Kekerabatan berdasarkan keturunan Struktur Kekerabatan

k. Pahoppu, adalah nama panggilan kakek dan nenek kepada cucu- cucunya. Dalam masyarakat Batak Toba kaum pria berperan sebagai pewaris dan penerus keturunan marga. Sedangkan wanita apabila berumah tangga secara otomatis akan masuk lingkungan marga suaminya dan tidak menjadi pewaris marga bagi keturunannya, dan anak-anak yang dilahirkannya secara otomatis akan menyandang marga suaminya. Apabila ada orang Batak pergi merantau dan diperantauan dia bertemu dengan suku Batak juga secara otomatis mereka martuturmartarombo dan apabila mereka semarga maka dia akan diperlakukan seperti keluarga di perantauan. Hal itu terjadi karena dalam masyarakat Batak apabila marganya sama, maka mereka adalah kerabat yang memiliki satu nenek moyang yang sama dongan tubu, dongan sabutuha. Pria dan wanita yang semarga disebut marito abang beradik dan sangat tidak dibenarkan untuk kawinmenikah. Dari uraian ini dapat diketahui bahwa marga pada masyarakat Batak Toba mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakatnya. Begitu juga jika ditinjau dari hubungan kekerabatan antar individu, marga juga sangat berperan dalam mengatur tata kehidupan masyarakat.

2.2.1.2 Kekerabatan berdasarkan hubungan perkawinan

Masyarakat Batak Toba memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan dalihan na tolu. Dalam bahasa Indonesia dalihan na tolu artinya tungku yang terdiri dari tiga kaki. Sistem ini mengatur pola interaksi sosial dalam masyarakat Batak. Dalihan na tolu ini terjadi karena adanya perkawinan sehingga terjadi hubungan kekerabatan dengan marga lain Siahaan, 1982. Menurut falsafah orang Batak dalihan na tolu merupakan tiga buah batu yang dijadikan sebagai penyanggah dalam setiap interaksi satu sama lain dalam kehidupan bersama, ibaratkan sebagai tungku yang menyanggah beban diatasnya. Tiga batu penyanggah tersebut membentuk kerja sama yang sungguh-sungguh kokoh dalam usaha untuk menciptakan kebaikan bersama. Setiap batu penyanggah itu memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bersama dan tidak bisa lepas satu sama yang lain. Tiga kedudukan yang dimaksud dalam dalihan na tolu adalah hula-hula, dongan tubu dan boru Siahaan, 1982. Hula-hula merupakan pihak keluarga yang paling dihormati dan derajatnya paling tinggi. Hula-hula adalah pihak dari istri yaitu orangtua dan semua saudara laki-laki dari wanita yang dinikahi oleh pria dari marga lain. Bagi masyarakat Batak Toba hula-hula dianggap sebagai pemberi kebahagiaan, pemberi rejeki, dan pemberi berkat tertinggi yang harus dihormati. Orang Batak Toba meyakini bahwa hula-hula merupakan sarana penyalur berkat dan bahkan disebut sebagai “Tuhan yang kelihatan”. Sehingga dengan menghormati hula-hula orang- orang akan memperoleh berkat dan rejeki dalam kehidupannya. Dongan tubu merupakan hubungan persaudaraan yang berasal dari ayah yang sama atau garis keturunan yang sama dan golongan yang memiliki marga yang sama. Dalam suatu acara adat kedudukan dongan tubu sama atau sederajat dengan pihak yang menyelenggarakan pesta suhut. Dongan tubu mempunyai tugas untuk mengawasi berjalannya acara adat. Boru adalah keluarga yang memperistri anak perempuan dari suatu marga. Boru adalah parhobas yang mempersiapkan dalam acara adat. Boru lah yang selalu sibuk dan siap sedia mempersiapkan segala sesuatu dalam setiap acara atau kegiatan adat seperti mempersiapkan hidangan konsumsi, mengatur berbagai pertemuan atau acara-acara keluarga lainnya. Khususnya, jika acara atau pesta adat adalah perheletan atau pesta dari pihak hula-hula. Ketiga unsur dalam dalihan na tolu ini tidak bisa dipisah dalam kehidupan bersosialisasi masyarakat Batak Toba, baik dalam acara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Posisi dalihan na tolu ini bergantung pada konteksnya. Setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut pada saat yang sama. Seorang hula- hulaakan berposisi sebagai boru jika yang mengadakan pesta adalah pihak keluarga dari istrinya. Begitu juga sebaliknya seorang boru akan menjadi hula-hula bagi keluarga anak perempuannya yang telah menikah dengan marga lain. Dalam menjaga konsep Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba ada pepatah yang mengatakan: “somba marhula-hula, elek marbolu, manat mardongan tubu” Gultom 1992:53. Somba marhula-hula maksudnya adalah agar pihak boru selalu memberikan sembah kepada hula-hula, elek marboru maksudnya adalah agar pihak hula-hula selalu bersikap mangelek mmbujuk dan sayang terhadap pihak boru, manat mardongan tubu maksudnya adalah agar pihak sesama marga selalu saling memperhatikan dan selalu berhati-hati dalam bersikap agar tidak terjadi sakit hati bagi sesama dongan tubu. Dalam sistem kekerabatan berdasarkan hubungan perkawinan ini, juga terdapat nama panggilan antara masing-masing pihak mempelai laki-laki dengan pihak mempelai perempuan, yang merupakan tambahan dari nama panggilan yang ada dalam sistem kekerabatan berdasarkan keturunan, ada pun nama panggilan ini adalah sebagai berikut : a. Hela, adalah panggilan kepada Menantu laki-laki atau sebutan untuk suami dari anak abanganak adik kita. b. Parumaen, adalan nama panggilan kepada Menantu Perempuan atau Istri ari anak kita laki-laki c. Amang simatua, adalah nama panggilan kedua mempelai kepada mertua laki- lakinya d. Inang simatua, adalah nama panggilan kedua mempelai kepada mertua perempuannya. e. Lae, adalah panggilan kita laki-laki kepada anak laki-laki dari tulang kita, dan juga panggilan kita laki-laki kepada suami dari saudari kita yang perempuan.