BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Kemiskinan kerap kali menjadi persoalan yang tidak kunjung selesai, mulai dari kesadaran masyarakat sampai kemampuan pemerintah dalam menganalisis
masalah dan merencanakan program yang menjanjikan, namun faktanya program itu hanya bersifat aturan yang tertulis diatas kertas, Sedangkan keluh kesah warga keras
terdengar di telinga. Contoh kecil, seperti anak jalanan yang hingga kini masih menuai masalah
tanpa ada solusi yang tepat untuk mengatasinya. Fenomena anak hidup di jalan saat ini mudah kita temui di sudut-sudut kota besar terutama Kota Medan. Mata kita sudah
tidak asing lagi melihat anak-anak mengerumuni mobil-mobil dipersimpangan lampu merah, mendatangi warung-warung pinggir jalan menawarkan jasa atau sekedar
meminta sumbangan. Aktivitasnya mulai bermain musik, menjual koran, menyemir sepatu hingga meminta sumbangan dengan kotak amal.
Sebagian dari anak jalanan menganggap bahwa mereka lebih baik bekerja dan mencari uang untuk jajan daripada pergi ke sekolah, karena malas berfikir. Apalagi
mereka biasa mendapatkan kurang lebih Rp.20.000 sampai Rp.100.000 per hari dari bekerja di jalanan. Sehingga, anak-anak jalanan menjadi malas jika diajak ke habitat
“normal” seperti anak seusia mereka pada umumnya. Jumlah anak jalanan semakin meningkat dari tahun ke tahun, banyak hal yang
menjadi faktor pendorong ataupun penarik bagi seorang anak untuk terjun dan
Universitas Sumatera Utara
bergabung menjadi anak jalanan, salah satunya adalah masalah kemiskinan yang tentu saja bukan hal baru di Indonesia.
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak KPAI, diperkirakan tahun 2006 terdapat 150 ribu anak jalanan di Indonesia. Konsentrasi terbesar di Jakarta.
Sedangkan jumlah anak usia sekolah yang berada di jalanan kota Medan menjelang akhir tahun 2009 mencapai 500-an. Pasalnya, selain minimnya keuangan dari
keluarga, anak juga dijadikan pekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari meskipun mereka masih dikatakan dibawah umur.
http:www.waspada.co.id anak- usia-sekolah-pengemis-jalanan, Medan, diakses pada tanggal 18 Desember 2010 pukul 15.22
WIB.
Dengan usia yang sangat muda, pada umumnya anak-anak jalanan bekerja di sektor informal. Pilihan sektor informal adalah sebuah jawaban atas rendahnya
pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh anak-anak jalanan. Seperti yang telah dipaparkan diatas, biasanya anak-anak jalanan memimih bekerja sebagai penjual
makanan ringan, minuman ringan, penjual koran, penyemir sepatu, pengamen, pemulung sampai pengemis sekalipun mereka kerjakan. Lokasi yang menjadi sasaran
untuk mereka di pusat perbelanjaan, terminal bus, stasiun kereta api, perempatan jalan dan taman kota.
Interaksi anak-anak di jalan membuat mereka rentan terhadap perlakuan kekerasan dan eksploitasi. Anak-anak jalanan yang dipaksa berjuang untuk
mempertahankan hidupnya. Keadaan ini membentuk jiwa anak-anak jalanan menajdi
Universitas Sumatera Utara
keras dan terkadang timbul kesan jauh dari etika dan norma-norma kehidupan masyarakat.
Anak-anak yang hidup di jalan sangat berbeda dengan anak-anak yang hidup dalam asuhan orang tuanya. Anak-anak dijalan hidup secara bebas. Mereka bebas
melakukan apa saja yang mungkin belum patut dilakukan anak-anak seumuran mereka. Umumnya terlihat berpakaian lusuh, kumal, dandanan jauh dari kesan rapi
hingga tato menghiasi tubuh mereka. Rokok, minuman keras, dan mabuk-mabukan sepertinya sudah umum dilakukan anak-anak seusia mereka yang seharusnya
mengenyam pendidikan di sekolah. Anak-anak di jalan sebagian besar putus sekolah karena ketiadaan biaya. Akibatnya mereka seakan tidak terdidik.
Keadaan-keadaan inilah yang menyebabkan sebagian besar kelompok masyarakat mengasingkan mereka. Masyarakat tidak menganggap mereka bagian dari
warga masyarakat. Akibatnya terjadi penolakan di setiap kehadiran mereka. Terbitnya Peraturan Daerah Perda Provinsi Sumatera Utara No.6 Tahun
2003 tentang Gelandangan dan Pengemis merupakan bentuk konkrit kepedulian pemerintah terhadap penanggulangan anak jalanan. Namun pada kenyataannya hal itu
hanya legalisasi pelepasan tanggung jawab pemerintah, padahal anak-anak jalanan dan kaum miskin perkotaan adalah tanggung jawab negara. Pelayanan yang diberikan
terhadap anak jalanan masih tidak terarah, tidak bermakna, bahkan dinas yang seharusnya bertanggungjawab tidak ada program yang bersentuhan langsung dalam
penanggulangan anak jalanan.
Universitas Sumatera Utara
http:kksp.or.ididPenangananAnakJalananMasihPendekatanKriminalisasiBelumBe rparadigmaTanggungjawab, Medan, diakses jumat, 05 November 2010 Pukul 14.54
wib Sejak tahun 1991, Yayasan Kelompok Kajian Sosial Perkotaan KKSP yang
merupakan pusat pendidikan dan informasi hak anak memulai ide program pendampingan dan advokasi anak jalanan melalui pendekatan basis jalanan dan
center. Pendidikan alternatif yang diberikan pada anak jalanan adalah pendidikan luar sekolah. Pendidikan ini bertujuan untuk pengembangan karakter, meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan, namun tetap mempertimbangkan prinsip pluralisme, partisipasi dan semua orang adalah guru.
Melalui pendampingan, Yayasan Kelompok Kajian Sosial Perkotaan KKSP mencoba membantu mengatasi persoalan yang dihadapi anak jalanan, membimbing
mereka agar dapat menerapkan hak partisipasi dalam menentukan sesuatu, baik kegiatan yang berhubungan dengan kerja maupun kebutuhan lainnya. Menjelaskan
batas-batas pekerjaan yang bisa mereka lakukan untuk membantu ekonomi keluarga atau dirinya sendiri.
Dalam penanganan masalah anak jalanan, Yayasan Kelompok Kajian Sosial Perkotaan KKSP mempunyai dua pendekatan. Pendekatan pertama disebut
eliminasi. Anak jalanan ditarik dari jalanan kemudian diberikan pendidikan, diberi bantuan usaha, disupervisi usaha dan eksistensinya. Namun pendekatan ini tidak
memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Anak-anak itu kembali turun kejalan. Alasannya beragam, mulai dari pasar yang tidak menyerap karya mereka karena
dianggap terlalu mengusung nilai-nilai idealisme yang belum menyatu dengan nilai-
Universitas Sumatera Utara
nilai masyarakat lain hingga keterbatasan sumber daya. Satu sisi lagi pemerintah dianggap tidak melakukan apa-apa, dan malahan mempersempit ruang gerak anak
jalanan tanpa memberikan solusi. Padahal pemerintah memiliki sumber daya untuk itu dan sudah diamanatkan undang-undang seperti tercantum dalam pasal 34 UUD
1945, “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara.” Masalah lainnya adalah inkonsistensi. Anak jalanan kurang bisa
mempertahankan apa yang sudah diusahakannya. Misalnya semula memutuskan membuka warung kopi, namun bisa segera berbalik arah jika menemui hambatan.
Kembali turun ke jalan lagi menjadi pilihan mereka, karena itu perlu bimbingan dan pengawasan dari pihak yang peduli terhadap mereka.
Pendekatan kedua adalah pendekatan kultur dengan program penguatan kelompok. Anak jalanan tetap berada di jalanan. Mereka diajarkan agar respek
dengan pasar mereka dan dibekali keterampilan agar karyanya bisa dihargai. Mereka dibekali wawasan dan bimbingan bagaimana berinteraksi dengan masyarakat. Ada
etika yang harus ditaati agar bisa diterima sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat.
Yayasan Kelompok Kajian Sosial Perkotaan KKSP memiliki konsep, anak jalanan yang ingin menjadi mitra harus memiliki karakter, difasilitasi untuk mandiri
agar bisa hidup secara baik. Kosep rumah singgah pun digagas untuk melepaskan anak-anak dari jalanan. Mereka yang bergabung diperlakukan sebagai mitra sederajat.
Peraturan kelompok pun dibuat anak jalanan itu sendiri. Mereka yang melanggarnya akan mendapatkan konsekuensi dari mereka sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Berangkat dari kondisi yang telah dipaparkan dan latar belakang permasalahan diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian berkenaan dengan
evaluasi pelaksanaan program penguatan kelompok yang diberikan oleh Yayasan Kelompok Kajian Sosial Perkotaan KKSP Medan terhadap anak jalanan serta
melihat sejauh mana keberhasilan pelaksanaan program tersebut dalam upaya pemberdayaan anak jalanan di kota Medan. Untuk itu, penulis mengangkat
permasalahan yang dirangkum dalam penelitian sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul: Evaluasi pelaksanaan program penguatan kelompok anak
jalanan oleh Yayasan Kelompok Kajian Sosial Perkotaan KKSP Medan”.
I.2 Perumusan Masalah