Sumberdaya udang penaeid dan prospek pengembangannya di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat

(1)

SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT

ENDANG GUNAISAH

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Sumberdaya Udang Penaeid dan Prospek Pengembangannya Di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2008

Endang Gunaisah

C551054014


(3)

pengembangannya di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat. Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO dan DOMU SIMBOLON.

Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat merupakan kabupaten baru yang terbentuk berdasarkan Undang-undang nomor 26 tahun 2002 yang diresmikan secara lokal oleh Gubernur Papua pada tanggal 6 Agustus 2003. Sektor kelautan dan perikanan khususnya udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan cukup melimpah namun masih dikelola dalam skala kecil, karena para nelayan masih menggunakan alat tangkap dan armada yang sederhana seperti perahu layar dan mesin ketinting (Akademi Perikanan Sorong, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengestimasi potensi lestari udang penaeid, (2) menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi dan menghitung kelayakan usaha, (3) menentukan jumlah unit penangkapan udang penaeid yang optimum dan (4) menyusun strategi kebijakan pengembangan perikanan udang penaeid yang berkelanjutan di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat. Penelitian ini menerapkan perhitungan swept area, analisis Cobb-Douglas dan kelayakan usaha, linear goal programming dan analitycal hierarchy process. Hasil perhitungan dari swept area menunjukan dugaan potensi udang penaeid sebesar 12.778,175 ton/tahun dengan stok density sebesar 0,508 ton/km2 dan biomasa sebesar 16.637,566 ton. Faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan udang penaeid adalah jumlah trip dan usaha perikanan udang penaeid dinyatakan layak diteruskan. Jumlah kapal yang beroperasi di perairan Kabupaten Sorong Selatan yang optimum untuk kelestarian udang penaeid yang berkelanjutan berada pada kisaran 219 unit ketinting, 217 unit jolor, 25 unit johnson dan 20 unit pkp. Nelayan merupakan aktor yang sangat menentukan keberhasilan pengelolaan udang penaeid disusul dengan peran Dinas Perikanan, pengusaha perikanan dan pedagang ikan. Alternatif kebijakan dalam pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan tersusun secara berurutan sesuai prioritas adalah pembinaan nelayan dan kerjasama antar pelaku, mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan, meningkatkan produksi udang penaeid, meningkatkan sarana dan prasarana dan meningkatkan potensi pasar.

Kata kunci : Sumberdaya udang penaeid, trammel net, alternatif pengembangan, Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat.


(4)

develpoment in the South Sorong Regency of West Irian Jaya Province.Supervised SUGENG HARI WISUDO and DOMU SIMBOLON.

The South Sorong Regency is a new regency based on the Government Rules No : 26/2002 as a consequence of Sorong Regency expansion. The dominating fishery in this area is shrimps. However, it has not been fully optimized (Fishery Academic Sorong, 2004).The objectives of this study are : (1) To estimate the maximum sustainable yield. (2) To calculate the fishing effort feasibility. (3) To decide the optimum number of fishing unit. (4) To arrange the strategy of sustainable development policy. Swept area method, analysis of effort feasibility, linear goal programming and analytical hierarchy process were used to solve the problem. The result of research show that sustainable stock of penaeid shrimps based on the result analysis, can be concluded that is 12.778,174 ton/year. Shrimp fisheries in South Sorong Regency potential to be developed. To develop shrimp fisheries, the result analysis suggest allocation of fishing gear as below: number of vessel are approximately ketinting (219 units), jolor (217 units), johnson (25 units) and pkp (20 units). The alternative of strategy policy organized by priority as follow : capacity building to fisherman and cooperation with actor, to developed the fishing unit which sustainable of environment, to improve the penaeid shrimps productions, to improve facility and equipments, and to improve the market potency.

Key Words : Penaeid shrimps, trammel net, strategy of sustainable development policy, South Sorong Regency of West Irian Jaya Province.


(5)

SELATAN PROPINSI IRIAN JAYA BARAT

ENDANG GUNAISAH

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(6)

Judul Tesis : Sumberdaya udang penaeid dan prospek pengembangannya di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat

Nama Mahasiswa : Endang Gunaisah Nomor Pokok : C 551054014 Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si. Dr.Ir. Domu Simbolon, M.Si.

Ketua Anggota

Diketahui,

Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Ketua,

Prof.Dr.Ir.John Haluan, M.Sc. Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(7)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB


(8)

Penulis dilahirkan di Brebes Jawa Tengah pada tanggal 21 September 1965, sebagai anak kelima dari sembilan bersaudara dari pasangan Soedjono R (almarhum) dan Salwie (almarhumah). Pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas ditempuh di kota kelahiran. Gelar Sarjana Keguruan dan Ilmu Pendidikan (KIP) diraih pada tahun 1989 di Jurusan Pendidikan MIPA Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan dan Ilmu Keguruan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS ) Surakarta.

Seusai menempuh pendidikan sarjana penulis bekerja di Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam Surakarta hingga tahun 1991. Penulis pindah ke Sorong mengikuti suami dan bekerja sebagai guru di Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Negeri Sorong-Papua hingga tahun 2001. Selanjutnya penulis diangkat sebagai dosen di Akademi Perikanan Sorong (APSor) sejak tahun 2002 hingga sekarang. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana (SPs-IPB) pada Program Studi Teknologi Kelautan (TKL), Sub Program Studi Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan (PPKP) dengan biaya tugas belajar dari Akademi Perikanan Sorong-Papua.


(9)

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyusun tesis dengan judul “Sumberdaya udang penaeid dan prospek pengembangannya di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat”.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kapada :

1. Bapak Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing yang telah bersedia membimbing dengan tulus sejak proses penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.

2. Bapak Dr.Ir.Eko Sri Wiyono,M.Si selaku penguji luar komisi yang bersedia menguji dengan bijaksana demi penyempurnaan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. selaku Ketua Program Studi TKL atas dukungan bimbingan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Program Pascasarjana.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Victor PH Nikijuluw, M.Sc. yang telah memberikan rekomendasi sehingga penulis bisa mengenyam pendidikan di Program Studi TKL.

5. Bapak Ir. Samuel Hamel, M.Si, selaku Direktur Akademi Perikanan Sorong-Papua yang telah memberikan kepercayaan tugas belajar serta dukungan sepenuhnya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

6. Bapak Drs. Otto Ihalauw, selaku Bupati Kabupaten Sorong Selatan yang telah memberikan ijin sekaligus dukungan material maupun moril kepada penulis selama proses pengambilan data tesis.

7. Bapak Stevanus Kocu, S.St.Pi selaku Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan beserta staf yang telah membantu sepenuhnya selama penulis berada di lapangan.


(10)

memancarkan keindahan asa dalam keberhasilan penulis menempuh pendidikan ini.

9. Ibu Bapak tercinta yang telah mendahului menghadap Sang Khalik dan Ibu Bapak mertua yang penulis hormati dan sayangi yang tulus berdoa atas cinta yang luhur.

10. Teman-teman seperjuangan mahasiswa program studi TKL 2006 , Azmir, Hendro, Lee, Purba, Yudi, Elvisar,Yuyun, Eta, Erwin, David, atas kerja sama yang baik dan kebersamaan selama pendidikan.

11. Bapak John Kafiar, nelayan trammel net yang telah membantu penulis melakukan pengambilan data tesis, atas jasa dan kebaikannya.

12. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan yang telah memberikan dukungan baik materi maupun spiritual dalam penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritikan yang kontruktif sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan tesis ini. Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Januari 2008


(11)

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

1 PENDAHULUAN ... .. 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Hipotesis ... 4

1.6 Kerangka Pemikiran... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Biologi Udang Penaeid ... 7

2.1.1 Sistematika dan identifikasi udang penaeid ... 7

2.1.2 Habitat dan penyebarannya... 8

2.1.3 Daur hidup udang penaeid ... 9

2.1.4 Tingkah laku dan distribusi udang penaeid ... 11

2.2 Teknologi Penangkapan Udang Penaeid dengan Trammel Net... 12

2.3 Pendugaan Stok... 15

2.4 Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid ... 17

2.5 Model Produksi ... 17

2.6 Analisis Usaha ... 19

2.7 Konsep dan Prinsip Pengembangan Perikanan... 20

2.8 Aplikasi Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)... 24

2.9 Letak Geografi, Topografi dan Iklim di Kabupaten Sorong Selatan ... 27

2.10 Unit Penangkapan dan Produksi Perikanan Kabupaten Sorong Selatan ... 28

2.11 Penduduk ... 29

3 METODOLOGI PENELITIAN... 31

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.2 Bahan dan Alat... 31

3.3 Metode Pengumpulan Data... 31

3.4 Analisis Data ... 34

3.4.1 Pendugaan jumlah stok udang penaeid dengan metode swept area... 34

3.4.2 Faktor-faktor produksi ... 36

3.4.3 Analisis usaha ... 38

3.4.4 Alokasi jumlah unit penangkapan optimum ... 40


(12)

4.2.1 Unit penangkapan udang ... 46

4.2.2 Operasi penangkapan trammel net di Kabupaten Sorong Selatan ... 51

4.2.3 Swept area trammel net... 52

4.3 Prospek Pengembangan Perikanan Udang Penaeid ... 54

4.3.1 Hasil analisis usaha ... 54

4.3.2 Pendapatan nelayan ... 54

4.4 Strategi Pengembangan Perikanan Udang Penaeid ... 55

4.4.1 Optimasi produksi dan unit penangkapan ... 55

4.4.1.1 Optimasi produksi ... 55

4.4.1.2 Optimasi unit penangkapan ... 57

4.4.2 Pengembangan perikanan udang penaeid ... 60

4.4.2.1 Aktor atau pelaku perikanan udang penaeid ... 60

4.4.2.2 Faktor yang berpengaruh dalam perikanan udang penaeid ... 60

4.4.2.3 Tujuan pengembangan perikanan udang penaeid .... 61

4.4.2.4 Alternatif kebijakan pengembangan perikanan udang penaeid ... 62

5 PEMBAHASAN ... 64

5.1 Potensi Perikanan Udang Penaeid ... 64

5.2 Pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid... 64

5.3 Prospek Pengembangan Perikanan Udang Penaeid ... 65

5.3.1 Usaha penangkapan udang penaeid ... 65

5.3.2 Pendapatan nelayan ... 67

5.4 Strategi Pengembangan Perikanan Udang Penaeid ... 68

5.4.1 Optimasi produksi dan unit penangkapan ... 69

5.4.1.1 Optimasi produksi ... 69

5.4.1.2 Optimasi unit penangkapan ... 70

5.4.2 Pengembangan perikanan udang penaeid ... 71

5.4.2.1 Pembinaan nelayan dan kerjasama antar pelaku ... 72

5.4.2.2 Meningkatkan produksi udang penaeid ... 75

5.4.2.3 Meningkatkan potensi pasar ... 76

5.4.2.4 Meningkatkan sarana dan prasarana ... 76

5.4.2.5 Mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan ... 77

6 KESIMPULAN DAN SARAN... 78

6.1 Kesimpulan ... 78

6.2 Saran... ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 80


(13)

1 Skala banding secara berpasang ... 26

2 Jumlah armada di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 ... 28

3 Jumlah alat tangkap di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 ... 28

4 Jumlah hasil tangkapan di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 ... 29

5 Jumlah penduduk Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 ... 30

6 Jumlah nelayan di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 ... 30

7 Strata kedalaman pada perairan pengamatan ... 33

8 Matriks untuk perbandingan berpasang ... 44

9 Nilai random consistency index (RI) untuk jumlah elemen (n) 1 sampai 10 ... 45

10 Hasil perhitungan stock density, potential yield, standing stock ... 46

11 Spesifikasi armada penangkapan trammel net di Kabupaten Sorong Selatan ... 49

12 Variasi jumlah hasil tangkapan pada setiap strata kedalaman ... 53

13 Hasil analisis usaha trammel net di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 ... 54

14 Pendapatan setiap nelayan pertahun pada armada penangkapan di Kabupaten Sorong Selatan ... 55

15 Hasil analisis ragam faktor teknis produksi terhadap hasil tangkapan ... 56

16 Hasil uji-t masing-masing faktor teknis produksi terhadap hasil tangkapan ... 56


(14)

1 Kerangka pemikiran... 6

2 Morfologi udang penaeid... 8

3 Siklus hidup udang penaeid... 10

4 Alat tangkap trammel net... 13

5 Ilustrasi sweeping trammel net. ... 14

6 Peta lokasi penelitian... 32

7 Ilustrasi kegiatan swept area... 34

8 Hierarki untuk pengembangan udang penaeid... 43

9 Kontruksi umum jaring trammel net ... 47

10 Jaring trammel net yang digunakan nelayan di Kabupaten Sorong Selatan ... 49

11 Dimensi umum perahu ketinting yang digunakan nelayan ... 50

12 Kegiatan penebaran jaring trammel net... 51

13 Kegiatan pengambilan hasil tangkapan udang oleh nelayan ... 52

14 Grafik jumlah hasil tangkapan pertitik pengamatan ... 53

15 Aktor dan nilai prioritas pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan... 60

16 Faktor dan nilai prioritas pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan... 61

17 Tujuan dan nilai prioritas pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan... 62

18 Alternatif kebijakan untuk pengembangan perikanan di Kabupaten Sorong Selatan ... 63

19 Nilai hasil AHP pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat ... 63


(15)

1 Peta Kabupaten Sorong Selatan... 84

2 Data swept area... 85

3 Perhitungan stock density... 87

4 Perhitungan biomasa (standing stock) ... 89

5 Perhitungan potensial yield... 90

6 Analisis faktor-faktor produksi ... 91

7 Perhitungan analisis usaha ... 94

8 Persamaan fungsi tujuan linear goal programming... 98

9 Hasil analytical hierarchy process (AHP) ... 100

10 Simulasi perhitungan pendapatan asli daerah (PAD) dan hasil tangkapan pada kondisi optimum ... 103


(16)

Analytical hierarchy process : Metoda analisis pengambilan keputusan yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas di dalam rancangannya terhadap suatu masalah

Armada penangkapan ikan : Kumpulan unit penangkapan ikan berupa kapal beserta mesin, alat tangkap dan alat bantu penangkapan.

Biomassa : Massa total (pada waktu tertentu) dari satu atau lebih jenis organisme per satuan luas

Break event point : Jumlah penjualan dan volume produksi yang tidak memperoleh kerugian dan tidak memperoleh laba Bubu : Alat penangkapan ikan yang berifat pasif dan

masuk ke dalam kategori perangkap Chelae : Capit pada udang

Gillnet : Alat penangkapan ikan yang terbentuk dari susunan jaring satu lapis yang dirangkai secara memanjang

Hauling : Penarikan jaring atau pengambilan alat tangkap pada proses penangkapan ikan

Ikan demersal : Ikan-ikan (termasuk crustacea atau cephalopoda) yang hidup di dekat atau sekitar dasar perairan Ikan pelagis : Ikan-ikan yang hidup di permukaan perairan

Inner net : Jaring bagian dalam pada alat tangkap trammel net

Omnivora : Hewan atau tumbuhan pemakan segala jenis (hewan dan tumbuhan)

Outter net : Jaring bagian luar pada alat tangkap trammel net Over fishing : Penangkapan ikan secara berlebihan

Payback period : Penilaian investasi suatu proyek yang didasarkan pada pelunasan biaya investasi oleh net benefit dari proyek


(17)

secara berkesinambungan

Pengelolaan : Suatu kumpulan tindakan (aksi) yang terorganisasi untuk mencapai tujuan

Perikanan : Kegiatan untuk menangkap atau membudidayakan ikan termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan

Periopod : Kaki jalan pada udang

Potential yield : Kemampuan pemanfaatan sumberdaya perikanan dari suatu perairan untuk memperoleh hasil yang maksimum dan lestari

Return of investment : Tingkat keuntungan yang diperoleh dalam setiap rupiah investasi yang ditanamkan dalam suatu usaha

Setting : Penurunan jaring atau alat tangkap pada proses penangkapan ikan

Stock density : Kepadatan stok sumberdaya ikan dalam suatu perairan

Sumberdaya ikan : Sumberdaya alam berupa ikan dan sejenisnya termasuk crustacea, cephalopoda dan mamalia air Standing stock : Penggandaan antara luas area survei terhadap

kepadatan (kelimpahan) stok

Trammel net : Alat penangkapan ikan yang terbentuk dari tiga susunan jaring yaitu jaring bagian luar (outter net) dan jaring bagian dalam (inner net) yang dirangkai secara memanjang

Trawl : Alat penangkapan ikan berbentuk kantung, dimana pada mulut kantung dilengkapi dengan rantai pemberat dan papan pembuka, dalam pengoperasiannya ditarik oleh satu atau dua kapal


(18)

1.1 Latar Belakang

Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat besar namun belum termanfaatkan secara optimal. Salah satu wilayah KTI adalah Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat. Kabupaten ini merupakan kabupaten baru yang terbentuk berdasarkan Undang-undang nomor 26 tahun 2002 yang diresmikan secara lokal oleh Gubernur Papua pada tanggal 6 Agustus 2003 selanjutnya menjadi kabupaten definitif terhitung mulai tanggal 14 November 2005 bertepatan dengan diresmikan dan dilantiknya Bupati Kabupaten Sorong Selatan periode 2005 - 2010 oleh Pejabat Gubernur Propinsi Irian Jaya Barat atas nama Menteri Dalam Negeri.

Sebagai wilayah yang baru terbentuk, Kabupaten Sorong Selatan perlu mengkaji dan mengidentifikasi sumberdaya alam yang ada pada semua sektor, termasuk sektor perikanan. Hal tersebut diperlukan dalam rangka pemanfaatan, pengelolaan dan pengembangan sumberdaya yang ada di Kabupaten Sorong Selatan. Akademi Perikanan Sorong (2004) menyatakan bahwa hasil tangkapan udang penaeid di perairan Kabupaten Sorong Selatan cukup tinggi sehingga diduga potensinya cukup besar. Besarnya potensi dan tingginya harga udang seharusnya dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh nelayan setempat.

Udang merupakan salah satu komoditas unggulan Kabupaten Sorong Selatan yang penangkapannya dilakukan oleh nelayan tradisional di perairan Distrik Teminabuan, Inanwatan dan Selat Sele, yang terletak di wilayah bagian selatan Kabupaten Sorong Selatan. Jenis-jenis udang penaeid yang memberikan kontribusi nyata pada perikanan di Kabupaten Sorong Selatan adalah udang jenjang dan udang windu dari genus penaeus dan beberapa jenis dari genus metapenaeus (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006).

Tingginya potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang ada terutama udang penaeid yang terdapat di perairan Kabupaten Sorong Selatan merupakan suatu peluang besar bagi berbagai pihak (stakeholders) untuk mengoptimalkan


(19)

pemanfaatannya. Namun demikian, dalam pemanfaatannya harus sesuai dengan daya dukung (carryng capacity) perairannya dan berdasarkan kaidah-kaidah pemanfaatan yang berkelanjutan (sustainable). Hal ini perlu diantisipasi karena permasalahan umum yang dijumpai dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut adalah terbangunnya asumsi dasar bahwa sumberdaya pesisir dan laut merupakan sumberdaya milik bersama (common property) sehingga semua orang memiliki akses tanpa batas (open access) (Dahuri, 1998). Asumsi dasar ini pula yang sering melahirkan bentuk-bentuk kegiatan penangkapan yang bersifat destruktif, seperti penggunaan bom dan racun sianida, penangkapan ikan jenis tertentu secara berlebihan (over fishing), penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, dan berbagai kegiatan lainnya yang tidak memperhatikan kaidah pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dan berkelanjutan.

Untuk mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya udang penaeid yang ada di Kabupaten Sorong Selatan, maka ketersediaan data dan informasi yang memadai, aktual dan akurat yang bersifat spasial (keruangan) mutlak diperlukan. Ketersediaan data dan informasi tersebut akan membantu dalam menetapkan rencana dan strategi pengelolaannya secara optimal, terpadu dan berkelanjutan serta untuk mendukung sektor swasta dalam mengembangkan investasinya. Selanjutnya untuk memenuhi berbagai kebutuhan tersebut, maka perlu melibatkan berbagai pihak terkait (stakeholders) dalam pengelolaan dan pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan.

1.2 Perumusan Masalah

Salah satu potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang ada di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat adalah udang penaeid yang memiliki nilai ekonomi penting namun belum termanfaatkan secara optimal. Selain mempunyai potensi yang besar, sumberdaya udang penaeid juga mempunyai harga yang tinggi. Besarnya potensi dan tingginya harga udang seharusnya dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh nelayan setempat, namun kenyataan yang ada di Kabupaten Sorong Selatan belum dilakukan secara optimal.

Tidak optimalnya pemanfaatan sumberdaya udang di Kabupaten Sorong Selatan, disebabkan oleh berbagai faktor seperti minimnya informasi tentang


(20)

sumberdaya udang, sarana dan prasarana usaha perikanan udang yang masih terbatas, alat tangkap dan armada yang digunakan masih tergolong skala kecil, minimnya kualitas sumberdaya manusia perikanan yang dicirikan oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, rantai pemasaran belum tertata dengan baik yang ditunjukan dengan masih dominannya peran tengkulak, keterbatasan modal usaha dan adopsi teknologi yang rendah serta kemampuan manajemen yang lemah (Akademi Perikanan Sorong, 2004). Informasi dasar tentang potensi lestari dan penyebaran sumberdaya udang penaeid di perairan Kabupaten Sorong Selatan masih sangat terbatas. Padahal informasi tersebut sangat penting untuk menentukan tingkat intensitas dan perencanaan alokasi upaya penangkapan yang optimal.

Pemanfaatan sumberdaya udang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dan juga memenuhi kontinuitas permintaan pasar masa kini dan masa yang akan datang, sehingga peningkatan pemanfaatan sumberdaya udang juga menumbuhkan peningkatan pendapatan nelayan secara optimal. Peningkatan pendapatan yang optimal ditentukan oleh pilihan teknologi yang digunakan dalam operasi penangkapan udang sesuai aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Hal ini penting karena pemanfaatan yang dilakukan haruslah dengan tetap menjaga ketersediaan sumberdaya udang yang berkelanjutan. Faktor-faktor pendukung dan penghambat perikanan udang penaeid perlu diidentifikasi secara holistic dan terintegrasi mulai dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Aspek-aspek tersebut kemudian disinergikan untuk mewujudkan strategi kebijakan pengembangan perikanan udang penaeid sebagai sentra pertumbuhan ekonomi baru yang strategis dan berkelanjutan di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat.

Memperhatikan kondisi tersebut di atas, garis besar permasalahan yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah (1) Tidak adanya data potensi sumberdaya udang penaeid menyebabkan belum diketahuinya kondisi pengelolaan dan peluang pengembangan yang akan dilakukan. (2) Belum diketahuinya faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap usaha perikanan udang serta belum diketahuinya kelayakan usaha. (3) Belum diketahuinya berapa jumlah armada dengan alat tangkap trammel net yang optimal yang beroperasi di


(21)

Kabupaten Sorong Selatan untuk perikanan udang yang berkelanjutan. (4) Belum diketahuinya strategi kebijakan yang tepat dalam pengembangan sumberdaya udang penaeid yang berkelanjutan berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan antara lain :

1. Mengestimasi potensi lestari udang penaeid di perairan Kabupaten Sorong Selatan.

2. Menentukanfaktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi dan kelayakan usaha perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan.

3. Menentukan jumlah unit penangkapan udang penaeid yang optimal di Kabupaten Sorong Selatan

4. Menyusun strategi kebijakan pengembangan perikanan udang penaeid yang berkelanjutan di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat.

1.4 Manfaat

Keluaran dari penelitian ini antara lain :

1. Memberikan informasi yang berkaitan dengan potensi lestari udang penaeid dan tingkat pemanfaatannya sehingga didapatkan komposisi armada penangkapan yang optimum di perairan Kabupaten Sorong Selatan

2. Memberi masukan kepada pemerintah daerah Kabupaten Sorong Selatan mengenai strategi pengembangan perikanan udang penaeid yang dapat diaplikasikan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan udang yang berkelanjutan di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat

3. Sebagai data awal diharapkan dapat digunakan menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya udang di Kabupaten Sorong Selatan.

1.5 Hipotesis


(22)

1.6 Kerangka Pemikiran

Pengembangan perikanan udang merupakan permasalahan sistem yang bersifat kompleks karena terdiri dari banyaknya kepentingan, sasaran, alternatif dan banyaknya faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan. Hal tersebut karena sumberdaya udang di laut bersifat common property (kepemilikan bersama) sehingga sangat rentan terhadap upaya penangkapan yang berlebihan (over fishing), kapasitas yang berlebihan (over capacity) yang dapat menimbulkan konflik atau permasalahan yang saling berpengaruh terhadap aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Berdasarkan hal tersebut maka perlu adanya kebijakan pengelolaan dan pengembangan sumberdaya udang yang berkelanjutan.

Kebijakan pengembangan perikanan udang, tidak bisa dipisahkan dengan faktor sumberdaya yang ada. Upaya pengembangan dapat dilakukan jika informasi mengenai potensi sumberdaya udang, tingkat pemanfaatan serta pengusahaan dari sumberdaya udang diketahui. Tingkat pemanfaatan serta pengusahaan yang lebih besar dari potensi yang ada menyebabkan usaha mengalami kemunduran. Untuk kondisi seperti ini, upaya pengendalian pengelolaan harus menjadi prioritas utama. Salah satu faktor pendorong pengembangan perikanan adalah dengan mengetahui seberapa besar pendapatan yang diperoleh nelayan.

Dalam mencapai sasaran pengelolaan perikanan yang berkelanjutan maka dilakukan berbagai pendekatan yaitu pendekatan biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Output dari berbagai pendekatan yang dilakukan akan digunakan sebagai dasar dalam menentukan kebijakan pengembangan perikanan udang di Kabupaten Sorong Selatan. Identifikasi masalah dilakukan untuk membatasi masalah dengan cara mengidentifikasi keterkaitan antara faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan. Hal ini berguna untuk menyederhanakan konteks kajian sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Data yang dikumpulkan melalui survei lapangan dianalisis untuk mengkaji kondisi perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dilakukan analisis dengan menggunakan analytical hierarchy process (AHP) untuk menentukan alternatif kebijakan dalam pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten


(23)

Sorong Selatan. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 1.

Analitycal hierarchy procces (AHP) Over capacity Over fishing Conflic

Aspek :

• Biologi

• Teknologi

• Sosial

• Ekonomi Common

property

Perikanan udang penaeid

Sasaran pengelolaan perikanan udang yang berkelanjutan

Pendugaan potensi Swept area

Upaya penangkapan

Pendekatan ekonomi R/C ratio, BEP, RoI dan PP

Strategi pengembangan - Pendapatan usaha

- Kelayakan usaha - Potensial yield

- Standing stock - Stock density

- Model produksi

- Alokasi armada penangkapan Prospek perikanan udang penaeid

Armada penangkapan


(24)

2.1 Biologi Udang Penaeid

2.1.1 Sistematika dan identifikasi udang penaeid

Kedudukan udang penaeid secara taksonomi menurut Racek dan Dall (1965), Kubo (1949), Naamin et al., (1992) diacu oleh Nelly (2005) adalah sebagai berikut :

Filum : Arthrophoda Kelas : Crustacea

Sub-Kelas : Malacostraca Series : Eumalacostraca Super-Ordo : Eucarida Ordo : Decapoda Sub-Ordo : Natantia Tribe : Penaeidea Famili : Penaeidae

Sub-famili : Penaeinae

Genus : Penaeus, Metapenaeus,

Parapenaeus, Parapenaeopsis,dll

Morfologi udang penaeid antara lain ditandai dengan warna badannya yang putih kekuning-kuningan atau transparan dan memiliki kulit yang tipis dan tembus cahaya dengan bintik coklat dan hijau. Jenis-jenis udang yang termasuk ke dalam seksi penaeidea dapat dibedakan dari jenis udang lainnya oleh dua ciri utama yaitu pinggir kulit bagian depan pada segmen kedua ditutupi oleh kulit pada segmen pertama, dan tiga kaki jalan yang pertama (periopod) mempunyai capit (chelae) dan hampir sama besarnya. Hampir sebagian besar jenis-jenis udang lainya termasuk ke dalam seksi caridea, dengan ciri antara lain kulit bagian depan dan bagian belakang pada segmen kedua menutupi kulit pada segmen pertama dan ketiga, sedangkan pasangan ketiga kaki jalan (periopod) tidak mempunyai capit (chelae) dan biasanya besarnya tidak sama (Naamin,1984).


(25)

Genus Penaeus mempunyai rostrum dengan gigi-gigi pada bagian ventral (ventral rostral teeth) dan pada bagian distral (last or distral rostral teeth). Genus Parapenaeus tidak memiliki ventral rostral teeth pada rostrum, telson mempunyai sepasang duri tetap (fixed spines) dekat ujung. Genus Metapenaeus tidak memiliki ventral rostral teeth pada rostrum, tidak terdapat sepasang duri tetap (fixed spines) pada telson dan jika terdapat duri pada telson, duri tersebut dapat bergerak (movable spines), tidak terdapat exopod (kaki kecil tambahan yang muncul pada pangkal kaki udang) pada ruas (segment) kaki kelima. Genus Parapenaeopsis tidak memiliki ventral rostral teeth pada rostrum, jika terdapat duri pada telson, merupakan movable spines, terdapat exopod pada ruas kaki kelima (Grey et al., 1983 diacu oleh Nelly 2005). Morfologi udang penaeid disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Morfologi udang penaeid (www.hk-fish.net). 2.1.2 Habitat dan penyebarannya

Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Larva bergerak dari daerah pemijahan di tengah laut ke teluk-teluk dan muara-muara sungai. Udang memasuki lingkungan perairan pantai sebagai pasca-larva. Yuwana ditemukan pada lingkungan muara-muara sungai dan gobah-gobah (Naamin, 1984). Udang bersifat bentik hidup pada permukaan dasar laut. Habitat yang disukai ialah dasar


(26)

laut yang lumer (soft), biasanya terdiri dari campuran pasir dan lumpur. Perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai besar merupakan daerah udang yang baik. Udang penaeid adalah termasuk jenis decapoda yang melepaskan telurnya ke laut secara demersal segera setelah dibuahi. Sedangkan jenis-jenis decapoda lainnya membawa telurnya sampai menetas menjadi larva (Soegiarto et al., 1979).

Pada umumnya udang tertangkap dalam jumlah banyak di perairan yang agak dangkal terutama di daerah-daerah muara-muara sungai. Udang penaeid senang tinggal di daerah dimana terjadi percampuran air sungai dan air laut, karena disini banyak terdapat makanan dan unsur-unsur hara yang dibutuhkan udang. Hutan mangrove merupakan daerah dimana tempat terjadinya pencampuran antara air sungai dan air laut, disamping itu hutan mangrove juga merupakan ekosistem yang khas dan mempunyai corak tersendiri bagi komunitas sumber hayati, termasuk udang melalui jaringan makanannya (food web) yang tidak ada putus-putusnya. Berdasarkan hal tersebut maka wilayah hutan mangrove merupakan habitat yang baik sebagai tempat mencari makanan dan tempat berlindung bagi kehidupan udang (Poernomo, 1968).

Menurut Naamin (1984), udang penaeid hampir secara eksklusif ditemukan pada daerah masuknya air sungai (river discharge) yang biasanya ditandai oleh dasar lumpur yang lunak dan kekeruhan tinggi. Hasil tangkapan udang penaeid berfluktuasi menurut fase bulan dimana hasil tangkapan yang lebih tinggi terjadi sekitar bulan gelap, setengah purnama dan setelah purnama penuh. Sedangkan hasil tangkapan udang penaeid pada waktu siang hari lebih baik atau lebih tinggi dari pada waktu malam hari.

2.1.3 Daur hidup udang penaeid

Dahuri (2003) menguraikan daur hidup udang penaeid dapat dikelompokan menjadi dua fase yaitu fase di tengah laut dan fase di estuaria (sekitar muara sungai). Menurut Naamin (1984), udang dewasa hidup dan berkembang biak di tengah laut. Telur-telur dilepaskan secara demersal dan setelah 24 jam menetas menjadi larva tingkat pertama yang disebut nauplius. Setelah mengalami delapan kali ganti kulit (moulting), nauplius berubah menjadi protozoa. Kemudian protozoa berubah menjadi mysis setelah tiga kali ganti kulit.


(27)

Tingkatan ini masih bersifat planktonis. Setelah berganti kulit sebanyak tiga kali, maka mysis berubah menjadi pasca-larva. Pasca- larva merupakan tingkatan yang sudah mencapai daerah asuhan di pantai dan mulai menuju ke dasar perairan. Pada daerah asuhan, pasca-larva secara bertahap berubah menjadi yuwana setelah beberapa kali ganti kulit. Yuwana ini makan dan tumbuh di daerah asuhan selama tiga sampai empat bulan, kemudian setelah tiga sampai empat bulan tersebut, yuwana berubah menjadi udang muda dan beruaya ke laut. Pada saat di laut udang menjadi dewasa kelamin, kemudian kawin dengan udang betina dan kemudian memijah. Daur hidup udang penaeid dimulai dari saat pemijahan hingga memperoleh individu baru (Gambar 3).

Gambar 3 Siklus hidup udang penaeid(Munro diacu oleh Soegiarto et al., 1979).

Naamin (1984) melanjutkan, daur hidup udang penaeid pada fase di laut dapat diuraikan sebagai berikut:

(1) Seekor udang penaeid betina bertelur kira-kira 100.000 butir, yang diletakkan di dasar laut yang kedalamannya 13-20 cm. Dalam waktu satu jam telur-telur itu akan menetas menjadi larva disebut nauplius

(2) Tingkat nauplius, larva nauplius itu berukuran satu millimeter. Dalam waktu 36 - 48 jam berubah menjadi zoea

(3) Tingkat zoea, zoea ini ditemukan pada semua kedalaman, tapi pada tingkat selanjutnya bergerak mendekati permukaan perairan dan mulai migrasi ke arah pantai


(28)

(4) Tingkat mysis, pada tingkat ini nampak lebih menyerupai udang dewasa dari pada tingkat sebelumnya dimana semua anggota tubuh udang dewasa mulai kelihatan disini.

Fase di estuaria dapat dijelaskan sebagai berikut :

(1) Tingkat post larva, selama musim panas, larva-larva udang mencapai daerah pantai memasuki muara sungai sebagai post larva. Disini mereka harus menyesuaikan diri dengan suhu dan salinitas yang bervariasi antara 4-35 o/oo

(2) Tingkat juvenil, setelah tinggal di muara sungai, maka post larva berkembang menjadi udang muda, yang makan dan tumbuh di muara-muara sungai sampai umur 2 bulan. Setelah dewasa migrasi ke daerah lepas pantai.

Udang penaeid yang memijah di lepas pantai, akan melepaskan telur secara demersal. Setelah 24 jam telur akan menetas menjadi larva (nauplius). Nauplius ini bersifat planktonik, bergerak mengikuti arus dan gelombang menuju daerah asuhan (nursery ground) di daerah pantai, estuary atau muara sungai. Larva udang mengalami metamorfosis menjadi yuwana dalam perjalanannya menuju daerah pantai. Proses metamorfosis dari larva sampai yuwana berlangsung selama tiga sampai empat bulan, sedangkan dari yuwana untuk mencapai udang dewasa diperlukan waktu selama delapan bulan (Munro diacu oleh Soegiarto et al., 1979).

2.1.4 Tingkah laku dan distribusi udang penaeid

Udang mempunyai dua periode tingkah laku yang berbeda yaitu aktif dan pasif. Udang melakukan aktifitas pada malam hari dan membenamkan diri pada siang hari. Menjelang matahari terbit udang membenamkan diri di dalam lumpur atau pasir atau mencari tempat yang agak gelap. Juvenil yang hidup di daerah estuaria menguburkan diri selama siang hari pada dasar yang lembek untuk menghindari gangguan ikan predator sampai tumbuh menjadi udang muda. Migrasi udang dari satu tempat ke tempat lain disebabkan oleh migrasi untuk mencari makanan, migrasi untuk memijah, dan migrasi untuk mempertahankan diri dari perubahan iklim. Dalam usaha pencarian makanannya udang penaeid bersifat omnivora, juga pemakan detritus dan sisa-sisa organik lainnya baik hewani maupun nabati. Dilihat dari kenyataan bahwa udang mempunyai


(29)

pergerakan yang hanya terbatas dalam mencari makan, sedangkan udang selalu menjadi sumberdaya dan hasil tangkapan oleh manusia, maka udang dapat dikatakan mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkungannya, dengan kata lain bersifat tidak terlalu memilih-milih (Soegiarto et al., 1979).

Udang dewasa biasanya terdapat pada perairan pantai yang dangkal. Bila paparan benuanya (shelf) cukup landai dapat mencapai jarak 150 km dari pantai sampai kedalam antara 15 -35 meter. Udang-udang muda (yuwana) dan udang dewasa mempunyai toleransi suhu antara 10-40oC, tapi jarang ditemukan pada 36oC atau lebih. Toleransi salinitas udang-udang muda sampai 5 o/oo dan udang

dewasa jarang terdapat pada perairan dengan salinitas lebih dari 33-36o/oo

(Munro,1968 diacu oleh Naamin, 1984). Perairan yang disenangi adalah yang airnya agak keruh (turbid water) dengan dasar lumpur yang lumer atau campuran pasir dengan lumpur (Unar,1965 diacu oleh Naamin,1984).

Larva udang ternyata melakukan ruaya secara vertikal pada jam-jam gelap, tetapi tingkah laku ini hilang setelah pasca larvanya berada di sungai. Pola kehidupan udang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi lingkungan. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap periode, migrasi musiman. Migrasi yang dilakukan udang ini selalu terjadi dalam siklus hidupnya, mulai dari bentuk telur hingga menjadi udang dewasa. Hal ini terjadi sebagai suatu reaksi terhadap perubahan yang terjadi di dalam tubuhnya, baik itu yang disebabkan faktor luar atau faktor dari dalam dirinya sendiri. Migrasi merupakan suatu upaya yang dilakukan udang untuk memenuhi setiap kebutuhan hidupnya (Gunarso, 1985).

2.2 Teknologi Penangkapan Udang Penaeid dengan Trammel Net

Menurut Purbayanto (2006), trammel net adalah alat tangkap yang terbentuk dari tiga susunan jaring yang dirangkai secara memanjang seperti jaring insang secara umum. Jaring lapisan dalam (inner net) dengan mata jaring berukuran kecil diapit oleh dua lembar jaring lapisan luar (outer net) dengan mata jaring berukuran lebih besar dan berfungsi sebagai bingkai. Tinggi jaring lapisan dalam yang dipasang melebihi tinggi jaring lapisan luar, menyebabkan jaring


(30)

lapisan dalam menjadi sangat kendur (high slackness) sehingga akan memudahkan ikan untuk tertangkap secara terpuntal maupun terjebak kedalam kantong (pocketing) yang dibentuk oleh jaring lapisan dalam. Trammel net udang terbuat dari bahan PA multifilament 210d/2 dan monofilament no.2 untuk jaring bagian dalam dan 2d/6 untuk jaring bagian luar. Ukuran mata jaring bagian dalam 38 mm dan 44 mm, sedangkan ukuran mata jaring bagian luar 162 mm dan 250 mm. Trammel net yang bagian dalamnya terbuat dari nilon monofilament oleh nelayan dinamakan jaring tilek.

Bentuk mata jaring ditentukan oleh nilai pengerutan adalah beda panjang tubuh jaring dalam keadaan terenggang sempurna dengan panjang jaring setelah terpasang pada tali pelampung dan tali pemberat. Nilai pengerutan trammel net udang yang umumnya dipakai oleh nelayan untuk jaring bagian dalam 0.41 sampai 0.67 dan untuk jaring bagian luar 0.25 sampai 0.43. Telah dikatakan bahwa jaring bagian dalam terpasang secara kendor diantara dua panel jaring bagian luar. Ini diakibatkan oleh take up rate. Disebutkan oleh Nomura (1981) bahwa take up rate adalah perbedaan tinggi jaring bagian dalam dan tinggi jaring bagian luar setelah terpasang pada tali pelampung dan pemberat, yang mana bagian dalam lebih tinggi dari bagian luar. Nilai take up rate yang digunakan oleh nelayan di beberapa perairan di Jawa Barat berkisar antara 0.20 sampai 0.45.

Gambar 4 Alat tangkap trammel net (www.damandiri.or.id).

Trammel net menurut cara pengoperasiannya terdiri dari bottom set trammel net dan sweeping trammel net. Cara pengoperasian sweeping trammel net


(31)

adalah salah satu bagian ujung jaring didiamkan dengan jangkar kemudian ujung jaring yang lainnya ditarik dengan kapal dalam bentuk lingkaran. Waktu untuk sekali operasi kira-kira satu jam dan kecepatan penarikan sangat lambat (Nomura dan Yamasaki, 1977). Cara pengoperasian demikian ini lebih produktif daripada cara pengoperasian dengan membiarkan jaring hanyut pada dasar perairan, demikian juga cara pengoperasian ini lebih baik dari cara pengoperasian jaring ditarik lurus menyapu dasar perairan (Puspito, 2002).

Tupamahu (2006) mengatakan pengoperasian sweeping trammel net dilakukan dengan cara jaring ditarik dari salah satu ujungnya seperti yang diilustrasikan pada gambar 5. Penarikan dilakukan di bagian haluan kapal dimana arah kemudi sejajar dengan haluan kapal (kemudi disegel). Waktu yang dibutuhkan mulai dari penarikan sampai dengan hauling adalah 1 jam dengan kecepatan penarikan berkisar antara 1 sampai 1,4 knot. Sweeping trammel net ini dikonstruksikan dari bahan PA monofilament No. 20 untuk jaring bagian dalam, PA multifilament 210d/12 untuk jaring bagian luar dengan tinggi jaring sekitar 1,2 meter. Ukuran mata jaring bagian dalam bervariasi mulai dari 1,5 inch (38,1 mm) sampai 2,0 inch (50,8 mm). Cara pengoperasiannya dilakukan dengan menarik salah satu ujung jaring secara melingkar menyapu dasar perairan sehingga udang penaeid dapat tertangkap.

Gambar 5 Ilustrasi sweeping trammel net ( Tupamahu, 2006).

Pelampung tanda


(32)

2.3 Pendugaan Stok

Gulland (1983) menyatakan bahwa data hasil penangkapan per satuan upaya penangkapan (catch per unit effort; CPUE) dapat digunakan untuk memprediksi perubahan kelimpahan stok. Pengukuran kelimpahan dan perubahannya adalah suatu yang penting dalam pendugaan stok. Oleh karena itu data hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) merupakan langkah dasar yang penting dalam pengukuran tersebut. Metode swept area adalah metode yang digunakan untuk menduga besarnya stok ikan di suatu perairan dengan menyapu suatu area di dasar perairan tertentu dengan menggunakan alat tangkap trawl atau sejenisnya.

Tujuan utama pendugaan stok ikan adalah untuk mengetahui kelimpahan stok di suatu perairan, sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk eksploitasi secara maksimum dari sumberdaya hayati perairan seperti ikan dan udang. Sumberdaya hayati tersebut tersedia dalam jumlah yang sangat terbatas tetapi dapat diperbaharui, namun penangkapan yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan kepunahan. Pendugaan stok ikan dapat digambarkan dari tingkat pengeksploitasian dalam waktu yang cukup lama (Sparre, et al., 1989).

Menurut Pauly (1979), pendugaan stok sumberdaya perikanan tergantung dari habitatnya, yaitu :

1. Ikan-ikan pelagis kecil diduga dengan menggunakan metode akustik.

2. Ikan-ikan karang umumnya diduga dengan metode pembiusan dan metode perhitungan secara langsung.

3. Ikan-ikan demersal diduga dengan metode swept area.

Pendugaan stok ikan di daerah tropis lebih sulit daripada di daerah sub tropis. Hal ini antara lain dikarenakan:

1. Perkiraan di daerah tropis terutama perikanan demersal saling dieksploitasi dalam jumlah spesies yang banyak secara serentak.

2. Negara-negara di daerah tropis pada umumnya mempunyai kemampuan penelitian yang terbatas, sehingga kelestarian sumberdaya perikanan tidak diteliti dengan baik.

Dalam pendugaan besarnya stok ikan terlebih dahulu ditentukan metode survei yang akan dipergunakan. Metode survei yang digunakan ialah simple


(33)

random sampling dan stratified random sampling. Simple random sampling digunakan untuk dristibusi horizontal stok ikan yang akan diduga kelimpahannya dengan asumsi bahwa ikan menyebar seragam dan kelimpahannya tidak dihubungkan dengan kedalaman, sedangkan stratified random sampling digunakan untuk distribusi ikan menurut kedalaman (Sparre et al., 1989).

Rata-rata laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok dianggap proporsional dengan kelimpahan stok di alam. Indeks ini kemudian dikonversikan ke dalam ukuran besar biomassa secara mutlak dengan menggunakan metode swept area. Maksud dari pengkajian stok adalah memberikan saran tentang pemanfaatan sumberdaya hayati perairan yang optimum seperti ikan dan udang. Sumberdaya hayati bersifat terbatas, tetapi dapat memperbaharui dirinya. Stok diartikan sebagai sub gugus dari satu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama dan menghuni suatu wilayah geografis yang sama. Untuk spesies yang kebiasaan ruayanya dekat (terutama spesies demersal, misalnya udang penaeid) lebih mudah untuk menentukannya sebagai satu stok dari pada spesies yang beruaya jauh seperti tuna dan ikan2 pelagis lainnya (Sparre and Venema, 1999).

Selanjutnya Sparre and Venema (1999) menyatakan tujuan penggunaan model schaefer adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield-MSY). Model schaefer termasuk model holistic yang lebih sederhana dibanding model analitik karena model ini memerlukan data yang lebih sedikit, sehingga model ini banyak digunakan dalam estimasi stok ikan di perairan tropis. Model schaefer dapat diterapkan apabila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan atau hasil tangkapan per unit upaya (cath per unit effort) per spesies dan atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang cukup.


(34)

2.4 Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid

Suatu tingkat pemanfaatan yang optimum adalah tingkat pemanfaatan dimana jumlah yang ditangkap sebanding dengan tambahan jumlah atau kepadatan karena perkembangbiakan dan pertumbuhan serta penyusutan karena kematian alami. Untuk mengusahakan agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan terus menerus secara maksimal dalam waktu yang terbatas maka laju kematian karena penangkapan (tingkat pemanfaatan) perlu dibatasi sampai pada suatu titik tertentu. Pengetahuan akan potensi dan tingkat pemanfaatan dari perikanan di suatu perairan merupakan informasi penting untuk membuat suatu perencanaan pengembangan perikanan. Tanpa didasari oleh pengetahuan tersebut, usaha untuk mencapai program perikanan belum tentu dapat dipercayai (Dahuri, 2003).

Dalam pemanfaatan sumberdaya dapat pulih seperti ikan, udang atau hutan mangrove, laju (tingkat) pemanfaatannya tidak boleh melebihi kemampuan pulih (potensi lestari) sumberdaya tersebut dalam periode tertentu. Berdasarkan pedoman dari Direktorat Jendral Perikanan yang mengacu pada code of conduct for resposible fisheries (FAO, 1995), tingkat penangkapan/ pemanenan suatu stok sumberdaya tidak boleh melebihi 80% nilai MSY (JTB, jumlah tangkapan yang diperbolehkan). Selain itu, dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut termasuk udang, prinsip pendekatan berhati-hati (precautionary approach) perlu dipertimbangkan, mengingat sifat-sifat sumberdaya laut yang sangat dinamis dan rentan terhadap kerusakan lingkungan (Dahuri, 2003).

2.5 Model Produksi

Model dalam suatu proses produksi merupakan suatu kombinasi dari berbagai faktor input yang dibutuhkan untuk memproduksi output. Ada dua tahap penting dalam penyusunan model, yaitu mengidentifikasi komponen-komponen yang penting dari sistem dan menentukan hubungan-hubungan fungsi kuantitatif dari komponen (Komarudin, 1995)

Hubungan teknis antara produksi yang dihasilkan per satuan waktu dengan jumlah faktor produksi yang dipakai, tanpa memperhatikan harga-harga baik harga faktor-faktor produksi maupun faktor produksi itu sendiri disebut fungsi


(35)

produksi. Menurut Soekartawi (1994), fungsi produksi didefinisikan sebagai jumlah output maksimum yang dapat dihasilkan dengan menggunakan jumlah input tertentu pada tingkat teknologi tertentu. Secara matematik fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:

) .., ,...,...,. ,

,

(X1 X2 X3 Xn f

Y = Keterangan :

Y = output Xn = input

f = bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input ke dalam output.

Menurut Teken dan Asnawi (1984), dalam persamaan fungsi produksi dapat diterangkan bahwa produksi yang dihasilkan tergantung dari faktor produksinya, tetapi persamaan tersebut belum dapat memberikan hubungan kuantitatif. Fungsi tersebut terlebih dahulu dinyatakan dalam bentuk yang lebih khas seperti fungsi Cobb-Douglas, fungsi linear, kuadratik dan sebagainya.

Fungsi-fungsi produksi yang umum dipakai adalah fungsi linear dan analisis regresi. Dalam persamaan regresi tercakup dua variabel, yaitu variabel tak bebas (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable). Di dalam regresi linear berganda (multiple linear regression), variabel tak bebas (Y) tergantung pada dua atau lebih variabel bebas. Persamaannya dapat ditulis sebagai berikut : n nX b X b X b X b b

Y = 0 + 1 1+ 2 2 + 3 3+...+

Dimana X1, X2, X3, …, Xn melambangkan masing-masing faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan produksi senilai Y.

Soekartawi (1994) menyatakan bahwa fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel. Variabel yang satu disebut variabel dependent yang dijelaskan oleh (Y) dan yang lain disebut variabel independent yang menjelaskan (X). Penyelesaian hubungan antara X dan Y biasanya dengan cara regresi, variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Ada tiga alasan pokok mengapa fungsi Cobb-Douglas banyak dipakai oleh peneliti, yaitu :


(36)

1. Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi yang lain, seperti fungsi kuadratik karena fungsi Cobb-Douglas dapat dengan mudah diubah ke dalam bentuk linear.

2. Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus akan menunjukkan besaran elastisitas.

3. Besaran elastisitas tersebut menunjukkan tingkat besaran skala pengembalian (return to scale).

2.6 Analisis Usaha

Analisis usaha merupakan suatu analisis terhadap biaya dan manfaat didalam suatu usaha yang dilihat dari sudut badan atau orang-orang yang menanam modalnya atau yang berkepentingan langsung dalam usaha tersebut (Kadariah et al., 1978).

Suatu usaha dikatakan sukses bila situasi pendapatannya memenuhi syarat berikut :

1. Cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya angkutan dan biaya administrasi;

2. Cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan, termasuk pembayaran sewa serta dana penyusutan modal; dan

3. Cukup untuk membayar upah tenaga kerja, atau bentuk-bentuk lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah.

Seorang pengusaha dapat membuat perhitungan dan menentukan langkah untuk memperbaiki dan meningkatkan keuntungan dalam perusahaannya dengan analisis usaha. Untuk mendapatkan keuntungan yang besar, dapat dilakukan dengan cara menekan biaya produksi.

Komponen yang digunakan dalam analisis usaha perikanan adalah biaya produksi, penerimaan usaha dan pendapatan yang diperoleh dari usaha perikanan. Pendapatan adalah total penerimaan (total revenue = TR) dikurangi dengan total biaya (total cost = TC). Penerimaan adalah total produksi dikalikan dengan harga per satuan produk. Biaya total adalah seluruh biaya yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah input tertentu.


(37)

2.7 Konsep dan Prinsip Pengembangan Perikanan

Potensi sumberdaya perikanan merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional yang dapat memberikan sumber devisa bagi negara dari sektor non migas melalui peningkatan ekspor. Di samping itu, perikanan sebagai sumberdaya, juga rentan terhadap pemanfaatan oleh manusia secara berlebihan. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi sangat kompleks dengan berbagai macam permasalahan yang memerlukan penyelesaian sangat hati-hati dan berdimensi jangka panjang/strategis. Purwanto (2000) membagi profil perikanan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu :

1. Profil perikanan produktif, perikanan yang mampu mendayagunakan sumberdayanya secara optimal, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia;

2. Profil perikanan stabil, perikanan yang mampu mengatasi segala hambatan dan tantangan, misalnya dalam mengatasi musim paceklik ikan yang panjang; 3. Profil perikanan berlanjut, perikanan yang mampu menyesuaikan pola dan

struktur produksinya terhadap perubahan permintaan masyarakat, perubahan lingkungan hidup maupun perubahan teknologi; dan

4. Profil perikanan terpadu, perikanan yang mampu berperan positif dalam pembangunan nasional dan pembangunan wilayah; peningkatan pendapatan masyarakat nelayan/petani/pengusaha ikan dan perluasan lapangan kerja.

Lebih lanjut Purwanto (2000) mengatakan bahwa perikanan yang tepat dalam mengantisipasi kondisi tersebut adalah (1) suatu profil perikanan yang dapat mendorong pelestarian usaha perikanan dengan menciptakan teknologi tepat guna sesuai daya dukung lingkungan; (2) profil perikanan yang memiliki daya saing komoditi tinggi melalui penekanan daya produksi serta menjaga produk.

Untuk mendukung pembangunan perikanan berdasarkan pokok pikiran pengelolaan perikanan yang berwawasan lingkungan perlu disusun suatu konsep tata ruang wilayah pesisir dan laut dan konsep pengembangan perikanan yang mampu berusaha secara terpadu. Pengembangan perikanan dapat dilakukan melalui pelaksanaan tujuan dasar atau bidang hasil pokok pembangunan perikanan, yaitu :


(38)

1. Mendorong pengembangan perikanan yang berorientasi pasar (demand driven);

2. Mendorong pemanfaatan sumberdaya pantai secara optimal (efficiency); 3. Mendorong pembangunan perikanan berkelanjutan (sustainability); dan

4. Mendorong berkembangnya manajemen perikanan berbudaya industri (quality).

Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu usaha perubahan dari suatu yang dinilai kurang kepada sesuatu yang dinilai baik ataupun dari suatu yang sudah baik menjadi lebih baik. Dengan kata lain pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan.

Menurut Haluan dan Nurani (1988), empat aspek yang harus dipenuhi suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan, yaitu (1) Secara biologi tidak merusak atau menggangu kelestarian sumberdaya; (2) Secara teknis efektif digunakan; (3) Secara Sosial dapat diterima oleh nelayan dan (4) Secara ekonomi bersifat menguntungkan. Satu aspek tambahan yang tidak dapat diabaikan yaitu adanya izin dari pemerintah (kebijakan atau peraturan pemerintah).

Menurut Kesteven (1973) pengembangan usaha perikanan harus mempertimbangkan aspek–aspek bio-technico-socio-economic-approach. Oleh karena itu ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan suatu jenis alat tangkap ikan, yaitu :

1. Aspek biologi, alat tangkap tersebut tidak merusak atau menggangu kelestarian sumberadaya;

2. Aspek teknis, alat tangkap yang digunakan efektif untuk menangkap ikan; 3. Aspek sosial, dapat diterima oleh masyarakat nelayan; dan

4. Aspek ekonomi, usaha tersebut bersifat menguntungkan.

Monintja (1987) menyatakan dalam kaitannya dengan penyediaan protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktifitas unit serta produktifitas nelayan pertahun yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis.

Pengembangan usaha perikanan tangkap di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan, seperti yang


(39)

tergambar dari misi Departemen Kelautan dan Perikanan. Berikut syarat-syarat pengembangan usaha perikanan tangkap :

1. Meningkatkan kesejahteraan nelayan;

2. Meningkatkan jumlah produksi dalam rangka penyediaan sumber protein hewani;

3. Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor; 4. Menciptakan lapangan kerja; dan

5. Tidak merusak kelestarian sumberdaya ikan.

Intensifikasi untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan pada dasarnya adalah penerapan teknologi modern pada sarana dan teknik–teknik yang dipakai, termasuk alat penangkapan ikan, perahu atau kapal dan alat bantu lainnya yang disesuaikan dengan kondisi masing–masing tempat. Namun tidak semua moderinisasi dapat mengahasilkan peningkatan produksi, demikian pula bila tercapai peningkatan produksi, belum tentu mengahasilkan peningkatan pendapatan bersih (net income) nelayan. Oleh karena itu penggunaan teknik– teknik penangkapan ikan yang baru harus didahului dengan penelitian dan percobaan secara intensif dengan hasil yang meyakinkan (Barus et al., 1991).

Selanjutnya Barus et al., (1991) menyatakan bahwa upaya pengelolaaan dan pengembangan perikanan laut di masa datang memang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi dengan pemanfaatan IPTEK, akan mampu mengatasi keterbatasan sumberdaya melalui suatu langkah yang rasional untuk medapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial budaya dan ekonomi.

Kusumastanto (1984), mengemukakan bahwa hal–hal yang perlu dipertimbangkan dalam rencana pengembangan perikanan tangkap adalah :

1. Adanya musim penangkapan ikan yang berbeda sepanjang tahun;

2. Adanya beberapa jenis perikanan tangkap dengan mengkombinasikannya dengan alat tangkap lain;

3. Adanya tingkat teknologi tertentu untuk setiap jenis usaha perikanan tangkap; 4. Adanya harga korbanan dan harga hasil tangkapan dari setiap jenis perikanan


(40)

5. Terbatasnya trip penangkapan yang dapat dilakukan setiap tahunnya;

6. Terbatasnya kemampuan nelayan untuk membiayai usahanya dan melakukan invesatasi dalam unit perikanan tangkap yang dilakukan; dan

7. Terbatasnya tenaga kerja yang mengoperasikan unit penangkapan yang diusahakan.

Djamali dan Burhanuddin (1995) mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan perikanan, perlu didukung oleh suatu perencanaan pembangunan yang lebih didasari atas data dan informasi yang menyeluruh termasuk sumberdaya perikanannya, maupun aspek sosial dan ekonominya. Pengkajian perlu dilakukan secara berkesinambungan agar data dan informasi yang mutakhir dapat selalu tersedia yang dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan kebijaksanaan dalam rangka pengembangan perikananya.

Hartati (1996) mengatakan bahwa jenis teknologi penangkapan ikan yang dapat memenuhi semua kriteria di atas pada suatu daerah perikanan dengan dilakukan penelitian terhadap unit–unit penangkapan ikan yang ada di daerah tersebut. Selain untuk mengarahkan modal nelayan ke arah alat penangkapan ikan yang lebih produktif agar diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya juga untuk pembangunan dan pengembangan perikanan di masa mendatang. Nelayan Indonesia belum dapat memanfaatkan sumberdaya laut dengan benar karena terbentur pada kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan teknologi. Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk dapat memiliki SDM bidang kelautan yang handal memang membutuhkan waktu dan kemauan. Karena itu semua pihak diharapkan ikut berperan serta.

Nuitja (1998) menyatakan bahwa pengetahuan yang tergolong rendah membuat para nelayan kurang memiliki daya nalar untuk menyerap teknologi inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kelautan, ditambah lagi dengan keterbatasan modal usaha yang membuat para nelayan terus terbelit dalam kemiskinan. Selanjutnya peran bidang pendidikan sangat penting artinya bagi stimulasi daya nalar para nelayan, karena penangkapan ikan di laut tidak hanya menuntut kemauan dan ketahanan fisik tetapi juga kemampuan penggunaan teknologi peralatan yang canggih untuk setiap kapal penangkap. Oleh karena itu


(41)

dua masalah ini merupakan kendala utama yang sering dihadapi dalam usaha pengembangan alat penangkapan ikan di Indonesia.

Untuk pengembangan produksi atau pemanfaatan sumberdaya perikanan di masa mendatang, langkah-langkah yang harus dikaji dan kemudian diusahakan

pelaksanaannya adalah (1) Pengembangan prasarana perikanan; (2) Pengembangan agroindustri, pemasaran dan permodalan dibidang perikanan;

(3) Pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan; dan (4) Pengembangan system informasi manajemen perikanan (Ditjen Perikanan, 1994).

Pembangunan perikanan berkaitan erat dengan proses pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan modal yang tersedia. Berdasarkan sifat sumberdaya alamnya, pengembangan usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya perikanan di suatu perairan (Syafrin, 1993).

2.8 Aplikasi Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)

Analytical hierarchy process (AHP) merupakan proses berpikir yang terorganisir untuk permasalahan yang kompleks, rumit dan tidak terstruktur yang memungkinkan adanya interaksi antar faktor, namun tetap memungkinkan untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana. AHP merupakan metode analisis pengambilan keputusan yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas di dalam rancangannya terhadap suatu masalah. AHP merupakan model bekerjanya pikiran yang teratur untuk menghadapi kompleksitas. Metode ini menstruktur masalah dalam bentuk hirarkhi dan memasukkan pertimbangan-pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif (Saaty, 1991).

Metode ini merefleksikan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam ini menjadi satu hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang kita buat. Proses ini membantu untuk memecahkan permasalahan yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarkhi kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan


(42)

menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan berbagai prioritas (Saaty, 1991).

Menurut Nurani (2003) AHP merupakan metode yang applicable untuk digunakan di bidang perikanan dan kelautan. Kekompleksitasan permasalahan di bidang perikanan dan kelautan serta keterbatasan data-data numerik sering menjadi faktor kendala yang menyulitkan dalam pengambilan keputusan. Dengan AHP, kompleksitas masalah dapat disederhanakan dengan pembuatan struktur hirarkhi, memungkinkan bagi penentu kebijakan untuk membuat struktur hirarkhi yang disesuaikan dengan pokok permasalahan.

Selanjutnya Nurani (2003) menjelaskan bahwa metode analisis analytical hierarchy process (AHP) yaitu suatu pendekatan yang digunakan berdasarkan analisis kebijakan yang bertujuan untuk memecahkan konflik yang terjadi sehingga mendapatkan lokasi yang tepat dan optimal bagi pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable). Dalam AHP, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible (yang tidak terukur) kedalam ukuran yang biasa sehingga dapat dibandingkan.

Menurut Saaty (1991) prinsip-prinsip dasar yang harus dipahami dalam menyelesaikan persoalan dengan menggunakan AHP yaitu: (1) menyusun hierarki, (2) menetapkan prioritas dan (3) konsistensi logis. Langkah pertama dalam menetapkan prioritas dari elemen-elemen dalam suatu persoalan keputusan adalah membuat matriks banding berpasang (pairwise comparison). Matriks banding berpasang diisi dengan suatu bilangan yang menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen atas elemen lainnya, berkenaan dengan sifat yang dibandingkan. Bilangan yang digunakan adalah suatu skala nilai dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 1.

Formulasi untuk menentukan vektor prioritas dari elemen-elemen pada setiap matriks dengan menggunakan rata-rata aritmetik sebagai berikut :

=

= n

kj

k aij Nkj

1 ) ( Keterangan :

Nkj : Nilai kolom ke j

aij : Nilai setiap entri dalam matriks pada baris ke i dan kolom ke j n : Jumlah elemen


(43)

Nkj aij Ndij=

Keterangan :

Ndij : Nilai setiap entri dalam matriks yang dinormalisasikan pada baris i dan kolom j

aij : Nilai setiap entri dalam matriks pada baris ke i dan kolom ke j Nkj : Nilai kolom ke j

Penilaian dilakukan dengan pembobotan untuk masing-masing komponen komparasi perpasangan yang dimulai dari level tertinggi sampai terendah. Pembobotan melalui keputusan (judgement) oleh pakar berdasarkan nilai skala komparasi antara 1-9 (Saaty, 1991). Nilai komparasi digunakan untuk mengkuantifikasi data yang bersifat kualitatif.

Tabel 1 Skala banding secara berpasang (Saaty, 1991)

Tingkat kepentingan

Definisi Penjelasan 1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen mempunyai pengaruh

yang sama besar terhadap tujuan 3 Elemen yang satu sedikit lebih

penting dari elemen yang lain

Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibanding elemen yang lain

5 Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain

Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya

7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya

Satu elemen dengan kuat disokong, dominannya terlihat dalam praktek 9 Satu elemen mutlak lebih

penting dari elemen yang lainnya

Bukti yang mendukung elemen satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan Kebalikan Jika elemen i mendapat satu

angka dibandingkan dengan elemen j, maka elemen j mempunyai nilai kebalikan dibandingkan dengan elemen i


(44)

2.9 Letak Geografi, Topografi dan Iklim di Kabupaten Sorong Selatan

Kabupaten Sorong Selatan merupakan kabupaten pemekaran yang diatur berdasarkan Undang-undang nomor 26 tahun 2002. Pemekaran Kabupaten Sorong Selatan ini diresmikan oleh Gubernur Papua pada tanggal 6 Agustus 2003 dengan batas-batas wilayah administratif :

1. Sebelah utara berbatasan dengan Distrik Morait dan Distrik Sausapor Kabupaten Sorong;

2. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Manokwari;

3. Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Seram (Propinsi Maluku); dan 4. Sebelah barat berbatasan dengan Distrik Beraur Kabupaten Sorong.

Luas wilayah Kabupaten Sorong Selatan 59.578 km2 dengan luas laut 32.767 km2. Ibukota kabupaten adalah Kota Teminabuan yang terletak di kawasan pesisir dan berjarak 235 km dari Kabupaten Sorong. Terdiri dari 14 distrik, 210 kampung dan 3 kelurahan. Secara geografis Kabupaten Sorong Selatan ini terletak antara 131°.30’ - 132°.20’ BT dan 001° .10’LS.

Hutan mangrove tersebar disepanjang garis pantai serta perairan umum (hulu/hilir sungai) di Kabupaten Sorong Selatan, diantaranya di Distrik Teminabuan, Inanwatan, Seremuk, Kais dan Kokoda dan kawasan Selat Sele. hutan mangrove didominasi oleh famili Rhizophoraceae, Aonneratiacaeae dan Avicenniaceae. Iklim wilayah Sorong Selatan tergolong iklim tropis monsoon. Musim hujan terjadi saat berlaku monsoon Barat Laut, yaitu pada bulan Desember–Maret. Musim kemarau terjadi saat berlaku monsoon tenggara, yaitu pada bulan Mei – Oktober (Akademi Perikanan Sorong, 2004).

Suhu udara rata-rata berkisar antara 20° - 38° C. Fluktuasi suhu rata-rata tahunan tidak lebih dari 2°C. kecepatan angin berkisar dari lambat hingga sedang (8m/det), dengan frekuensi kejadian kurang dari 2%. Kecepatan angin terbesar umumnya bertiup dari arah barat daya (>15 m/det).Tekanan udara barometrik berkisar dari 998,6 mb – 1.013,0 mb dengan tekanan udara rata-rata 1.006,1 mb. Kelembaban udara rata-rata 84,7% dan intensitas penyinaran matahari sekitar 54,3%.


(45)

2.10 Unit Penangkapan dan Produksi Perikanan Kabupaten Sorong Selatan

Armada penangkapan udang di Kabupaten Sorong Selatan antara lain perahu tanpa motor dan perahu yang menggunakan motor yaitu ketinting, jolor, johnson dan pengangkut kapal perikanan (pkp). Ketinting dan perahu tanpa motor adalah jenis armada yang paling banyak digunakan oleh nelayan di Kabupaten Sorong Selatan. Hal ini menggambarkan usaha perikanan yang ada di Kabupaten Sorong Selatan sebagian besar masih tergolong kecil atau tradisional. Jumlah armada penangkapan di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah armada di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006)

No Armada Jumlah yang ada (unit) Prosentase (%)

1 Perahu tanpa motor 460 72.78

2 Kapal bermesin Ketinting 97 15.35

3 Kapal bermesin Jolor 25 3.96

4 Kapal bermesin Johnson 30 4.75

5 Kapal pkp 20 3.16

jumlah 632 100.00

Jumlah alat tangkap yang digunakan nelayan di Kabupaten Sorong Selatan dikategorikan kedalam 5 alat tangkap yaitu trammel net, gillnet, jala, hand line dan bubu. Dari kelima alat tangkap tersebut, trammel net merupakan alat tangkap yang paling banyak digunakan dalam usaha penangkapan udang. Jumlah alat tangkap di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3 Jumlah alat tangkap di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006)

No Jenis alat tangkap Jumlah (pcs) prosentase (%)

1 trammel net 1071 27

2 gillnet 509 13

3 jala 887 22

4 hand line (unit) 1296 33

5 bubu (unit) 195 5


(46)

Hasil tangkapan yang didapatkan di Kabupaten Sorong Selatan dikategorikan kedalam 4 komoditi yaitu udang penaeid, kepiting bakau, ikan mas dan ikan campuran. Dari keempat komoditi tersebut, komoditi udang penaeid mendominasi jumlah hasil tangkapan dibandingkan komoditi lainnya. Jumlah hasil tangkapan di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah hasil tangkapan di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan, 2006)

No Jenis komoditi Jumlah (ton)

1 Udang penaeid 600

2 Kepiting bakau 250

3 Ikan mas 100

4 Ikan campuran 450

Jumlah 1.400

2. 11 Penduduk

Menurut Anonim (2004), lebih kurang 90% penduduk Kabupaten Sorong Selatan adalah penduduk asli, dan sisanya adalah pendatang (Jawa, Sumatera, Maluku, dan Sulawesi). Jumlah penduduk Kabupaten Sorong Selatan sebanyak 105.763 jiwa terdiri dari 54.163 jiwa laki-laki dan 51.598 jiwa perempuan. Dihubungkan dengan luas kabupaten, maka kepadatan penduduk rata-rata sebesar 4 jiwa /km2.Hal ini mengandung arti bahwa Kabupaten Sorong Selatan memiliki kepadatan penduduk yang masih sangat rendah berdasarkan kriteria BPS (1999) karena kurang dari 200 jiwa/km2.

Penduduk di Kabupaten Sorong Selatan paling banyak berada di Distrik Teminabuan yang merupakan ibukota Kabupaten Sorong Selatan yaitu sebanyak 16.576 jiwa sedangkan jumlah penduduk paling sedikit berada di Distrik Wayer yaitu sebanyak 3.386 jiwa. Distrik Teminabuan sebagai pusat dan gerbang kegiatan ekonomi lebih maju dan berkembang pesat dibanding distrik-distrik yang lain, hal ini disebabkan belum adanya sarana transportasi (jalan darat) yang menghubungkan antar distrik (Akademi Perikanan Sorong, 2004). Jumlah penduduk Kabupaten Sorong Selatan disajikan pada Tabel 5.


(47)

Tabel 5 Jumlah Penduduk Kabupaten Sorong Selatan tahun 2006(Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan 2006)

No. Distrik Laki-Laki Perempuan Jumlah

1 Inanwatan 4,243 4,014 8,258

2 Kokoda 7,740 7,324 15,063

3 Aifat timur 2,026 2,034 4,060

s4 Aifat 2,999 3,012 6,011

5 Aitinyo 4,372 4,139 8,511

6 Moswaren 1,795 1,849 3,644

7 Teminabuan 8,526 8,050 16,576

8 Ayamaru 6,866 6,433 13,302

9 Sawiat 3,234 3,105 6,342

10 Mare 1,891 1,772 3,665

11 Matemani kais 2,030 1,920 3,950

12 Wayer 1,749 1,639 3,386

13 Seremuk 2,993 2,827 5,818

14 Ayamaru utara 3,698 3,479 7,177

Jumlah 54,163 51,598 105,763

Mata pencaharian penduduk di Kabupaten Sorong Selatan pada umumnya (75 %) di sektor perikanan yaitu sebagai nelayan. Adapun Nelayan yang ada di Kabupaten Sorong Selatan terdiri dari nelayan yang menangkap ikan di laut dengan perahu tanpa mesin, armada penangkapan ketinting, jolor, johnson, pkp, dan nelayan pembudidaya ikan. Jumlah nelayan perahu tanpa motor merupakan nelayan paling banyak dengan jumlah 43,13 % atau 710 orang dibandingkan jumlah nelayan-nelayan lainnya. Jumlah nelayan dan proporsinya di Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah nelayan di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2006 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan , 2006)

No kategori nelayan jumlah (orang) Prosentase (%)

1 Nelayan perahu tanpa motor 710 43,13

2 Nelayan perahu bermesin ketinting 168 10,21

3 Nelayan perahu bermesin jolor 164 9,96

4 Nelayan perahu bermesin johnson 83 5, 04

5 Nelayan perahu pkp 95 5,77

6 Nelayan pembudidaya ikan 426 25,88


(48)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei - Nopember 2007, meliputi studi pustaka, survei penelitian, pembuatan proposal, pengumpulan data dan informasi di lapangan, pengolahan dan analisis data serta penyusunan hasil penelitian. Sedangkan lokasi penelitian yaitu di Kabupaten Sorong Selatan Propinsi Irian Jaya Barat (Peta Lampiran 1).

3.2 Bahan dan Alat

Peralatan-peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perahu kayu bermesin ketinting (5,5 PK), alat tangkap jaring trammel net, kompas, timbangan, alat tulis, tape recorder (kaset dan baterai) untuk keperluan peliputan diskusi dan tanya jawab, kamera (film dan baterai) untuk keperluan merekam data fisik dalam bentuk gambar/video, kendaraan bermotor (roda empat atau roda dua) untuk keperluan mobilisasi survei.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka penelitian ini dilakukan dengan metode survei, wawancara dengan pengisian kuesioner dan studi pustaka. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui kegiatan survei, swept area (experimental fishing) dan wawancara dengan pengisian kuesioner oleh responden. Data sekunder diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong Selatan dan dinas-dinas lain yang terkait.

Kegiatan swept area dilakukan untuk mengambil data primer dengan membagi lokasi penelitian menjadi 5 wilayah pengamatan atau strata kedalaman yang tersebar berdasarkan topografi wilayah pesisir, kedalaman yang berbeda dan habitat udang penaeid (Gambar 6). Pemilihan daerah pengamatan tersebut berdasarkan asumsi bahwa daerah tersebut dapat mewakili daerah penangkapan udang di lokasi penelitian. Kedalaman perairan pada kelima strata kedalaman pengamatan dapat dilihat pada Tabel 7.


(49)

II

I

IV III

V


(50)

Tabel 7 Strata kedalaman pada perairan pengamatan

Strata kedalaman Kedalaman

1 3 – 6 m

2 3 – 8 m

3 3 – 10 m

4 10 – 20 m

5 20 – 30 m

Sweeping dilakukan lima kali pada setiap strata kedalaman. Pada masing-masing strata kedalaman diambil lima titik pengamatan sehingga data primer ini diambil dengan 25 kali penebaran/penarikan jaring. Kegiatan swept area yang dilakukan pada penelitian ini dapat diuraikan sebagaimana prosedur operasi penangkapan udang dengan trammel net pada umumnya yang dilakukan nelayan di Kabupaten Sorong Selatan ditambah dengan sedikit perlakuan untuk menentukan luas sapuan trammel net sebagaimana yang ditentukan, sehingga pada penelitian ini bisa dihitung luas sapuan trammel net. Prosedur sweeping yang dilakukan pada penelitian ini sebagaimana ditunjukan pada Gambar 7.

(1) Memasang pelampung tanda pada salah satu ujung jaring

(2) Kapal bergerak menurunkan badan jaring dari posisi pelampung tanda dengan arah lurus sehingga seluruh badan jaring terbentang secara sempurna di perairan

(3) Kapal bergerak menarik ujung jaring dari posisi setting terakhir untuk menyapu (sweeping) dasar perairan yang menjadi habitat udang

(4) Kapal berhenti melakukan sweeping ketika luas area sapuan telah mencapai seperempat lingkaran

(5) Nelayan mengangkat jaring (hauling) dan mengambil hasil tangkapan.

Metode swept area yang dilakukan pada unit penangkapan udang penaeid dengan alat tangkap trammel net di Kabupaten Sorong Selatan ini menggunakan asumsi-asumsi di bawah ini.

1. Badan jaring selama operasi penangkapan terbentang sempurna

2. Kekuatan arus kecil dan tidak mempengaruhi alat tangkap pada saat operasi penangkapan


(51)

3. Populasi udang menyebar merata di seluruh daerah penangkapan di perairan Kabupaten Sorong Selatan.

Ilustrasi kegiatan swept area yang dilakukan pada penelitian yang berlokasi di perairan Kabupaten Sorong Selatan sebagaimana terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Ilustrasi kegiatan swept area.

3.4 Analisis Data

3.4.1Pendugaan jumlah stok udang penaeiddengan metode swept area

Pendugaan jumlah stock udang penaeid dengan metode swept area dilakukan dengan cara menghitung stock density, standing stock dan potential yield yang menggunakan rumus-rumus seperti yang diuraikan di bawah ini.

1. Stock density

Stock density merupakan penentu kepadatan dari rata-rata hasil tangkapan per upaya penangkapan terhadap luas jalur yang dilalui oleh trammel net dengan asumsi bahwa escapment factor (udang yang diperkirakan lolos pada waktu penangkapan) sebesar 0,5 (Sparre et al., 1989). Stock density dapat dihitung dengan rumus persamaan seperti di bawah ini.

SD

/

×

10

−3

×

=

ef

A


(1)

98

Lampiran 8 persamaan fungsi tujuan linear goal programming

: MIN DB1+DA1+DB2+DA2+DB3+DA3+DB4+DB5+DB6+DB7 ? ST

? DB1-DA1+1.208X1+3.451X2+3.316X3+2.302X4=10222 ? DB2-DA2+3.38X1+3.26X2+1.22X3+1.18X4=1500 ? DB3-DA3+845X1+1630X2+1525X3+1180X4=600000 ? X1-DB4>=97

? X2-DB5>=30 ? X3-DB6>=25 ? X4-DB7>=20 ? END

: GO

LP OPTIMUM FOUND AT STEP 7

OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) 9080.41700 VARIABLE VALUE REDUCED COST DB1 9080.417000 .000000

DA1 .000000 2.000000 DB2 .000000 .656204

DA2 .000000 1.343796 DB3 .000000 1.002805 DA3 .000000 .997195

DB4 .000000 1.000000 DB5 .000000 1.000000 DB6 .000000 1.541843 DB7 .000000 1.601949 X1 218.550300 .000000

X2 216.932500 .000000

X3 25.000000 .000000

X4 20.000000 .000000

ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES --MORE-- 2) .000000 -1.000000 3) .000000 -.343796

4) .000000 .002805

5) 121.550300 .000000

6) 186.932500 .000000

7) .000000 -.541843

8) .000000 -.601949

NO. ITERATIONS= 7

DO RANGE(SENSITIVITY) ANALYSIS? ? Y


(2)

99

Lampiran 8 (lanjutan)

RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED: OBJ COEFFICIENT RANGES

VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE

DB1 1.000000 1.908701 1.000000 DA1 1.000000 INFINITY 2.000000 DB2 1.000000 INFINITY .656204 DA2 1.000000 INFINITY 1.343796 DB3 1.000000 INFINITY 1.002805 DA3 1.000000 INFINITY .997195 DB4 1.000000 INFINITY 1.000000 DB5 1.000000 INFINITY 1.000000 DB6 1.000000 INFINITY 1.541843 DB7 1.000000 INFINITY 1.601949 X1 .000000 1.108985 .500391 X2 .000000 .361969 2.139225 X3 .000000 INFINITY .541843 X4 .000000 INFINITY .601949

RIGHTHAND SIDE RANGES

ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE

2 10222.000000 INFINITY 9080.417000 --MORE--

3 1500.000000 609.400100 205.420000 4 600000.000000 102710.000000 152350.000000 5 97.000000 121.550300 INFINITY 6 30.000000 186.932500 INFINITY 7 25.000000 124.877100 25.000000 8 20.000000 172.146900 20.000000

Nilai koefisien dan nilai pembatas pada fungsi kendala LGP Armada penangkapan Fungsi pembatas

ketinting jolor johnson pkp Nilai pembatas

Produksi (ton/tahun) 1,208 3,451 3,316 2,302 10.222 (80% dari MSY)

Es (ton/tahun) 3,38 3,26 1,22 1,18 1.500

BBM (liter/tahun) 845 1.630 1.525 1.180 600.000 Keterangan nilai pembatas :

1. 10.222 ton/tahun adalah jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB, Total Allowable Catch) atau 80% dari MSY (12.778,175 ton/tahun) dengan maksud menjamin kelestarian stok ikan dan keberlanjutan perikanan tangkap (FAO Code


(3)

Lampiran 9 Hasil analytical hierarchy process (AHP)

1. Nilai gabungan aktor dan faktor terhadap pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan

Lowest level SDI SP SDM PP T AK Model

Nelayan 0,325 0,210 0,042 0,237 0,115 0,070 0,462

Pengusaha perikanan 0,354 0,167 0,043 0,268 0,099 0,069 0,160

Pedagang 0,346 0,168 0,042 0,280 0,097 0,068 0,101

Dinas perikanan 0,341 0,190 0,043 0,244 0,104 0,078 0,277

Results 0,336 0,193 0,042 0,248 0,108 0,072

Keterangan :

SDI : Potensi sumber daya ikan SP : Sarana dan prasarana SDM : Potensi SDM

PP : Peluang pasar T : Teknologi AK : Aspek kelembagaan


(4)

Lampiran 9 (lanjutan)

2. Nilai gabungan tujuan terhadap pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan

Lowest level UPB HTT KUM KNN PSL MUB PHT LKM PAD M Model Weight

Potensi SDI 0,166 0,100 0,143 0,325 0,059 0,047 0,088 0,040 0,032 0,167

Sarana dan prasarana 0,161 0,104 0,152 0,328 0,056 0,047 0,086 0,036 0,031 0,167

Potensi SDM 0,180 0,111 0,151 0,299 0,057 0,047 0,087 0,038 0,030 0,167

Peluang pasar 0,181 0,114 0,160 0,269 0,061 0,049 0,090 0,042 0,033 0,167

Teknologi 0,162 0,107 0,146 0,318 0,061 0,050 0,085 0,038 0,033 0,167

Aspek kelembagaan 0,164 0,109 0,135 0,324 0,057 0,049 0,087 0,038 0,037 0,167

Results 0,169 0,106 0,149 0,310 0,059 0,048 0,088 0,039 0,032

Keterangan :

UPB : Usaha penangkapan berkelanjutan HTT : Hasil tangkapan tinggi

KUM : Keuntungan usaha maksimal KNM : Kesejahteraan nelayan meningkat PSL : Potensi SDI lestari

MUB : Mutu udang baik

PHT : Pemasaran dan harga terjangkau LKM : Lapangan kerja meningkat PAD M : PAD meningkat


(5)

Lampiran 9 (lanjutan)

3. Nilai gabungan alternatif strategi kebijakan terhadap pengembangan perikanan udang penaeid di Kabupaten Sorong Selatan

Lowest level PNKAP MPUP MPP MSP MATRL Model weight

Usaha penangkapan berkelanjutan 0,307 0,107 0,086 0,193 0,307 0,111

Hasil tangkapan tinggi 0,346 0,108 0,108 0,167 0,271 0,111

Keuntungan usaha maksimal 0,307 0,107 0,086 0,193 0,307 0,111

Kesejahteraan nelayan meningkat 0,276 0,119 0,097 0,230 0,278 0,111

Potensi SDI lestari 0,319 0,128 0,097 0,181 0,275 0,111

Mutu udang baik 0,275 0,102 0,108 0,199 0,316 0,111

Pemasaran dan harga terjangkau 0,318 0,130 0,104 0,205 0,242 0,111

Lapangan kerja meningkat 0,299 0,144 0,115 0,166 0,276 0,111

PAD meningkat 0,316 0,110 0,096 0,224 0,254 0,111

Results 0,296 0,172 0,118 0,150 0,264

Keterangan :

PNKAP : Pembinaan nelayan dan kerjasama antar pelaku MPUP : Meningkatkan produksi udang penaeid

MPP : Meningkatkan potensi pasar

MSP : Meningkatkan sarana dan prasarana

MATRL : Mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan


(6)

103

Lampiran 10 Simulasi perhitungan pendapatan asli daerah (PAD) dan hasil tangkapan pada kondisi optimum

1) Pendapatan asli daerah (PAD)

Armada penangkapan Pendapatan tahun terakhir setiap armada (Rp) Jumlah armada tahun terakhir Jumlah armada optimum Pendapatan tahun terakhir seluruh armada (Rp) Pendapatan optimum seluruh armada (Rp) ketinting 29.045.833 97 219 2.817.445.801 6.361.037.427

jolor 97.019.833 30 217 2.910.594.990 21.053.303.761

johnson 126.279.071 25 25 3.156.976.775 3.156.976.775

pkp 70.135.571 20 20 1.402.711.420 1.402.711.420

Jumlah 172 481 10.287.728.986 31.974.029.383

Besarnya pendapatan asli daerah (PAD) untuk sektor perikanan di Kabupaten Sorong Selatan diduga sebesar :

• PAD tahun terakhir = 5 % x Rp. 10.287.728.986 = Rp. 514.386.449

• PAD optimum = 5 % x Rp. 31.974.029.383 = Rp. 1.598.701.469

2) Hasil tangkapan

Armada penangkapan HT tahun terakhir setiap armada (ton) Jumlah armada tahun terakhir Jumlah armada optimum HT tahun terakhir seluruh armada (ton) HT optimum seluruh armada (ton)

ketinting 1,208 97 219 117,176 264,552

jolor 3,451 30 217 103,530 748,867

johnson 3,316 25 25 82,900 82,900

pkp 2,302 20 20 46,040 46,040