Kekerabatan berdasarkan hubungan perkawinan

hulaakan berposisi sebagai boru jika yang mengadakan pesta adalah pihak keluarga dari istrinya. Begitu juga sebaliknya seorang boru akan menjadi hula-hula bagi keluarga anak perempuannya yang telah menikah dengan marga lain. Dalam menjaga konsep Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba ada pepatah yang mengatakan: “somba marhula-hula, elek marbolu, manat mardongan tubu” Gultom 1992:53. Somba marhula-hula maksudnya adalah agar pihak boru selalu memberikan sembah kepada hula-hula, elek marboru maksudnya adalah agar pihak hula-hula selalu bersikap mangelek mmbujuk dan sayang terhadap pihak boru, manat mardongan tubu maksudnya adalah agar pihak sesama marga selalu saling memperhatikan dan selalu berhati-hati dalam bersikap agar tidak terjadi sakit hati bagi sesama dongan tubu. Dalam sistem kekerabatan berdasarkan hubungan perkawinan ini, juga terdapat nama panggilan antara masing-masing pihak mempelai laki-laki dengan pihak mempelai perempuan, yang merupakan tambahan dari nama panggilan yang ada dalam sistem kekerabatan berdasarkan keturunan, ada pun nama panggilan ini adalah sebagai berikut : a. Hela, adalah panggilan kepada Menantu laki-laki atau sebutan untuk suami dari anak abanganak adik kita. b. Parumaen, adalan nama panggilan kepada Menantu Perempuan atau Istri ari anak kita laki-laki c. Amang simatua, adalah nama panggilan kedua mempelai kepada mertua laki- lakinya d. Inang simatua, adalah nama panggilan kedua mempelai kepada mertua perempuannya. e. Lae, adalah panggilan kita laki-laki kepada anak laki-laki dari tulang kita, dan juga panggilan kita laki-laki kepada suami dari saudari kita yang perempuan. f. Tunggane, adalah panggilan kepada Semua abang dan adik laki-laki dari isteri kita atau semua anak laki-laki dari tulang kita g. Tulang, adalah panggilan kepada Abang atau adik laki-laki dari ibu kita, atau laki-laki yang satu marga dengan Istri kita. h. Nantulang, panggilan kepada istri dari tulang kita i. Namboru, adalah nama panggilan kepada Kakak atau adik ayah kita yang perempuan yang sudah Nikah ataupun belum. j. Eda, adalah nama panggilan kepada Kakak atau adik ipar sesama antara perempuan. k. Amangbao Bao, adalah nama panggilan kepada suami dari eda mempelai perempuan. l. Inangbao, adalah nama panggilan kepada Isteri dari hula-hula atau tunggane kita abangadik isteri m. Pariban, adalah nama panggilan kepada Putri dari Pihak Tulang kita atau satu marga dengan Tulang kita ataupun anak laki-laki dari Namboru kita.

2.3 Bahasa

Bahasa ialah sistem perlambangan manusia dalam bentuk lisan maupun tulisan sebagai alat untuk berkomunikasi antara satu dengan yang lain Koentjaraningrat, 1986:39. Desa Pandumaan Kecamatan Pollung merupakan salah satu daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan yang penduduknya adalah mayoritas Batak Toba. Bahasa Batak Toba merupakan satu-satunya bahasa komunikasi yang dipergunakan masyarakat Batak yang menetap disana. Bahkan penduduk yang tidak bersuku Batak pun mengerti dan fasih menggunakan bahasa ini, karena bahasa Batak lebih sering digunakan jika dibandingkan dengan bahasa nasional Bahasa Indonesia. Hal ini bisa dapat dilihat baik dalam upacara adat, acara kebaktian gereja maupun dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat setempat.

2.4 Sistem Religi

Kata religi dalam kamus sosiologi Soerjono Soekanto, 1983:403 berasal dari kata religion yang berarti: kepercayaan kepada hal-hal spiritual, perangkat kepercayaan dan spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri dan idiologi mengenai hal-hal spiritual. Sistem religi yang ada pada masyarakat di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung mayoritas beragama Kristen Protestan dan sebagian lagi beragama Katolik. Sebelum agama masuk, masyarakat Batak adalah penganut kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki kekuataan gaib dan roh-roh orang yang telah meninggal dinamisme. Benda-benda mati dipercayai memiliki kekuatan roh misalnya: gunung, pohon, batu dan benda-benda yang dianggap gaib. Orang Batak juga percaya kepada arwah leluhur yang telah meninggal, ada yang baik dan ada yang buruk. Ada yang bersifat perusak yang dapat menyebabkan penyakit atau malapetaka kepada manusia, dan ada yang bersifat memperbaiki diri dan ada roh yang ditakuti. Penghormatan dan penyembahan yang dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunannya. Dari dulu sampai zaman modern sekarang ini masyarakat Batak tetap mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Debata Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan bumi. Masyarakat Batak Toba mengenal tiga konsep menyangkut jiwa dan roh, yaitu: 1.Tondi Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap menjemput tondi dari sombaon yang menawannya. 2. Sahala Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula. 3. Begu Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam. Beberapa begu yang ditakuti oleh orang Batakyaitu: 1. Sombaon, yaitu begu yang bertempat tinggal di pegunungan atau di hutan rimba yang gelap dan mengerikan. 2. Solobean, yaitu begu yang dianggap penguasa pada tempat-tempat tertentu 3. Silan, yaitu begu dari nenek moyang pendiri hutakampung dari suatu marga 4. Begu ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti, karena dapat membinasakan orang lain menurut perintah pemeliharanya. Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha, yang walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi masih banyak orang Batak yang mempercayainya.

2.5 Sistem Mata Pencaharian

Kecamatan Pollung merupakan daerah yang berada di daerah lereng gunung dan tanah yang berbukit-bukit. Dari pengamatan yang penulis lakukan masyarakat yang tinggal di kecamatan ini sebagian besar merupakan petani. Khususnya masyarakat yang tinggal di Desa Pandumaan, dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, mata pencaharian penduduk adalah bertani seperti kopi, padi dan penyadap pohon haminjon kemenyan yang merupakan tumbuhan alami yang tumbuh disekitar desa tersebut. Selain sebagai petani ada juga beberapa orang yang berprofesi sebagai guru dan bekerja di pemerintahan. Namun sekalipun berprofesi sebagai guru dan