commit to user
jelas untuk perbaikan manajemen dalam satu atau dua bidang. Kedua, harus ada ‘pasar’ yang dapat menggabungkan para pemangku kepentingan lokal dengan konsultan handal,
menggunakan instrumen dan metodologi yang dapat menginspirasikan tindakan dan sejauh mungkin diakui pemerintah. Ketiga, pihak setempat yang saling bekerja sama harus
melaksanakan itu dalam kurun waktu lama agar dapat membangun kepercayaan dan rasa percaya diri, dan membangkitkan momentum yang cukup, komitmen politis dan capaian
agar keberhasilan demi perbaikan akan berkelanjutan. Keempat, para pelaku lokal harus secara aktif mengejar dan mengambil peran penuh atas pembelajaran, jejaring, pembagian
sumber, berbagi pengalaman, dan peluang lain yang dapat membawa mereka ke capaian yang lebih tinggi. Kelima, dengan menggunakan skema tindakan sebagai ‘batu susun’
untuk pelaksanaan perbaikan-perbaikan sederhana yang mempunyai kemungkinan berhasil dan akan terus bertahan sebelum menangani program perbaikan pelayanan yang lebih
rumit.
Pusat Studi Antar Universitas-Studi Ekonomi PAU- SE UGM bekerja sama dengan Setwilda Jawa Tengah 2000 menyusun konsep manajemen pengeluaran daerah.
Standar analisis belanja SAB serta bentuk dan struktur APBD 2001. penelitian tersebut juga menyajikan contoh simulasi struktur APBD yang berdasarkan pendekatan kinerja,
pernyataan anggaran, penentuan satuan ukur dan SAB.
F. KERANGKA KONSEPTUAL
Penyelenggaraan otonomi daerah yang diberlakukan sejak 1 januari 2001 yang mana memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk
commit to user
mengelola setiap potensi yang ada di daerah. Prinsip dasar pemberian otonomi didasarkan atas pertimbangan bahwa daerahlah yang lebih mengetahui kebutuhan dan
standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Atas dasar pertimbangan ini, maka pemberian otonomi diharapkan akan lebih mampu memacu pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat pada akhirnya. Khusus untuk merealisasikan hubungan keuangan antara pemerintah pusat
dengan daerah otonom, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Dengan adanya undang-undang tentang otonomi daerah maka penyelenggaraan pemerintahan dititikberatkan pada daerah masing-masing yang disebut dengan
desentralisasi dan tidak seperti masa-masa yang lalu di mana penyelenggaraan pemerintahan dititikberatkan di pusat atau yang disebut sentralistik.
Undang-Undang nomor 12 tahun 2008 sebagai pengganti undang-undang nomor 32 tahun 2004 membagi daerah kabupatenkota dengan propinsi secara berjenjang
pasal 2 ayat 1 dengan ketentuan yang lebih menekankan adanya keterkaitan dan ketergantungan serta sinergi antar tingkat pemerintahan. Pada tahun 2007
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah beserta aturan pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri nomor 57 tahun 2007 tentang petunjuk teknis penataan organisasi perangkat daerah. Dalam menentukan besaran maupun bentuk kelembagaan pengelola keuangan
dan aset daerah, pemerintah daerah mendasari pada aspek kewenangan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang dan peraturan pemerintah serta peraturan menteri
commit to user
sebagai aturan pelaksanaannya. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber
pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan pasal 12 Undang-Undang nomor 122008. Sejalan dengan
hal tesebut maka dengan diterbitkannya undang-undang tentang otonomi daerah ini membawa implikasi yang besar bagi proses pertanggungjawaban pemerintah daerah
baik menyangkut kegiatan pembangunan maupun pertanggungjawaban keuangan yang digunakan.
Konsekuensi lain dari pelaksanaan Undang-Undang tersebut adalah bahwa daerah harus mampu mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan
bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga
swadaya masyarakat serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sisi lain, saat ini kemampuan keuangan beberapa Pemerintah
Daerah masih sangat tergantung pada penerimaan yang berasal dari Pemerintah Pusat diantaranya Kabupaten TTU. Oleh karena itu, bersamaan dengan semakin sulitnya
keuangan negara dan pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri, maka kepada setiap daerah dituntut agar harus dapat membiayai diri sendiri melalui sumber-sumber
keuangan yang dimilikinya. Peranan Pemerintah Daerah dalam menggali dan mengembangkan berbagai potensi daerah sebagai sumber penerimaan daerah akan
sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat di daerah.
commit to user
Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip
keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggung jawaban kepada masyarakat. Pengalihan pembiayaan atau desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai
suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan
pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan Saragih, 2003: 83.
Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Prinsip
tersebut berarti setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut.
Dalam desentralisasi fiskal, komponen dana perimbangan merupakan sumber penerimaan daerah yang sangat penting. Dana perimbangan merupakan inti dari
desentralisasi fiskal. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah merupakan salah satu bentuk hubungan dari sekian banyak hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah merupakan suatu sistem hubungan keuangan yang bersifat vertikal antara pemerintah pusat dan daerah intergovernmental fiscal
relations system sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dalam bentuk
penyerahan sebagian wewenang pemerintahan. Ada perbedaan sudut pandang di dalam menyikapi masalah dana perimbangan
ini. Di satu sisi, adanya dana perimbangan dalam otonomi daerah merupakan bentuk
commit to user
tanggung jawab dari pemerintah pusat atas berjalannya proses otonomi daerah. Hal ini juga sebagai wujud bahwa walaupun sistem yang diterapkan adalah sistem otonomi
daerah, akan tetapi tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun di sisi yang lain, adanya dana perimbangan yang terlalu besar akan menimbulkan
persepsi bahwa daerah tersebut tidak mandiri secara fiskal dan akan sampai pada kesimpulan akhir bahwa otonomi daerah tidak efektif untuk dilaksanakan. Pengalaman
selama ini menunjukkan bahwa hampir di semua daerah prosentase Pendapatan Asli Daerah relatif lebih kecil yakni sekitar 25 dari total penerimaan daerah. Pada
umumnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD suatu daerah didominasi oleh sumbangan pemerintah pusat dan sumbangan-sumbangan lain, yang diatur dengan
peraturan perundang-undangan yaitu sekitar 75 dari total penerimaan daerah. Hal ini menyebabkan tingkat ketergantungan pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat, sehingga kemampuan daerah untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki menjadi sangat terbatas. Rendahnya PAD suatu daerah bukanlah
disebabkan oleh karena secara struktural daerah memang miskin atau tidak memiliki sumber-sumber keuangan yang potensial, tetapi lebih banyak disebabkan oleh
kebijakan pemerintah pusat. Selama ini sumber-sumber keuangan yang potensial dikuasai oleh pusat Ahmad Yani, 2002: 3.
Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan perbandingan atas laporan realisasi anggaran sejak tahun anggaran 19961997 sampai dengan tahun anggaran
2005 guna menilai kinerja keuangan di kabupaten TTU. Dari rasio tersebut dapat dijadikan sebagai alat untuk mengukur kinerja keuangan yang akan dibandingkan guna
commit to user
mendapatkan hasil yang dapat mencerminkan perbedaan kinerja keuangan sebelum dan sesudah otonomi daerah.Yang diukur adalah rasio desentralisasi fiscal, rasio kebutuhan
fiskal daerah, kapasitas fiscal dan rasio upaya fiscal.
Gambar 1.1 Skema Kerangka Berpikir
Sebelum Otonomi Daerah Sesudah Otonomi Daerah
Perbedaan Kinerja
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian merupakan proses mencari dan menemukan suatu jawaban untuk memecahkan suatu masalah yang harus dilakukan melalui pengkajian baik secara
teoritik maupun secara empiric.
A. TIPE DAN LOKASI PENELITIAN
Pengukuran Kinerja
- Desentralisasi Fiskal
tingkat kemandirian daerah
- Kebutuhan fiskal daerah
- Kapasitas fiskal daerah
- Upaya fiskal daerah
Pengukuran Kinerja
- Desentralisasi Fiskal
tingkat kemandirian daerah
- Kebutuhan fiskal daerah
- Kapasitas fiskal daerah
- Upaya fiskal daerah