Kekuatan Mengikat Keputusan Mahkamah Internasional

keputusannya. 187 Pentingnya Penyelesaian sengketa dalam kerangka PBB tidak terlepas dari tujuan PBB itu sendiri yaitu agar keamanan dan perdamaian dapat terjamin demi keselamatan umat manusia yang tentunya sengketa tersebut harus diselesaikan tanpa adanya kekerasan atau dengan kata lain adalah dengan cara damai.

D. Kekuatan Mengikat Keputusan Mahkamah Internasional

Kekuatan yang mengikat dalam hukum maksudnya adalah suatu kepastian yang menentukan bagaimana pada akhirnya hubungan hukum antara kedua belah pihak yang berperkara. Dengan demikian, kekuatan mengikat sebuah keputusan yang dalam hal ini adalah keputusan Mahkamah Internasional dapat diartikan sebagai suatu kepastian yang terdapat di dalam peraturan hukum internasional yang menentukan bagaimana hubungan hukum antara kedua negara yang berperkara di Mahkamah Internasional dimana ketentuan hukum internasional yang dikeluarkan oleh hakim Mahkamah Internasional lah yang menentukan penyelesaian persoalan sengketa negara tersebut. Mahkamah Internasional memutus suatu sengketa berdasarkan hukum atau berdasar kepantasan dan kebaikan bila pihak-pihak yang bersengketa menyetujuinya. Keputusan Mahkamah Internasional ditetapkan berdasarkan suara mayoritas hakim. Bila suara hakim yang hadir yang menyetujui dan yang menolak keputusan berjumlah sama, maka keputusan ditentukan oleh pendapat ketua Mahkamah Internasional. 188 Keputusan mahkamah terdiri dari 3 bagian : 187 Linggawati Hakim, Ibid, hal. 214. 188 Putusan Mahkamah Internasional, http:rengga-yoga.blogspot.com201204putusan- mahkamah-internasional.htm, diakses pada tanggal 9 April 2013. Universitas Sumatera Utara a. Berisi komposisi mahkamah, informasi mengenai pihak-pihak yang bersengketa,serta wakil-wakilnya, analisa tentang fakta-fakta, dan argumentasi hukum pihak- pihak yang bersengketa b. Berisi penjelasan mengenai motivasi mahkamah. Pemberian motivasi keputusan mahkamah merupakan salah satu unsur dari penyelesaian yang lebih luas darisengketa, dan karena itu perlu dijaga sensibilitas pihak-pihak yang bersengketa c. Berisi dispositif yang merupakan keputusan mahkamah yang mengikat negara-negara yang bersengketa. Dalam memutuskan sebuah keputusan, Mahkamah Internasional tidaklah teralu berbeda dengan pengadilan-pengadilan nasional dalam mengadili suatu perkara, dimana keduanya sama-sama memerlukan jurisdiksi kewenangan untuk menyidangkan perkara. 189 Mahkamah Internasional dalam kehidupannya yang sudah hampir 60 tahun telah memeriksa berbagai sengketa yang meliputi antara lain hak-hak ekonomi, hak-hak lintas, pelarangan penggunaan kekerasan, larangan campur tangan terhadap masalah-masalah dalam negeri negara lain, hubungan diplomatic, penyanderaan, hak suaka dan kewarganegaraan. 190 Berikut adalah beberapa perkara selama 20 tahun terakhir yang diajukan ke Mahkamah Internasional: 191 a. Sengketa antara Amerika Serikat dan Nikaragua dalam kasus contras dimana Amerika mendukung contras kelompok gerilyawan yang 189 Mirza Satria Buana, Hukum Internasional, Bandung : Nusamedia, 2007, hal. 100 190 Boer Mauna, Op.Cit., hal. 270 191 Ibid. Universitas Sumatera Utara menentang pemerintahan yang sah. Mahkamah memutuskan agar Amerika serikat melakukan ganti rugi. b. Sengketa antara Iran dan Amerika Serikat mengenai penghancuran platform minyak Iran oleh kapal perang Amerika Serikat. Mahkamah membuat keputusan bahwa tindakan Amerika Serikat tidak dapat dibenarkan sebagai suatu keharusan untuk melindungi kepentingan nasionalya. c. Sengketa antara Libia dan Chad pada tahun 1994 dalam kasus hak territorial. Dalam kasus ini Mahkamah memutuskan bahwa pembagian wilayah telah ditetapkan pada tahun 1995 antara Perancis dan Libia, sebagai akibatnya Libia menarik pasukannya dari area pantai selatannya dengan Chad. d. Sengketa tentang perlindungan lingkungan yang diajukan Hungaria dan Slovakia mengenai validitas perjanjian yang ditandatangani kedua Negara untuk mendirikan sebuah bendungan. Dalam kasus ini Mahkamah memutus kedua negara telah melanggar kewajibannya dan meminta mereka melaksanakan perjanjian tersebut. e. Sengketa yang menyangkut hak-hak ekonomi, misalnya antara Italia dan Amerika Serikat. Mahkamah mengambi keputusan menolak tuntutan untuk kompensasi yang diajukan Amerika Serikat terhadap Italia atas pengambilalihan suatu perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan Amerika Serikat. Universitas Sumatera Utara f. Sengketa yang menyangkut pelaksanaan konvensi Wina tentang hubungan konsuler dan optional protocols 1963 yaitu antara Amerika Serikat dan Mexico. Keputusan mahkamah dalam kasus ini adalah Amerika telah lalai dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang terdapat dalam konvensi baik terhadap tahanan maupun terhadap pemerintah Mexico. g. Selain itu, persoalan mengenai pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia. Mahkamah memutuskan bahwa kedua pulau tersebut menjadi milik Malaysia dengan putusan Mahkamah yang menyatakan bahwa praktik negara ditempatkan lebih dominan daripada dokumen perjanjian dan Indonesia tidak memiliki bukti sejarah yang memadai untuk memperkuat argumentasinya. Suatu sengketa yang diperiksa oleh Mahkamah Internasional dapat berakhir karena hal-hal berikut ini : 192 1. Adanya kesepakatan dari para pihak 2. Tidak dilanjutkannya persidangan 3. Dikeluarkannya putusan Judgement - Putusan diterbitkan untuk masyarakat luas - Pendapat para hakim - Putusan mengikat para pihak - Penafsiran dan perubahan putusan 192 Mirza Satria Buana, Loc. Cit Universitas Sumatera Utara Menurut Mc Auslan, litigasi dapat mempunyai beberapa fungsi : 193 Pertama, ketika suatu negara mengajukan perkaranya ke Mahkamah Internasional, mereka tidak akan mencari penyelesaian yang defenitif tetapi lebih pada mempersempit perbedaan antara para pihak atau dengan jalan lain menyelesaikan sengketanya mendekati resolusi. Sebagai contoh dalam Kasus North Sea Continental Shelf Cases yang diputus pada 20 Februari 1969. Kasus ini antara Republik Federal Jerman dan Denmark di satu pihak dan antara Republik Federal Jerman dan Netherland di pihak lain. Para pihak hanya meminta pada Mahkamah Internasional untuk menunjukkan prinsip dan hukum internasional principles and rules yang relevan untuk diterapkan dalam kasus tersebut. Kedua, para pihak membawa kasusnya ke Mahkamah Internasional didasarkan pertimbangan bahwa mereka akan dapat menyelesaikan sengketanya secara definitif. Jika para pihak telah setuju untuk mengajukan litigasi kasusnya, maka para pihak bermaksud hasil dari litigasi tersebut akan dapat menyelesaikan kasusnya. Sebagai contoh dalam kasus Minquiers and Ecrehos, kasus antara Prancis dan Inggris mengenai masalah kedaulatan wilayah. Keputusan Mahkamah Internasional memenangkan klaim Inggris dengan dalih bahwa Inggris sejak abad ke-13 telah menguasi Ecrehos sebagai bagian yang integral dari channel islands yang dikuasai oleh Raja Inggris. Namun permasalahan akan timbul bila salah satu pihak yang bersengketa tidak menghendaki penyelesaian secara litigasi. Pasal 53 statuta Mahkamah Internasional menentukan bila salah satu pihak tidak hadir di muka sidang atau tidak dapat mempertahankan perkaranya maka pihak lain dapat meminta pada Mahkamah Internasional untuk memutus perkaranya dengan menguntungkan tuntutannya. Untuk melaksanakan hak tersebut Mahkamah Internasional harus yakin bahwa Mahkamah Internasional mempunyai yurisdiksi berdasarkan Pasal 36 dan 37 Statuta Mahkamah Internasional dan bahwa tuntutan tersebut berdasarkan kenyataan dan hukum. 194 Dalam kasus Temple of Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja. Dalam kasus tersebut Thailand keberatan atas yurisdiksi 193 Sri Setianingsih Suwardi, Op. cit., hal. 106. 194 Sri Setianingsih Suwardi, Op. cit., hal. 108. Universitas Sumatera Utara Mahkamah Internasional, tetapi akhirnya menerima keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan tuntutan kamboja. Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional menentukan : “The decision of the Court has no binding force except between the parties and in respect of that particular case.” Keputusan Mahkamah Internasional hanya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak dan hanya berhubungan dengan perkara khusus itu saja. Selain itu, suatu prinsip dalam kewenangan untuk memberikan pendapat hukum ialah bahwa suatu organisasi internasional yang kualifed, bukan negara secara individu atau kumpulan dari negara-negara, dapat meminta pendapat hukum pada Mahkamah Internasional tentang masalah hukum yang dihadapi. Pendapat hukum Mahkamah mungkin dapat dipakai untuk menjernihkan penyelesaian masalah atau sengketa. Walaupun tidak ada kewajiban untuk meminta pendapat hukum dan tidak ada kewajiban Mahkamah Internasional untuk memberikan pendapat hukum, namun pemberian pendapat hukum oleh Mahkamah Internasional dapat lebih diefektifkan perannya sebagai sarana untuk penyelesaian sengketa. Kekuatan mengikat suatu pendapat hukum Mahkamah Internasional ada yang berpendapat tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana halnya keputusan Mahkamah. Hakim Cordova berpendapat bahwa advisory opinion merupakan secondary jurisdiction dari Mahkamah Internasional. 195 Menurut Henry G Schemers mengatakan bahwa Mahkamah Internasional sendiri berpendapat bahwa pendapat hukum karena sifatnya hanya sebagai nasihat maka 195 Ibid., hal. 114. Universitas Sumatera Utara tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. 196 Apabila Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan, sering juga mengutip pendapat hukum sebagai yurisprudensi sebagaimana halnya keputusan yang menunjuk keputusan Mahkamah sebelumnya. Berdasarkan pasal 38 ayat 2 Statuta, Mahkamah berwenang untuk memutus suatu sengketa berdasarkan prinsip ex aequo et bono kepatutan dan kelayakan atau keadilan dalam hukum internasional apabia para pihak menyepakatinya dan belum pernah diterapkan Mahkamah sampai saat ini. 197 Keputusan yang dicapai oleh Mahkamah Internasional selain bersifat mengikat para pihak yang bersengketa saja, juga bersifat final. Mahkamah Internasional dalam menafsirkan suatu keputusan adalah atas permintaan kedua belah pihak, jika tidak ada suatu kepastian atau ketidaksetujuan terhadap arti serta lingkup dari keputusan Mahkamah Internasional tersebut, maka para pihak dapat meminta revisi atas keputusan Mahkamah. 198 Hal ini dilakukan jika ada keharusan untuk memperjelas materi yang menentukan atau yang sebelumnya belum dikenal oleh kedua pihak. Revisi atas keputusan tersebut harus dimintakan dalam waktu 6 enam bulan setelah timbulnya fakta baru dan waktu 10 sepuluh tahun setelah putusan disampaikan. 199 Dewasa ini kecenderungan negara-negara untuk mengajukan perkara- perkara hukum ke Mahkamah bagi penyelesaian damai sengketa mereka, makin 196 Ibid., 197 Huala Adolf, op. cit., hal. 89. 198 Mirza Satria Buana, Op.Cit. hal. 102 199 M, Rebecca Wallace, Hukum Internasional, 1993, Semarang : Penerbit IKIP Semarang Press, hal. 107 Universitas Sumatera Utara bertambah nyata yang sekaligus dapat memperkuat kedudukan, peranan dan fungsi lembaga hukum dunia. 200 Oleh karenanya, keputusan Mahkamah Internasional sangat penting bagi perkembangan hukum internasional. 200 Boer Mauna, Op.Cit., hal. 274 Universitas Sumatera Utara BAB IV PERAN PBB SEBAGAI ORGANISASI INTERNASIONAL MELALUI MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENYELESAIKAN KASUS STATE IMMUNITY ANTARA JERMAN V. ITALIA TERKAIT KEJAHATAN PERANG NAZI A. Sejarah Sengketa State Immunity Antara Jerman v. Italia Negara merupakan subjek utama di dalam hukum internasional. Dalam pasal 1 Konvensi Montevideo tahun 1933 mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara yang ditandatangani Amerika serikat dan beberapa negara Amerika Latin mengemukakan karakteristik-karakteristik berikut ini : “The state as a person of international Law should prosses the folowing qualification : a. a permanent population; b. a defined territory; c. government; d. capacity to enter into relation with the other states.” Negara sebagai pribadi yakni subjek hukum internasional harus memiliki syarat- syarat berikut: a penduduk tetap; b wilayah tertentu; c pemerintah; d kemampuan mengadakan hubungan dengan negara-negara lain. Setiap negara harus memenuhi syarat-syarat tersebut untuk menjadi sebuah negara berdaulat. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional. 201 201 Ibid., hal. 24 Universitas Sumatera Utara Kedaulatan atau sovereignity merupakan salah satu kelebihan negara dibandingkan dengan subjek hukum internasional lainnya. Kedaulatan yang artinya kekuasaan tertinggi dalam suatu negara diartikan sebagai suatu kedaulatan dan keutuhan yang tidak dapat dipecah-pecah dan dibagi-bagi serta tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Akan tetapi kedaulatan tersebut juga diartikan bahwa Negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi ekslusifnya ke luar dari wilayahnya yang dapat mengganggu kedaulatan wilayah Negara lain. 202 Negara hanya dapat melaksanakannya secara ekslusif dan penuh hanya di dalam wilayah negaranya saja. Dalam kaitannya dengan prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara dan prinsip tidak campur tangan terdapat suatu kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda, atau perstiwa dalam hukum internasional yang dinamakan jurisdiksi. 203 Jurisdiksi juga merupakan suatu bentuk kedaulatan yang vital dan sentral yang dapat mengubah, menciptakan atau mengakhiri suatu hubungan atau kewajiban hukum. 204 Selain daripada itu, suatu negara juga memperoleh kekebalan negara state immunity atas gangguan dari negara lain sebagai akibat dari adanya kedaulatan. Setiap negara yang beradaulat memiliki kesamaan derajat dengan negara lain sehingga tidak ada negara yang tunduk pada hukum negara lain atau dalam artian negara yang beradaulat tidak dapat menjalankan yurisdiksi terhadap negara 202 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996, hal. 100 203 Ibid., hal. 143 204 Ibid. Universitas Sumatera Utara berdaulat lainnya par in parem non habet imperium. 205 Sebagai akibat dari adanya kekebalan tersebut maka sebuah negara pemegang kedaulatan akan memiliki kekebalan terhadap hukum negara lain sehingga antar negara tidak saling mengganggu satu sama lain. Dalam kasus The Schooner Exchange vs McFaddon di United State Supreme Courttahun 1812, hakim John Marshall CJ memutus sebagai berikut: 206 a. Yurisdiksi sebuah negara dalam wilayahnya adalah absolut dan ekslusif, tetapi ini tidakberlaku terhadap kedaulatan asing yang ada di wilayahnya. b. Kekebalan ini berlaku bagi kepala Negara asing, perwakilan diplomatik dan barang-barang mereka. c. Kekebalan ini tidak berlaku bagi barang-barang pribadi private properties,perorangan yang berada dalam wilayah suatu negara untuk tujuan bisnis dan urusan pribadi lainnya, juga terhadap kapal dagang merchant vessel yang memasuki wilayahsebuah negara untuk urusan perdagangan. Salah satu kasus yang diajukan di Mahkamah Internasional pada tanggal 23 Desember 2008 adalah kasus yang terjadi antara Jerman vs Italia. Fakta-fakta yang mendasari perselisihan antara Jerman dan Italia cukup sederhana. 207 Selama Perang Dunia II, Reich Jerman menyadari banyaknya pelanggaran serius terhadap 205 Mirza Satria Buana, Op.Cit., Hal. 59 206 State Immunity Jerman v. Italia, http:asdarkadir.blogspot.com201201state- immunity-germany-v-italy.html, diakses pada tanggal 1 April 2013 207 Christian Tomuschat, The International Law of State Immunity and Its Development by National Institution, http : http:www.vanderbilt.edujotlmanagewp- contentuploadsTomuschat-cr.pdf, diakses pada tanggal 1 April 2013 Universitas Sumatera Utara hukum kemanusiaan internasional di bawah pimpinan Nazi. 208 .Namun Pecahnya aliansi antara Jerman dan Italia memiliki banyak konsekuensi yang serius. Pertama, banyak warga sipil Italia dikirim ke Jerman untuk melakukan kerja paksa. Kedua, melibatkan tawanan perang Italia. 209 Berdasarkan hukum internasional, Jerman telah melanggar ketentuan Konvensi Jenewa. Oleh karena itu, sesuai dengan undang-undang unilateral Jerman mencabut status tahanan mereka di bawah internasional hukum dan mengklasifikasikan mereka sebagai pekerja sipil biasa. 210 Kemudian selanjutnya, Jerman terdorong atas inisiatif sendiri menyediakan reparasi bagi korban luka perang berdasarkan Perjanjian Postdam tahun 1945. 211 Jerman dan Italia pada masa itu adalah dalam satu pihak menentang sekutu dengan kata lain Italia membantu Jerman berperang melawan sekutu. Pihak Sekutu merasa bahwa tak satu pun dari pasangan negara yang kalah atau pelaku kejahatan memegang hak terhadap yang lain berkaitan dengan konflik bersenjata. 212 Hal ini didasari oleh karena pemerintah Italia juga meminta ganti 208 Ibid. 209 Ibid. 210 Ibid. 211 Perjanjian Potsdam 2 Agustus 1945. Perjanjian ini mengakhiri perang antara Sekutu dengan Jerman. Perjanjian yang dihadiri oleh Thruman, Stalin, dan Attlee ini menghasilkan keputusan sebagai berikut: a. Jerman dibagi dalam 4 daerah pendudukan yakni bagian timur oleh Rusia, bagian barat oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis. b. Kota Berlin yang terletak di tengah-tengah daerah pendudukan Rusia, dibagi 4 bagian yakni Berlin Barat Amerika Serikat, Inggris, Perancis Berlin Timur Rusia. c. Danzig dan daerah Jerman sebelah timur Sungai Oder dan Neisse diserahkan kepada Polandia. d. Angkatan Perang Jerman harus dikurangi jumlah tentara dan peralatan militernya. e. Penjahat perang, yakni tokoh-tokoh NAZI harus dihukum di bawah pengawasan internasional. f. Jerman harus membayar ganti rugi perang kepada Sekutu. 212 Christian Tomuschat, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara rugi atas warga sipilnya kepada Jerman. Namun, pada tahun 1960, pemerintah Jerman memutuskan untuk menormalkan hubungan dengan sejumlah Negara bagian barat eropa termasuk Italia. Jerman harus menawarkan jumlah tertentu kompensasi tanda persahabatan dan kerjasama. Dengan demikian, Jerman dan Italia menandatangani dua perjanjian pada tahun 1961 yang dimaksudkan untuk membawa akhir yang definitif untuk kontroversimengenai penyelesaian keuangan Perang Dunia. Republik Federal Jerman membuat pembayaran perjanjian yang diperlukan. Jerman berpendapat dalam hal pemantauan pemberian apakah uang yang dialokasikan untuk korban Penganiayaan Nazi secara efektif mencapai orang yang bersangkutan adalah bukan tanggungjawab pihak Jerman. Akan tetapi, masalah reparasi lanjut menjadi diperdebatkan seperti selama beberapa dekade. Italia tidak membuat pernyataan apapun mengenai hal itu kepada Jerman. Italia beranggapan itu adalah diduga utang perang yang belum dibayar. Kasus Luigi Ferrini, lahir 12 Mei 1926, merupakan terobosan baru. Ferrini ditangkap oleh pasukan Jerman di provinsi Arezzo pada 4 Agustus 1944, dan kemudian dideportasi ke Jerman. Ia dipaksa untuk melakukan pekerjaan sebagai buruh paksa di persenjataan industri. Ferrini mengajukan aplikasi pada tanggal 23 September 1998, melakukan penuntutan sebelum Tribunale di Arezzo. Dia mengaku reparasi, sampai batas yang adil, untuk cedera yang dialami selama ia menghabiskan waktu di tanah Jerman sampai pembebasan pada bulan Mei 1945. The Corte di Cassazione menekankan bahwa deportasi untuk tujuan kerja paksa Universitas Sumatera Utara merupakan pelanggaran berat hukum humniter internasional. 213 Dalam keputusan berikutnya, Corte de Cassazione secara konsisten menjunjung tinggi Ferrini. Saat ini, ratusan proses yang tertunda karena Mahkamah Internasional akan segera membuat tekad definitif tentang masalah ini. Namun, pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan keputusan menangguhkan semua proses penegakan sampai Mahkamah Internasional memberikan keputusannya. Jerman membawa kasus sebelum Mahkamah Internasional karena tidak memiliki lain cara untuk mengatasi masalah ini. Masalah internasional antara kedua negara ini bermula ketika Jerman melakukan penuntutan ke Mahkamah Internasional terhadap Italia. Pihak pemerintah Jerman melakukan penuntutan ini atas dasar keputusan pengadilan Italia yang mengabaikan kekebalan negara Jerman dan mengharuskan pihak pemerintah Jerman untuk memberikan sejumlah kompensasi atas ganti kerugian yang dialami oleh rakyat Italia selama pendudukan Jerman di Italia antara tahun 1944-1945. Puncak dari kegusaran Jerman adalah pada kasus Ferrini yang diputus oleh pengadilan Corte di Cassazione tanggal 11 Maret 2004, yang memutuskan bahwa Italia memegang yurisdiksi mengenai klaim yang dibawa oleh Ferrini yang telah dideportasi ke Jerman untuk melakukan kerja paksa. Keputusan pengadilan ini telah dikonfirmasi pengadilan Corte di Cassazione pada tahun 2008. Setelah penilaian pengadilan Italia tersebut, lebih dari 200 pengadu mengajukan gugatan perdata melawan Jerman. Secara khusus, penghakiman terakhir pada tanggal 28 Oktober 2008 pada kasus Josef Max Milde. Kasus 213 Juridictional Immunities of The State Germany v. Italy : Greece Intervening, http: www.icj-cij.org, diakses pada tanggal 1 April 2013. Universitas Sumatera Utara tersebut berkaitan dengan tindakan sipil yang diajukan terhadap seorang perwira Jerman yang terbukti bersalah karena terlibat dalam pembunuhan 203 rakyat sipil termasuk wanita dan anak-anak. Pembantaian tesebut dilakukan pada tanggal 29 Juni 1944 di Munisipalitas Civitella, Cornia, dan S. Pancrazio, Italia. Pengadilan militer La Spezia menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup atas kejahatan pembunuhan yang diatur dalam pasal 185 kitab undang-undang hukum pidana militer Italia pada masa perang. Hal ini juga menguatkan pengaduan untuk permintaan kompensasi ganti rugi yang diajukan kerabat korban terhadap pihak jerman. Secara khusus, pengadilan menemukan bahwa kekebalan negara dapat dikecualikan dalam kasus kejahatan internasional yang merupakan titik tegas dari yurisprudensinya. Menurut mahkamah, tidak logis untuk menegaskan keunggulan-keunggulan hak-hak asasi manusia kemudian menolak akses ke pengadilan. Sehingga tidak ada jaminan pelaksanaan yang efektif dari pelaksanaan hak-hak. Pada bulan Oktober 2008, pemerintah Italia memerintahkan kepada pemerintah Jerman untuk melakukan pembayaran sebesar satu juta Euro sebagai kompensasi kepada keluarga dari 9 korban tewas oleh tentara Jerman di Civitella, Tuscany pada tahun 1944. Selain itu, setelah yurisprudensi ini pengadilan Italia mengambil aset Jerman yang ada di Italia dengan hipotek yang dikeluarkan pengadilan Italia secara tertulis dalam register tanah. Aset tersebut adalah Villa Vigoni yang digunakan sebagai pusat pertukaran budaya Italia-Jerman. Universitas Sumatera Utara Pihak Jerman telah membayar puluhan miliar dolar sejak tahun 1959 terhadap korban kekejaman Nazi kepada keluarga mereka. Sesuai dengan program kompensasi terbaru antara tahun 2001-2007 Jerman telah memberikan hampir 6 miliar dolar AS untuk 1,6 juta orang atau keluarga mereka karena dirugikan dari kerja paksa selama perang. Namun, Italia menyatakan tidak puas dengan inisiasi dari proses tersebut sebelum perkara antara Jerman dengan Itali masuk ke dalam Mahkamah Internasional. Niat Jerman untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Internasional didukung oleh pemerintah Italia. Atas dasar inilah diperlukan pengkajian yang lebih mendalam mengenai aspek-aspek hubungan kedua negara ini sehingga mengakibatkan terjadinya penuntutan oleh pihak Jerman terhadap Italia di Mahkamah Internasional.

B. Landasan dan Instrumen Hukum Internasional Dalam Penyelesaian Sengketa Yurisdiksi