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap

Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 52 Tabel 5.10. Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Yang

Meninggal Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 53 Tabel 5.11. Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Yang

Meninggal Berdasarkan Sosiodemografi di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 54


(14)

Tabel 5.12. CFR Penderita Meningoensefalitis Yang Meninggal Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 56 Tabel 5.13. Distribusi Proporsi Umur Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap

Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 57 Tabel 5.14. Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Datang Penderita

Meningoensefalitis Rawat Inap Berdasarkan Tempat Tinggal di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 58 Tabel 5.15. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap

Berdasarkan Keadaan Sewaktu Datang di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 59 Tabel 5.16. Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Datang Penderita

Meningoensefalitis Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 60 Tabel 5.17. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap

Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 61


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Bagian Otak ... 15

Gambar 2.3 Anatomi Selaput Otak ... 15

Gambar 2.3. Pemeriksaan tanda Kernig ... 21

Gambar 2.4. Pemeriksaan Tanda Brudzinski ... 21

Gambar 6.1. Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 62

Gambar 6.2. Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Berdasarkan Suku di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 64

Gambar 6.3. Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Berdasarkan Agama di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 65

Gambar 6.4. Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Bedasarkan Pekerjaan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 67

Gambar 6.5. Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Bedasarkan Tempat Tinggal di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 68

Gambar 6.6. Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Bedasarkan Keadaan Sewaktu Datang di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 69

Gambar 6.7. Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Berdasarkan Gejala Subjektif Usia <5 tahun di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 70

Gambar 6.8. Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Bedasarkan Gejala Subjektif ≥5 tahun di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 71


(16)

Gambar 6.9. Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Berdasarkan Gejala Objektif di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 73 Gambar 6.10. Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis

Rawat Inap Berdasarkan Pemeriksaan Penunjang di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 75 Gambar 6.11. Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis

Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 76 Gambar 6.12. Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis

Rawat Inap Yang Meninggal Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 79 Gambar 6.13. CFR Penderita Meningoensefalitis Yang Meninggal Berdasarkan

Umur dan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011... 80 Gambar 6.14. Diagram Bar Distribusi Proporsi Umur Penderita

Meningoensefalitis Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun

2007-2011 ... 81 Gambar 6.15. Diagram Bar Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Datang

Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Berdasarkan Tempat Tinggal di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan

Tahun 2007-2011... 82 Gambar 6.16. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita Meningoensefalitis Rawat

Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Datang di Rumah Sakit

Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 84 Gambar 6.17. Diagram Bar Distribusi Proporsi Keadaan Sewaktu Datang

Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit Santa Elisabeth

Medan Tahun 2007-2011 ... 85 Gambar 6.18. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita Meningoensefalitis Rawat

Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011 ... 86


(17)

ABSTRAK

Meningoensefalitis merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah di negara berkembang. Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan jumlah penderita meningoensefalitis rawat inap tahun 2007-2011 sebanyak 120 orang.

Untuk mengetahui karakteristik penderita meningoensefalitis rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2007-2011 dilakukan penelitian deskriptif dengan desain case series. Populasi penelitian, seluruh data semua penderita meningoensefalitis yang dirawat inap tahun 2007-2011 sebanyak 120 data. Analisa data dengan Chi-square, Mann-whitney, Kruskal Wallis.

Hasil penelitian menunjukkan, umur termuda 11 hari, umur tertua 90 tahun, proporsi tertinggi yaitu pada kelompok umur 0-5 tahun 53,4%, laki-laki 28,4% dan perempuan 25,0%; suku Batak 77,5%; agama Kristen Protestan 57,5%; tidak bekerja 56,6%; Luar Kota Medan 53,3%; somnolen 25,8%; demam usia <5 tahun 96,6%, demam ≥5 tahun 90,2%, letargi 72,5%; lama rawatan rata-rata 5,72 hari; CFR 32,5%. Uji Chi-square tidak ada perbedaan bermakna antara proporsi keadaan sewaktu datang berdasarkan tempat tinggal (p=0,493), lama rawatan rata-rata penderita meningoensefalitis yang datang dalam keadaan compos mentis secara bermakna lebih lama daripada penderita yang datang dengan incompos mentis (p=0,021); lama rawatan penderita yang sembuh/PBJ secara bermakna lebih lama daripada PAPS, meninggal, pindah rumah sakit (p=0,000).

Diharapkan kepada pihak rumah sakit agar melengkapi data penderita seperti PBJ, dan menyarankan agar ibu yang mempunyai balita agar memberikan imunisasi pada anaknya, serta segera memeriksakan diri apabila memiliki gejala demam, kejang, dan letargi.


(18)

ABSTRACT

Meningoencephalitis is one of infection disease still become a problem in developing country. The number of patients with meningoencephalitis were hospitalized in Santa Elisabeth Medan in 2007-2011 was 120 patients.

The purpose of this descriptive study with case series design is to analyse the characteristic of the patient with meningoencephalitis were hospitalized in Santa Elisabeth Medan in 2007-2011. The population for this study was 120 patients. Data analysed by using Chi-square, Mann-whitney, Kruskal Wallis.

The result of this study reveals that, the youngest is 11 days, the oldest is 90 years old, the highest proportion of patient with meningoencephalitis in the age group 0-5 years old 53,4%, male 28,4% and female 25,0%; ethnic Batak 77,5%, Christian 57,5%; doesn’t work 56,6%; from out of Medan 53,3%; somnolen 25,8%; fever of age <5 years 96,6%; fever of age ≥5 years 90,2%; letarghy 72,5%; the average length of treatment was 5,72 days; CFR 32,5%. The result of Chi-Square, there were no significant differences between the arrival condition by their home (p=0,493); the average length of treatment significance was more length in compos mentis arrival condition compared with incompos mentis arrival condition (p=0,021), the average length of treatment significance was more length for home healthy/home treatment than back home by own request, death patient, and leave of hospital (p=0,000)

It is suggested that the management of Santa Elisabeth Hospital Medan to complete the filling out patient’s status card by including home treatment, and to mother who has child 0-<5 years old suggested to give an imunnization to their child, and immediately checked out when have the symptons of fever, convulsions and letarghy.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Upaya kesehatan terus dikembangkan dan sarana diagnostik dan terapi terus mengalami kemajuan, namun angka kejadian infeksi masih terus merupakan tantangan bidang kesehatan.1 Sekitar 25% dari semua jumlah kematian di seluruh dunia disebabkan oleh penyakit menular.2 Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya masih cukup tinggi, di antara penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP) seperti meningoensefalitis.3

Menurut WHO (1996) bahwa di klinik Bucharest, Rumania telah terjadi peningkatan kasus meningoensefalitis sejak bulan Agustus tahun 1996 dan terdapat 281 kasus virus meningitis yang terjadi dari 1 Agustus sampai 2 September, dengan usia rata-rata pasien adalah 47 tahun dan 53% dari pasien dengan usia di atas 50 tahun.4 Di Amerika Serikat tahun 2001 terdapat 66 kasus dengan penyebab Virus West Nile (64 orang di antaranya dengan infeksi meningoensefalitis sedangkan 2 orang dengan gejala demam West Nile yang ringan). Di antara 64 orang dengan penyebab West Nile Virus tersebut dengan usia rata-rata 68 tahun dengan interval umur 9-90 tahun. Di New York terdapat 13 kasus meningoensefalitis dengan penyebab West Nile Virus, 12 kasus di New Jersey dan 12 kasus di Florida.5 Hasil surveilens tahun 2006 dari 6 sentinel laboratorium di Cambodia, terdapat 47


(20)

dari 275 (17,1%) kasus meningoensefalitis dengan penyebab adalah Ensefalitis Jepang.6

Centers for Diaseases Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa pada tahun 1998-2007 di Amerika Serikat dilaporkan 33 kasus Primary Amebic Meningoencephalitis (PAM) dan merupakan penyebab kematian pada 23 orang pada tahun 1995-2004 dan 6 orang di tahun 2007.7 Di Mozambique pada tanggal 13 Juli tahun 2009 terdapat 103 kasus meningoensefalitis dan 14 kematian (CFR=13,6%).8 WHO (2011) melaporkan bahwa Case Fatality Rate (CFR) dari meningoensefalitis di Asia yang disebabkan oleh Togavirus adalah sekitar 20%. 9

Di Indonesia, Meningitis/Ensefalitis merupakan penyebab kematian pada semua umur dengan urutan ke 17 (0,8%) setelah malaria. Meningitis/Ensefalitis merupakan penyakit menular pada semua umur dengan proporsi 3,2%. Sedangkan proporsi Meningitis/Ensefalitis merupakan penyebab kematian bayi pada umur 29 hari-11 bulan dengan urutan ketiga yaitu (9,3%) setelah diare (31,4%) dan pneumoni (23,8%). Proporsi Meningitis/Ensefalitis penyebab kematian pada umur 1-4 tahun yaitu (8,8%) dan merupakan urutan ke-4 setelah Necroticans Entero Colitis (NEC) yaitu (10,7%).10

Berdasarkan penelitian Febriani, N., di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2005-2010 pada penderita HIV dengan jenis penyakit saraf yang diderita yaitu Ensefalitis CMV sebanyak 6 kasus (9%), Meningitis TB sebanyak 5 kasus (7,50%), Meningoensefalitis sebanyak 2 kasus (2,90%), Meningitis kriptokokal sebanyak 1 kasus (1,50%). Faktor yang pertama adalah infeksi dari HIV sendiri yang


(21)

menyerang sistem kekebalan tubuh juga berdampak pada sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf, selain itu, faktor dari infeksi oportunistik yang terdiri dari berbagai macam kuman, virus, jamur, dan parasit.11 Pada tahun 1999-2001 dari hasil penelitian Dameria (2002) di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan ditemukan 104 kasus meningitis pada anak dan 27 kasus (CFR=26%) mengalami kematian.12

Penelitian yang dilakukan oleh Erika, S. di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 2000-2002 terdapat 116 kasus meningitis pada anak dan 26 kasus mengalami kematian (CFR=22,4%). Penderita paling banyak yaitu usia <6 tahun 73 orang (62,9%).13 Penelitian yang dilakukan oleh Delima Sitorus di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2000-2004 tercatat 130 kasus meningitis dan 37 mengalami kematian (CFR=28.46%); jumlah penderita meningitis purulenta 32 kasus (24,6%), sedangkan penderita meningitis serosa 98 kasus (75,4%), dan penderita yang paling banyak yaitu usia 0- <6 tahun sebanyak 58 kasus (44,6%).14 Penelitian yang dilakukan oleh Mesranti, M., di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2005-2008 terdapat 148 kasus meningitis dan 71 kasus mengalami kematian (CFR=48%); jumlah penderita meningitis purulenta 63 kasus (42,6%), sedangkan penderita meningitis serosa 85 kasus (57,4%), dan penderita paling banyak yaitu usia 0-<5 tahun sebanyak 56 kasus (37,8%).15 Menurut penelitian Lidia, Cindy di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2006-2009 terdapat 119 kasus meningitis dengan 60 kasus mengalami kematian (CFR=50,4%) dan proporsi penderita yang meninggal dunia lebih tinggi pada meningitis serosa yaitu 38 kasus (63,3%).16


(22)

Berdasarkan data pada survei pendahuluan di Rumah Sakit Santa Elisabet Medan, pada tahun 2007-2011 terdapat 120 kasus meningoensefalitis.

Berdasarkan uraian latar belakang, maka perlu dilakukan penelitian tentang Karakteristik Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011.

1.2. Perumusan Masalah

Belum diketahui karakteristik penderita meningoensefalitis yang dirawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2007-2011.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui karakteristik penderita meningoensefalitis yang dirawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth tahun 2007-2011.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita meningoensefalitis berdasarkan sosiodemografi: umur, jenis kelamin, suku, agama, pekerjaan, tempat tinggal.

b. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita meningoensefalitis berdasarkan keadaan sewaktu datang

c. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita meningoensefalitis berdasarkan gejala subjektif


(23)

d. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita meningoensefalitis berdasarkan gejala objektif

e. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata penderita meningoensefalitis

f. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita meningoensefalitis berdasarkan keadaan sewaktu pulang

g. Untuk mengetahui perbedaan proporsi umur berdasarkan keadaan sewaktu pulang

h. Untuk mengetahui perbedaan proporsi keadaan sewaktu datang berdasarkan tempat tinggal

1. Untuk mengetahui perbedaan lama rawatan rata-rata berdasarkan keadaan sewaktu datang

j. Untuk mengetahui perbedaan proporsi keadaan sewaktu datang berdasarkan keadaan sewaktu pulang

k. Untuk mengetahui perbedaan lama rawatan rata-rata berdasarkan keadaan sewaktu pulang


(24)

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Sebagai informasi dan masukan bagi pihak Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tentang karakteristik penderita meningoensefalitis

1.4.2. Sebagai sarana untuk menambah wawasan penulis mengenai meningoensefalitis dan penerapan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan di FKM USU Medan.

1.4.3. Sebagai referensi bagi peneliti lain yang ingin meneliti tentang penyakit meningoensefalitis


(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Meningoensefalitis

Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama lainnya yaitu cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis.17 Meningitis adalah radang umum pada araknoid dan piameter yang disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia, atau virus.18 Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus atas dasar klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga disebut meningoensefalitis. Alasannya yaitu selama meningitis bakteri, mediator radang dan toksin dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim otak dan menyebabkan respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang mencapai cairan serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi meningeal di samping gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada beberapa agen etiologi dapat menyerang meninges maupun otak misalnya enterovirus.19,20

Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah Mycobacterium tuberculosa, Toxoplasma gondii, Ricketsia dan virus. Meningitis purulenta adalah radang bernanah


(26)

araknoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitidis (meningokok), Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeuruginosa.18

2.2. Etiologi Meningoensefalitis19,21

Agen penyebab umum meningoensefalitis sebagai berikut: Tabel 2.1. Etiologi Penyebab Meningoensefalitis

No Agen Penyebab 1. Virus

Togaviridae Alfavirus

Virus Ensefalitis Equine Eastern Virus Ensefalitis Equine Western Virus Ensefalitis Equine Venezuela

Flaviviridae

Virus Ensefalitis St. Louis Virus Powassan

Bunyaviridae

Virus Ensefalitis California Virus LaCrosse

Virus Jamestown Canyon

Paramyxoviridae Paramiksovirus

Virus Parotitis Virus Parainfluenza

Morbilivirus Virus Campak Orthomyxoviridae


(27)

Influenza A Influenza B Arenaviridae

Virus khoriomeningitis limfostik Picornaviridae

Enterovirus Poliovirus Koksakivirus A Koksakivirus B Ekhovirus

Reoviridae Orbivirus

Virus demam tengu Colorado

Rhabdoviridae Virus Rabies Retroviridae Lentivirus

Virus imunodefisiensi manusia tipe 1 dan tipe 2 Onkornavirus

Virus limfotropik T manusia tipe 1 Virus limfotropik T manusia tipe 2

Herpesviridae Herpes virus

Virus Herpes simpleks tipe 1 Virus Herpes simpleks tipe 2 Virus Varisela zoster

Virus Epstein Barr Sitomegalovirus

Sitomegalovirus manusia

Adenoviridae Adenovirus


(28)

2. Bakteri

Haemophilus influenza Neisseria menigitidis Streptococcus pneumonia Streptococcus grup B Listeria monocytogenes Escherichia coli

Staphylococcus aureus Mycobacterium tuberkulosa 3. Parasit

Protozoa

Plasmodium falciparum, Toxoplasma gondii,

Naegleria fowleri (Primary amebic meningoencephalitis),

Granulomatous amebic encephalitis Helminthes

Taenia solium,

Angiostrongylus cantonensis Rickettsia

Rickettsia ( Rocky Mountain) 4. Fungi

Criptococcus neoformans Coccidiodes immitis Histoplasma capsulatum Candida species

Aspergillus Paracoccidiodes

Penyebab karena Mumpsvirus ditularkan melalui kontak langsung, titik ludah atau muntahan penderita, serta dikeluarkan melalui urin penderita yang terinfeksi. Penularan Mumpsvirus terjadi sekitar 4 hari sebelum sampai 7 hari sesudah timbulnya gejala klinik. Diperlukan kontak yang lebih erat dengan penderita agar


(29)

terjadi penularan Mumpsvirus, bila dibandingkan dengan penularan virus Measles atau Varicella-zoster.22

Penyebab karena Togavirus dalam siklus biologiknya membutuhkan invertebrata/arthropoda pengisap darah, misalnya nyamuk dan caplak. Infeksi pada manusia terjadi melalui gigitan arthropoda, misalnya nyamuk yang mengandung Togavirus. Manusia adalah hospes alami Herpes simpleks virus, namun banyak strain yang patogenik terhadap berbagai hewan percobaan, misalnya kelinci, tikus, marmot, anak ayam dan kera. Virus ini mencapai otak melalui saraf olfaktoris, kemudian menyebar dari sel ke sel sehingga menimbulkan nekrosis neuron yang luas.22

Ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok yaitu: ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus kelompok Herpes simpleks, Virus Influenza, ECHO, Coxsackie dan Arbovirus. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya dan ensefalitis para infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit virus yang sudah dikenal, seperti Rubela, Varisela, Herpes zooster, Parotitis epidemika, Mononukleosis infeksiosa.23

Virus penyebab meningoensefalitis memiliki variasi geografis yang besar yaitu: di negara berkembang, penyebab terbesar yaitu herpes simplex type-1 (HSV-1), virus gondok, enterovirus, herpes zooster, adenovirus dan virus Epstein –Barr. Di Amerika Serikat terdapat ensefalitis St.Louis, West Nile virus, Eastern and Weastern equine virus, Bunyavirus termasuk Virus Ensefalitis California. Di Eropa Tengah dan Timur, Virus Ensefalitis Tick-born adalah endemis. Herpes simpleks-type 2 merupakan penyebab penyakit paling banyak pada neonatus. Di Asia, Ensefalitis


(30)

Jepang adalah penyebab ensefalitis yang paling banyak. Virus Valley fever di Afrika dan Timur tengah, Amerika latin, dan berbagai belahan di dunia. Ensefalomieletis pasca infeksi dapat mengikuti semua tetapi yang paling sering dikaitkan dengan campak. Sindrom Guillane Barre telah dikaitkan dengan infeksi Virus Epstein Barr, cytomegalovirus, coxsackie B, Virus Herpes zooster. Pasien dengan imunodefisiensi sangat rentan dengan virus tertentu yaitu orang-orang dengan sel imunitas yang lemah termasuk pasien yang terinfeksi virus HIV dapat berkembang menjadi ensefalitis yang disebabkan oleh Herpes zoster atau Cytomegalovirus.2

Pada umumnya invasi jamur ke dalam otak merupakan penyebaran hematogen dari infeksi di paru-paru. Penyebaran hematogen dari paru-paru ke otak dan selaputnya sebanding dengan metastasis kuman tuberculosa ke ruang intrakranial, baik di permukaan korteks maupun di araknoid dapat dibentuk granuloma yang besar atau yang kecil, yang akhirnya berkembang menjadi abses.23

Penyebab karena bakteri yang mencapai cairan serebrospinal akan memperbanyak diri dengan cepat karena ruangan subaraknoid dan CSS tidak ada komplemen, antibodi opsonin dan sel fagosit. Terbukti pada infeksi oleh H. influenzae eksperimental, hanya memerlukan satu bakteri hidup untuk memulai infeksi pada CSS. Bakteri Streptococcus dapat menyebabkan meningitis pada semua kelompok umur, dan pada penderita umur lebih dari 40 tahun merupakan agen penyebab yang paling sering.19


(31)

2.3. Anatomi dan fisiologi 2.3.1. Anatomi Otak

Otak bertanggung jawab dalam mengurus organ dan jaringan yang terdapat di kepala. Otak terdiri atas otak besar atau serebrum (cerebrum), otak kecil atau cerebelum (cerebellum) dan batang otak (trunkus serebri). Jaringan otak dibungkus oleh tiga selaput otak (meninges) yang dilindungi oleh tulang tengkorak dan mengapung dalam suatu cairan yang berfungsi menunjang otak yang lembek dan halus sebagai penyerap goncangan akibat pukulan dari luar terhadap kepala.24

2.3.2. Histologi Susunan Saraf Pusat

Bila dibuat penampang melintang bagian-bagian dari susunan saraf pusat, akan terlihat adanya jaringan dengan warna berbeda. Sebagian tampak berwarna putih dan sebagian lagi berwarna agak gelap (kelabu). Atas dasar itu, susunan saraf pusat dibagi menjadi substansia grisea yang berwarna kelabu dan substansia alba yang berwarna putih. Warna kelabu ini disebabkan oleh banyaknya badan sel saraf di bagian tersebut, sedangkan warna putih ditimbulkan oleh banyaknya serabut saraf yang bermielin, sel saraf yang terdapat dalam susunan saraf pusat juga dapat dibagi menjadi sel saraf dan sel penunjang. Sel penunjang merupakan sel jaringan ikat yang tidak berfungsi untuk menyalurkan impuls. Pada sel saraf serabut dengan diameter besar ditandai dengan nama serabut alpha atau A, beta atau B untuk yang lebih kecil dan gamma untuk yang lebih kecil lagi pada ujung-ujung saraf yang membentuk sinaps, ternyata terdapat gelembung yang menghasilkan


(32)

macam-macam zat kimia. Karena demikian banyaknya sinaps yang terdapat di otak, secara keseluruhan otak dapat dianggap sebagai sebuah kelenjar yang sangat besar.25

2.3.3. Anatomi Selaput Otak

Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:

a. Lapisan Luar (Durameter)

Durameter disebut juga selaput otak keras atau pachymeninx. Durameter dapat dibagi menjadi durameter cranialis yang membungkus otak dan durameter spinalis yang membungkus medula spinalis. Di samping itu, durameter masih dapat dibagi lagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan meningeal yang lebih dekat ke otak (lapisan dalam) dan lapisan endostium yang melekat erat pada tulang tengkorak. 25 b. Lapisan Tengah (Araknoid)

Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf pusat. Ruangan di antara durameter dan araknoid disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan jernih menyerupai getah bening. Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah arteri dan vena yang menghubungkan sistem otak dengan meningen serta dipenuhi oleh cairan serebrospinal, bagian ini dapat dimanfaatkan untuk pengambilan cairan otak yang disebut lumbal fungsi.24 c. Lapisan dalam (Piameter)

Lapisan piameter merupakan selaput tipis yang kaya akan pembuluh darah kecil yang menyuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak dan lapisan ini


(33)

melekat erat pada permukaan luar otak atau medula spinalis.25 Ruangan di antara araknoid dan piameter disebut subaraknoid. Pada reaksi radang ruangan ini berisi sel radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang belakang.26

Gambar 2.1. Bagian Otak

Sumber: http://brainconnection.positscience.com/topics/?main=gal/home

Gambar 2.2. Anatomi Selaput Otak


(34)

2.4. Patofisiologi Meningoensefalitis

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus paranasales. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak. Proses peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan otak disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk dinding yang kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat mengakibatkan meningitis.27

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus herpes simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus yang lain masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau cytomegalovirus. Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal, kemudian terjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain


(35)

ialah melalui saraf perifer atau secara retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies dan herpes zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung atau melalui ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan meningitis aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema otak, peradangan pada pembuluh darah kecil, trombosis, dan mikroglia.27

Amuba meningoensefalitis diduga melalui berbagai jalan masuk, oleh karena parasit penyebabnya adalah parasit yang dapat hidup bebas di alam. Kemungkinan besar infeksi terjadi melalui saluran pernapasan pada waktu penderita berenang di air yang bertemperatur hangat.28 Infeksi yang disebabkan oleh protozoa jenis toksoplasma dapat timbul dari penularan ibu-fetus. Mungkin juga manusia mendapat toksoplasma karena makan daging yang tidak matang. Dalam tubuh manusia, parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista, terutama otot dan jaringan susunan saraf pusat. Pada fetus yang mendapat toksoplasma melalui penularan ibu-fetus dapat timbul berbagai manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan otak, ginjal dan bagian tubuh lainnya. Maka manifestasi dari toksoplasma kongenital dapat berupa: fetus meninggal dalam kandungan, neonatus menunjukkan kelainan kongenital yang nyata misalnya mikrosefalus, dll.23

2.5. Gejala Klinis

Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala meningitis dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti oleh perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang tanda neurologik fokal, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik.29 Kualitas


(36)

kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS (The Glasgow Coma Scale) sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian asuhan keperawatan.30 Dalam klinik dikenal tingkat-tingkat kesadaran : compos mentis, incompos mentis (apatis, delirium, somnolen, sopor, coma).

- Compos mentis : sadar sepenuhnya baik terhadap dirinya maupun lingkungan. - Apatis : sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan, tidak segera menjawab bila

ditanya.

- Delirium : penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gelisah, disorientasi dan meronta-ronta

- Somnolen : mengantuk yang masih dapat dipulihkan bila diberi rangsangan tetapi saat rangsangan dihentikan, pasien tertidur lagi

- Sopor : penurunan kesadaran yang dalam, dimana penderita hanya dapat dibangunkan dalam waktu singkat oleh rangsang nyeri yang hebat dan berulang-ulang

- Coma adalah penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak ada respon terhadap nyeri. 31


(37)

Pada riwayat pasien meliputi demam, muntah, sakit kepala, letargi, lekas marah, dan kaku kuduk.32 Neonatus memiliki gambaran klinik berbeda dengan anak dan orang dewasa. Meningitis karena bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, minum sangat berkurang, konstipasi, diare. Kejang terjadi pada lebih kurang 44% anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25% oleh Streptococcus pneumonia, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan kesadaran berupa apatis, letargi, renjatan, koma. Pada bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun) yaitu demam, malas makan, muntah, mudah terstimulasi, kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk dan tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak-anak dan remaja terjadi demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti oleh perubahan sensori, fotofobia, mudah terstimulasi dan teragitasi, halusinasi, perilaku agresif, stupor, koma, kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas. Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi dan takikardi karena septikimia.27,33

Meningitis yang disebabkan Mumpsvirus ditandai dengan anoreksia dan malaise, diikuti pembesaran kelenjar parotid sebelum terjadinya invasi ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, sakit tenggorok, nyeri otot, dan demam, disertai dengan


(38)

timbulnya ruam kulit makulo papular yang tidak disertai gatal terdapat pada wajah, leher, dada dan badan.22

Keluhan utama pada penderita ensefalitis yaitu sakit kepala, demam, kejang disertai penurunan kesadaran. Ensefalitis yang disebabkan oleh infeksi Famili Togavirus (memiliki gejala yang sangat bervariasi, mulai dari yang tanpa gejala sampai terjadinya sindrom demam akut disertai demam berdarah dan gejala-gejala sistem saraf pusat). Western Equine Virus (WEE) pada umumnya menimbulkan infeksi yang sangat ringan, gejala pada orang dewasa dapat berupa letargi, kaku kuduk dan punggung, serta mudah bingung dan koma yang tidak tetap. Gejala berat pada anak berupa konvulsi, muntah dan gelisah, yang sesudah sembuh akan menimbulkan cacat fisik dan mental yang berat.30,22 Gejala yang mungkin tampak dengan penyebab Japanese B enchephalitis virus adalah panas mendadak, nyeri kepala, kesadaran yang menurun, fotofobi, gerak tidak terkoordinasi, hiperhidrosis. Pemeriksaan laboratorium berupa uji serologis misalnya ELISA terhadap bahan atau cairan serebrospinal menunjukkan adanya IgM. Uji fiksasi komplemen menunjukkan nilai titer yang meningkat 4 kali lipat.34,35


(39)

Gambar 2.3. Pemeriksaan tanda Kernig Gambar 2.4. Pemeriksaan Tanda Brudzinski

Tanda Kernig positif: Ketika klien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi ke arah abdomen, kaki tidak dapat diekstensikan sempurna. Tanda Brudzinski: tanda ini didapat apabila leher klien difleksikan, maka hasilnya fleksi lutut dan pinggul; bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas yang berlawanan.30

Proses radang pada ensefalitis virus selain terjadi jaringan otak saja, juga sering mengenai jaringan selaput otak.18 Pada umumnya terdapat 4 jenis atau bentuk manifestasi klinik, yaitu:

2.5.1. Bentuk asimtomatik

Umumnya gejalanya ringan, vertigo, diplopia. Diagnosis hanya ditegakkan atas pemeriksaan CSS.

2.5.2. Bentuk abortif

Gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan kaku kuduk ringan. Umumnya terdapat gejala-gejala seperti infeksi saluran pernafasan bagian atas atau gastrointestinal.


(40)

2.5.3. Bentuk fulminan

Bentuk ini berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari yang berakhir dengan kematian. Pada stadium akut terdapat demam tinggi, nyeri kepala difus yang hebat, apatis, kaku kuduk, sangat gelisah dan dalam waktu singkat masuk ke dalam koma yang dalam.

2.5.4. Bentuk khas ensefalitis

Bentuk ini mulai secara bertahap dengan gejala awal nyeri kepala ringan, demam, gejala infeksi saluran nafas bagian atas. Kemudian muncul tanda radang Sistem Saraf Pusat (SSP) seperti kaku kuduk, tanda Kernig positif, gelisah, lemah, sukar tidur. Selanjutnya kesadaran mulai menurun sampai koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan koordinasi, gangguan bicara, gangguan mental.34

Manifestasi klinis yang disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans berupa nyeri kepala akut atau subakut, demam dan kadang kejang tetapi jarang ditemukan defisit neurologis fokal.36 Gejala awal pada amuba meningoensefalitis adalah radang hidung dan sakit tenggorokan yang diikuti oleh demam dan sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan gangguan kesadaran yang dapat diikuti oleh kematian penderita 1 minggu kemudian.28


(41)

2.6. Epidemiologi Meningoensefalitis

2.6.1. Distribusi Frekuensi Meningoensefalitis a. Orang/Manusia

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberkulosa varian hominis dapat terjadi pada segala umur, yang tersering adalah pada anak umur 6 bulan - 5 tahun.27,37 Insiden meningoensefalitis mumps lebih banyak ditemui pada laki-laki yaitu sekitar 3-5 kali lebih banyak. Usia yang tersering ialah tujuh tahun dan 40% berusia di atas 15 tahun.38

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Japanese B encephalitis virus banyak menyerang anak berusia antara 3 tahun dan 15 tahun.35 Ensefalitis herpes virus dapat terjadi pada semua umur, paling banyak kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun. Ensefalitis herpes virus memiliki angka mortalitas 15-20% dengan pengobatan dan 70-80% tanpa pengobatan.39 Neonatus masih mempunyai imunitas maternal. Tetapi setelah umur 6 bulan imunitas itu lenyap dan bayi dapat mengidap gingivo-stomatitis virus herpes simpleks. Infeksi dapat hilang timbul dan berlokalisasi pada perbatasan mukokutaneus antara mulut dan hidung. Infeksi-infeksi tersebut jinak sekali. Tetapi apabila neonatus tidak memperoleh imunitas maternal terhadap virus herpes simpleks atau apabila pada partus neonatus ketularan virus herpes simpleks dari ibunya yang mengidap herpes genitalis, maka infeksi dapat berkembang menjadi viremia.23

H. influenzae penyebab yang paling sering di Amerika Serikat, mempunyai insiden tahunan 32-71/100.000 anak di bawah 5 tahun. Insiden ini jauh lebih tinggi pada anak-anak Indian Navayo dan Eskimo Alaska (masing-masing 173 dan


(42)

409/100.000/tahun). Insiden yang tinggi pada populasi ini mungkin juga menggambarkan status sosio-ekonomi yang rendah, yang beberapa cara tidak diketahui dapat mengurangi daya tahan terhadap mikroorganisme ini. Insiden dengan infeksi H. influenzae juga empat kali lebih besar pada orang kulit hitam daripada orang kulit putih.19

Tabel 2.2. Perkiraan insidensi dengan pada meningitis bakteri40

No. Kelompok usia Insiden (%)

1.

2.

3.

Neonatus

Streptococcus grup B

E.coli, enteri gram negatif lain L. monocytogenes Batita N. meningitidis S. pneumoniae H. influenzae Lain-lain

Anak yang lebih tua S. pneumoniae N. meningitidis Lain-lain 60 30 5 45 40 10 5 50 40 10 b. Tempat

Frekuensi penyakit yang tinggi dilaporkan pada orang-orang Afrika-Amerika, penduduk asli Amerika, dan masyarakat di daerah pedesaan.40 Sekitar 20.000 kasus ensefalitis terjadi di Amerika Serikat setiap tahun, dengan ensefalitis herpes simpleks menyebabkan sekitar 10% dari kasus ini. Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Tick born encephalitis dengan CFR di Asia yaitu 20% dan di Eropa (1-5%).41

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Ensefalitis Jepang tersebar luas di Asia Timur dari Korea sampai Indonesia, Cina, India dan Kepulauan Pasifik Barat.42


(43)

Infeksi West Nile Virus meningkat di Amerika Serikat dengan kasus pertama dilaporkan di New York pada tahun 1999. Tahun 2002 ada 4.161 kasus yang dilaporkan di 41 negara, dan dari catatan 8.500 kasus dilaporkan pada tahun 2003.20 Infeksi Plasmodium falciparum tersebar di Afrika, Amerika Selatan, Asia Tenggara. Taenia Solium tersebar di Amerika Latin dan Rickettsia di Amerika bagian tenggara.21

c. Waktu

Meningoensefalitis arbovirus sebagian besar terjadi selama bulan-bulan musim panas karena penularan virus terjadi oleh arthropoda seperti nyamuk atau kutu yang aktif selama waktu itu. Infeksi virus parotitis lebih sering pada akhir musim dingin dan awal musim semi. Infeksi herpes virus dan virus imunodefisiensi manusia terjadi sporadis selama setahun.19 Infeksi dengan mumps virus bersifat endemik sepanjang tahun. Di daerah 4 musim, puncak periode terjadi pada musim dingin dan musim semi.22

Bakteri dengan penyebab N. meningitidis dan S. pneumoniae yang memuncak pada bulan-bulan musim dingin, H.influenzae memperlihatkan penyebaran bifasik yang memuncak pada permulaan musim dingin dan musim semi, dan L. monocytogenes yang terjadi paling sering pada bulan-bulan musim panas. Penjelasan atas pola musiman ini terletak pada cara penularan organisme; Meningokokus, Pneumokokus, dan Haemofilus menyebar melalui jalur pernapasan biasa, dan Listeria didapat akibat kontaminasi melalui makanan atau akibat berkontak dengan hewan ternak.40


(44)

2.6.2. Determinan Meningoensefalitis a. Host/Pejamu

Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi mencakup kesehatan umum yang sempurna, struktur sawar darah otak yang utuh dan efektif, aliran darah ke otak yang adekuat, sistem imunologik humoral dan selular yang berfungsi sempurna. Neonatus selamanya kekurangan antibodi IgM yang spesifik, oleh karena ia tidak dapat melintasi plasenta. Maka dari itu, neonatus mudah terkena infeksi kuman enterik gram negatif. Prematuritas mempermudah infeksi susunan saraf pusat, demikian juga kelainan kongenital, seperti meningomielokel ataupun sinus neurodermal. Pada anak-anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks merupakan manifestasi re-aktivasi dari infeksi yang latent. Virus herpes simpleks tersebut berdiam di dalam jaringan otak secara endosimbiotik, mungkin di ganglion Gasseri. Reaktivitas virus herpes simpleks dapat disebabkan oleh faktor-faktor yaitu penyinaran ultraviolet dan gangguan hormonal. Penyinaran ultraviolet dapat terjadi secara iatrogenik atau dapat terjadi sewaktu bepergian ke tempat-tempat yang tinggi letaknya.23

Kerentanan terhadap agent penyebab infeksi tidak hanya dipengaruhi oleh umur dan genetik tetapi juga oleh defisiensi didapat atau kongenital dalam mekanisme pertahanan hospes. Individu dengan defisiensi IgG atau komplemen, penderita yang mengalami splenektomi, atau mereka yang asplenia kongenital menambah insiden septikimia dan meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae dan H.influenzae tipe B. Penderita dengan anemia sel sikel dan hemoglobinopati akan berisiko terinfeksi meningitis karena fungsi limpa yang tidak baik dan cacat


(45)

pada jalur komplemen. Infeksi meningokokus beresiko pada individu yang menderita defisiensi komponen terminal sistem komplemen.19

Meningoensefalitis mumps terutama menyerang secara akut anak-anak dan dewasa muda. Angka kejadian yang sukar dipastikan karena infeksi subklinis dari sistem saraf pusat dilaporkan terjadi lebih dari 65% kasus. Bang dan Bang menemukan adanya peningkatan sel yang abnormal pada cairan otak dari 62% kasus, dimana hanya 28% dari penderita memberikan gambaran pembesaran kelenjar. Parotitis epidemika merupakan penyebab 10-15% kasus aseptik meningitis di Amerika.22,38 Paramyxovirus ini memiliki infeksi yang tinggi pada individu dengan sistem imun yang rendah. Kematian karena virus gondongan ini jarang, mayoritas kematian ( >50%) terjadi pada orang yang lebih tua dari 19 tahun.43

Biasanya bentuk meningoensefalitis mumps jinak pada anak dan ditandai dengan demam, muntah, kaku kuduk, letargi, parotitis, sakit kepala, konvulsi, nyeri perut, diare dan delirium.17 Faktor pejamu yang merupakan predisposisi infeksi termasuk keadaan defisiensi imun didapat atau kongenital, hemoglobinopati sabit, asplenia, dan penyakit hati atau ginjal kronis. Umumnya individu ini memperlihatkan peningkatan kerentanan terhadap organisme berkapsul seperti S. pneumoniae. Pemberian imunisasi efektif dini terhadap H. influenzae tipe b telah menurunkan insidensi meningitis akibat organisme ini sebesar 90%.40

b. Agent

Banyak bakteri dengan spektrum etiologi yang berbeda pada usia yang berbeda dan pada kelompok pasien yang berbeda. Eschericia coli, Streptococcus grup B, Listeria biasanya terjadi pada Neonatus, Haemophilus influenzae pada umur


(46)

< 5 tahun, Neisseria meningitidis (meningitis meningokokus), Streptococcus pnemoniae pada dewasa, Mycobacterium tuberculosa dan Cryptococcus pada pasien yang immunosuppressed.30,44

Meningoensefalitis mumps disebabkan oleh virus RNA yang termasuk famili Paramyxoviridae yang merupakan virus RNA.43 Virus mumps stabil pada Ph 5,8-8 dan tetap hidup bertahun-tahun pada suhu < -200 - 700C. Virulensi virus mumps akan hilang bila virus ini dipanaskan pada suhu 550C sampai dengan 600C, selama 20 menit. Virus mumps dapat diisolasi dari kelenjar air liur, hasil swab dari orificium ductus Stensen atau dari mulut, darah, kencing, air susu ibu dan cairan otak. Meningoensefalitis biasanya terjadi setelah 3-10 hari pembesaran kelenjar parotis. Meskipun demikian pernah dilaporkan bahwa meningoensefalitis dapat terjadi lebih awal, bahkan dapat terjadi tanpa adanya pembesaran kelenjar.38

Di daerah endemik, meningoensefalitis yang disebabkan oleh Japanese B encephalitis virus termasuk dalam kelompok virus yang ditularkan oleh serangga atau arthropoda lainnya, serangga penular di Indonesia adalah nyamuk Culex tritaeniohynchus.35 Sebelum tahun 1974, semua strain H. influenzae sensitif terhadap ampisilin. Pada waktu tersebut, akibat munculnya strain penghasil ß-laktamase, terapi akibat organisme ini diperluas hingga meliputi ampisilin dan kloramfenikol sampai uji kepekaan selesai. Beberapa belahan dunia sekarang melaporkan bahwa insidensi organisme yang resisten terhadap ampisilin dan kloramfenikol sudah melebihi 50%, sehingga regimen pengobatan ini sudah tidak dapat digunakan di daerah tersebut.40

Menurut statistik dari 214 ensefalitis 54% (115 orang) dari penderita adalah anak-anak. Virus yang paling sering ditemukan ialah virus Herpes simpleks (31%),


(47)

yang disusul oleh virus ECHO (17%). Ensefalitis primer dengan penyebab yang tidak diketahui dan ensefalitis para-infeksiosa masing-masing mencakup 40% dan 41% dari semua kasus ensefalitis yang telah diselidiki.23

Enterovirus adalah penyebab signifikan dari meningoensefalitis pada periode neonatal, tetapi jarang menyebabkan ensefalitis pada bayi yang lebih tua, anak-anak atau orang dewasa.20 Penyebab amuba meningoensefalitis adalah amuba terutama Naegleria fowleri. N.fowleri merupakan organisme termofilik golongan amuba flagelata yang hidup bebas di air tawar yang panas.35

Infeksi saraf yang disebabkan oleh infeksi oportunistik telah dilaporkan menjadi manifestasi utama dari AIDS.

Tabel 2.3. Resiko Infeksi Oportunistik Sistem Saraf Pusat pada Pasien dengan HIV/AIDS berdasarkan jumlah CD445

No. Jumlah CD4 Infeksi Sistem Saraf Pusat 1. Jumlah CD4<100 - Toxoplasma gondii

- Cryptococcus neoformans

2. Jumlah CD4 <50 - Primary Amoeba

Meningoencephalitis, Epstein Barr virus

- Cytomegalovirus

Toxoplasma gondii memiliki 3 macam bentuk, menyebabkan bermacam-macam cara penularan penyakit dan patogenesis yang berbeda-beda. Bentuk takhizoit adalah bentuk proliferatif yang ditemukan selama infeksi akut. Bentuk bradizoit ada dalam kista jaringan. Bentuk ookista ditemukan hanya dalam usus kucing. Ookista menjadi infeksius sesudah mengalami sporulasi yang terjadi dari 1 sampai 21 hari pasca defekasi. Hanya sekitar 10% individu yang terinfeksi menunjukkan gejala-gejala.19


(48)

c. Lingkungan

Infeksi meningokokus dan H.influenzae berkolerasi dengan kontak antar individu. Kolonisasi nasofaringeal dari N.meningitidis meningkat jumlahnya jika banyak anak muda wajib dinas militer dikumpulkan di barak-barak. Amuba meningoensefalitis dapat bersangkut paut dengan berenang di danau segar yang mengandung amuba. Infeksi arbovirus terjadi jika ada kontak dengan vektor yang berupa arthropoda yang telah terinfeksi. Binatang peliharaan sering terinfeksi Toksoplasma gondii dan mudah menularkan infeksinya kepada manusia di sekelilingnya.23

Meningoensefalitis (tuberkulosa) banyak terdapat pada penduduk dengan keadaan sosio-ekonomi rendah, penghasilan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, perumahan tidak memenuhi syarat kesehatan minimal, hidup dan tinggal atau tidur berdesakan, higiene yang buruk, dan tidak mendapat fasilitas imunisasi.27

2.7. Prognosis Meningoensefalitis

Prognosis meningoensefalitis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan, di samping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit seperti hidrosefalus, gangguan mental, yang dapat muncul selama perawatan. Bila meningoensefalitis (tuberkulosa) tidak diobati, prognosisnya jelek sekali. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Angka kematian pada umumnya 50%. Prognosisnya jelek pada bayi dan orang tua. Prognosis juga tergantung pada umur dan penyebab yang mendasari, antibiotik yang diberikan, hebatnya penyakit pada permulaannya, lamanya gejala atau sakit sebelum dirawat,


(49)

serta adanya kondisi patologik lainnya.46,27 Tingkat kematian virus mencakup 40-75% untuk herpes simpleks, 10-20% untuk campak, dan 1% untuk gondok.37

Penyakit pneumokokus juga lebih sering menyebabkan gejala sisa jangka panjang (kurang dari 30% kasus) seperti hidrosefalus, palsi nervus kranials, defisit visual dan motorik, serta epilepsi.36 Gejala sisa penyakit terjadi pada kira-kira 30% penderita yang bertahan hidup, tetapi juga terdapat predileksi usia serta patogen, dengan insidensi terbesar pada bayi yang sangat muda serta bayi yang terinfeksi oleh bakteri gram negatif dan S. pneumoniae. Gejala neurologi tersering adalah tuli, yang terjadi pada 3-25% pasien; kelumpuhan saraf kranial pada 2-7% pasien; dan cedera berat seperti hemiparesis atau cedera otak umum pada 1-2% pasien. Lebih dari 50% pasien dengan gejala sisa neurologi pada saat pemulangan dari rumah sakit akan membaik seiring waktu, dan keberhasilan dalam implan koklea belum lama ini memberi harapan bagi anak dengan kehilangan pendengaran.40

2.8. Komplikasi

Komplikasi dari meningitis tuberkulosa adalah hidrosefalus, epilepsi, gangguan jiwa, buta karena atrofi N.II, kelumpuhan otot yang disarafi N.III, N.IV, N.VI, hemiparesis. Komplikasi dari meningitis purulenta adalah efusi subdural, abses otak, hidrosefalus, paralisis serebri, epilepsi, ensefalitis, tuli, renjatan septik.37


(50)

2.9. Pencegahan Meningoensefalitis 2.9.1. Pencegahan Primer

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko meningoensefalitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat.46 Pencegahan terhadap infeksi dilakukan dengan cara imunisasi pasif atau aktif.38

Kemoprofilaksis terhadap individu rentan yang diketahui terpajan pada pasien yang mengidap penyakit (pasien indeks) serta imunisasi aktif. Imunisasi aktif terhadap H. influenzae telah menghasilkan pengurangan dramatis pada penyakit invasif, dengan pengurangan sebanyak 70-85% akibat organisme tersebut.40 Imunisasi untuk pencegahan infeksi Haemophilus influenzae (menggunakan vaksin H.influenzae tipe b) direkomendasikan untuk diberikan secara rutin pada anak berusia 2, 3, dan 4 bulan.29

Amuba penyebab meningoensefalitis, yang hidup dalam kolam renang dapat dimusnahkan dengan memberikan kaporit pada air kolam secara teratur, hindari berenang pada kolam air tawar yang mempunyai temperatur di atas 250 C. Meningoensefalitis dengan penyebab Mycobacterium tuberkulosa dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, tidak over crowded (luas lantai > 4,5 m2/orang), dan pencahayaan yang cukup. 47

Pencegahan untuk Virus Japanese B Encephalitis yaitu vaksinasi inaktif diberikan pada anak-anak, karena kelompok tersebut sensitif terhadap infeksi virus.


(51)

Selain itu dilakukan pencegahan terhadap gigitan nyamuk dan dilakukan prosedur pengamanan tindakan dan pekerjaan laboratorium.35

2.9.2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan penyakit.48 Deteksi dini anak-anak yang mengalami kelainan neurologis sangat penting karena adanya kemungkinan untuk mengembangkan potensinya di kemudian hari melalui program intervensi diri. Untuk mengenal kelainan neurologik, pemeriksaan neurologik dasar merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan.49

a. Diagnosis

a.1. Pemeriksaan Penunjang a.1.1. Pemeriksaan Pungsi Pumbal

a. Pada meningitis purulenta, diperoleh hasil pemeriksaan cairan serebrospinal yang keruh karena mengandung pus, nanah yang merupakan campuran leukosit yang hidup dan mati, jaringan yang mati dan bakteri.18

b. Infeksi yang disebabkan oleh virus, terjadi peningkatan cairan serebrospinal, biasanya disertai limfositosis, peningkatan protein, dan kadar glukosa yang normal.36

c. Penyebab dengan Mycobakterium tuberkulosa pada pemeriksaan cairan otak ditemukan adanya protein meningkat, warna jernih, tekanan meningkat, gula menurun, klorida menurun.37


(52)

d. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada amuba meningoensefalitis yang diperiksa secara mikroskopik, mungkin dapat ditemukan trofozoit amuba.28

Penyebab dengan Toxoplasma gondii didapat protein yang meningkat, kadar glukosa normal atau turun. Penyebab dengan Criptococcal, tekanan cairan otak normal atau meningkat, protein meningkat, kadar glukosa menurun.45

Lumbal pungsi tidak dilakukan bila terdapat edema papil, atau terjadi peningkatan tekanan intrakranial.30 Pada kasus seperti ini, pungsi lumbal dapat ditunda sampai kemungkinan massa dapat disingkirkan dengan melakukan pemindaian CT scan atau MRI kepala.40

a.1.2. Pemeriksaan darah

a. Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan jenis leukosit, kadar glukosa, kadar ureum. Pada meningitis purulenta didapatkan peningkatan leukosit dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis, biasanya terdapat kenaikan jumlah leukosit.18 Gangguan elektrolit sering terjadi karena dehidrasi. Di samping itu hiponatremia dapat terjadi akibat pengeluaran hormon ADH (Anti Diuretic Hormon) yang menurun.37

b. Pada Mycobacterium tuberculosa, leukosit meningkat sampai 500/mm3 dengan sel mononuklear yang dominan, pemeriksaan pada darah ditemukan jumlah leukosit meningkat sampai 20.000, dan test tuberkulin sering positif.37

a.1.3. Pemeriksaan Radiologis

a. CT scan dan Magnetic Resonance Maging (MRI) otak dapat menyingkirkan kemungkinan lesi massa dan menunjukkan edema otak.


(53)

b. Untuk menegakkan diagnosa dengan penyebab herpes simpleks, diagnosa dini dapat dibantu dengan immunoassay antigen virus dan PCR untuk amplifikasi DNA virus.

c. Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan kelainan dengan bukti disfungsi otak difus.36

b. Pengobatan

Pengobatan suportif dalam kebanyakan kasus meningitis virus dan ensefalitis. Satu-satunya pengobatan spesifik adalah asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam selama 10-14 hari untuk infeksi herpes simpleks. Asiklovir juga efektif terhadap virus Varicella zoster. Tidak ada manfaat yang terbukti untuk kortikosteroid, interferon, atau terapi ajuvan lain pada ensefalitis virus dan yang disebabkan oleh bakteri dapat diberikan klorampinikol 50-75 mg/kg bb/hari maksimum 4 gr/hari.2,50

Meningitis pada neonatus (organisme yang mungkin adalah E.Coli, Steptococcus grup B, dan Listeria) diobati dengan sefotaksim dan aminoglikosida, dengan menambahkan ampisilin jika Listeria dicurigai. Akibat Haemophilus memerlukan pengobatan sefotaksim. Meningitis tuberkulosis diobati dengan rifampisin, pirazinamid, isoniazid, dan etambutol.44 Herpetik meningoensefalitis diobati dengan asiklovir intravenous, cytarabin atau antimetabolit lainnya. Pengobatan amuba meningoensefalitis dilakukan dengan memberikan amfoterisin B secara intravena, intrateka atau intraventrikula. Pemberian obat ini dapat mengurangi angka kematian akibat infeksi Naegleria fowleri, tetapi tidak berhasil mengobati meningoensefalitis yang disebabkan oleh amuba lainnya.35


(54)

2.9.3. Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan, dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli, ketidakmampuan belajar, oleh karena itu fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi kecacatan.18,48


(55)

BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Konsep

Karakteristik Penderita Meningoensefalitis 1. Sosiodemografi:

Umur

Jenis Kelamin Suku

Agama Pekerjaan Tempat tinggal

2. Keadaan Sewaktu Datang 3. Gejala Subjektif

4. Gejala Objektif

5. Lama Rawatan Rata-rata 6. Keadaan Sewaktu Pulang

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Penderita meningoensefalitis adalah pasien yang didiagnosa yang mengalami peradangan pada selaput otak dan jaringaan otak sesuai yang tercatat dalam kartu status

3.2.2. Sosiodemografi

a. Umur adalah usia penderita meningoensefalitis yang tercatat dalam kartu status. Untuk analisa statistik, umur dikelompokkan menjadi: 27,38

1. 0 - 5 tahun 2. 6 - 15 tahun 3. >15 tahun


(56)

b. Jenis kelamin adalah jenis kelamin penderita meningoensefalitis seperti yang tercatat pada kartu status yang dibedakan atas:

1. Laki-laki 2. Perempuan

c. Suku adalah etnik yang melekat pada diri penderita sesuai yang tercatat pada kartu status, yang dikategorikan atas:

1. Batak 2. Jawa 3. Melayu 4. Minang 5. Aceh 6. Lain-lain

d. Agama adalah kepercayaan yang dianut oleh penderita meningoensefalitis sesuai yang tercatat pada kartu status yang dikategorikan atas:

1.Islam

2.Kristen Protestan 3.Kristen Katolik 4.Hindu

5.Budha

e. Pekerjaan adalah kegiatan utama yang dilakukan penderita meningoensefalitis setiap hari sesuai yang tercatat di kartu status yang dibedakan atas:

1. Tidak bekerja

2. Pegawai Negeri Sipil( PNS)/TNI/Polri 3. Pegawai Swasta

4. Wiraswasta (Petani, Nelayan, Pedagang, Supir) 5. Pelajar/Mahasiswa

f. Tempat tinggal adalah tempat tinggal penderita meningoensefalitis yang tercatat di kartu status yang dibedakan atas:

1. Kota Medan 2. Luar Kota Medan


(57)

3.2.3. Keadaan sewaktu datang adalah keadaan penderita sewaktu datang berobat ke RS.Santa Elisabeth yang tercatat di kartu status yang dibedakan atas31: 1. Compos mentis

2. Apatis 3. Delirium 4. Somnolen 5. Sopor 6. Coma

Untuk analisa statistik, keadaan sewaktu datang dibagi atas: 1. Compos mentis (Sadar penuh)

2. Incompos mentis (Apatis, Delirium, Somnolen, Sopor, Coma)

3.2.4. Gejala Subjektif adalah gejala yang dirasakan oleh penderita meningoensefalitis saat datang berobat sesuai dengan yang tercatat di kartu status.

3.2.5. Gejala subjektif pada umur <5 tahun dibedakan atas: 1. Demam

2. Batuk 3. Mual 4. Muntah 5. Kejang

6. Nafsu makan berkurang 7. Nyeri kepala

8. Gangguan pernafasan

3.2.6. Gejala subjektif pada umur ≥5 tahun dibedakan atas: 1. Demam

2. Batuk 3. Mual 4. Muntah 5. Kejang

6. Nafsu makan berkurang 7. Nyeri kepala


(58)

3.2.6. Gejala objektif adalah gejala yang terdapat pada penderita meningoensefalitis berdasarkan hasil pemeriksaan/diagnosa dokter yang tercatat di kartu status yang dibedakan atas:

1. Kaku Kuduk (+) 2. Dehidrasi

3. Tonus otot lemah dan kaku 4. Letargi

5. Sianosis

3.2.7. Lama rawatan rata-rata adalah rata-rata lamanya penderita menjalani perawatan di rumah sakit, dihitung sejak tanggal mulai dirawat sampai dengan tanggal keluar seperti tercatat dalam kartu status

3.2.8. Keadaan sewaktu pulang adalah keadaan penderita meningoensefalitis sewaktu keluar atau pulang dari Rumah sakit Santa Elisabeth Medan yang dibedakan menjadi:

1. Pulang Sembuh/ Pulang Berobat Jalan 2. Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) 3. Pulang Meninggal Dunia


(59)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain case series.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan. Pemilihan lokasi penelitian ini atas dasar pertimbangan bahwa belum pernah dilakukan penelitian mengenai karakteristik penderita meningoensefalitis rawat inap pada tahun 2007-2011, adanya kasus meningoensefalitis serta tersedianya data-data yang dibutuhkan.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2011 - Juli 2012

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua data penderita meningoensefalitis yang dirawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 2007-2011 yaitu 120 kasus.


(60)

4.3.2. Sampel

Sampel adalah semua data penderita Meningoensefalitis yang dirawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 2007-2011. Besar sampel adalah jumlah seluruh populasi.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dari bagian rekam medik Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2007-2011. Selanjutnya dilakukan pencatatan dan tabulasi dari kartu status semua penderita meningoensefalitis yang dirawat inap pada tahun tersebut sesuai dengan variabel yang diteliti.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan diolah dengan komputer dan dianalisa secara statistik deskriptif dengan bantuan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) menggunakan uji Chi-Square, Mann Whitney, dan Kruskal-Wallis. Kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan proporsi, diagram pie dan diagram bar.


(61)

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.1.1. Profil Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan

Rumah Sakit Santa Elisabeth merupakan rumah sakit milik Kongregasi Suster Fransisikanes Santa Elisabeth. Rumah sakit yang terletak di jalan H. Misbah No. 7 Medan ini, mulai dibangun pada tanggal 11 Februari 1929 dan diresmikan pada tanggal 19 November 1930.

5.1.2. Visi

Menjadikan Rumah Sakit Santa Elisabeth mampu berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas tinggi atas dasar cinta kasih dan persaudaraan sejati pada era globalisasi.

5.1.3. Misi

Meningkatkan derajat kesehatan melalui sumber daya manusia yang profesional, sarana dan prasarana yang memadai, dengan tetap memperhatikan masyarakat lemah.

5.1.4. Pelayanan Medis

Rumah sakit ini dilengkapi berbagai prasarana yang terdiri dari kamar bersalin, kamar operasi, Intensive Care Unit (ICU), Unit Gawat Darurat (UGD), klinik umum, klinik spesialis, klinik gigi, fisioterapi, hemodialisa, laboratorium, radiologi, endoskopi, ERCP, dan klinik thrombosis/apheresis. Klinik umum dilayani oleh dokter umum untuk pasien rawat jalan non emergensi dan pemeriksaan kesehatan dari perusahaan. Klinik spesialis melayani penyakit yang berkaitan dengan


(62)

penyakit urologi, saraf, THT, jantung, paru, anak, onkologi, mata, gigi, bedah umum/khusus, dan kebidanan/kandungan.

5.2. Analisa Deskriptif

5.2.1. Proporsi Penderita Meningoensefalitis Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

Proporsi penderita meningoensefalitis rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2007-2011 berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 5.1. Distribusi Proporsi Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2007-2011

No. Umur (Tahun)

Jenis Kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuan

f % f % f %

1. 0 - 5 34 28,4 30 25,0 64 53,4

2. 6 - 15 16 13,3 12 10,0 28 23,3

3. >15 15 12,5 13 10,8 28 23,3

Jumlah 65 54,2 55 45,8 120 100

Berdasarkan tabel 5.1. dapat diketahui dari 120 penderita meningoensefalitis proporsi tertinggi terdapat pada kelompok umur 0-5 tahun 53,4% dengan proporsi laki-laki 28,4% dan perempuan 25,0%). Berdasarkan jenis kelamin sebagian besar penderita adalah laki-laki 54,2%, dengan sex ratio 118,2%. Karakteristik penderita meningoensefalitis dengan umur termuda pada penelitian ini yaitu penderita yang


(1)

7.1.10. Lama rawatan rata-rata penderita meningoensefalitis yang sembuh/pulang berobat jalan lebih lama daripada pindah rumah sakit, pulang atas permintaan sendiri, dan pulang meninggal dunia (p=0,000)

7.1.11. Berdasarkan hasil tabulasi silang, beberapa variabael analisa dengan uji statisik Chi-square tidak dapat dilakukan karena ada sel yang Expected count-nya kurang dari 5 yaitu pada keadaan sewaktu datang berdasarkan keadaan sewaktu pulang, proporsi umur berdasarkan keadaan sewaktu pulang.

7.2. Saran

7.2.1. Daiharapkan kepada pihak rumah sakit agar melengkapi data penderita seperti pulang berobat jalan.

7.2.2. Melihat pada penelitian ini banyak penderita meningoensefalitis pada usia balita dan sekolah maka diharapkan kepada pihak rumah sakit agar menyarankan kepada ibu yang memiliki anak pada usia tersebut untuk melakukan pencegahan sedini mungkin seperti mengikuti paket imunisasi dasar lengkap dan imunisasi meningitis, serta segera memeriksakan diri apabila terdapat gejala demam, kejang, sakit kepala, dan letargi (penurunan kesadaran), serta perbaikan status gizi, dan lingkungan yang bersih.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

1. Nelwan, R. H. H, dan Rustadi Sosrosumiharjo. 1994. Up-Date Ilmu Penyakit Infeksi. FKUI, Jakarta.

2. Warlow, Charles. 2006. The Lancet Handbook of Treatment in Neurology. Elsevier, USA.

3. Ritarwan, Kiking. 2006. Diagnosis dan Penatalaksanaan Meningitis Otogenik. Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara. Vol. 39. No. 3, FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan Medan.

4. WHO (1996). Global Alert and Respons (GAR). hhtp://www.who.int/csa/dan/1996_09_02a/en/.

5. CDC. 2002. Morbidity and Mortality Weekly Report, Vol. 51. No. 23. United States

6. Touch, Souk, dkk. 2009. The Rationale for Integrated Chilhood Meningoencephalitis Surveillance: A Case Study From Cambodia.

Bulletin of the World Health Organization. Vol. 87. No. 4:245-324 7. Chandra, Subhas Parija. 2011. Naegleria Infection.

8. EHA/AFRO team. 2009. Weekly Emergency Situation Update. Vol. 2. No. 29 9. WHO. 2011 . Tickborne . Encephalitis .

10. Balitbangkes Departemen Kesehatan RI. 2008. Riskesdas 2007.

11. Febriani, N. 2010. Pola Penyakit Saraf Pada Penderita HIV/AIDS di RSUP. Dr. Kariadi Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

12. Magdalena, Dameria. 2002. Distribusi Frekuensi Penderita Meningitis Anak yang Dirawat Inap di RSU Pirngadi Medan Tahun 1999-2001. Skripsi FKM USU, Medan.


(3)

13. Erika, S. 2004. Karakteristik Penderita Meningitis Anak Yang Dirawat Inap di RS Santa Elisabeth Medan Tahun 2000-2002. Skripsi FKM USU, Medan.

14. Sitorus, D. 2005. Karakteristik Penderita Meningitis Rawat Inap di RS Santa Elisabeth Medan Tahun 2000-2004. Skripsi FKM USU, Medan. 15. Mesranti, M. 2009. Karakteristik Penderita Meningitis Rawat Inap DI RSUP

H. Adam Malik Medan Tahun 2005-2008. Skripsi FKM USU, Medan. 16. Lydia, Cindi. 2010. Karakteristik Penderita Meningitis Rawat Inap di

Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan Tahun 2006-2009. Skripsi FKM USU Medan.

17. Dorlan, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC, Jakarta.

18. Mansjoer, Arif.,dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapis, Jakarta.

19. Shulman, T Stanford. 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi. Gadjah Mada University, Yogyakarta.

20. Slaven, Ellen M.,dkk. 2007. Infectious Diseases:Emergency Departement Diagnosis and Management. Edisi Pertama. McGraw-Hill, North America.

21. Greenberg, David. 2002. A lange Medical Book Clinical Neurology. Edisi 5. Mc Graw-Hill, United States.

22. Soedarto. 2004. Sinopsis Virologi Kedokteran. Airlangga University Press, Surabaya.

23. Mardjono, M. dan Priguna Sidharta. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta.

24. Syaifuddin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Edisi 2. Salemba Medika, Jakarta. 25. Wibowo, Daniel. 1994. Anatomi Susunan Saraf Pusat. Buku Kedokteran EGC,

Jakarta.

26. Suwono, W. 1996. Diagnosis Topik Neurologi. Edisi Kedua. Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

27. Harsono. 1999. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.


(4)

28. Soedarto. 2003. Zoonosis Kedokteran. Airlangga University Press, Surabaya. 29. Tidy, Colin, 2012. Encephalitis and Meningoencephalitis.

30. Muttagin. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Persarafan. Salemba Medika, Jakarta.

31. Manthurio dan P. Nara. 1984. Gangguan Kesadaran. Cermin Dunia Kedokteran. No. 34. Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/RSU; Ujung Pandang.

32. William, M.Schwartz. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. Kedokteran EGC, Jakarta.

33. Suriadi dan Rita Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 1. Sagung Seto, Jakarta.

34. Ngoerah, I Gst.Ng. 1990. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga University Press, Surabaya.

35. Soedarto. 2007. Sinopsis Kedokteran Tropis. Airlangga University Press, Surabaya.

36. Ginsberg, L. 2007. Lecture Notes Neurologi. Edisi Delapan. Erlangga, Jakarta. 37. Harsono. 2005. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

38. Rampengan, T.H.,dan I.R Laurentz. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Kedokteran EGC, Jakarta.

39. Setijowati, Herning, Satiti Retno Pudijati. Herpes Simpleks Encephalitis.

Berkala Ilmu Kedokteran. Vol 40. No.1. FK Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

40. Rudolp, M. Abraham,dkk. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolp. Vol.1. Kedokteran EGC, Jakarta.

41. WHO. 2011. Biological Tick Borne Encephalitis.


(5)

42. Bell, John C., dan Stephen R Palmer. 1995. Zoonosis.Infeksi yang Ditularkan dari Hewan ke Manusia. Kedokteran EGC, Jakarta.

43. Defendi, Germaine. 2012. Mumps.

44. Gillespie, Stephen, dkk,. 2008. At a Glance Mikrobiologi Medis dan Infeksi. Erlangga, Jakarta.

45. Savitz, Sean, dkk. 2009. Neurology Review for Psychiatrist. Wolters Kluwer, United States

46. Beaglehole,R.,dkk. 1997. Dasar-Dasar Epidemiologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

47. Nofareni. 2003. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi Terjadinya Meningitis Tuberkulosa. USU Digital Library.

48. Fletcher, Robert H.,dkk. 1992. Sari Epidemiologi Klinik. Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

49. Pusponegoro, D., Hardiono. 1995. Kelainan Neurologis Dalam Praktek Sehari-hari. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

50. Rab, H., Tabrani. 2007. Agenda Gawat Darurat. PT Alumni, Bandung.

51. Sunardi. 2008. Computed Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) Pada Sistem Neurologis


(6)