Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

(1)

TESIS

Oleh

NASRIANTI

067005018/HK

SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER

ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

NASRIANTI

067005018/HK

SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER

ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA

: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

2. Dr. Sunarmi, SH. M.Hum

3. Prof Dr. Runtung, SH, M.Hum

4. Dr. Mahmul, SH. M.Hum


(4)

PENANAMAN MODAL (STUDI DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM)

Nama : Nasrianti Nomor Pokok : 067005018 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui

Ketua Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH,. M.H. Ketua

Prof. Dr. Suhaidi, S.H,. M.H Dr. Sunarmi, S.H,. M. Hum.

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Direktur

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH,. M.H . Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSC.


(5)

TESIS

Oleh:

NASRIANTI

067005018/HK

SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER

ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(6)

UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL (STUDI DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM)

Nama : Nasrianti Nomor Pokok : 067005018 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui

Ketua Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH,. M.H. Ketua

Prof. Dr. Suhaidi, S.H,. M.H Dr. Sunarmi, S.H,. M. Hum.

Anggota Anggota


(7)

2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 Tentang penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Dalam negeri Melalui Sistem Pelayanan satu Atap, dengan Keputusan Presiden ini pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal menjadi sentralistik. Dengan hadirnya Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, maka semua urusan penyelenggaraan penanaman modal kembali didesentralisasikan kepada pemerintah daerah dimana penangananya dilayani melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

Penelitian dilakukan untuk mengetahui pelimpahan wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal. Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan mempelajari ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen yang terkait dengan penanaman modal, dan didukung dengan hasil wawancara yang dilakukan terhadap pejabat Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi NAD dan investor.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1). Kewenangan penyelenggaraan penanaman modal diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem desentralisasi adalah suatu upaya pemerintah untuk mendekatkan pelayanan penanaman modal kepada masyarakat, dimana kewenangan untuk memberikan persetujuan dan perizinan untuk pelaksanaan penanaman modal, baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing berada ditangan pemerintah daerah. Dalam kaitannya dengan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem sentralisasi bahwa penyelenggaraan penanaman modal yang ditangani oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan pemerintah daerah. Sentralisasi penanaman modal menunjukkan bahwa semua hal, baik promosi penanaman modal, penentuan kebijakan penanaman modal, persetujuan dan perizinan penanaman modal, hingga perubahan penanaman modal harus dilakukan oleh pemerintah pusat. (2). Pelimpahan wewenang pemberian


(8)

lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan atau non perizinan yang proses pengelohannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap diterbitkannya dokumen yang dilakukan disatu tempat. (3). Pelaksanaan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) selama ini masih bersifat sentralistik, dimana masih berpedoman pada ketentuan yaitu Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Hal ini mengakibatkan pelaksanaan penanaman modal di Provinsi NAD mengalami penurunan, yang disebabkan karena tidak ada jaminan kepastian hukum.


(9)

Pertama-tama penulis memanjatkan Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas segala Karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan untuk memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Adapun tesis ini berjudul “ Kewenangan Pemberian persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)”.

Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan terimaksih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (k) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

5. Orang tua tercinta, almarhum ayahanda Razali Arsyad, semoga mendapat Syurga Jannatunna’im dan mendapat tempat yang mulia disisi ALLAH SWT, ibunda Azizah yang telah mencurahkan kasih sayang, do’a dan memberikan dukungan moril serta materil yang tiada terhingga.

6. Kakak dan abang serta adik-adikku tercinta, Maharni, Nurizal, Dewi, Zaki, Syifa yang selalu memberikanj do’a, dukungan dan semangat yang tiada terhingga. 7. Suami tercinta Muhibuddin, SH, dan anak tersayang Jimly Assiddiqie, yang telah

rela berkorban, memberikan motivasi, pengertian dan bantuan cinta kasih sehingga penulis dapat berkonsentrasi menyelesaikan pendidikan.

8. Civitas Akademika Universitas Malikussaleh Lhokseumawe yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 ke Universitas Sumatera Utara.

9. Civitas Akademika Universitas Sumatera Utara di Medan yang telah banyak membantu dalam proses belajar mengajar di kampus.

10.Rekan-rekan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu kompak dan penuh kecerian menjalani hari-hari perkuliahan.

Penulis mengucapkan terimakasih atas bimbingan dan bantuan dari semua pihak. Medan, Juli 2008,


(11)

(12)

Amendment of the Laws No. 32 of 2004 regarding the Regional Government, the Laws No. 11 of 2006 regarding the Government or Aceh, however, provision of acceptance and allowance have been recentralized to the Central Government after established the Presidential Decree No. 29 of 2004 regarding the Implementation of Capital Investment For Foreign and Domestic Capital Investments in a One-Stop Service System. Given the Laws No. 25 of 2007 regarding the Capital Investment, all the affairs related to the implementation of capital investment are redecentralized to the Regional Government in which the implementation is served through an integrated one-stop service based on the Rule of Home Affairs Ministry No. 24 of 2006 regarding the Guideline of Implementation of an Integrated One-Stop Service.

The present study was carried out to know the delegetion of authority, provision of acceptance and allowance of capital investment according to the Laws No. 25 of 2007 regarding the Capital Investment. It was carried out in Nanggroe Aceh Darussalam Province (NAD). It was a juridical normative study using a statute approach due to the study included various statutory regulations related to authority in providing an acceptance and allowance of capital investment. The main data included secondary one by studying the statutory regulations and documents related to capital investment and supported by the interview made with the authority of Provincial Capital Investment Coordinating Board of Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) and investor.

Based on the results of the study, it can be conclude that (1). Authority in Implementation of capital investment is regulated in the Article 30 of the Laws No. 25 of 2007 regarding the Capital Investment. Authority in provision of acceptance and allowance of capital investment in a decentralization system is an effort of the government to approach the capital investment either domestically or internationally is in regional investmment. Referring to the provision of acceptance and allowance of capital investment in a centralization system, the implementation of capital investment is managed by the central government without involving regional government. Centralization in capital investment indicates that any things, either promotion in capital investment, determination of capital investment, accaptance and allowance of capital investment until the change in capital investment should be done by the central government. (2). Delegation of authority in provision of accaptance and allowance of capital investment according to the Laws No. 25 of 2007 regarding the Capital Investment should be served through, an Integrated One-Stop Service as stipulated in the Article 1 verse (10) of the Laws of Capital Investment that the implementation of an allowance and non-allowance that get a delegation of authority of an institution that has an authority of allowance or non- allowance in which the management process starts since application to issuance of document carried out in


(13)

capital investment in NAD Province reduced due to the lack of legal assurance.

Keywords: Authority in Provision of Acceptance and Allowance of Capital Investment.


(14)

Karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan untuk memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Adapun tesis ini berjudul “ Kewenangan Pemberian Persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)”.

Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan terimaksih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (k) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus pembimbing penulis.

4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H. Dr. Sunarmi, S.H., M. Hum. Selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, dan Dr. Mahmul Siregar, S.H,. M.Hum selaku penguji


(15)

serta materil yang tiada terhingga.

6. Kakak dan abang serta adik-adikku tercinta, Maharni, S. Ag, Nurizal, ST, drh. Dewi Foyani, Zaki Mubarrak, Syifa Zakiya yang selalu memberikan do’a, dukungan dan semangat yang tiada terhingga.

7. Suami tercinta Muhibuddin, SH, dan anak tersayang Muhammad Jimly Asshiddiqie, yang telah rela berkorban, memberikan motivasi, pengertian dan bantuan cinta kasih sehingga penulis dapat berkonsentrasi menyelesaikan pendidikan.

8. Civitas Akademika Universitas Malikussaleh Lhokseumawe yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 ke Universitas Sumatera Utara.

9. Civitas Akademika Universitas Sumatera Utara di Medan yang telah banyak membantu dalam proses belajar mengajar di kampus.

10.Rekan-rekan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu kompak dan penuh kecerian menjalani hari-hari perkuliahan. Penulis mengucapkan terimakasih atas bimbingan dan bantuan dari semua pihak.

Medan, Juli 2008, Penulis


(16)

(17)

ABSTRACT... ... iii

KATA PENGANTAR... ... v

RIWAYAT HIDUP... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR SINGKATAN... xiii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang………... 1

B. Permasalahan………... 12

C. Tujuan Penelitian………... 13

D. Manfaat Penelitian………... 13

E. Keaslian Penelitian………... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi...………... 15

1. Kerangka Teori………... 15

2. Landasan Konsepsional………...…………... 22

G. Metode Penelitian………... 27

BAB II: WEWENANG PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DENGAN SISTEM DESENTRALISASI DAN SISTEM SENTRALISASI ... 32

A. Pengertian Wewenang Pemberian Persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal Dengan Sistem Desentralisasi Dan Sistem Sentralisasi... 32


(18)

BAB III: PELIMPAHAN WEWENANG PEMBERIAN PERSETUJUAN

DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL MENURUT

UNDANG – UNDANG NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL... 86

A. Pengertian Wewenang Pemberian Persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang - Undang No. 25 Tahun 2007... 86

B. Sentralisasi Pemberian Persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal Berdasarkan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing Dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap... 98

C. Hubungan Desentralisasi Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Dengan Otonomi Daerah... 108

BAB IV: PELAKSANAAN KEWENANGAN PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

(NAD) ... 113

A. Kewenangan Penyelenggaraan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)... 113 B. Kendala – Kendala Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam


(19)

A. Kesimpulan... 139 B. Saran... 140


(20)

1. Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Di

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)... 18 2. Perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA) Di Provinsi


(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997 telah mengakibatkan runtuhnya perekonomian nasional Indonesia. Akibat runtuhnya perekonomian Indonesia telah mengakibatkan hancurnya sejumlah kegiatan perindustrian dan perdagangan, meningkatnya jumlah pengangguran, yang semuanya bermuara pada rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mengembalikan kondisi pertumbuhan perekonomian nasional seperti sebelum krisis moneter, maka akumulasi modal sangatlah penting peranannya.1

Menghadapi kondisi tersebut pemerintah melakukan terobosan-terobosan untuk mengembalikan perekonomian nasional seperti sebelum krisis moneter terjadi. Berbagai kebijakan ditempuh oleh pemerintah untuk memulihkan perekonomian nasional, salah satu terobosan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong perekonomian nasional adalah dengan melibatkan pihak swasta dalam bentuk investasi swasta.2 Karena secara ekonomi penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan produksi, sehingga investasi pada hakekatnya langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi.3

1

Yushfi Munif Nasution, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana

Penyeludupan, Tesis Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Tahun 2007, hal. 1.

2. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menata Ke Depan perekonomian Nasional,

( Jakarta : Bappenas 1999 ) hal. 67.


(22)

Pembangunan ekonomi yang melibatkan pihak swasta, baik yang berasal dari penanaman modal asing maupun modal dalam negeri mempunyai peranan penting dalam kegiatan perekonomian. Karena bagaimanapun juga pertumbuhan ekonomi terkait erat dengan tingkat penanaman modal, maka untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan pula tingkat penanaman modal yang tinggi4.

Investasi asing merupakan investasi yang dilaksanakan oleh pemilik-pemilik modal asing di dalam negeri untuk mendapatkan keuntungan dari usaha itu. Keuntungan dari adanya modal asing bagi Indonesia adalah sumber daya alam Indonesia, meningkatnya lapangan kerja dan terjadinya nilai tambah (value added), meningkatnya penerimaan sumber negara dari pajak, serta adanya alih teknologi. Bagi pemilik modal asing, keuntungan mereka berupa aliran deviden dari hasil usaha itu negara dimana modal ditanamkan ke negara dari mana modal itu berasal5.

Manfaat penanaman modal asing adalah sebagai sumber modal, sumber pengetahuan, alih teknologi, sumber pembaruan proses dan produk, sumber kesempatan kerja. Sedangkan kerugian adanya penanaman modal asing adalah adanya persaingan perusahaan dalam negeri, persaingan merebut kredit dalam negeri, penanaman modal asing membawa keluar keuntungan hasil investasi yang lebih besar dari pada jumlah uang yang dibawanya sebagai modal, penanaman modal asing tidak menciptakan banyak kesempatan kerja, pengeksploitasian sumber daya alam oleh

4

Aloysius Uwiyono, “Implikasi Undang-Undang ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Terhadap Iklim Investasi”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume. 22 No. 5 Tahun 2003, hal. 9.

5


(23)

penanaman modal asing, beberapa praktek kerja penanaman modal asing yang bertentangan dengan kepentingan nasional negara tuan rumah.6

Di negara berkembang peranan penanaman modal asing sering menjadi objek yang kontroversial, di satu sisi, penanaman modal asing dibutuhkan karena kegiatan ekonomi dan pembangunan memerlukan modal, teknologi, pengetahuan (know how), keahlian dan jasa yang banyak. Di sisi lain untuk mengundang penanaman modal asing perlu diciptakan iklim bisnis yang menunjang, pembangunan sarana dan prasarana, pembenahan biokrasi, bahkan perlu juga memberikan insentif dan subsidi.

Namun ada kekuatiran jangan-jangan penanaman modal asing akan menciptakan dominasi ekonomi oleh Perusahaan Multi Nasional (Multi National Corporation)7. Investasi asing tentu saja mengandung berbagai risiko dalam implementasinya baik pengaruhnya terhadap sumber-sumber ekonomi negara, maupun terhadap pangsa pasar domestik karena pada umumnya investasi juga dimaksud untuk mencari pasar di dalam negeri.

Sebenarnya penanaman modal dalam negeri juga tidak kalah perannya dalam pengembangan perekonomian nasional suatu bangsa. Bahkan perannya dalam pertumbuhan ekonomi jauh lebih baik, karena sangat jarang terjadi pemindahan modal (Capital) dari dalam negeri ke luar negeri apabila dibandingkan dengan penanaman modal asing yang berbentuk perusahaan multinasional, hanya saja penanaman modal dalam negeri sangat sulit dikembangkan, karena adanya sejumlah

6

Nirwono, Ilmu Ekonomi Untuk Kontek Indonesia, ( Jakarta : LP3ES,1991) hal. 706

7


(24)

keterbatasan. Peranan pemerintah untuk mendorong penanaman modal dalam negeri dengan memberikan sejumlah kemudahan dan insentif yang lebih baik sangat diperlukan untuk mendorong pertumbuhan investasi, misalnya, dengan melimpahkan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan investasi ke daerah.

Namun upaya pemerintah untuk meningkatkan penanaman modal swasta sepertinya belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Hal ini dapat dilihat dari berkurangnya minat pihak swasta, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri untuk melakukan penanaman modal di tanah air. Bahkan jumlah penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri mengalami penurunan dari waktu kewaktu, penurunan ini tidak terlepas dari berbagai faktor yang secara ekonomi tidak menguntungkan bagi para pelaku usaha untuk melakukan penanaman modal.

Salah satu penyebab penurunan penanaman modal adalah tidak adanya kepastian hukum, regulasi yang berbelit-belit dengan kecendrungan menciptakan biokrasi yang makin panjang, padahal kebijaksanaan penanaman modal asing yang dikembangkan adalah meningkatkan penanaman modal secara cepat, tepat dan akurat dengan melimpahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola kebijakan di bidang penananam modal, sebagai bentuk komitmen dari pemerintah pusat untuk memberikan jaminan hukum kepada mereka yang ingin berinvestasi di daerah.8

8 “Wewenang Investasi Limpahkan ke Aceh”, Waspada, Tanggal 18 September, 2007, hal.


(25)

Di berlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, ada sejumlah kewenangan yang telah diserahkan kepada daerah. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah kewenangan pemerintah pusat berkaitan dengan penanaman modal berdasarkan ketentuan Pasal 3 angka (5) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 adalah melakukan kerjasama dalam bidang penanaman modal dengan kabupaten dan kota.

Meskipun Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya telah dirubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, namun menurut ketentuan ini masalah penanaman modal tetap berada dalam Kewenangan pemerintah daerah yaitu “kewenangan pemerintah propinsi adalah memberi pelayanan administrasi penanaman modal


(26)

termasuk lintas kabupaten/kota”9, dan di dalam Pasal 14 angka (1) huruf n dinyatakan juga kewenangan pemerintah kabupaten/kota adalah ”memberikan pelayanan administrasi penanaman modal”10.

Berkaitan dengan menurunnya jumlah penanaman modal tersebut presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Kebijakan pelayanan satu atap (one roof servis) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merupakan pelayanan dan perizinan penanaman modal11. Dengan dikeluarkannya keputusan presiden ini menunjukkan bahwa otonomi daerah yang telah diberikan kepada daerah, maka pelaksanaannya menjadi tidak efektif dengan kata lain otonomi daerah menjadi salah satu penghambat penanaman modal di Indonesia atau dengan otonomi daerah seakan-akan dapat menyebabkan rusak dan berantakan sistem penanaman modal di Indonesia.

Diaturnya pembagian kewenangan antar pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota seperti tersebut di atas, mengakibatkan tidak perlu lagi ada persoalan apakah otonomi akan diberikan di tingkat provinsi ataupun di tingkat kabupaten, karena baik provinsi maupun kabupaten/kota merupakan daerah otonom, mulai

9

Pasal 13 angka (1) huruf n. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Selanjutnya Dirubah Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

10

Pasal 14 angka (1) huruf n. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Selanjutnya Dirubah Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

11


(27)

dari pusat sampai ke daerah dapat mengalami penataan ulang untuk memenuhi tuntutan aspirasi reformasi, dan mendekatkan jarak pelayanan yang makin efesien dan trasparan kepada masyarakat.12

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berpeluang maju dan berkembang dengan membuka seluas-luasnya peluang investasi untuk pembangunan di Aceh. Karena Aceh memiliki sumber daya alam yang besar, yang belum dikelola optimal oleh pemerintah dan swasta. Walaupun ada yang mengelola kekayaan alam, hanya demi mencari keuntungan bagi perusahaannya, bukan mensejahterakan rakyat Aceh.

Untuk mencapai perekonomian Aceh baru yang modern dan kompetitif bukan hanya mimpi, tapi harus kerja keras dengan sinergi dan serius berusaha untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, maka akan terbuka lebar jalan menuju kesejahteraan masyarakat Aceh yang lebih baik di masa mendatang.

Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam kebijaksanaannya telah menetapkan strategi pembangunan yang akan dilaksanakan, antara lain adalah mengurangi penduduk miskin, meningkatkan peran Pemda dalam Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), mempersiapkan Sumber Daya Manusia dan meningkatkan penyertaan modal swasta dalam bidang usaha yang strategis dan menyangkut kepentingan masyarakat. Untuk mendukung program tersebut, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh mengupayakan melalui peningkatan dana

12

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, ( Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006) hal. 293.


(28)

investasi baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar negeri. Investasi ini dapat berupa investasi jangka panjang maupun investasi jangka pendek.

Usaha pemerintah untuk mendorong para investor, tidak hanya menyediakan informasi yang telah terindikasi, tetapi juga memerlukan suatu informasi yang lebih konpherensif yang mendukung perkembangan potensi daerah seperti tersedianya sarana dan prasarana jalan, telepon, listrik, air minum, pasar, lahan, sistem transportasi, tenaga kerja, upah buruh, lembaga keuangan, kondisi sosial budaya, sistem perizinan, dan sebagainya. Calon investor dapat melakukan kalkulasi sejauh mana keuntungan komperatif dan kompetitif yang akan diperoleh seandainya menanam modal pada jenis bisnis tertentu. Potensi investasi ini menggambarkan secara umum keadaan potensi yang ada dan peluang investasi di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, baik yang diusahakan oleh pemerintah maupun yang diusahakan oleh swasta dan masyarakat, baik berupa Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Untuk tercapainya iklim investasi yang dinamis sangat ditentukan beberapa faktor, seperti keamanan, stabilitas politik, infrastruktur memadai, dan yang sangat penting adalah regulasi dan insentif yang dapat diberikan pemerintah untuk mendukung investasi dan yang sangat penting adalah tersedianya sarana dan fasilitas yang dapat diberikan oleh Pemerintah maupun kemudahan administrasi (perizinan).

Salah satu bagian dari proses penyelenggaraan penanaman modal, yaitu persetujuan dan perizinan penyelenggaraan penanaman modal dalam rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri kembali di


(29)

sentralisasikan kepada pemerintah pusat. Sejak tanggal 12 april 2004 persetujuan dan perizinan penanaman modal disentralisasikan kepada pemerintah pusat dengan di tetapkan keputusan presiden No. 29 Tahun 2004 tersebut. Padahal sebelumnya persetujuan dan perizinan penanaman modal telah dilimpahkan kepada daerah-daerah dengan diberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah junto Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. Bahkan untuk penanaman modal dalam negeri berdasarkan Keputusan Presiden No. 117 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal, telah diserahkan kepada daerah, dimana untuk melaksanakan pelimpahan wewenang tersebut, Gubernur Kepala Daerah Propinsi dapat menugaskan Kepala Badan Koordinasi Penanaman modal Daerah (BKPMD).

Dalam Pasal 30 angka (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang selanjutnya disebut dengan UUPM, dinyatakan “Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan pemerintah”.13 Di samping itu penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi,14 dan

13

Pasal 30 angka (2) UUPM

14


(30)

penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota.15

Di satu sisi UUPM menyebutkan, pelayanan penanaman modal dilakukan dengan satu sistem pelayanan terpadu, tetapi disisi lain ada hal-hal tertentu yang diserahkan kepada instansi terkait dan atau pemerintah daerah. Sebagai tindak lanjut dari pembagian kewenangan tersebut pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah kabupaten/kota. Dalam Pasal 7 angka (1 dan 2) disebutkan urusan pemerintah yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota berkaitan dengan pelayanan dasar, meliputi penanaman modal.

Adanya kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola penanaman modal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat ditemukan pengaturannya di dalam Pasal 165 angka (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang selanjutnya disebut UUPA, bahwa “ Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya, dapat menarik wisatawan asing dan memberikan izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, ekspor dan impor dengan memperhatikan prosedur yang berlaku nasional”.16 Dari isi pasal di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun kewenangan pemberian izin penanaman modal berlaku

15

Pasal 30 angka (6) UUPM

16


(31)

secara sentralisasi, akan tetapi juga diberikan kewenangan desentralisasi kepada pemerintah daerah, baik di provinsi, kabupaten/kota untuk mengatur penanaman modal di daerahnya masing-masing menurut ketentuan yang berlaku.

Namun dengan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap, pemerintah kembali memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan dan perizinan penanaman modal, sehingga menimbulkan perdebatan apakah kewenangan tersebut ada pada pemerintah pusat atau sebaliknya dilimpahkan kepada daerah. Maka perlu adanya kejelasan tentang kewenangan pemberian pesetujuan dan perizinan penanaman modal demi menciptakan hukum yang lebih adil, bermanfaat dan memberikan kepastian hukum.

Persoalan lain yang dihadapi adalah, walaupun telah terdapat instrumen hukum, akan tetapi instrumen hukum tersebut memiliki kerancuan terutama sumber legitimasi wewenang antara pemerintah dengan pemerintah daerah di bidang yang berkaitan dengan penanaman modal. Selain itu pemikiran pemerintah daerah terhadap otonomi daerah masih lebih banyak dilihat dari aspek adanya wewenang pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya, tanpa membedakan antara wewenang mengatur dan mengurus.

Padahal antara kedua konsep diatas memiliki pengertian yang berbeda. Mengatur berarti menciptakan norma hukum yang berlaku umum dan bersifat abstrak, sementara mengurus berarti menciptakan norma hukum yang berlaku


(32)

individual dan bersifat konkret, dengan kata lain dari wewenang mengatur melahirkan produk hukum yang bersifat mengatur dan wewenang mengurus melahirkan produk hukum yang bersifat keputusan/ketetapan.17

Senada dengan hal itu Bangir Manan menyatakan persoalan hubungan wewenang antara pemerintah dengan pemerintah daerah pada negara dengan susunan organisasi desentralistik timbul karena perlaksanaan wewenang pemerintahan tidak hanya dilakukan oleh satu pusat pemerintahan, selain pemerintah terdapat satuan pemerintahan daerah yang melaksanakan urusan otonominya.18

Penetapan peraturan daerah oleh pemerintahan daerah dalam rangka mengatur daerah, terutama peraturan daerah yang berkaitan dengan penanaman modal melahirkan masalah hukum apabila dilihat dari aspek wewenang, asas hukum dan kepentingan mansyarakat dan negara. Berdasarkan fenomena ini dalam kenyataannya melahirkan keengganan investor untuk berinvestasi.

B. Permasalahan

Dari latar belakang masalah yang diuraikan di atas, ada beberapa permasalahan yang akan diteliti yaitu:

1. Bagaimana wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem desentralisasi dan sistem sentralisasi?

17

Murtir Jeddawi, Memacu Investas Di Era Otonomi Daerah, ( Yogyakarta : UII Press, 2006) hal 16-17

18

Bangir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994) hal. 16


(33)

2. Bagaimana pelimpahan wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal?

3. Bagaimana pelaksanaan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penilitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem desentralisasi dan sentralisasi.

2. Untuk menjelaskan pelimpahan wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

3. Untuk menjelaskan pelaksanaan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : 1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi peningkatan dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya


(34)

hukum penanaman modal, terutama berkaitan dengan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal di Indonesia.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya pihak yang sering terlibat dalam kegiatan penanaman modal baik biokrasi pemerintah, investor, maupun pihak-pihak lain yang berhubungan dengan kegiatan penanaman modal.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan, Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang “ Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal ( Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ) ” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi peneilitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.


(35)

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka teori

Istilah penanaman modal atau investasi berasal dari bahasa Latin, yaitu Investire (memakai), sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan Investment. Para ahli memiliki pandangan yang berbeda mengenai konsep teoritis tentang penanaman modal. Menurut Fitzgeral sebagaimana dikutip oleh Salim HS mengartikan investasi atau penanaman modal adalah “Aktivitas yang berkaitan dengan usaha penarikan sumber-sumber (dana) yang dipakai untuk mengadakan barang modal pada saat sekarang, dan dengan barang modal akan dihasilkan aliran produk baru di masa yang akan datang.19”

Dalam definisi ini investasi atau penanaman modal dikontruksikan sebagai sebuah kegiatan untuk:

1. Penarikan sumber dana yang digunakan untuk pembelian barang modal, dan 2. Barang modal ini akan dihasilkan produk baru.

Definisi lain tentang investasi dikemukakan oleh Kamaruddin Ahmad, “investasi adalah menempatkan uang atau dana dengan harapan untuk memperoleh tambahan atau keuntungan tertentu atas uang atau dana tersebut”.20 Dalam pengertian ini investasi difokuskan pada penempatan uang atau dana. Tujuannya adalah untuk memperoleh keuntungan, ini erat kaitannya dengan penanaman modal di pasar modal.

19

Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi Di Indonesia, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008 ) hal. 31.

20

Kamaruddin Ahmad, Dasar-Dasar Manajemen Investasi ( Jakarta : Rineka Cipta, 21996 ) hal. 3.


(36)

Dalam Ensiklopedia Indonesia investasi atau penanaman modal diartikan yaitu “Penanaman uang atau modal dalam proses produksi (dengan pembelian gedung-gedung, permesinan, bahan cadangan, penyelenggaraan uang kas serta perkembangannya). Dengan demikian cadangan modal barang diperbesar sejauh tidak ada modal barang yang harus diganti”.21

Hakikat investasi dalam definisi ini adalah penanaman modal untuk proses produksi. Ini berarti bahwa investasi ditanamkan hanya untuk proses produksi semata-mata, padahal dalam kegiatan investasi tidak hanya ditujukan untuk proses produksi saja tetapi juga kegiatan untuk membangun berbagai sarana dan prasarana yang menunjang investasi.

Dalam Pasal 1 angka 1 UUPM menyebutkan pengertian penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia.22

Dapat disimpulkan berdasarkan pandangan para ahli dan definisi rumusan UUPM di atas investasi adalah penanaman modal yang dilakukan oleh investor, baik investor asing maupun domestik dalam berbagai bidang usaha yang terbuka untuk investasi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.

Pada dasarnya negara-negara yang sedang berkembang sangat membutuhkan investasi atau penanaman modal, khususnya investasi asing. Tujuan investasi ini

21

Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru - Van Hoeven dan Elsevier Publishing Project, 1970) hal. 32.

22


(37)

adalah mempercepat laju pembangunan di negara tersebut. Pada umunya, yang memiliki modal atau investasi adalah negara-negara yang sudah maju. Pertanyaannya adalah mengapa negara yang sudah maju menanamkan modalnya di negara-negara yang sedang berkembang. Ada dua teori yang menanalisis faktor tersebut yaitu:

1. The Product Cycle Theory (teori siklus produk)

The product cycle theory atau teori siklus produk ini di kembangkan Reymond Vernon (1966). Teori ini paling cocok diterapkan pada investasi asing secara langsung (forieng direc investment) dalam bidang manufacturing, yang merupakan usaha ekspansi awal perusahaan-perusahaan Amerika atau disebut juga investasi horizontally integrated, yakni pendirian pabrik-pabrik untuk membuat barang-barang yang sama atau serupa di mana-mana.

The product cycle theory menyatakan bahwa setiap teknologi atau produk berevolusi melalui tiga fase yaitu:

Pertama, fase permulaan, fase ini cendrung bertempat di negara-negar maju atau negara-negara industri maju seperti, Amerika serikat, Jepang, di mana perusahaan-perusahaan di negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif dalam mengembangkan produk-produk baru dan proses-proses industri karena adanya permintaan pasar dalam negeri yang besar dan banyaknya persediaan sumber produksi untuk aktifitas-aktifitas inovatif. Selama fase ini perusahaan-perusahan negara maju menikmati suatu posisi monopoli, terutama karena teknologinya. Karena permintaan dari luar negeri akan produk-produk mereka meningkat,


(38)

perusahaan-perusahaan pertama kali mengekspor produknya ke pasar luar negeri. Namun tidak lama kemudian terjadi penyebaran teknologi ke para pesaing luar negeri yang potensial, adanya rintangan dagang yang meningkat memaksa diadakannya usaha produksi barang-barang yang sama di luar negeri.

Kedua, fase kedua, proses manufacturing terus berkembang dan tempat produksi cendrung berkembang di negara-negara maju lainnya.

Ketiga, fase ketiga, dalam fase ini adanya standarisasi proses menufacturing memungkinkan peralihan lokasi-lokasi produksi ke negara-negara yang sedang berkembang, terutama negara-negara industri baru yang mempunyai keunggulan komparatif berupa tingkat upah yang rendah.23

Singkatnya The product cycle theory membantu menjelaskan sebab-sebab adanya ciri-ciri penting ekonomi dunia kontemporer, yakni perusahaan multinasional dan persaingan oligopoli, perkembangan dan penyebaran teknologi industri merupakan unsur penentu utama terjadinya perdagangan dan penempatan lokasi-lokasi aktivitas ekonomi secara global melalui investasi dan timbulnya strategi perusahaan yang mengintegrasikan perdagangan dan produksi di luar negeri.

2. The Industrial Organization Theory of Vertical Intergration ( Teori Organisasi Industri Integrasi Vertikal).

Teori ini paling cocok diterapkan pada new multinationalisme (multinasionalisme baru) dan pada investasi yang terintegrasi secara vertikal, yakni

23


(39)

produksi barang-barang di beberapa pabrik yang menjadi input bagi pabrik-pabrik lain dari satu perusahaan.

Pendekatan teori ini berawal dari pemahaman biaya-biaya untuk melakukan bisnis di luar negeri (dengan Investasi) harus mencakup biaya-biaya lain yang harus dipikul oleh perusahaan lebih banyak dari pada biaya-biaya yang diperuntukkan hanya sekedar mengekspor barang-barang dari pabrik dalam negeri. Oleh karena itu perusahaan itu harus memiliki keunggulan kompensasi atau keunggulan spesifik bagi perusahaan, seperti keahlian teknis manajerial.

Dapat disimpulkan menurut The Industrial Organization Theory of Vertical Intergration atau Teori Organisasi Industri Integrasi Vertikal bahwa investasi dilakukan dengan cara integrasi secara vertikal, yakni dengan menempatkan beberapa tahapan produksi di beberapa lokasi berbeda-beda di seluruh dunia.24

Di era globalisasi perdagangan ini para investor makin leluasa dalam berinvestasi, untuk itu penerima modal harus menyiapkan berbagai sarana dalam menarik investor. Sejalan dengan arus liberalisasi perdagangan dan investasi yang merupakan konskuensi dari kemajuan luar biasa dalam teknologi, maka investasi di harapkan akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Adam Smith (1723-1790), guru besar dalam bidang filosofis moral dari Glasgow University pada Tahun 1750, sekaligus sebagi ahli teori hukum, Bapak ekonomi modern dengan karyanya yang cukup terkenal, An Inquiry to the Nature and Causes of The Wealth Nation, mengemukakan bahwa untuk mencapai pertumbuhan

24


(40)

ekonomi suatu negara diperlukan dua kondisi yakni desentralisasi kekuasaan dan ekonomi pasar, sehingga akan mampu mendorong rasa percaya diri suatu negara, kemauan menabung, menanamkan modal dan melakukan inovasi. Lebih jauh dikatakan bahwa kebebasan untuk mencapai kepentingan pribadi tidak boleh dikekang oleh negara, selama mekanisme pasar berlangsung maka tindakan individu yang didorong oleh kepentingan sendiri akan berjalan bersamaan dengan kebutuhan orang banyak25.

Menurur Burg’s sebagaimana dikutip oleh Bismar Nasution supaya suatu sistem ekonomi berfungsi maka ada beberapa unsur kualitas hukum yang harus dipenuhi yaitu:

1. Stabilitas (stability) dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.

2. Meramalkan (predictability) berfungsi untuk meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negara yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kalinya memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial dan tradisional.

25

Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional Dan Penanaman Modal: Studi Kesiapan

Indonesia Dalam Perjajian Investasi Multilateral, ( Medan : Universitas Sumatera Utara, 2005 )


(41)

3. Keadilan (firness) seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah yang diperlakukan untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah biokrasi yang berlebihan.26

Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi salah satunya membenahi peraturan-peraturan penanaman modal yang berkaitan langsung dengan kegiatan penanaman modal. Upaya-upaya ini dilakukan melalui serangkaian deregulasi baik di sektor perdagangan maupun di sektor penanaman modal. Jika ditelusuri deregulasi-deregulasi tersebut, maka kebijakan yang ditempuh dalam rangka deregulasi meliputi pemberian kemudahan bagi para investor, salah satunya upaya dari pemerintah dengan hadirnya Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang selanjutnya disebut dengan UUPM, UUPM menjadi payung hukum dari penanaman modal atau investasi di Indonesia. Tujuan dari undang-undang ini adalah meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global yang merosot sejak terjadi krisis moneter. Dengan diundangkannya UUPM pada Tahun 2007 secara normatif tentu akan menarik bagi calon investor untuk menanamkan modalnya. Disebut demikian, karena dalam undang-undang ini tidak dibedakan lagi perlakuan antara penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri. Hal ini sejalan dengan adanya perjanjian

26

Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan pembangunan Ekonomi, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan Tanggal 17 April 2004, hal 11-12.


(42)

multilateral Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs), melarang adanya diskriminasi terhadap investor asing dan lokal.27

Pemerintah menyebutkan sasaran utama UUPM adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif. Salah satu caranya adalah adanya jaminan kepastian hukum bagi investor, adanya kejelasan dari pemerintah pusat untuk melimpahkan wewenang penyelenggaraan penanaman modal kepada pemerintah daerah, khususnya wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal bisa dilimpahkan kepada daerah. Dengan kata lain wewenang di daerah dilakukan menurut wewenang yang ada. Maka harus ada koordinasi antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam hal investasi agar pengusaha atau investor tidak dirugikan.

2. Landasan Konsepsional

Untuk mengarahkan penelitian ini ada beberapa landasan konsepsional yang dipergunakan, diantaranya adalah:

a. Kewenangan

Kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang dimaksud untuk menimbulkan akibat hukum, yang mencakup timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk

27


(43)

melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.28

Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri, sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Secara vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.29

b. Persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal

Izin merupakan perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan hukum dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain izin berfungsi sebagai pengendali kegiatan agar kegiatan usaha tersebut tidak melanggar kepentingan yang dilindungi oleh hukum.30

Menurut Aminuddin Ilmar pengertian izin adalah kewenangan pemerintah untuk mengatur sesuatu hal yang berhubungan dengan peran atau tugasnya. Izin

28

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006) hal. 102.

29

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, ( Jakarta : UII Press Indonesia, 2002 ) hal. 73.

30

Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Perumahan Dan


(44)

adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warganya.31

Pengertian persetujuan penanaman modal yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pengertian persetujuan yang terdapat dalam Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004. Dimana dirumuskan persetujuan penanaman modal adalah persetujuan yang diberikan dalam rangka pelaksanaan penanaman modal yang berlaku pula sebagai persetujuan prinsip fasilitas fiskal dan persetujuan prinsip/izin usaha sementara sampai dengan memperoleh izin usaha tetap.32

Pengertian perizinan pelaksanaan persetujuan penanaman modal yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pengertian perizinan sebagaimana yang terdapat dalam Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004. Rumusan perizinan penanaman modal adalah “perizinan pelaksanaan persetujuan penanaman modal adalah izin-izin yang diperlukan untuk pelaksanaan lebih lanjut atas surat persetujuan penanaman modal”.33

Dari berbagai rumusan tentang yang dimaksud dengan izin, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya izin merupakan kewenangan pemerintah, sehingga dalam hal pemberian izin peranan pemerintah menjadi sangat menentukan.

31

Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2007 ) hal. 131-132.

32 Pasal 1 angka 3 Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004

tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap

33

Pasal 1 angka 4 Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap


(45)

c. Penanaman modal

Pengertian penanaman modal yang dipergunakan dalam penelitian ini berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. rumusannya adalah “Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia”.34

Pengertian penanaman modal dalam negeri yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pengertian penanaman modal dalam negeri berdasarkan UUPM. Adapun yang dimaksud dengan penanaman modal dalam negeri adalah “ kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri”.35

Pengertian penanaman modal asing yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pengertian penanaman modal asing yang terdapat dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal, bahwa pengertian penanaman modal asing adalah “kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”.36

34

Pasal 1 angka (1) UUPM

35

Pasal 1 angka (2) UUPM

36


(46)

d. Sistem Desentralisasi

Sistem Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur atau mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.37

Dalam sistem desentralisasi wilayah negara dibagi menjadi daerah-daerah otonom yang diberi wewenang tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku. Sebagian urusan pusat diserahkan kepada daerah otonom untuk menjadi urusannya sendiri. Bentuk negara semacam ini nampaknya lebih cocok dengan perkembangan politik global sekarang yang mengakomodasi gagasan demokratisasi, karena desentralisasi memungkinkan partisipasi berbagai elemen masyarakat di tiap daerah di dalam urusan-urusan kenegaraan.

e. Sistem sentralisasi

Sistem sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada pemerintah pusat atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Dengan kata lain dalam sentralisasi segala urusan dilakukan langsung oleh pemerintah pusat yang

37

Pasal 1 angka (7) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Selanjutnya Dirubah Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah .


(47)

disebarkan ke seluruh wilayah negara, sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah. 38

G. Metode Penelitian

Untuk menjawab permasalahan yang timbul dari latar belakang permasalahan, maka penentuan metode penelitian sangatlah penting untuk menjawab permasalahan tersebut. Pentingnya metode penelitian tidak hanya diperlukan di saat permulaan penelitian tetapi juga dipergunakan di akhir penelitian.39 Maka oleh karena itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process).40 Penelitian hukum normatif didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teori dan analisis normatif kualitatif.

Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library research), sebagai suatu teknis pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan,

38

Riset Aceh Institute,“Pemetaan Kewenangan Pemerintahan Aceh Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006”, http:// www.acehinstitute.org/Riset_UU_No_112006”, diakses Tanggal 14 Februari 2008.

39

Myra A. Harris, Legal Reseacrh, ed.10, ( New York : Prentice Hall, 1997 ) hal. 2

40

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006 ) hal. 118


(48)

buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, wawancara serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lain.

Jadi dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri41.

1. Tipe atau Jenis Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu42. Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan dan menganalisis suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori dan norma-norma hukum di bidang penanaman modal terutama terkait dengan

41

Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, ( Malang : Bayumedia Publishing, 2006) hal. 57

42

Kontjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, ( Jakarta : PT. Gramedia, 1997 ) hal. 42


(49)

pelimpahan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal menurut UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan adalah perundang-undangan (Statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan masalah kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal, baik terhadap penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri kemudian dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat.

3. Sumber Data

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan tentang penanaman modal, antara lain Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota,


(50)

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenagan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap, serta berbagai keputusan preseiden yang terkait dengan penelitian ini. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti hasil penelitian, tesis, disertasi, putusan pengadilan, artikel-artikel hukum di majalah, surat kabar, serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan penanaman modal.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap data primer dan data sekunder seperti, seperti kamus hukum, kamus bahasa Belanda dan Indonesia, kamus bahasa Inggris dan Indonesia, ensiklopedia, dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui: 1. Studi kepustakaan (Library research).

Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka pengumpulan data dilakukan akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur, dokumen dan dengan mempelajari ketentuan peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, artikel, literatur yang berhubungan dengan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal.


(51)

2. Wawancara (Interview).

Di samping studi kepustakaan, data pendukung juga diperoleh dengan melakukan wawancara dengan pejabat Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan investor atau penanam modal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

5. Analisa Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tetang kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkaan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis seraca deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan juga dapat memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.


(52)

BAB II

WEWENANG PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN

PERIZINAN PENANAMAN MODAL DENGAN SISTEM DESENTRALISASI DAN SISTEM SENTRALISASI

A. Pengertian Wewenang Pemberian Persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal Dengan Sistem Desentralisasi Dan Sistem Sentralisasi

Istilah “desentralisasi dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “decentralization” dan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “decentralisatie”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian desentralisasi adalah “ tata pemerintah yang lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah atau penyerahan sebagian wewenang pimpinan kepada bawahan”.43

Sementara itu rumusan pengertian desentralisasi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia “Desentralisasi adalah cara pemerintahan yang lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah.”44

Secara yuridis pengertian desentralisasi terdapat dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, pada Pasal 1 huruf a yang menyebutkan “Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya”.45

43

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, cet.3, ( Jakarta, Balai : Pustaka, 1970 ) hal. 201. 44

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet.5, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976 ) hal 247.

45

Pasal 1 huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.


(53)

Pengertian desentralisasi juga terdapat dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, rumusannya adalah “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”.46

Pengertian desentralisasi juga bisa ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya dirubah dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang rumusannya yaitu “ Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalan sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”47

Menurut Bagir Manan bahwa desentralisasi akan didapati apabila wewenang mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh satuan-satuan pemerintahan tingkat yang lebih rendah (zelfstanding), bersifat otonom (teritorial ataupun fungsional).48

46

Pasal 1 huruf e Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

47

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Selanjutnya Dirubah Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

48

Bagir Manan, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, cet.I, ( Yogyakarta : Pusat Studi Hukum UII, 2001 ) hal. 174.


(54)

Bagir Manan juga menegaskan dilihat dari pelaksanaan fungsi pemerintahan, desentralisasi atau otonomi menunjukkan:

1. Satuan-satuan desentralisasi (otonom) lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat.

2. Satuan-satuan desentralisasi (otonom) dapat melaksanakan tugas lebih efektif dan lebih efisien.

3. Satuan-satuan desentralisasi (otonom) lebih inovatif.

4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi, dan lebih produktif.49

Menurut The Liang Gie bahwa konsepsi desentralisasi dalam konteks Negara Republik Indonesia meliputi pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

a. Pengertian Desentralisasi.

Desentralisasi sebagai suatu sistem ketatanegaraan adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada satuan-satuan organisasi pemerintah untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah.

b. Dasar Desentralisasi.

Desentralisasi perlu diselenggarakan oleh Negara Republik Indonesia karena bentuk negara kesatuan yang dianutnya mencakup pelbagai faktor geografis, ekonomis, sosiologis, politis, psikologis, historis dan kulturis yang berbeda-beda dari wilayah ke wilayah.

c. Maksud Desentralisasi.

desentralisasi terutama dimaksudkan untuk memupuk kesadaran bernegara dan berpemerintahan sendiri di kalangan rakyat Indonesia serta membangun negara seluruhnya, khususnya pembangunan ekonomi.

d. Tujuan Desentralisasi.

Pemerintah daerah sebagai perwujudan desentralisasi bertujuan mengusahakan tercapainya tujuan Negara Republik Indonesia yaitu suatu masyarakat sosialis yang penuh dengan kebahagiaan materiil dan sprituil.50

Pada bagian lain The Liang Gie menyebutkan bahwa ada sejumlah alasan dianutnya desentralisasi, yaitu:

49

Ibid. hal 174-175.

50

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, (Djakarta : PT.Gunung Agung, 1968) hal 56.


(55)

Pertama, dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya akan menimbulkan tirani.

Kedua, masih dalam bidang politik ada pendapat yang memandang perlunya desentralisasi dari segi demokrasi, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dalam melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.

Ketiga, dari sudut organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintah daerah adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintah yang efesien. Hal-hal yang tepat diurus oleh pemerintah pusat diurus oleh pemerintah pusat dan hal-hal yang tepat diurus oleh pemerintah daerah diurus oleh pemerintah daerah.

Keempat, dari sudut kultural, adanya kekhususan-kekhususan pada suatu daerah seperti corak geografis, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak, budaya, atau latar belakang sejarah mengharuskan dilaksanakan desentralisasi.

Kelima, sudut pandang yang relatif baru yang melihat penyelenggaraan desentralisasi dari kepentingan pembangunan ekonomi, dan pemerintah daerah dapat berperan banyak dalam pembangunan ekonomi.51

Berkaitan dengan desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal, maka yang dimaksud dengan desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal adalah kewenangan untuk memberikan persetujuan dan perizinan untuk pelaksanaan penanaman modal, baik penanaman modal asing

51


(56)

atau penanaman modal dalam negeri berada ditangan pemerintah daerah. Desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal di daerah merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendekatkan pelayanan penanaman modal kepada masyarakat.

Di samping itu dikenal pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem sentralisasi. Istilah sentralisasi dalam bahasa Inggris dipergunakan dengan istilah “sentralization” dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah “centralizatie”. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian sentralisasi dirumuskan sebagai berikut “sentralisasi adalah penyatuan segala sesuatu ke suatu tempat (daerah) yang dianggap sebagai pusat, penyentralan, pemusatan.”52 Sementara itu dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian sentralisasi adalah“Sentralisasi: Pemusatan (kekuasaan, pemerintahan dan sebagainya).”53

Dalam kaitannya dengan sentralisasi penanaman modal, maka sentralisasi berarti penyelenggaraan penanaman modal yang ditangani oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan pemerintah daerah. Sentralisasi penanaman modal menunjukkan bahwa semua hal, baik promosi penanaman modal, penentuan kebijakan penanaman modal, persetujuan dan perizinan penanaman modal, hingga perubahan penanaman modal harus dilakukan oleh pemerintah pusat.

Demikian halnya dengan sentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal, maka yang dimaksud dengan sentralisasi pemberian persetujuan

52

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.cit, hal 201.

53


(57)

dan perizinan penanaman modal adalah kewenangan untuk memberikan persetujuan dan perizinan penanaman modal berada di tangan pemerintah pusat. Di sini daerah tidak mempunyai peran dalam hal penentuan kebijakan di bidang penanaman modal, semuanya merupakan kebijakan dari pemerintah pusat.

B. Sejarah dan Perkembangan Desentralisasi Dan Sentralisasi Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal

Penanaman modal di Indonesia dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Nageri. Perkembangan kedua undang-undang tersebut menyusul tampilnya rezim orde baru sebagai pemegang tampuk kekuasaan pemerintahan. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut kemudian dilengkapi dan disempurnakan pada Tahun 1970, dimana Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 disempurnakan dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 disempurnakan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1970.54

Dalam Sejarah ketatanegaraan Indonesia sistem pemerintah sentralisasi mengalami perjalanan panjang, namun sistem sentralisasi perubahan pada saat reformasi Tahun 1998. Sebelumnya pemerintah yang sangat sentralistik bertahan dan dipraktekkan di Indonesia dalam jangka waktu yang sangat lama. Sehingga dengan reformasi terbentuklah pemerintahan dengan sistem desentralisasi di Indonesia.

54


(58)

Perubahan sistem pemerintah dari sentralisasi menuju desentralisasi ikut berpengaruh terhadap mekanisme penanaman modal di Indonesia.

Demikian halnya dengan persetujuan dan perizinan penanaman modal baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri mengalami perubahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal berdasarkan regulasi, dalam rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri mengalami perubahan dan perkembangan sebagai berikut:

1. Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973

Desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal mulai dikenal dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 tentang Tata Cara Penanaman Modal. Desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal ini hanya diperuntukkan untuk penanaman modal dalam negeri, sedangkan untuk persetujuan dan perizinan penanaman modal asing masih bersifat sentralisasi. Adapun prinsip-prinsip desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam negeri berdasarkan Keputusan Presiden tersebut adalah:

Ketentuan pokok tentang Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Dalam Negeri diatur sebagai berikut:

a. Calon penanam modal yang akan mengadakan usaha dalam rangka penanaman modal dalam negeri menyatakan minatnya dengan menghubungi BKPM daerah untuk memperoleh keterangan mengenai kemungkinan penanaman modal di bidang usaha tertentu.


(59)

b. Setelah calon penanaman modal mendapatkan keterangan-keterangan tentang terbukanya bidang usaha, maka calon penanam modal menghubungi Notaris untuk menyelesaikan Akte Notaris guna pendirian Badan Hukum, kecuali bagi penanam modal yang telah mempunyai bidang usaha berbentuk Badan Hukum. c. Setelah memperoleh Akte Notaris pembentukan Badan Hukum, calon penanam

modal mengajukan permohonan kepada BKPM Daerah untuk memperoleh: 1. Izin Usaha Sementara

2. Izin Penggunaan Tanah Sementara 3. Izin bangunan Sementara

4. Izin Undang-undang Gangguan Sementara

Dengan mengisi formulir sesuai dengan bentuk dan tata cara yang akan diatur lebih lanjut oleh Ketua BKPM Pusat.

d. Penyelenggaraan untuk memperoleh izin-izin tersebut diatas ad. c Pasal ini, dikordinir oleh BKPM Daerah.

e. Tembusan Izin-izin Sementara tersebut ad.c Pasal ini yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah dan oleh Perwakilan Departemen yang bersangkutan di Pusat. f. Dalam hal calon penanam modal akan melakukan usahannya tanpa memerlukan

fasilitas/keringan fiskal dalam rangka penanaman modal dalam negeri, maka calon tersebut mengajukan permohonan kepada BKPM Daerah untuk memperoleh izin usaha tetap.

g. Permohonan penanam modal ad. f Pasal ini, diteruskan oleh BKPM Daerah kepada BKPM Pusat, dengan melampirkan salinan izin-izin yang telah dikeluarkan tersebut ad.e Pasal ini berserta Akte Notaris pembentukan Badan Hukum.

h. BKPM Pusat meneliti apakah permohonan tersebut segera diberitahukan kepada calon penanam modal yang bersangkutan.

i. Apabila permohonan untuk memperoleh izin tetap tersebut dikabulkan, maka BKPM mengkoordinir penyelesaian izin-izin meliputi:

1. Izin tetap Departemen yang bersangkutan

2. Pengesahan Badan Hukum/ PT oleh Departemen Kehakiman

Izin-izin tersebut disampaikan oleh BKPM kepada calon penanam modal yang bersangkutan, sedangkan tembusan disampaikan kepada BKPM Daerah dan Instansi-instansi pemerintah lainnya yang dipandang perlu.

j. Penyelesaian izin penggunaan tanah sementara, izin bangunan sementara dan izin Undang-undang gangguan sementara menjadi izin-izin yang bersifat tetap dikoordinir oleh BKPM Daerah dengan instansi pemerintah Daerah yang bersangkutan.

k. Bagi penanam modal dalam negeri yang telah mempunyai bidang usaha tertentu dan ingin memanfaatkan fasitas/keringanan fiskal dalam rangka Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri, yang bersangkutan menyatakan minatnya juga dengan menghubungi BKPM Daerah.

l. Calon penanam modal maupun penanam modal yang berminat untuk memperoleh fasilitas-fasilitas/keringanan-keringanan fiskal dalam rangka


(60)

Undang-undang Penanaman Modal dalam Negeri maka yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada BKPM Daerah dengan mengisi formulir, sesuai dengan bentuk dan tata cara yang akan diatur lebih lanjut oleh Ketua BKPM Pusat dengan melampirkan:

1. Akte Notaris pembentukan Badan Hukum/Akte pengesahan Badan Hukum. 2. Izin usaha sementara/izin usaha tetap

3. izin penggunaan tanah sementara/Izin penggunaan tanah tetap 4. Izin bangunan sementara/Izin bangunan tetap.

5. Izin Undang-undang gangguan sementara/ Izin Undang-undang gangguan tetap

m. BKPM Daerah setelah meneliti kelengkapan permohonan tersebut ad.1 Pasal ini, kemudian meneruskannya kepada BKPM Pusat dengan disertai pertimbangan-pertimbangan seperlunya.

n. BKPM Pusat meneliti apakah permohonan fasilitas/keringanan fiskal tersebut wajar untuk dikabulkan, sesuai dengan ketentuan dan kebijaksanaan yang berlaku di bidang penanaman modal dalam negeri.

o. Apabila permohonan untuk meperoleh fasilitas/keringan fiskal tersebut dikabulkan, maka BKPM mengkoordinir penyelesaian izi-izin yang meliputi: 1. Izin usaha tetap dari Departemen yang bersangkutan;

2. Pengesahan P.T oleh Departemen Kehakiman;

3. Fasilitas/keringanan pajak dari Departemen Keuangan; 4. Fasilitas/keringan bea masuk dari Departemen Keuangan;

Tembusan keputusan-keputusan/izin-izin tersebut disampaikan kepada BKPM Daerah dan Instansi Pemerintah lainnya yang dipandang perlu

p. Keputusan-keputusan/izin-izin tersebut ad.o Pasal ini disampaikan oleh BKPM Pusat kepada yang bersangkutan.

q. Dalam hal calon penanam modal yang bersangkutan masih memiliki izin penggunaan tanah sementara, maka penyelesaian izin-izin tersebut menjadi izin tetap, dikoordinir oleh BKPM Daerah dengan instansi-instansi Pemerintah Daerah yang bersangkutan .

r. Besarnya biaya-biaya yang diperlukan untuk memperoleh keputusan-keputusan/izin-izin dalam rangka penanaman modal dalam negeri yang diatur dalam Keputusan Presiden ini, dibebankan kepada penanam modal yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.55

Ketentuan tersebut di atas telah menunjukkan ada sejumlah kewenangan dari pemerintah daerah berkaitannya dengan perizinan Penanaman Modal dalam Negeri (PMDN). Adapun hal-hal yang menunjukkan peranan pemerintah daerah dalam hal

55


(61)

tersebut diatas: Pertama, setiap investor dalam negeri yang akan melakukan penanaman modal terlebih dahulu menghubungi BKPM Daerah untuk memperoleh informasi dan peluang penanaman modal yang tersedia di daerah setempat.Kedua, Izin usaha sementara, Izin Penggunaan Tanah Sementara, Izin Bangunan Sementara, dan Izin Usaha Undang-Undang Sementara diajukan dan dikoordinir permohonan tersebut oleh BKPM Daerah, meskipun format dan tata caranya ditetapkan oleh BKPM Pusat, Ketiga, bahwa untuk penanam modal akan melakukan usahanya tanpa memerlukan fasilitas fiskal dalam rangka penanaman modal dalam negeri, maka calon tersebut mengajukan permohonan kepada BKPM Daerah untuk memperoleh izin usaha tetap.

Ketiga hal tersebut di atas, telah menunjukan bahwa persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam negeri berdasarkan keputusan presiden tersebut telah menunjukkan adanya desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam negeri.

Itulah deskripsi singkat mengenai konsep desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal, dalam rangka penanaman modal dalam negeri sebagaimana terdapat dalam Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 tentang Tata Cara Penanaman Modal. Dalam perkembangannya tepat tanggal 3 Oktober 1977 Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 dicabut dengan Keputusan Presiden No. 54 Tahun 1977 tentang Ketentuan Tatacara Penanaman Modal


(62)

2. Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998

Setelah konsep sentralisasi mendominasi semua bidang pemerintahan, sebagaimana tuntutan reformasi maka hampir semua bidang yang selama ini sentralisasi berubah menjadi desentralisasi, termasuk juga bidang penanaman modal. Desentralisasi penanaman modal pada tahap ini hanyalah ditujukan kepada penanaman modal dalam negeri. Pada tahun tersebut dikeluarkan Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal.

Dalam Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 tersebut, hanyalah penanaman modal dalam negeri saja mengalami perubahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Sedangkan untuk persetujuan dan perizinan penanam modal asing masih sentralisitik, dimana permohonan ditujukan kepada Presiden dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).56 Di sini peran daerah, dalam hal ini Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) hanya untuk memperoleh/mendapatkan informasi mengenai peluang untuk melakukan penanaman modal.

Prinsip desentralisasi persetujuan dan perizinan penanam modal untuk penanaman modal dalam negeri berdasarkan Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 adalah sebagai berikut:

1. Kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (2), angka (3), angka (5) huruf a,

56

Pasal 2 angka (3) huruf b. Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal.


(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Adolf, Huala, Perjanjian Penanaman Modal Dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO), Jakarta : Rajawali, 2004.

Ahmad, Kamaruddin, Dasar-Dasar Manajemen Investasi, Jakarta : Rineka Cipta, 1996.

Asikin, Zainal dan Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2006.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.

Dumairy, Perekonomian Indonesia, Jakarta : Erlangga, 1997.

Ensiklopedia Indonesia, Jakarta : Ichtiar Baru - Van Hoeven dan Elsevier Publishing Project, 1970.

Harjono. K, Dhaniswara, Hukum Penanaman Modal Tinjauan Terhadap Pemberlakuan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007

Harris, Myra A., Legal Reseacrh, ed.10, New York : Prentice Hall, 1997

HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006 ---, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : UII Press Indonesia, 2002

HS, Salim, dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi Di Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008

Irawan, Suparmono, Ekonomi Pembangunan ed.5, Yogyakarta : BPFE, 1996.

Ibrahim, Jhonny, Teori &Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia Publishing, 2006

Ilmar, Aminuddin, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Jakarta : Prenada Media Group, 2007.


(2)

Jeddawi, Murtir, Memacu Investas Di Era Otonomi Daerah, Yogyakarta : UII Press, 2006.

Kontjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : PT. Gramedia, 1997.

Manan Bagir, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994.

---, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, cet.I, Yogyakarta : Pusat Studi Hukum UII, 2001.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2005

Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan pembangunan Ekonomi, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan Tgl 17 April 2004.

Nirwono, Ilmu Ekonomi Untuk Kontek Indonesia, Jakarta : LP3ES,1991.

Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet.5, Jakarta : Balai Pustaka, 1976.

Rajagukguk, Erman, dkk, Hukum Investasi, Jakarta : UI Press, 1995. Sembiring, Sentosa, Hukum Investasi, Bandung : Nuasa Aulia, 2007.

Siregar Mahmul, Perdagangan Internasional Dan Penanaman Modal: Studi Kesiapan Indonesia Dalam Perjajian Investasi Multilateral, Medan : Universitas Sumatera Utara, 2005.

Sumantoro, Bunga Rampai permasalahan Penanaman Modal dan Pasar Modal/Problem of Investment in Equities and in Securities, cet.I, Jakarta : Binacipta, 1984.

Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Perumahan Dan Permukiman Berkelanjutan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003. The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia,


(3)

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.3, Jakarta : Balai Pustaka, 1970.

B. Karya Ilmiah/Artikel/Majalah

Yushfi Munif Nasution, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan, Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2007.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menata Ke Depan perekonomian Nasional, Jakarta : Bappenas, 1999.

Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Peluang Investasi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh : 2007.

Bisnis Indonesia, Tanggal 26 Januari 2004, “Keppres Investasi Satu Atap Disiapkan”.

Waspada, Tanggal 18 September 2007, “ Wewenang Investasi Limpahkan ke Aceh”. Kompas, Tanggal 14 April 2008 “Aceh Canangkan Tahun Wisata dan Investasi”. Jurnal Hukum Bisnis Vol. 26-No.4 Tahun 2007.

Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22-No. 5 Tahun 2003

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintaha Daerah.


(4)

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Proponsi sebagai Daerah otonom.

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

D. Keputusan Presiden

Keputusan Presiden No. 63 Tahun 1969 Tentang Peraturan dan Prosedur Mengenai Pengawasan Pelaksanaan Penanaman Modal

Keputusan Presiden No. 20 Tahun 1973 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal

Keputusan Presiden No. 54 Tahun 1977 Tentang Ketentuan Pokok Tata Cara Penanaman Modal.

Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 Tentang Tata Cara Penanaman Modal. Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1992 tentang Tata Cara Penanaman Modal

Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal. Keputusan Presiden No. 117 Tahun 1999. Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan

Presiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal. Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No :

37/SK/1999 Tentang Pelimpahan KewenanganPemberian persetujuan dan Fasilitas Serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal Kepada Gubernur kepala Daerah Propinsi.

Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No : 38/SK/1999 Tentang Pedoman Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing


(5)

Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1977 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 Tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah

Keputusan Presiden No. 116 Tahun 1998 Tentang perubahan Atas Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 Tentang pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah.

Keputusan Presiden No. 122 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 Tentang pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah.

Keputusan Kabinet Ampera No. 17/EK/KEP/1/1967 Tentang Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing

Keputusan Presiden No. 286 Tahun 1968 Tentang Pembentukan Panitia Teknis Penanaman Modal

Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Keputusan Presiden No. 78 Tahun 1982 Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Keputusan Presiden No. 113 Tahun 1998 Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal

Keputusan Presiden No. 120 Tahun 1999. Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal

Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal

Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap


(6)

E. Jaringan Internet

Riset Aceh Institute, “Pemetaan Kewenangan Pemerintahan Aceh Berdasarkan UU

No. 11 Tahun 2006”, Sumber,

www.acehinstitute.org/Riset_UU_No_11006, diakses Tanggal 14