memberikan kompensasi pada Ferrini sehingga memungkinkan munculnya gugatan-gugatan lain yang serupa dengan tuntutan yang diputus oleh
pengadilan Italia
sebelumnya. Permintaan
Italia dalam Mahkamah
Internasional sebagai jawaban dari tuntutan Jerman adalah sebagai berikut:
217
“With respect to its counter-claim, and in accordance with Article 80 of the Rules of the Court, Italy asks respectfully the Court to adjudge and declare
that, considering the existence under international law of an obligation of reparation owed to the victims of war crimes and crimes against humanity
perpetrated by the Third Reich: a. Germany has violated this obligation with regard to Italian victims
of such crimes by denying them effective reparation. b.
Germany’s international responsibility is engaged for this conduct.
c. Germany must cease its wrongful conduct and offer appropriate and effective reparation to these victims, by means of its own choosing,
as well as through the conclusion of agreement s with Italy”;
C. Pemberlakuan Jus Cogens Terhadap Praktik State Immunity
Kasus-kasus terkait imunitas negara asing dan jus cogens bermunculan namun dengan berbagai putusan yang berbeda
– beda dalam praktik negara - negara membuat timbulnya kaburnya area ini dan
217
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
munculnya ketidakpastian hukum.
218
Puncaknya Jerman menggugat Italia pada 23 Desember 2008 di hadapan Mahkamah Internasional. Aplikasi
dibuat oleh Jerman atas dasar putusan dari Corte di Cassazione Italia pada 11 Maret 2004 di kasus Ferrini dimana pengadilan Italia menyatakan
bahwa Italia berhak menjalankan yurisdiksi atas Jerman sehubungan dengan gugatan yang dibawa oleh seseorang yang telah dideportasi ke
Jerman selama perang dunia II. Sejak keluarnya putusan tersebut, Jerman menegaskan bahwa ada
begitu banyak proses serupa yang dibawa di Pengadilan Italia oleh orang- orang yang juga mengalami kerugian akibat perang dunia II. Jerman
meminta Mahkamah Internasional untuk menyatakan bahwa Republik Italia harus mengambil setiap langkah yang diperlukan untuk memastikan
bahwa pada kedepannya pengadilan Italia tidak lagi melakukan tindakan hukum terhadap Jerman dengan menerima gugatan dari penduduk sipil
warganya terhadap Jerman atas dasar pelanggaran norma internasional selama Perang Dunia II.
Majelis Umum PBB United Nations General Assembly menyatakan bahwa persamaan kedaulatan negara-negara the principle of
sovereign equality of states adalah sebagai berikut:
219
218
The Application of Jus Cogens Upon The Rule of State Immunity The Study of ICJ’S Decision In The Case Between Germany v. Italy, Immanuela Lantang, http : Lex Crimen
Vol.IINo.1Jan-Mrt2013, diakses pada tanggal 2 April 2013
219
Declaration on principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation Among States in Accordance with the United Nations Charter 1970. Dapat di
download di: http:www.un.orggasearchview_doc.asp?symbol=ARES2625XXV
Universitas Sumatera Utara
“All the States enjoy sovereign equality. They have equal rights and duties and are equal members of the international community, notwithstanding
differences of an economic, social, political or other nature .”
Semua negara menikmati persamaan kedaulatan. Mereka mempunyai kesamaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dan persamaan sebagai
anggota masyarakat internasional, tanpa memandang perbedaan-perbedaan ekonomi, sosial, politik, dan keadaan lainnya.
Jus Cogens dalam Black’s law dictionary didefinisikan sebagai “a
mandatory or peremptory norm of general international law accepted and recognized by the international community as a norm from which no
derogation is permitted. A peremptory norm can be modified only by a later norm that has the same character
.”
220
Jus Cogens adalah sebuah norma wajib atau norma hukum internasional umum diterima dan diakui oleh masyarakat internasional sebagai norma
dari penghinaan yang tidak diperbolehkan. Sebuah norma ditaati dapat dimodifikasi oleh norma berikutnya yang memiliki karakter yang sama.
Menurut pasal 53 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 dimana pasal tersebut berbunyi:
“A treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a peremptory norm of general international law. For the purposes of the present convention, a
peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of States as a whole as a norm from which no
220
Black’s Law Dictionary. 2004. 8th Edition. hal.876
Universitas Sumatera Utara
derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having the same character.
” Sebuah perjanjian menjadi batal jika, pada saat kesimpulan, hal itu bertentangan
dengan norma-norma hukum internasional umum. Untuk tujuan konvensi ini, norma-norma hukum internasional umum adalah norma yang diterima dan diakui
oleh komunitas internasional sebagai keseluruhan norma
Pasal 53 tersebut memberikan arti jus cogens atau peremptory norm sebagai norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan
sebagai suatu norma yang sama. tidak dapat dikesampingkan dan hanya dapat diubah oleh hukum internasional yang baru yang memiliki sifatkarakter yang sama.
Selanjutnya International Law Commission menambahkan: “rules of jus cogens are rules of customary international law that are so fundamental
that they cannot be avoided by treaty. Any treaty provision which conflicts with the rule of jus cogens is void and this is true whether or not the rule of jus cogens
developed before or after the treaty came into force.” jus cogens adalah aturan hukum kebiasaan internasional yang sangat mendasar yang
tidak dapat dikesampingkan dengan perjanjian. Setiap ketentuan perjanjian yang bertentangan dengan aturan jus cogens dianggap batal dan benarlah bahwa aturan jus
cogens telah berkembang sebelum atau sesudah perjanjian itu mulai berlaku. Meskipun mayoritas peserta konvensi menerima konsep jus cogens, namun definisi
ruang lingkup juga kandungan konsep tersebut tidak jelas. Konvensi juga tidak memberikan daftar tindakan tindakan yang masuk kategori pelanggaran jus cogens
atau norma-norma apa saja yang termasuk dalam norma atau aturan jus cogens.
221
221
Immanuela Lantang, Op.Cit. Hal. 7
Universitas Sumatera Utara
D. Upaya dan Peran PBB Melalui Badan Peradilannya Mahkamah Internasional Dalam Menyelesaikan Kasus
State Immunity Antara Jerman v. Italia
Penyelesaian sengketa sudah menjadi suatu permasalahan yang sulit dan ramai dibincangkan di dalam hukum internasional, yaitu terutama
mengenai dapatkah suatu negara asing yang berdaulat diajukan di depan pengadilan. Telah banyak teori-teori yang ada untuk memecahkan masalah
ini seperti teori imunitas absolute dan teori restriktif.
222
Adapun yang dimaksud dengan teori imunitas absolut yaitu menjamin kekebalan manakala diminta oleh negara yang berdaulat, sedangkan teori
restriktif yaitu yang membedakan antara tindakan publik dan tindakan privat Negara yang berdaulat. Tetapi ini pun masih menimbulkan suatu
permasalahan yang rumit untuk menyelesaikannya guna demi terwujudnya tertib hukum internasional, mengingat adanya suatu kedaulatan imunitas
yang dimiliki oleh suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. a. Pada umumnya, metode-metode penyelesaian sengketa
digolongkan dalam dua kategori : b. Cara-cara penyelesaian secara damai, yaitu apabila para
pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat.Cara-cara penyelesaian secara paksa
222
PELEPASAN SOVEREIGN IMMUNITY SUATU NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL, http:max-
tentua.blogspot.com201106pelepasan-sovereign-immunity-suatu.html, diakses pada tanggal 3 April 2013
Universitas Sumatera Utara
atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan.
Metode penyelesaian sengketa secara damai dapat dibagi dalam klarifikasi sebagai berikut :
223
a. Arbitrasi arbitrarion
b. Penyelesaian yudisial judicial settlement
c. Negoisasi, jasa-jasa baik good offices, mediasi, konsiliasi
d. Penyelidikan inquiry
e. Penyelesaian di bawah naungan Organisasi Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Klasifikasi ini tidak berarti bahwa proses-proses ini secara kaku
terpisah sama sekali, yang masing-masing hanya sesuai untuk memecahkan satu kelompok sengketa tertentu. Posisi ini tidak demikian
dalam praktek. Misalnya, perangkat kerja yang fleksibel yang dibentuk oleh Konvensi 18 Maret 1965 untuk menyelesaikan sengketa-sengketa
antara negara-negara dengan warga negara dari negara lain memua ketentuan yang membentuk International Center for the Settlement of
Investment Disputes, di Washington, dengan sarana-sarana untuk arbitrasi dan konsiliasi-konsiliasi sengketa penanaman modal, dan ketentuan-
ketentuan untuk Penels of Arbitrators and Conciliators. Demikian pula perangkat kaidah model yang disusun pada bulan
Februari 1962 oleh Bureau Permanent Court of Arbitration, The Hague,
223
State Immunity Jerman v. Italia, http:asdarkadir.blogspot.com201201state- immunity-germany-v-italy.html, diakses pada tanggal 1 April 2013
Universitas Sumatera Utara
untuk kasus-kasus di mana biro itu menyediakan gedung-gedung dan fasilitas-fasilitasnya guna menyelesaikan sengketa-sengketa, hanya salah
satu dari pihak yang terlibat adalah negara, yang memperkenalkan sengketa-sengketa dan diajukan secara bertahap, pertama kepada konsiliasi
dan kemudian kepada arbitrasi, dalam hal komisi konsiliasi tersebut melaporkan bahwa konsiliasi telah menemui kegagalan.
Dalam hal masalah ini, Jerman memilih menyelesaikan sengketanya dengan Italia dengan jalur damai dengan menggunakan
sistem penyelesaian secara yudisial judicial settlement. Penyelesaian tersebut didasarkan pada keinginan Jerman untuk memperoleh keadilan
atas tindakan Italia yang dianggap merugikan Jerman. Namun, pengadilan yang dilakukan oleh Italia berada pada suatu pembenaran.
Pertama, pengadilan tersebut dapat dibenarkan dengan adanya yurisdiksi universal yang dipandang sebagai jure gentium dan semua
negara berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku-pelakunya. Tujuan dari diadaknna yurisdiksi universal itu adalah untuk menjamin
bahwa tidak ada tindak pidana semacam itu yang tidak dihukum. Prinsip universalitas
penghukuman terhadap
kejahatan-kejahatan perang
dikukuhkan dalam konvensi Jenewa 1949 berkenaan dengan tawanan- tawanan perang, perlindungan penduduk sipil dan personel yang menderita
sakit dan luka-luka, sebagaimana telah dilengkapi dengan protokol I dan II yang disahkan pada tahun 1977 oleh konferensi diplomatik di Jenewa
tenteng Penetapan dan Pengembangan Hukum Humaniter Internasional
Universitas Sumatera Utara
yang berlaku dalam Konflik-konflik Bersenjata Diplomatic Conference at Geneva on the Reaffirmation and development of International
Humanitarian Law Applicable in Armed Conflicts. Kedua, hukuman yang dijatuhkan oleh Italia terhadap pemimpin Nazi juga
dapat dibenarkan. Dalam Konvensi eropa tentang kekebalan negara tahun 1972 yang tercakup dalam pasal 9, 10, dan 11 konvensi tersebut.
Salah satu hal yang dilindungi kekebalan negara adalah kepala negaranya. Dapat dikatakan bahwa Adolf Hitler adalah presiden dari Jerman setelah
presiden pendahulunya yaitu Von Hindenburg meninggal. Secara umum, pengadilan negara lain dapat mengadili seseorang yang tidak berada di
dalam wilayahnya atas dasar kejahatan perang. Demikian juga halnya dengan Hitler yang merupakan pengecualian dalam kekebalan negara di
mana ia melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyat Italia antara tahun 1944-1945.
Oleh karena meninggalnya Hitler dalam bunker bawah tanahnya di Berlin, maka sebagai gantinya pengadilan Italia menuntut Jerman untuk
membayar sejumlah kompensasi terhadap korban-korban yang dirugikan selama pendudukannya di Italia.
Dari kedua hal tersebut jelaslah bahwa pengadilan Italia dengan berdasarkan yuridiksi universalitas dan pengecualian terhadap kekebalan
negara berhak secara penuh untuk mengadili dan meminta kompensasi terhadap Jerman atas perbuatan pemimpinnya pada masa pendudukannya
terhadap Italia antara tahun 1944-1945. Namun, yang menjadi
Universitas Sumatera Utara
permasalahan adalah adanya karakter hukum yang salah satunya adalah Non-Retroactive yang artinya hukum itu tidak berlaku surut. Dalam
hal ini, pengadilan Italia menghukum dengan hukum yang berlaku surut terhadap Jerman.
Dalam Penyelesaian sengketa yang dilakukan di Mahkamah Internasional terdapat yurisdiksi-yurisdiksi wajib apabila:
224
a.
Para pihak yang bersamgkutan terikat oleh traktat-traktat atau konvensi-konvensi di mana mereka menyepakati bahwa mahkamah
akan memiliki yurisdiksi terhadap kategori sengketa-sengketa tertentu.
b.
Para pihak yang terkait terikat oleh deklarasi yang dibuat menurut apa yang disebut “klausula opsional” optional clause, ayat 2
pasal 36 statuta. Klausula ini muncul dalam statuta lama, yang secara substansial sama dengan yang ada dalam statuta sekarang.
Saat ini ditentukan bahwa peserta statuta setiap saat dapat menyatakan bahwa mereka mengakui sebagai kewajiban ipso facto dan tanpa perjanjian
khusus dalam hubunganya dengan negara lain yang menerima kewajiban yang sama, yurisdiksi mahkamah dalam semua sengketa hukum mengenai :
Penafsiran suatu traktat
Setiap persoalan hukum internasional
224
Juridictional Immunities of The State Germany v. Italy : Greece Intervening, http: www.icj-cij.org, diakses pada tanggal 1 April 2013.
Universitas Sumatera Utara
Keberadaan seatu fakta yang, apabila ada, akan merupakan suatu
pelangara kewajiban internasional
Sifat hakikat dan besarnya jumlah ganti rugi yang harus diberikan bagi pelanggaran suatu kewajiban internasional.
Mahkamah Internasional hanya memberikan nasihat-nasihat kepada negra- negara yang bersengketa dengan tujuan agar negara yang bersengketa tersebut
dapat memutus sendiri dengan perjanjian antara keduanya. Sebenarnya setelah ada perjanjian damai diantara kedua negara ini, jerman telah mnyepakati pemberian
kompensasi terhadap rakyat Italia yang dirugikan selama pendudukan jerman. namun, masih ada beberapa orang yang merasa belum mendapat kompensasi dari
pihak Jerman bahkan setelah pembaharuan program kompensasi antara 2001-2007 mereka juga tidak mendapatkannya sehingga menuntut jerman dalam yurisdiksi
pengadilan Italia dan penuntutan ulang oleh Jerman kepada Italia karena tidak
menghormati yurisdiksi kekebalan negara jerman dalam Mahkamah Internasional.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan