Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

40 dipergunakan sebaik-baiknya untuk melengkapi peralatan dan kebutuhan mempelai wanita dalam acara perkawinan tersebut. 4 Penyerahan uang kasih sayang Proses ini diawali dengan kesepakatan dari para pihak tentang hari dan tanggal penyerahan uang kasih sayang, serta besarnya uang kasih sayang tersebut. 5 Penentuan waktu dan tanggal penyelenggaraan pernikahan Setelah melalui proses diatas, pihak pria dan wanita akan berunding untuk menentukan hari, tanggal, serta dimana pernikahan akan dilaksanakan. 6 Ijab Kabul Proses pernikahan harus sah menurut agama Islam. 78 Dengan syarat-syarat berikut ini: 1. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan 2. Kedua mempelai haruslah islam, akil baligh dewasa dan berakal, sehat baik rohani maupun jasmani. 3. Harus ada persetujuan diantara kedua calon pengantin 4. Ada wali nikah 5. Ada saksi 6. Membayar mahar 7. Ijab qabul 79

2. Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

Adapun syarat-syarat perkawinan dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu: 1. Syarat Material, yang terdiri dari : 78 Hasil wawancara dengan Tokoh Adat Mandailing, Bapak H.Ibrahim Nasution gelar: Raja Umala pada hari Rabu, 18 Juli 2012, jam 11.00 WIB 79 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hal.53 Universitas Sumatera Utara 41 a. Syarat Material Absolut Adapun syarat-syarat yang menyangkut pribadi seseorang yang wajib diperhatikan di dalam melaksanakan perkawinan disebut syarat material absolut yang terdiri dari : 1 Asas monogami 2 Persetujuan antara kedua calon suami istri 3 Memenuhi syarat umur minimal 4 Izin dari orang tertentu di dalam melakukan perkawinan. 80 Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 menyebutkan bahwa: “Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.” Namun, walaupun demikian Undang-Undang Perkawinan tidak menutup kemungkinan seorang suami beristri lebih dari seorang karena berdasarkan Pasal 4 ayat 2 menyatakan bahwa seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan izin pengadilan, apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. Istri tidak dapat memberikan keturunan Mengenai persetujuan antara kedua belah pihak diartikan bahwa perkawinan harus berdasarkan atas dasar kesepakatan dan tidak ada unsur paksaan dalam bentuk apapun. 80 Ibid, hlm. 6-7 Universitas Sumatera Utara 42 Untuk melangsungkan perkawinan, syarat umur minimal adalah pria sudah mencapai umur 19 tahun sedangkan wanita mencapai umur 16 tahun dan harus mendapat izin dari orang tuanya. Sedangkan bagi seorang yang sudah mencapai umur 21 tahun tidak perlu lagi mendapat izin dari kedua orang tuanya. 81 Mengenai tenggang waktu bagi seorang perempuan diatur lebih lanjut dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 yaitu: a. Waktu tunggu bagi seorang janda, ditentukan sebagai berikut: Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 sembilan puluh hari. Apabila perkawinan putus dan janda dalam keadaan hamil, tunggu ditetapkan sampai melahirkan. b. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang perkawinannya putus karena perceraian sedang antara janda tersebut dan bekas suaminya belum terjadi hubungan kelamin. Jadi, perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu ini dimaksudkan agar tidak terjadi percampuran darah antara bayi yang sudah ada di dalam rahim ibunya atau diduga bakal timbul dalam rahim ibunya sehingga dapat ditentukan dengan mudah siapa ayah biologisnya. 81 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003. hlm.53 Universitas Sumatera Utara 43 b. Syarat Material Relatif Syarat material yang bersifat khusus relatif memuat ketentuan-ketentuan yang merupakan larangan bagi para pihak untuk melangsungkan perkawinan Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan yaitu: 1 Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah ataupun ke atas. 2 Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3 Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibubapak tiri. 4 Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibipaman susuan. 5 Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. 6 Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. 7 Seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain. 82 2. Syarat Formal 83 Syarat Formal memuat tentang cara atau prosedur melangsungkan perkawinan yang erat kaitannya dengan penegasan terhadap perkawinan yang akan dilangsungkan oleh kedua calon suami istri. Hal ini seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu: a. Harus ada pemberitahuan kepada pegawai pencatatan perkawinan di tempat perkawinan itu dilangsungkan. b. Setelah pemberitahuan kepada pegawai pencatatan perkawinan harus ada pengumuman oleh pegawai pencatatan perkawinan tentang akan dilangsungkannya perkawinan. 82 Ibid hlm 62-63 83 Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 1991 hlm.6 Universitas Sumatera Utara 44 c. Perkawinan harus dapat dilaksanakan setelah lewat 10 hari pemberitahuan diumumkan kecuali dalam hal-hal tertentu yang harus dengan persetujuan Camat atau Bupati. d. Perkawinan harus dilangsungkan di muka umum, artinya dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi dan bila hendak dilaksanakan di luar ketentuan di atas harus ada pemberitahuan terlebih dahulu. 84 Menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa “perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.” Lebih lanjut dalam penjelasannya disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: 1 Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa 2 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Dari ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan jelas terlihat bahwa Undang-Undang Perkawinan menentukan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaannya masing-masing pemeluknya. Setelah perkawinan dilangsungkan menurut cara masing-masing agama dan kepercayaannya, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan 85 sebagaimana menurut ketentuan Pasal 2 ayat 2 yang berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”. 84 Sudarsono, Op.Cit hlm.15-17 85 Hilman Hadikusuma, Op.Cit. hlm.88 Universitas Sumatera Utara 45 Pengertian perkawinan dengan melihat Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tidak lagi hanya merupakan “perbuatan hukum” saja akan tetapi juga merupakan “perbuatan keagamaan”. Perbuatan hukum ditandai dengan dilaksanakannya pencatatan perkawinan, dan sebagai perbuatan keagamaan ditandai dengan dilaksanakannya perkawinan menurut ketentuan agama yang dianut oleh calon mempelai. 86 Perkawinan di Indonesia, terdiri dari perkawinan yang tercatat dan yang tidak tercatat. Pencatatan perkawinan di Indonesia senantiasa menjadi topik menarik karena ragam pendapat senantiasa muncul, baik sebelum terbentuk UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan maupun sesudahnya. Berdasarkan kitab-kitab yang dijadikan pedoman oleh Departemen Agama 87 dalam menyelesaikan perkara dalam lingkungan Peradilan Agama, tidak terdapat ulama yang menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah pencatatan, baik sebagai syarat sah maupun sebagai syarat pelengkap. Akan tetapi, dalam undang-undang perkawinan yang diberlakukan, pasal yang mengatur pencatatan perkawinan itu ada, sebagai bagian dari pengawasan perkawinan yang diamanatkan oleh undang-undang. 88 86 http:fh.unsoed.ac.idsitesdefaultfilesfilekudokumenVOL10S201220Trusto20Subeti.pdf diakses tanggal 1 November 2012 jam 9.14WIB 87 Pada tahun 1953, Departmen Agama menetapkan 13 tiga belas kitab fikh yang dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama. Tiga belas kitab tersebut adalah: 1 Al-Bajuri, 2 Fathal- Mu’in, 3Syarqawi ‘ala al-Tahrir, Syar’iyyat Utsman Ibn Yahya, 4al-Mahalli, 5 Fath al-Wahab, 6 Tuhfat, 7 Tagrib al-Musytaq, 8 Qawanin al Syari’yyat Utsman Ibn Yahya, 9 Qawanin al-Syar’iyyat Shadaqat Di’an, 10 Syamsuri fi al Fara’id, 11 Bugyat al-Mustarsyidin,12 al Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, dan 13 Mugni al-Muhtaj. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65tahun Prof.Dr.Bustanul Arifin,S.H, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm 11. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, 2005, hlm.33 88 Ibid,hlm 69 Universitas Sumatera Utara 46 Seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu: a. Harus ada pemberitahuan kepada pegawai pencatatan perkawinan di tempat perkawinan itu dilangsungkan. b. Setelah pemberitahuan kepada pegawai pencatatan perkawinan harus ada pengumuman oleh pegawai pencatatan perkawinan tentang akan dilangsungkannya perkawinan. c. Perkawinan harus dapat dilaksanakan setelah lewat 10 hari pemberitahuan diumumkan kecuali dalam hal-hal tertentu yang harus dengan persetujuan Camat atau Bupati. d. Perkawinan harus dilangsungkan di muka umum, artinya dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi dan bila hendak dilaksanakan di luar ketentuan di atas harus ada pemberitahuan terlebih dahulu. 89 Perkawinan yang sah dilakukan menurut syarat-syarat yang berlaku. Hukum positif di bidang perkawinan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sehingga untuk sahnya suatu perkawinan harus didasarkan pada ketentuan- ketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut. Menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa “Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.” Lebih lanjut dalam penjelasannya disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: 1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa 89 Sudarsono, Op.Cit hal. 15-17 Universitas Sumatera Utara 47 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Dari ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jelas terlihat bahwa Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menentukan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya. Setelah perkawinan dilangsungkan menurut tata cara masing-masing agama dan kepercayaannya, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. 90 Pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu perkawinan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu syarat yang diakuinya suatu perkawinan oleh negara. Bila suatu perkawinan tidak dicatat maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut. Bagi mempelai pria dan wanita dan petugas agama yang melangsungkan perkawinan tersebut dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975. 91 Peraturan pelaksana UU No.1 tahun 1974, yaitu Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dalam Pasal 2 antara lain menyebutkan bahwa: 1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan, sebagaimana dimaksud dalam UU No.32 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama setempat KUA daerah di mana perkawinan dilaksanakan 90 Hilman Hadikusuma, Op,Cit hal.88 91 Abdurrahman, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1978,hal 15-16 Universitas Sumatera Utara 48 2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. 92 Dengan adanya Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 ini, maka pencatatan perkawinan dilakukan oleh 2 dua instansi pemerintah, yaitu: 1. Kantor Urusan Agama KUA, bagi mereka yang beragama Islam 2. Kantor Catatan Sipil KCS bagi mereka yang bukan beragama Islam Menurut Suidus Syahar yang menyatakan bahwa pada hakekatnya tujuan dari Pencatatan perkawinan antara lain: a. Agar ada kepastian hukum dengan adanya alat bukti yang kuat bagi yang berkepentingan mengenai perkawinannya sehingga memudahkannya dalam melakukan hubungan dengan pihak ketiga. b. Agar lebih terjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan kekeluargaan sesuai dengan akhlak dan etika yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan negara. c. Agar ketentuan Undang-Undang yang bertujuan membina perbaikan sosial lebih efektif. d. Agar norma keagamaan dan adat serta kepentingan umum lainnya sesuai dengan dasar negara Pancasila lebih dapat ditegakkan. 93 Perkawinan tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan hukum yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang, karena terdapat kecenderungan kuat dari segi sejarah hukum perkawinan, bahwa perkawinan tidak tercatat termasuk perkawinan ilegal. Meskipun demikian, dalam Pasal 5 ayat 1 KHI terdapat informasi implisit bahwa pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah perkawinan; tetapi sebagai alat untuk menciptakan ketertiban perkawinan. Oleh karena itu dalam Pasal 7 ayat 3 92 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal.75 93 Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya, Alumni, Bandung,1981 hal 108 Universitas Sumatera Utara 49 KHI diatur mengenai itsbat nikah bagi perkawinan tidak tercatat. Dengan kata lain, perkawinan tidak tercatat adalah sah, tetapi kurang sempurna. Ketidaksempurnaan itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat 3 KHI. Dalam penjelasan umum Pasal 7 KHI bahwa pasal ini diberlakukan setelah berlakunya undang-undang peradilan agama. Perkawinan tidak tercatat secara agama adalah sah manakala memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Meskipun demikian, karena pernikahan tersebut tidak tercatat, maka dalam hukum positif dianggap tidak sah, karena tidak diakui negara dasarnya Pasal 1 ayat 2 UU No.1 tahun 1974. 94 Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan gender. Perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. 95 Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai perlindungan negara kepada pihak- pihak dalam perkawinan, dan juga untuk menghindari kecenderungan dari inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurnautuh pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut. 96 Negara mengatur syarat-syarat perkawinan sebagai upaya positifisasi norma ajaran agama 94 Moh Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor.1 tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam,Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2002, hlm.224 95 M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta, Lentera Hati,2006,hlm.216 96 Putusan MK Nomor 46PUU-IIV2010 tanggal 27 Pebruari 2012, hlm.40 Universitas Sumatera Utara 50 atau kepercayaan dalam hukum perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dirumuskan oleh negara, yang pemenuhannya menjadi syarat pencatatan nikah sekaligus syarat terbitnya Akta Nikah, dapat ditemukan dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan lainnya yang terkait dengan perkawinan dan administrasi kependudukan. 97

C. Tata Cara Melangsungkan Perkawinan 1.

Sistem dan Bentuk Perkawinan Adat Mandailing Menurut paham ilmu bangsa-bangsa etimologi dilihat dari keharusan dan larangan mencari calon istri bagi seorang pria, perkawinan itu dapat berlaku dengan sistem endogami dan sistem eksogami yang kebanyakan dianut oleh masyarakat hukum adat bertali darah dan atau dengan sistem eleutherogami sebagaimana berlaku di kebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi hukum Islam. 98 Oleh karena itu, sistem perkawinan pada masyarakat hukum adat di Indonesia dibedakan menjadi tiga, yaitu: a. Sistem Endogami Pada sistem ini, seseorang hanya diperbolehkan kawin dalam keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini hanya ada di daerah Toraja, namun sebenarnya sistem ini tidak sesuai dengan sistem kekerabatan di daerah itu yaitu parental atau bilateral b. Sistem Eksogami Pada sistem ini seseorang harus kawin dengan orang dari luar suku keluarganya. Sistem ini terdapat di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram. c. Sistem Eleutherogami Pada sistem ini tidak dikenal adanya larangan-larangan atau keharusan- keharusan kawin dengan kelompok tertentu. Larangan-larangan yang ada 97 Ibid 98 Hilman Hadikusuma, Op,Cit, hal.61-63 Universitas Sumatera Utara 51 hanyalah yang berkaitan dengan ikatan darah atau kekeluargaan yang dekat. Sistem ini terdapat di daerah Aceh, Sumatera Timur, Sulawesi Selatan, Minahasa, Ternate, Irian Barat, Bali, Lombok, Bangka-Belitung, Kalimantan dan seluruh Jawa Madura. 99 Dikarenakan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat Indonesia berbeda, terdapat pula berbagai bentuk perkawinan yang berbeda pula, yaitu perkawinan jujur pada masyarakat patrilineal, perkawinan semanda dalam masyarakat matrilineal dan perkawinan mentas pada masyarakat parentalbilateral. Sebagaimana diketahui bahwa perkawinan di Mandailing adalah perkawinan manjujur, dimana pihak laki-laki berkewajiban memberi sesuatu yang berharga berupa barang atau uang kepada pihak perempuan. 100 Ada beberapa variasi dalam bentuk perkawinan ini, yaitu: 1. Perkawinan ganti suami Terjadinya perkawinan ganti suami leviraat huwelijk ini dikarenakan suami wafat maka istri harus kawin dengan saudara suaminya yang wafat. Namun pembayaran uang jujur tidak diperlukan lagi karena istri masih tetap berada dalam lingkungan kerabat suaminya. 2. Perkawinan ganti istri Terjadinya perkawinan ganti istri vervolg huwelijk ini adalah kebalikan dari perkawinan leviraat yaitu dikarenakan istri wafat maka suami kawin dengan saudara istrinya yang wafat itu. Pembayaran uang jujur juga tidak diperlukan lagi karena jujur telah diberikan ketika mengambil istri yang wafat. 99 Surojo Wignjodipuro, Op.Cit hal.159-160 100 H. Pandapotan Nasution ,Op.Cit, hal.330 Universitas Sumatera Utara 52 3. Perkawinan mengabdi Terjadinya perkawinan mengabdi dienhuwelijk terjadi karena ketika diadakan pembicaraan lamaran, ternyata pihak pria tidak dapat memenuhi syarat-syarat permintaan dari pihak perempuan, sedangkan pihak laki-laki atau kedua pihak tidak menghendaki perkawinan semanda lepas. Oleh karena itu, setelah perkawinan suami akan terus menerus bertempat di kediaman atau berkedudukan di pihak kerabat istrinya. Uang jujur tidak perlu dilunasi karena pihak laki-laki tersebut telah melunasinya dengan mengabdi kepada kerabat isterinya. Bentuk pengabdian ini misalnya membantu pekerjaan mertua dalam pertanian, perdagangan, atau mengurus adik-adik isteri sampai mereka dewasa dan dapat berdiri sendiri. 4. Perkawinan ambil beri Terjadinya perkawinan ambil beri ruilhuwelijk adalah perkawinan yang terjadi di antara kerabat yang sifatnya simetris, yaitu pada suatu masa kerabat A mengambil istri dari kerabat B dan pada amsa yang lain kerabat B mengambil istri dari kerabat A. Ini dilakukan di Lampung, Ambon, Sulawesi Selatan bagian Timur, Pulau Sawu, dan Irian Barat. 5. Perkawinan ambil anak Terjadinya perkawinan ambil anak inlifhuwelijk adalah perkawinan yang terjadi dikarenakan hanya mempunyai anak wanita tunggal maka anak wanita itu mengambil pria dari anggota kerabat untuk menjadi suaminya dan Universitas Sumatera Utara 53 mengikuti kerabat istri untuk selama perkawinannya guna menjadi penerus keturunan pihak istri. 101

2. Larangan Perkawinan Menurut Hukum Adat Mandailing