Terhadap Eksistensi Perkawinan Adat Pada Masyarakat Mandailing Di Kota Medan

66

3. Terhadap

Harta Benda yang diperoleh Sebelum Maupun Selama Perkawinan Mengenai harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan. Hal ini diatur dalam pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan. a. Harta bawaan Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri ke dalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan. Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami dan isteri. Artinya seorang suami atau isteri berhak sepenuhnya untk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya masing-masing. Tetapi bila suami isteri menentukan lain yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan misalnya, maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian pula bila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 121 b. Harta bersama Sesuai dengan definisi ayat 1 Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan yang disebut harta bersama ini ialah segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta pecaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang biasa disebut harta syarikat. 121 http:www.lnh-apik.or.idfact20-20pemisahan20harta20perk.htm diakses pada tanggal 12 September 2012 pukul 16.48 WIB Universitas Sumatera Utara 67 Pada dasarnya berdasarkan hukum adat harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya akan menjadi harta bersama diantara suami isteri, meskipun masih terdapat variasi, misalnya kebiasaan di daerah Jawa, seorang lelaki yang miskin kawin dengan seorang wanita yang kaya, maka dalam hal ini juga tidak terwujud lembaga kekayaan bersama. 122 Sebab kekayaan yang timbul dalam perkawinan itu dianggap sebagai hasil dari modal kekayaan isteri. Adapun untuk mengetahui luas batas-batas harta bersama ini disamping penting untuk kedua belah pihak suami-isteri, juga penting untuk pihak ketiga sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang No.11974, maka luasnya harta bersama: 1. Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan sekalipun harta atau barang diatas terdaftar atas nama salah seorang suami atau isteri, maka harta yang atas nama suami atau isteri dianggap sebagai harta bersama. 2. Kalau harta itu diusahakan dan telah dialihkan namanya keatas nama orang lain, jika harta yang demikian dapat dibuktikan hasil yang diperoleh selama masa perkawinan, maka harta tersebut harus dianggap harta bersama suami isteri. 3. Adanya suatu kaedah bahwa adanya harta bersama istri harus ikut aktif membantu terwujudnya harta bersama, yang menjadi prinsip asal harta itu terbukti diperoleh selama masa perkawinan. Rumusan kaedah ini belum 122 M.Yahya Harahap, Op.Cit hal.117 Universitas Sumatera Utara 68 memenuhi suatu keseimbangan yang adil berdasarkan kepatutan, rumusan itu menguntungkan isteri. 4. Harta atau rumah yang dibangun atau dibeli sesudah terjadi perceraian dianggap harta suami isteri jika biaya pembangunan atau pembelian barang tersebut diperoleh dari hasil usaha bersama selama perkawinan. 5. Harta yang dibeli baik oleh suami atau isteri ditempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah harta bersama suami isteri jika pembelian itu dilakukan selama perkawinan. 6. Barang yang termasuk harta bersama suami isteri: a. Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan, termasuk penghasilan yang berasal dari barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan oleh harta bersama itu sendiri. b. Demikian juga segala penghasilan pribadi suami-isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai. 7. Jika seorang suami meninggal dunia dan sebelum meninggal dunia mereka telah mempunyai harta bersama, kemudian isterinya kawin lagi dengan laki- laki lain, keadaan seperti ini harta bersama tetap terpisah antara suami yang telah meninggal dengan isteri yang akan diwarisi oleh keturunan-keturunan mereka dan adatidak ada hak anak keturunan yang lahir dari perkawinan isteri dengan suaminya yang kedua. Demikian juga sebaliknya jika isteri yang Universitas Sumatera Utara 69 meninggal maka harta bersama yang mereka peroleh terpisah dari harta yang diperoleh kemudian setelah perkawinan suami dengan isteri yang kedua. Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan menurut UU Perkawinan No.1 tahun 1974, diantaranya: 1. Timbul harta bawaan dan harta bersama 2. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun. 3. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan unuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama Pasal 35 dan 36. Mengenai luas harta bersama dengan jelas telah ditegaskan dalam Pasal 35 ayat 1 yang hanya diperlukan satu syarat, yaitu harta itu diperoleh selama perkawinan. Oleh karena itu, menurut M. Yahya Harahap yang termasuk harta bersama suami-istri adalah: 1. Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan, termasuk penghasilan yang berasal dari barang-barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan harta bersama itu sendiri. 2. Demikian juga segala penghasilan pribadi suami istri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai. 123 Menurut Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, untuk melindungi istri 123 M. Yahya Harahap, Pembahasan Undang-Undang Perkawinan Nasional, Zahir Trading Co, Medan 1975. Hlm 121 Universitas Sumatera Utara 70 terhadap kekuasaan suami yang sangat luas atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si istri, dapat dilakukan pemisahan kekayaan yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan ini dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat secara tertulis oleh kedua calon mempelai atau persetujuan bersama. 124 Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan tidak menyebutkan secara spesifik hal-hal yang dapat diperjanjikan, kecuali menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melangar batas-batas hukum dan kesusilaan. Hal ini berarti semua hal asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan dapat dituangkan dalam perjanjian tersebut termasuk tentang harta sebelum dan sesudah kawin, atau setelah bercerai. 125 Pemisahan kekayaan lewat perjanjian perkawinan menurut Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam. Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat para pihak dan pihak ketiga terhitung tanggal mulai dilangsungkannya perkawinan di hadapan pegawai pencatat perkawinan menurut Pasal 29 ayat 3 UU Perkawinan dan Pasal 50 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Isi perjanjian tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung kecuali ada persetujuan kedua belah pihak untuk merubah dan tidak 124 http:www.lnh-apik.or.idfact20-20pemisahan20harta20perk.htm diakses pada tanggal 12 September 2012 pukul 16.48 WIB 125 Ibid Universitas Sumatera Utara 71 merugikan pihak ketiga, menurut Pasal 29 ayat 4 UU Perkawinan. 126 Jika terjadi pelanggaran mengenai pemisahan harta kekayaan dalam perjanjian perkawinan, isteri berhak meminta pembatalan perkawinan atau mengajukannya sebagai alasan gugatan cerai di Pengadilan Agama Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam. Harta perkawinan dalam hukum adat menurut Ter Haar, dapat dipisah menjadi empat macam, sebagai berikut: a. Harta yang diperoleh suami atau isteri sebagai warisan atau hibah dari kerabat masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan. b. Harta yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan. c. Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri sebagai milik bersama. d. Harta yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan. 127 Dalam hukum adat Mandailing, apabila perkawinan telah dilaksanakan, otomatis bersatulah harta istri dan harta suami seperti yang dikenal dengan istilah harta bersama. 128 Sedangkan untuk harta bawaan adalah semua harta warisan yang berasal dari bawaan suami atau bawaan istri sebelum melangsungkan perkawinan. Jenisnya dapat berupa barang yang tidak bergerak maupun bergerak, mungkin berasal 126 Ibid 127 http:www.badilag.netdataARTIKELHarta20Bersama20art.pdf diakses tanggal 6 Desember 2012 jam 9.26 WIB 128 Hasil wawancara dengan tokoh adat Mandailing, Bapak H.Ibrahim Nasution gelar: Raja Umala, pada hari Sabtu, 8 Desember 2012,jam 11.00WIB Universitas Sumatera Utara 72 dari bagian harta pustaka atau warisan dari orangtua atau kerabat masing-masing suami atau istri, bisa juga berasal dari pemberian atau hibah dari anggota kerabat, tetangga, sahabat atau berupa hibah wasiat, termasuk hak-hak pakai dan hutang piutang lainnya yang dibawa oleh masing-masing suami atau istri ke perkawinan mereka. 129 Pada masyarakat patrilineal yang melaksanakan perkawinan jujur, istri ikut dan tunduk pada hukum kekerabatan suaminya, maka yang disebut harta bawaan adalah barang-barang yang dikuasai suami dan dimilikinya adalah harta penunggu atau harta penanti suami. 130 129 Hasil wawancara dengan tokoh adat Mandailing, Bapak H.Ibrahim Nasution gelar: Raja Umala, pada hari Sabtu, 8 Desember 2012,jam 11.00WIB 130 Hasil wawancara dengan tokoh adat Mandailing, Bapak H.Ibrahim Nasution gelar: Raja Umala, pada hari Sabtu, 8 Desember 2012,jam 11.00WIB Universitas Sumatera Utara 73

BAB III EKSISTENSI PERKAWINAN ADAT MANDAILING

DI KOTA MEDAN A. Perkawinan Adat Mandailing di Kota Medan 1. Faktor Utama Masyarakat Adat Mandailing Melakukan Perkawinan Adat Masyarakat adat dalam hal ini masyarakat adat Mandailing mempunyai faktor utama dalam melaksanakan perkawinan dalam bentuk adat. Yaitu untuk mempertahankan kebudayaan dan tradisi adat Mandailing tersebut. 131 Sering juga masyarakat adat ingin menunjukkan status sosial mereka melalui perkawinan adat yang dilakukan. Maksudnya semakin besar pesta yang digelar, maka semakin tinggi status sosial mereka di lingkungan sekitar. Kebesaran dari acara perkawinan menurut adat Mandailing itu dapat dibagi menjadi 3 tiga bahagian, yaitu: 1. Horja Godang Horja Godang merupakan perayaan terbesar dimana dalam pelaksanaannya diwajibkan untuk memotong seekor kerbau. Bedanya apabila menggunakan kerbau, maka pada acara mengupa ditambahkan pemotongan kerbau. Dalam pangupa ini kepala kerbau dengan hati dan berbagai bagian dari kerbau yang disebut ganan-ganan tidak perlu dimasak sedangkan bahan yang disebut terdahulu tetap dimasak. Kepala 131 Hasil wawan cara dengan Tokoh Adat Mandailing, Bapak H.Ibrahim Nasution gelar: Raja Umala pada hari Rabu, 18 Juli 2012, jam 11.00 WIB 73 Universitas Sumatera Utara 74 kerbau tidak boleh cacat. Dan dalam pangupa ini, ayam tetap diikutkan. Hal ini disebut dengan pangkatiri. 2. Horja Menengah Horja menengah merupakan perayaan menengah dimana dalam pelaksanaannya diwajibkan untuk memotong seekor kambing. Dalam acara ini, pangupa menggunakan telur, kepala kambing, hati kambing, nasi putih, sayur daun ubi, air bening. 3. Horja Kecil Horja kecil merupakan perayaan terkecil di mana dalam pelaksanaannya diwajibkan memotong seekor ayam. Dalam acara ini, pangupa dilakukan dengan bahan telur, ayam, daun ubi, air bening dalam keadaan sudah dimasak. Tradisi ini masih dilakukan masyarakat adat dalam melaksanakan pernikahan. Dan beberapa kalangan masih menganggapnya sebagai suatu kewajiban. Masyarakat Mandailing di dalam pelaksanaan adat dan hukum adatnya menggunakan satu struktur sistem adat yang disebut Dalihan Natolu tungku yang tiga, yang mengandung arti bahwa masyarakat Mandailing menganut sistem sosial yang terdiri atas Kahanggi kelompok orang semarga, Mora kelompok kerabat pemberi anak gadis dan Anak Boru kelompok kerabat penerima anak gadis. Ketiga unsur ini senantiasa selalu bersama dalam setiap kegiatan adat, seperti Horja perkerjaan, yaitu tiga jenis: Universitas Sumatera Utara 75 a. Horja Sinaon adalah kegiatan kegembiraan meliputi upacara kelahiran tubuan anak, memasuki rumah baru Marbongkoy bagas na imbaru, dan mengawinkan anak haroan boru. b. Horja Siluluton upacara kematian c. Horja Siulaon gotong royong 132 Apabila salah satunya tidak mendukung, maka dengan sendirinya upacara adat tidak boleh atau tidak dapat diselenggarakan. Keadaan yang demikian itu menunjukkan dan membuktikan bahwa dalam kehidupan masyarakat Mandailing adat dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial Dalian Natolu. Oleh karena itu, adat masyarakat Mandailing disebut adat Dalian Natolu. Dasar dari adat Dalian Natolu sebagai pranata hidup masyarakat Mandailing ialah olong cinta dan kasih sayang dan domu keakraban. Untuk membuat olong cinta dan kasih sayang dan domu keakraban menjelma atau terwujud dalam kehidupan masyarakat Mandailing, diciptakan adat yang dilandasi oleh ketentuan-ketentuan dasar yang diisi dengan kaidah-kaidah dan hukum. Dan dalam kehidupan masyarakat Mandailing adat harus dijalankan menurut tata pelaksanaan adat dengan menggunakan suatu sistem sosial yang dinamakan Dalian Natolu tumpuan yang tiga sebagai mekanismenya. 133 Perkawinan adat memiliki nuansa agung dan sakral. Ada rangkaian panjang upacara yang harus dilalui pra dan pasca pernikahan. Persiapan dan pelaksanaannya 132 http:sopopanisioan.blogspot.com201206review-buku-mandailing-sejarah-adat-dan.html diakses pada tanggal 29 Juli 2012, pada jam 14.13 WIB 133 http:sopopanisioan.blogspot.comsearch?q=perkawinan+adat+mandailing diakses pada tanggal 29 Juli 2012, pada jam 14.42 WIB Universitas Sumatera Utara 76 akan penuh detail-detail kecil yang tidak boleh dilewatkan. Pernikahan semacam ini umumnya melibatkan banyak orang. Dari segi biaya, melaksanakan perkawinan adat membutuhkan biaya yang lebih besar. Banyak generasi muda yang tetap tertarik melaksanakannya. Faktor lain adalah karena aura agung dan sakralnya perkawinan yang tidak dapat tergantikan. Kerepotan dan detail dari upacara perkawinan adat dapat dirasakan sebagai keunikan tersendiri yang didalamnya sarat akan nilai-nilai mulia sebagai calon mempelai menghadapi hidup baru. 134 Faktor-faktor lain yang menjadi dasar pemikiran masyarakat adat melakukan perkawinan adat Mandailing diantaranya: a. Dengan adanya adat dalam suatu penyelenggaraan perkawinan ini membuktikan bahwa masih adanya jati diri dari masyarakat adat Mandailing yang merupakan suatu ciri khas yang tidak dapat digantikan dengan modernisasi. b. Adat merupakan pemersatu bagi para masyarakat. Dalam pelaksanaan perkawinan adat yang umumnya memakan waktu dan persiapan yang panjang otomatis dapat mempererat tali persaudaraan diantara masyarakat adat Mandailing tersebut. c. Melestarikan peninggalan budaya nenek moyang kita agar tidak luput dimakan zaman. 135 134 http:calonmanten.comarticlespesta-pernikahan-tradisional-atau-modern diakses pada tanggal 29 Juli 2012, pada jam 15.13 WIB 135 Hasil wawancara dengan konsultan adat Mandailing, Bapak Ursan Lubis gelar: Sutan Singasoro, pada hari Kamis, tanggal 2 Agustus 2012, pukul 12.30 WIB Universitas Sumatera Utara 77 Dari wawancara kepada masyarakat Adat Mandailing yang tinggal di kota Medan selaku orangtua yang menyelenggarakan perkawinan adat Mandailing di zaman sekarang, terdapat banyak kesamaan alasan masih dilakukannya perkawinan adat tersebut, diantaranya: a. Dengan melakukan perkawinan adat, masyarakat adat Mandailing tidak melupakan nenek moyang dan tradisi yang merupakan kewajiban kita untuk melestarikan dan membudidayakannya, sehingga keturunan-keturunan di masa mendatang masih melakukan hal yang sama seperti orang tua mereka. 136 b. Perkawinan adat yang memakan banyak waktu dan biaya pada dasarnya adalah bentuk pengabdian kita akan adat itu sendiri. Banyak masyarakat adat di zaman modern ini melupakan bahwa asal-muasal kita adalah dari adat, sehingga sesusah apapun adat tersebut harus dibudidayakan, salah satunya dengan melakukan upacara perkawinan adat Mandailing. 137 c. Perkawinan adat Mandailing yang dilakukan merupakan bentuk perayaan dan wujud syukur atas perkawinan sah yang terdahulu telah dilakukan secara islam dan sah secara agama dan negara, yang dipersembahkan orangtua kepada anaknya. 138 d. Penegakan adat wajib dilakukan masyarakat Mandailing biarpun telah hidup di zaman modern. Perkawinan secara adat menunjukkan kebesaran kedudukan 136 Hasil wawancara dengan masyarakat adat Mandailing, Ibu Siti Nurhanum Siregar, pada hari Senin, tanggal 27 Agustus 2012, pukul 15.30 WIB 137 Hasil wawancara dengan masyarakat adat Mandailing, Ibu Maulitha Hasibuan, pada hari Minggu, tanggal 26 Agustus 2012, pukul 11.30 WIB 138 Hasil wawancara dengan masyarakat adat Mandailing, Ibu Nurhayati Harahap, pada hari Selasa, tanggal 28 Agustus 2012, pukul 10.30 WIB Universitas Sumatera Utara 78 masyarakat adat Mandailing tersebut di lingkungan sekitar. Sekecil apapun acara adat tersebut, tetap kita sebagai masyarakat adat harus dengan sungguh- sungguh melaksanakannya agar tidak melupakan adat dan tidak dianggap tidak beradat. 139 e. Perkawinan dalam bentuk adat ini sekaligus sebagai acara untuk mengumumkan bahwa telah terjadi perkawinan antara mempelai pria dan wanita kepada masyarakat sekitar. Masih dilakukan perkawinan adat dikarenakan telah menjadi kebiasaan yang harus dilanjutkan ke generasi selanjutnya. 140 Kebanyakan masyarakat Adat Mandailing melestarikan kebudayaan melalui perkawinan adat Mandailing, agar generasi di masa yang akan datang mengetahui jerih payah nenek moyangnya sehingga berempati untuk melestarikan agar kebudayaan dari adat Mandailing ini tidak direbut oleh bangsa lain. Keinginan untuk melestarikan adat Mandailing ini sendiri hendaknya diciptakan sehingga timbul rasa kecintaan terhadap adat Mandailing dari generasi muda sehingga adat tetap terjaga dan tidak mati oleh modernisasi yang ada. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Medan Timur dan Kecamatan Medan Johor, diperoleh hasil bahwa masyarakat Mandailing yang 139 Hasil wawancara dengan masyarakat adat Mandailing, Bapak H.Ir.Hasan B Siregar, pada hari Kamis, 30 Agustus 2012, pukul 20.15 WIB 140 Hasil wawancara dengan masyarakat adat Mandailing, Bapak H.Indra Matondang, pada hari Rabu, 29 Agustus 2012, pukul 14.35 WIB Universitas Sumatera Utara 79 melakukan perkawinan adat Mandailing sebanyak 40 di Kecamatan Medan Timur dan 35 di Kecamatan Medan Johor.

2. Pandangan Masyarakat Adat terhadap Orang-orang yang