Kolaborasi Audio dan Visual

Gambar 6: Sablonase Dokumentasi: Danastri, 2016 Konsep kolaborasi ini bertujuan untuk menjadikan Lelagu suatu melting pot atau ruang lebur bagi komunitas-komunitas musisi dan perupa yang biasanya memiliki acara masing-masing. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Prihatmoko Moki dalam wawancara 7 Juni 2016 sebagai berikut: “Jadi kalau ada pertunjukan musik kamu akan melihat yang datang ya orangnya musisi-musisi semua, kalau di pameran seni rupa yang datang perupa semuanya. Kalau di Lelagu semuanya datang, perupa dan musisi datang jadi satu.” Dengan adanya penggabungan unsur musik dan rupa ini, baik musisi dan perupa dapat menjangkau audiens yang lebih luas dari ranah seninya. Konsep Lelagu sebagai melting pot ini juga merepresentasikan KKF yang menjadi ruang pergaulan bagi seniman lintas bidang.

c. Kepanitiaan Lelagu

Lelagu terbentuk berkat kerjasama antara KKF dengan KANALTIGAPULUH. Kerjasama ini menguntungkan kedua belah pihak karena di satu sisi KANALTIGAPULUH mendapat tempat dan fasilitas untuk melangsungkan acara, sedangkan di sisi lain KKF mendapat bantuan tenaga untuk mengadakan program reguler di ruang pertunjukannya. Pembagian kerja yang terjadi saat itu adalah KANALTIGAPULUH bertanggungjawab dalam pemilihan penampil dari sisi audio musisi dan bertindak sebagai panitia. KANALTIGAPULUH berperan mempublisir acara melalui media sosial, website, serta radio online. KANALTIGAPULUH juga menyiarkan Lelagu secara live melalui radio online mereka. Sedangkan Prihatmoko Moki memegang tanggung jawab pada materi visual. Tugasnya mencakup pemilihan perupa yang tampil, pengerjaan dekorasi panggung, produksi poster untuk publikasi serta persiapan sablonase wawancara dengan Prihatmoko Moki, 7 Juni 2016. Menurut Gisela Swaragita dalam wawancara tanggal 3 Mei 2015, saat itu tim yang bekerja berjumlah kurang lebih 15 orang dengan komposisi anggota yang berubah-ubah di setiap gelaran. Didasari alasan-alasan seperti permasalahan internal dan kepentingan- kepentingan lain, tim ini terus mengalami pengurangan anggota. Sempat tersisa beberapa orang saja yaitu Komang Adhyatma, Gisela Swaragita, Adelina Maryam, dan Aditya “Kenthir” dari pihak KANALTIGAPULUH, serta Prihatmoko Moki dan Uniph yang saat itu didaulat menjadi manajer operasional KKF dan bergabung sejak Lelagu 11 Adhyatma, 2015. Setelah berjalan beberapa edisi, terjadi ketidakcocokan cara kerja dan perbedaan cara pandang dalam tim sehingga Komang Adhyatma sekaligus KANALTIGAPULUH secara institusi keluar dari kepanitiaan Lelagu. Pada akhirnya tim yang tersisa adalah Prihatmoko Moki dan Gisela Swaragita yang memang sejak awal menjadi inisiator Lelagu, serta Uniph dan Adelina Maryam yang bergabung belakangan. Menginjak edisi ke-14 pada bulan April 2015, Lelagu tidak lagi bekerjasama dengan KANALTIGAPULUH wawancara dengan Gisela Swaragita, 3 Mei 2015. Kewajiban menyelesaikan studi dan alasan-alasan pribadi lainnya membuat Adelina Maryam pada akhirnya keluar juga dari tim. Terhitung mulai Lelagu 17 pada bulan Oktober 2015, tim inti Lelagu hanya beranggotakan tiga orang yaitu Prihatmoko Moki, Gisela Swaragita, dan Uniph. Selebihnya untuk menutup kekurangan tenaga, tim Lelagu mengandalkan personel-personel lepas yang sukarela membantu dalam setiap edisi Lelagu.

d. Popularitas Lelagu

Komposisi panitia dan penonton pada gelaran-gelaran awal Lelagu yang terdiri dari orang-orang berpengaruh dalam skena musik indie serta seni rupa Yogyakarta membuat Lelagu cepat memperoleh popularitas di kalangan penikmat musik indie dan seni rupa Yogyakarta. Selain itu Lelagu adalah micro-gig atau pertunjukan berskala kecil pertama yang dihelat secara konsisten di Yogyakarta. Hal ini berimbas pada berdatangannya permintaan dari para musisi dan perupa untuk tampil di Lelagu. Semenjak edisi ketiga, Lelagu mulai menampilkan musisi dan perupa yang secara aktif menawarkan diri untuk tampil di Lelagu. Sejak edisi ketiga itu pula panitia mulai mengkurasi penampil dan menetapkan tema di setiap pertunjukan wawancara dengan Prihatmoko Moki, 7 Juni 2016. Sebagai pertunjukan non-komersil, Lelagu tidak memberikan imbalan materi kepada penampil sehingga para penampil terlibat secara sukarela. Namun hal ini tidak menyulitkan Lelagu untuk mendapatkan penampil. Menurut Gisela Swaragita dalam wawancara tanggal 3 Mei 2016, bagi para musisi dan perupa baru, Lelagu menjadi “batu loncatan” yang membuka peluang mereka untuk lebih dikenal dalam komunitas-komunitas seni musik dan rupa. “… jadi Lelagu itu bukan gigs yang besar. Ini tuh adalah micro gigs gitu lho. Gigs yang berasal dari komunitas dan panitianya itu nggak dibayar. Jadi kita mainin band-band yang bisa mbayar kita pake seneng. Gitu dan ternyata Lelagu tu bisa jadi stepping stone gitu buat band-band seperti itu, ternyata gitu.” Selain itu Lelagu juga mampu menggaet musisi-musisi indie ternama bertarif tinggi untuk tampil tanpa dibayar wawancara dengan Gisela Swaragita, 3 Mei 2015. Popularitas Lelagu juga tampak dari perkembangan jumlah penonton yang hadir. Dari jumlah sekitar lima puluh orang di gelaran-gelaran awal, penonton Lelagu terus bertambah hingga bisa mencapai sekitar dua ratus orang dalam satu pertunjukan. Lelagu juga sudah dikenal oleh komunitas-komunitas musik indie serta perupa di luar kota Yogyakarta hingga tim Lelagu pernah mendapat tawaran untuk membawa pertunjukannya ke kota lain. Beberapa gelaran Lelagu terakhir juga menampilkan musisi dari luar Yogyakarta yang menawarkan diri untuk bermain di Lelagu.