Hubungan Desentralisasi Pemberian Persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal Dengan Otonomi

C. Hubungan Desentralisasi Pemberian Persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal Dengan Otonomi

Berbagai perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah melalui asas desentralisasi, dekonsentralisasi dan tugas pembantu, dapat dijadikan indikator besar kecilnya wewenang daerah dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya. Semakin besar penerapan asas desentralisasi pada daerah, semakin luas urusan pemerintah yang diatur masing-masing daerah, sebaliknya semakin besar penerapan asas dekonsentralisasi akan semakin kecil penerapan asas desentralisasi, maka semakin kecil pula urusan pemerintahan yang diatur oleh masing-masing daerah. Dalam sejarah ketatanagaraan Repubulik indonesia pernah mengalami pasang surut pelaksanaan otonomi daerah. Pada era pemerintahan orde baru pelaksanaan otonomi daerah dikenal dengan asas otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yang dalam praktiknya lebih banyak bersifat sentralisasi. Sebaliknya pada era reformasi telah dikeluarkan dua undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan otonomi daerah yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya dirubah denganUndang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999, pengutamaan pelaksanaan otonomi daerah desentralisasi menyebutkan bahwa “Kewenangan Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU e-Repository © 2008 daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain”. 146 Jika diteliti secara seksama maka Pasal 7 tersebut akan tampak bahwa pelaksanaan otonomi nyata dan bertanggungjawab, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, tetapi lebih luas lagi yaitu “Otonomi daerah yang luas nyata dan bertanggungjawab” adanya kata otonomi yang luas, dapat diartikan ada konsistensi, keinginan, atau political will dari pemerintah pusat untuk memperbesar wewenang pelaksanaan asas desentralisasi di daerah sesuai ketentuan MPR No. XVMPR1998 Tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik indonesia. Berdasarkan TAP MPR No. XVMPR1998 tersebut, pelaksanaan otonomi daerah pada dasarnya dilakukan dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah pelaksanaan sebagai berikut: 1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip demokrasi dengan memperhatikan keanekaragaman daerah. 2. Penyelenggaraan otonomi daerah memberikan wewenang yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan melalui pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 3. Penyelenggaraan otonomi, pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, perimbangan keungan pusat dan daerah dalam 146 Pasal 7 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU e-Repository © 2008 kerangka mempertahankan dan memperkokoh negara secara berkesinambungan yang diperbuat dengan pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat dan masyarakat. 147 Dari butir-butir tersebut dapat dipahami bahwa kaidah-kaidah partisipatif, transparansi dan keadilan dalam penyelengaraan pemerintah daerah selalu menjadi perhatian utama. Bahkan dengan orientasi penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan tanggungjawab politik daerah dalam membangun proses demokratisasi di daerah. Sejalan dengan dinamika dan perkembangan politik yang demikian cepat, maka setelah lima tahun reformasi bergulir, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dirasakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti, maka lahirlah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya dirubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah ini asas penyelenggaraan otonomi daerah berubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman menjadi asas otonomi dan tugas perbantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip negara RI sebagimana dimaksud dalam UUD. 1945. Dasar pemikirannya sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan umum adalah: Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi 147 Ujang Bahar, “Wewenang Pemerintah Daerah Terhadap Pinjaman Yang Sumber Dananya Berasal Dari Luar Negeri”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 26 - No. 4 Tahun 2007, hal 50. Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU e-Repository © 2008 luas daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem negara kesatuan Republik Indonesia. 148 Di samping itu pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi, keanekaragaman daerah dan pembangunan daerah. Dalam kaitannya dengan istilah pembangunan sebagai suatu konsep yang digunakan di Indonesia, diambil alih dari frasa development yang terjemahan harfiahnya adalah perkembangan, pembangunan dan pertumbuhan. Pembangunan mencerminkan adanya dinamika perubahan yang berproses yang dihasilkan oelh suatu tindakan yang disengaja dan direncanakan. Dengan demikian, esensi pembangunan adalah perubahan dari suatu kondisi awal ke kondisi yang lebih baik, baik yang bersifat ragawi maupun yang bersifat non ragawi. Demikian halnya dengan pembangunan daerah sebagai bagian dari pembangunan nasional, di mana di dalamnya tercakup urusan otonomi daerah, di antaranaya urusan bidang penanaman modal. Sejalan dengan pembangunan ekonomi daerah, maka pembangunan daerah tidak dapat dipisahkan antara lain dengan penanaman modal. Sebab aktifitas ekonomi daerah berkaitan dengan penanaman modal dan dapat memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Besar sumber daya alam suatu daerah, tidak akan berarti banyak, apabila 148 Ibid, hal 51. Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU e-Repository © 2008 tidak terdapat cukup investasi atau penanaman modal untuk mengembangkan potensi tersebut. Dengan otonomi daerah urgensi penanaman modal makin mengemuka seiring dengan kebutuhan daerah otonom untuk mengembangkan potensi sumberdaya alam yang dimiliki, namun terbentur dengan kendala pendanaan, sehingga diperlukan pengaturan dalam penanaman modal. Peranan penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing atau sejenis, memiliki peranan yang sangat penting dalam menunjang sukses dan berlangsungnya pembangunan. Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. USU e-Repository © 2008

BAB IV PELAKSANAAN KEWENANGAN PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN