Bruinessen menilai sebagai salah satu tradisi agung maupun sisi transmisi dan internalisasi moralitas umat Islam.
98
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, sekaligus pusat penyebaran agama, sebagaimana yang diuraikan di atas, diperkirakan sejalan
dengan gelombang pertama proses penyebaran agama Islam di daerah Jawa, dan sampai sekarang masih tetap bertahan, bahkan mengalami perkembangan dengan
berdiri di berbagai daerah di Indonesia. Perkembangan pondok pesantren menunjukkan gejala naik, yaitu dengan berdirinya pondok-pondok pesantren
baru, walaupun secara kualitatif masih dipertanyakan. Namun indikator kearah perbaikan kualitas telah tampak, yaitu dengan mengembangkan kegiatan-
kegiatan baru yang mengarah pada penggabungan Pondok Pesantren dan sistem Madrasah Modern.
Ini menunjukkan bahwa pondok pesantren responsive dan relevan terhadap perubahan perkembangan masyarakat. Uraian di atas juga telah
memberikan petunjuk bahwa pondok pesantren mempunyai akar sejarah yang panjang. Selain itu, pondok pesantren juga mempunyai akar sosial yang kuat
hingga menyentuh lapisan masyarakat paling bawah.
1. Pengertian Pesantren
Pesantren dari segi etimologi, menurut Zaini ada pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berasal dari kata „santri‟ yang diberi awalan
98
A. Malik Fadjar. 1998.Visi Pembaruan Pendidikan Islam. Jakarta : CV. Alfa Grafikatama. h. 126
pe- dan akhiran -an, yang berarti sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk santri muslim santri sebagai model madrasah
agama Islam di Jawa. Namun, ada juga yang menyebutkan bahwa kata „santri‟ diadopsi dari bahasa India „shastri‟ yang bermakna orang suci dalam agama
Hindu. Agaknya keterkaitan bahasa ini tak lepas dari eksistensi kekuasaan kerajaan-kerajaan Hindu pra-Islam di Nusantara yang secara tidak langsung
meninggalkan jejak budaya.
99
Steenbrink menjelaskan secara terminologis bahwa dilihat dari bentuk dan sistemnya, pesantren dimungkinkan dari
India.
100
Selain itu kata „pondok‟ yang mengiringi kata „pesantren‟ juga dimungkinkan berasal dari bahasa Arab „funduq‟ yang berarti asrama.
101
Secara lebih tegas Nurcholish Madjid membedah asal mula kata „santri‟ dan juga kyai karena kedua unsur ini senantiasa menyatu ketika berbicara
mengenai pesantren. Cak Nur berpendapat bahwa kata „santri‟ berasal dari „sastri‟ bahasa Sansekerta yang berarti melek huruf, sehingga dikonotasikan
bahwa santri merupakan kelas literary, yaitu bagian dari komunitas yang memiliki pengetahuan agama yang dibaca dari kitab-kitab berbahasa Arab dan
selanjutnya diasumsikan paling tidak santri mampu membaca Al-Qur`an. Kemudian santri juga diyakini berasal dari bahasa Jawa, „cantrik‟ yang berarti
orang yang selalu mengikuti seorang asatiz kemana pun sang asatiz pergi dan
99
Zaini Muchtarom. 1998. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: INIS. jilid. II, h. 6.
100
Karel A. Steebrink. 1994. Pesantren Madrasah Madrasah. Jakarta: LP3ES. h. 20
101
Zamakhsyari Dhofier 1983. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES. H. 18
menetap, dengan tujuan dapat belajar suatu keahlian. Cantrik juga terkadang diartikan sebagai orang yang menumpang hidup atau ngenger.
102
Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya yang berjudul Tradisi Pondok pesantrenmendefinisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional
Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman
perilaku sehari-hari.
103
Pengertian santri ini senada pengertiannya dengan arti santri secara umum, yaitu orang yang belajar agama islam dan mendalami agama islam di
sebuah pesantrian pesantren yang menjadi tempat belajar bagi para santri
104
. Jika diruntut dengan tradisi pesantren, terdapat dua kelompok santri
yaitu: a. Santri mukim
Santri mukim,yaitu santri-santri yang berasal dari daerah jauh dan menetap di pesantren. Santri yang sudah lama mukim di pesantren biasanya menjadi
kelompok tersendiri dan sudah memikul tanggung jawab menasatizsi kepentingan pesantren sehari-hari, mengajar santri-santri muda tentang
kitab-kitab yang rendah dan menengah. b.
Santri kalong
102
Nurcholish Madjid. 1997.Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina. Cet.1, h. 20.
103
Zamakhsyari Dhofier. 1997. Tradisi ....h. 43.
104
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. h. 783
Santri kalong,yaitu santri-santri yang berasal dari desa sekelilingnya, yang biasanya mereka tidak tinggal di pondok kecuali kalau waktu-waktu belajar
madrasah dan mengaji saja, mereka bolak-balik nglaju dari rumah.
105
Zamakhsyari, mengelompokan santri menjadi dua bagian, pertama santri mukim, yaitu santri pesantren yang berasal dari suatu daerah yang jauh
dan selama ia menuntut ilmu pesantren, ia tinggal di dalam komplek pesantren. Kedua santri kalong, yaitu santri-santri yang berasal dari desa-
desa disekitar pesantren, biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikutinya pelajaran di pesantren, mereka bolak-balik nglaju dari
rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan antara pesantren besar dan pesantren kecil dapat dilihat dari komposisi santri kalong. Semakin besar
sebuah pesantren, semakin besar jumlah santri mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil memiliki lebih banyak santri kalong dari pada santri
mukim.
106
Terlepas dari pendefinisian di atas, yang jelas dalam perspektif historis pesantren menempati posisi yang cukup istimewa dalam khazanah
perkembangan pendidikan masyarakat Indonesia. Tidak berlebihan bila Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa pesantren merupakan subkultur
tersendiri di kawasan Nusantara. Menurutnya, lima ribu buah pondok pesantren yang tersebar di enam puluh delapan ribu desa merupakan bukti
105
Suismanto. 2004. Menelusuri Jejak Pesantren. Yogyakarta: Alief Press. h. 54-55
106
Dhofier, Zamakhsyari. 2004. Tradisi ....h. 89
tersendiri untuk menyatakannya sebagai sebuah subkultur.
107
Selain itu pola kepemimpinan yang khas, kitab-kitab rujukan dan sistem nilai yang
diterapkan pesantren sangat unik dan seolah manifestasi dari tradisi Indonesia. Dalam konteks pendidikan posisi pesantren sangat jelas, yakni
diakui oleh mayoritas masyarakat sebagai lembaga otoritatif menanamkan nilai-nilai spiritual. Hal inilah yang harus disadari komunitas pesantren
agar kondisi objektif yang secara permanen sudah diapresiasi secara luas dapat diterjemahkan dalam bentuk karya yang lebih baik. Konkretnya,
pesantren bukan hanya sekedar warisan masa lalu yang perlu dibanggakan namun juga dikembangkan sesuai zaman.
2. Tujuan dan karakteristik pendidikan pesantren