ANALISIS DESKRIPTIF MANAJEMEN PERTUNJUKAN PAGELARAN MUSIK BERTAJUK “LELAGU” DI YOGYAKARTA.

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

oleh

Margareta Angganararas Pindha Danastri NIM. 11208244027

JURUSAN PENDIDIKAN SENI MUSIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv 

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya

Nama : Margareta Angganararas Pindha Danastri

NIM :11208244027

Program Studi : Pendidikan Seni Musik

Fakultas : Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta  

menyatakan bahwa karya ilmiah ini adalah hasil pekerjaan saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya, karya ilmiah ini tidak berisi materi yang ditulis oleh orang lain, kecuali bagian-bagian tertentu yang saya ambil sebagai acuan dengan mengikuti tata cara dan etika penulisan karya ilmiah yang lazim.

Apabila ternyata terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar, sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

 

Yogyakarta, 26 September 2016 Penulis,

Margareta Angganararas Pindha Danastri  

 


(5)

v


(6)

vi

dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Deskriptif Manajemen Pertunjukan Pagelaran Musik Bertajuk ‘Lelagu’ di Yogyakarta”.

Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, saya menyampaikan banyak terima kasih kepada:

1. Drs. Pujiwiyana, M.Pd. selaku dosen pembimbing I yang telah memberi bimbingan dan ilmunya, serta masukan dan dukungan untuk segera terselesaikannya skripsi ini.

2. Yunike Juniarti Fitria, M. A. selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, dan mengoreksi dengan sabar dan teliti selama proses penulisan skripsi ini. 3. Tim inti Lelagu yakni Gisela Swaragita, Prihatmoko Moki, dan Uniph

selaku narasumber yang telah memberikan izin dan kemudahan untuk melaksanakan penelitian, serta memberikan waktu dan pengalaman yang berharga selama proses penelitian.

4. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan guna menyempurnakan


(7)

vii 

skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Yogyakarta, 26 September 2016 Penulis,

Margareta Angganararas Pindha Danastri


(8)

viii

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

ABSTRAK ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Fokus Permasalahan... 5

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Dasar Manajemen ... 8

1. Definisi Manajemen... 8

2. Fungsi Manajemen... 9

3. Sarana Manajemen... 16

B. Manajemen Seni Pertunjukan ... 20

1. Pengertian Manajemen Seni Pertunjukan ... 20


(9)

ix

A. Jenis Penelitian... 41

B. Subjek dan Objek Penelitian ... 42

C. Instrumen Penelitian ... 43

D. Tahap-tahap Penelitian... 43

E. Tempat dan Waktu Penelitian ... 47

F. Teknik Pengumpulan Data... 47

G. Teknik Analisis Data... 49

H. Uji Keabsahan Data ... 52

BAB IV MANAJEMEN PERTUNJUKAN PAGELARAN MUSIK LELAGU A. Hasil Penelitian ... 55

1. Kedai Kebun Forum... 55

2. Asal-usul Lelagu ... 56

3. Kolaborasi Audio dan Visual... 57

4. Perkembangan Lelagu... 60

a. Kepanitiaan Lelagu ... 60

b. Popularitas Lelagu ... 61

c. Pengkarcisan Lelagu ... 63

d. Focus Group Discussion(FGD) Lelagu ... 64

5. Penyelenggaraan Pagelaran Lelagu #18 ... 66

a. Tahap Pra Pementasan ... 67

b. Tahap Pementasan ... 73

c. Tahap Pasca Pementasan ... 74

B. Analisis Manajemen Pertunjukan Lelagu ... 75

1. Keberlangsungan Lelagu... 75

a. Tantangan dalam Penyelenggaraan Lelagu ... 75

b. Faktor Pendukung Kontinuitas Lelagu ... 77

c. Upaya Mempertahankan Lelagu ... 79

1) Pengelolaan Organisasi Pertunjukan Lelagu... 80

2) Pengelolaan Sarana Manajemen Lelagu ... 82

2. Struktur dan Peran dalam Manajemen Pertunjukan Lelagu... 91

3. Proses Manajemen Pertunjukan Lelagu... 95

a. Tahap Pra Pementasan ... 97

b. Tahap Pementasan ... 98


(10)

x

DAFTAR PUSTAKA ... 101 LAMPIRAN... 104


(11)

xi

Tabel 1 : Daftar Judul dan Tanggal Gelaran Lelagu ... 64

Tabel 2 : Rangkaian Acara Lelagu di Luar Pertunjukan... 66

Tabel 3 : Pengeluaran KKF untuk Lelagu ... 69

Tabel 4 : Deskripsi Tugas Lelagu #18 ... 70

Tabel 5 : Pembagian Hasil Penjualan Tiket Lelagu #18 ... 74

Tabel 6 : Tim Inti Lelagu ... 83

Tabel 7 : Pembagian Hasil Sablonase ... 84

Tabel 8 : Persentase Pembagian Hasil Penjualan Tiket Lelagu #16 dan #17 . 84 Tabel 9 : Persentase Pembagian Hasil Penjualan Tiket Lelagu #18 ... 85

Tabel 10 : Jumlah Penonton Lelagu Berbayar ... 89


(12)

xii

Gambar 1 : Struktur Organisasi Pertunjukan Sederhana... 27

Gambar 2 : Teknik Analisis Data Kualitatif... 50

Gambar 3 : Triangulasi Sumber ... 53

Gambar 4 : Triangulasi Teknik ... 53

Gambar 5 : PenggunaanOverhead Projectordalam Pertunjukan Lelagu ... 58

Gambar 6 : Sablonase... 59

Gambar 7 : Bagan Pembagian Kerja Lelagu ... 91

Gambar 8 : Struktur Organisasi Lelagu #18... 93

Gambar 9 : Bagan Proses Manajemen Pertunjukan Lelagu ... 96

Gambar 10 : Kedai Kebun Forum ... 109

Gambar 11 : Lapak ... 109

Gambar 12 : Penonton Lelagu... 110

Gambar 13 : Poster Lelagu #18 ... 110

Gambar 14 : SuasanaTechnical MeetingLelagu #18 ... 111

Gambar 15 : MateriTechnical Meeting Lelagu #18 ... 111

Gambar 16 : Pembuatan Dekorasi Panggung... 112

Gambar 17 : Penampilan Kavvah dan Ayu Desianti... 112

Gambar 18 : Penampilan Monohero dan Isnaen Bahar... 113

Gambar 19 : Penampilan Teman Sebangku dan Caitlin Taguibao ... 113


(13)

xiii

Lampiran 1 : Matriks Penelitian ... 104

Lampiran 2 : Pedoman Observasi... 105

Lampiran 3 : Pedoman Wawancara... 106

Lampiran 4 : Pedoman Dokumentasi ... 107

Lampiran 5 : Lampiran Foto... 108


(14)

xiv ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan aspek-aspek dalam manajemen pertunjukan pagelaran musik bertajuk “Lelagu” di Yogyakarta yang meliputi struktur organisasi dan proses manajemen pertunjukan, serta upaya panitia dalam mempertahankan keberlangsungan pertunjukan.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Objek penelitian ini adalah manajemen pertunjukan pagelaran musik “Lelagu” mencakup seluruh proses penyelenggaraan acara dari fase pra-acara hingga pasca acara, susunan kepanitiaan, dan pengelolaan pertunjukan. Data diperoleh melalui observasi, wawancara, dan dokumen. Analisis data menggunakan teknik analisis data kualitatif model Miles dan Huberman yang mencakup reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi. Keabsahan data diperoleh melalui triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) upaya yang dilakukan oleh tim Lelagu dalam mempertahankan acara mencakup pengelolaan organisasi pertunjukan Lelagu, dan pengelolaan sarana-sarana manajemen Lelagu yang terdiri dari Men, Money, Materials, Methods, Machines, dan Markets, (2) struktur organisasi yang diterapkan dalam manajemen pertunjukan Lelagu terdiri dari tiga tingkatan yaitu tingkatan direksi, manajer, serta pelaksana, dan merupakan bentuk organisasi seni pertunjukan sederhana yang sifatnya luwes, mengutamakan efisiensi, efektivitas, dan kenyamanan hubungan antar individu, serta keanggotaannya bersifat sukarela dan tidak mengikat. Proses yang terjadi dalam manajemen pertunjukan Lelagu terdiri dari tiga tahap yaitu tahap pra-pementasan, tahap pementasan, dan tahap pasca pementasan. Rangkaian proses ini berjalan secara fleksibel dan menyesuaikan kemampuan tim, kebutuhan penampil, serta kondisi faktual di lapangan.


(15)

1 A. Latar Belakang

Seni pertunjukan adalah bentuk karya seni yang ditampilkan di hadapan penonton, dan dapat mencakup berbagai bidang seni lain seperti seni musik, seni tari, seni teater, maupun seni rupa. Seni pertunjukan memiliki beragam fungsi dalam kehidupan manusia yang bergantung akan kebutuhan manusia itu sendiri. Menurut Soedarsono (1999: 57) seni pertunjukan memiliki fungsi yang berbeda dalam setiap zaman, setiap kelompok etnis, maupun setiap lingkungan masyarakat. Salah satu fungsi dari seni pertunjukan menurut Soedarsono (1999: 57) adalah sebagai presentasi estetis.

Fungsi seni pertunjukan sebagai presentasi estetis yaitu ketika seni pertunjukan dinikmati sebagai seni itu sendiri, atau sebagai sajian estetis. Di Indonesia, minat masyarakat untuk menikmati seni pertunjukan sebagai presentasi estetis mulai muncul pada akhir abad ke-19, ketika di beberapa wilayah tumbuh kota-kota yang penduduknya bukan hidup dari sektor pertanian (Soedarsono, 1999: 58). Penduduk kota yang bekerja sebagai pegawai, pengusaha, ataupun pedagang memiliki penghasilan cukup sehingga mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk kepentingan rekreasi. Bagi masyarakat perkotaan, seni pertunjukan merupakan salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan manusia yaitu kebutuhan akan rekreasi.


(16)

Salah satu kota dengan kebutuhan tinggi akan seni pertunjukan sebagai bentuk rekreasi adalah Yogyakarta. Hal ini tampak dari tingginya intensitas pengadaan gelaran seni pertunjukan di kota ini, dan banyaknya jumlah penikmat dalam setiap pertunjukan yang diadakan. Setiap hari dilangsungkan beragam acara dari berbagai disiplin seni, baik berbayar maupun gratis, dengan berbagai sasaran kalangan penonton. Salah satu gelaran seni pertunjukan yang rutin diadakan di kota Yogyakarta adalah pagelaran musik dan rupa bertajuk Lelagu.

Lelagu adalah pertunjukan yang menyajikan kolaborasi antara seni musik dan seni rupa/visual. Bentuk seni musik yang disajikan dalam Lelagu adalah musik dengan format combo band. Sedangkan seni rupa dalam pertunjukan ini disajikan secaralive, dalam arti karya yang disajikan tidak hanya diam atau statis, tetapi bergerak atau dinamis sebagai sebuah rangkaian pertunjukan. Biasanya perupa akan melakukan proses penciptaan karyanya secara langsung di hadapan penonton sebagai bagian dari musik yang dimainkan. Setiap musisi akan berkolaborasi dengan seorang perupa, sehingga mereka dapat saling merespon dengan karya masing-masing.

Pertunjukan ini diadakan setiap bulan dan kepanitiaannya bersifat voluntary atau sukarela. Pada awalnya, penonton yang datang tidak dipungut biaya. Namun saat ini Lelagu mulai menerapkan sistem ticketing dan menjadi acara yang berbayar. Lelagu juga terus berkembang sehingga acara yang diadakan tidak hanya gelaran musik dan rupa, tetapi juga FGD atau Focus Group Discussion yaitu kegiatan diskusi yang membahas mengenai perkembangan isu seputar kesenian danyouth cultureatau budaya anak muda di Yogyakarta.


(17)

Lelagu dikelola oleh sekelompok anak muda gabungan dari beberapa komunitas yang aktif dalam scene atau skena musik indie Yogyakarta. Istilah Sceneatau skena dijelaskan oleh Luvaas (2013: 202) sebagai berikut:

“A “scene” describes a social “field” (Bourdieu, 1977, 1980, 1993) characterized by interconnections between multiple, differently situated social actors, with varying degrees and types of participation. It can be local or trans-local, national or international. It has no clear boundaries of borders, no obvious points or rupture. It describes, in other words, an unstable configuration, rather than a tightly knit social unit. The term “scene,” borrowed from English and sometimes Indonesianized asskena, is in widespread circulation in Indonesia, as well.”

Skena menurut pengertian tersebut adalah suatu ranah sosial bercirikan adanya pelaku dari berbagai latar belakang sosial yang saling berhubungan, dan masing-masing memiliki bentuk dan intensitas partisipasi yang bervariasi. Ranah sosial ini tidak memiliki batasan tempat yang jelas sehingga lingkupnya bisa lokal sampai internasional. Ranah sosial ini juga tidak memiliki tujuan akhir yang nyata. Dengan kata lain, skena bukanlah suatu bentuk unit sosial yang terikat, melainkan suatu konfigurasi sosial yang tidak stabil.

Selanjutnya Indie dalam konteks ini diartikan sebagai gerakan bermusik yang berbasis dari apa yang dimiliki pelakunya sendiri (Do It Yourself) (Jube, 2008: 34). Menurut Jube (2008: 51), di Yogyakarta komunitas-komunitas musik indie telah muncul dan berkembang semenjak awal tahun 2000an. Komunitas semacam ini kerap mengadakan acara dalam skala kecil sebagai wadah bagi para musisi indie di Yogyakarta. Acara yang mereka adakan biasanya bertujuan sebagai wadah ekspresi dan apresiasi seni tanpa intensi komersil, sehingga sumber daya yang digunakan juga bersumber dari mereka sendiri.


(18)

Lelagu termasuk salah satumicro-gig atau pagelaran musik berskala kecil yang selalu dinanti dan mampu menarik perhatian para penikmat musik indie karena konsepnya yang menarik. Untuk ukuran pagelaran berskala kecil, jumlah peminat yang datang terbilang cukup banyak, mencapai sekitar 250 penonton di setiap pertunjukan. Lelagu juga termasuk acara berskala kecil yang mampu bertahan cukup lama, bahkan semakin berkembang eksistensinya. Sejak tahun 2013 sampai dengan saat ini, Lelagu telah dilangsungkan sebanyak 18 kali dan telah menampilkan lebih dari 50 musisi dari berbagaigenredi Yogyakarta seperti Individual Life,Risky Summerbee and the Honeythief,Frau, danSisir Tanah.

Keunikan konsep dan semangat DIY (Do It Yourself) yang diusung oleh Lelagu ternyata mampu membuat mereka bertahan lama meskipun harus bekerja secara mandiri. Kontinuitas dari pertunjukan ini tentunya tidak lepas dari kemampuan pengelolaan acara yang baik. Tata kelola acara atau disebut juga manajemen pertunjukan merupakan seluruh proses yang terjadi dalam pengadaan suatu pertunjukan, dari pra-acara sampai dengan pasca-acara. Proses ini meliputi berbagai aktivitas yang harus dilakukan penyelenggara pertunjukan, mulai dari perencanaan acara, pembagian peran, pengelolaan sumber daya, pelaksanaan acara, hingga evaluasi dan pertanggungjawaban setelah pertunjukan selesai. Ilmu manajemen pertunjukan sendiri penting dimiliki oleh para pegiat seni pertunjukan, sehingga manajemen pertunjukan menjadi salah satu mata kuliah yang ditawarkan dalam jenjang perkuliahan mahasiswa Pendidikan Seni Musik UNY.

Sebagai acara kecil dari komunitas yang bersifat mandiri, pengelolaan acara atau manajemen pertunjukan pagelaran musik Lelagu ini tentunya berbeda


(19)

dari manajemen pertunjukan profesional yang telah dipelajari di bangku perkuliahan. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk membahas manajemen pertunjukan dari pagelaran ini, untuk mengetahui struktur dan proses dalam manajemen pertunjukan ala skena indie Yogyakarta yang notabene belum begitu familiar di kalangan mahasiswa Pendidikan Seni Musik UNY. Selain itu peneliti juga tertarik untuk mengetahui manajemen yang dilakukan panitia sehingga Lelagu mampu bertahan sampai dengan 18 edisi.

B. Fokus Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, fokus permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Upaya yang dilakukan penyelenggara acara untuk mempertahankan keberlangsungan pagelaran musik Lelagu.

2. Struktur organisasi dan proses manajemen pertunjukan pagelaran musik Lelagu.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan fokus permasalahan tersebut, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana upaya yang dilakukan penyelenggara acara untuk mempertahankan keberlangsungan pagelaran musik Lelagu?

2. Bagaimana struktur organisasi dan proses manajemen pertunjukan pada pagelaran musik Lelagu?


(20)

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui upaya yang dilakukan penyelenggara acara untuk mempertahankan keberlangsungan pagelaran musik Lelagu.

2. Mengetahui struktur organisasi serta proses manajemen pertunjukan pada pagelaran musik Lelagu.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharap dapat berguna baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharap dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan manajemen seni pertunjukan sehingga mampu menyokong perkembangan ilmu manajemen seni pertunjukan di masa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini bisa menambah wawasan mahasiswa Pendidikan Seni Musik UNY akan keberagaman bentuk manajemen pertunjukan musik khususnya di Yogyakarta. Penelitian ini diharap dapat menjadi referensi pembelajaran untuk terus meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menggarap pagelaran musik di masa yang akan datang. Selain itu peneliti berharap penelitian ini bisa bermanfaat bagi panitia penyelenggara Lelagu untuk dapat melihat tinjauan manajemen pertunjukan Lelagu melalui sudut pandang


(21)

akademis. Diharapkan penelitian ini bisa menjadi bahan evaluasi bagi penyelenggara Lelagu sekiranya ditemukan permasalahan yang luput dari perhatian penyelenggara, sehingga mampu diperbaiki dan ditingkatkan dalam gelaran-gelaran mendatang.


(22)

8 A. Konsep Dasar Manajemen

1. Definisi Manajemen

Manajemen merupakan istilah serapan dari bahasa Inggris, “management” yang berasal dari bahasa Latin manus, yang berarti tangan, dan kemudian berkembang menjadimaneggiare yang berarti menangani (Sulistiyani, 2009: 8). Istilah manajemen sendiri telah banyak diartikan sehingga ada beberapa pengertian yang kerap digunakan untuk mendefinisikan manajemen.

Menurut George R. Terry, manajemen adalah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu dengan menggunakan kegiatan orang lain (Manullang, 2008: 4). Pengertian lain diutarakan oleh L. A. Appley bahwa manajemen adalah keahlian untuk menggerakkan orang melakukan suatu pekerjaan (Ranupandojo, 1996: 41). Dari kedua pengertian tersebut dapat dimengerti bahwa manajemen merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan cara melibatkan orang-orang lain dalam pelaksanaannya.

Selain kedua pendapat itu, dijelaskan oleh James Stoner dalam Ranupandojo (1996: 41) bahwa manajemen merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya lain yang ada dalam organisasi, guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sejalan dengan itu dijelaskan oleh Oey Liang Lee dalam Ranupandojo (1996: 42) bahwa manajemen adalah seni dan ilmu


(23)

perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengendalian manusia dan barang-barang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Kedua definisi tersebut menggambarkan manajemen sebagai proses yang mencakup beberapa kegiatan yang perlu dilakukan guna mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.

Dari beberapa definisi manajemen yang telah diutarakan, dapat dipahami bahwa inti dari manajemen adalah adanya tujuan yang telah ditetapkan, adanya proses yang mencakup serangkaian kegiatan, dan dibutuhkannya keterlibatan orang lain dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Dengan demikian dapat disusun suatu kesimpulan mengenai pemahaman manajemen yakni suatu upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dengan cara melaksanakan serangkaian kegiatan yang dapat diwujudkan melalui keterlibatan orang-orang lain dalam pelaksanaannya.

2. Fungsi Manajemen

Fungsi-fungsi manajemen merupakan bagian-bagian atau aktivitas dalam proses manajemen yang perlu dilaksanakan oleh seorang pimpinan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Terdapat berbagai pendapat mengenai fungsi-fungsi dalam manajemen, namun fungsi manajemen paling sederhana adalah sebagaimana diutarakan oleh George R. Terry. Fungsi-fungsi dasar manajemen menurut George R. Terry meliputi: Perencanaan, Pengorganisasian, Penggerakan, dan Pengawasan (Jazuli, 2014: 12).


(24)

a. Perencanaan

Siagian (2007: 36) mendefinisikan perencanaan sebagai usaha sadar dan pengambilan keputusan yang telah diperhitungkan secara matang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa depan oleh suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan. Perencanaan paling lazim disusun dengan cara mencari dan menemukan jawaban dari enam pertanyaan yang juga disebut 5W1H, yaitu:What (Apa),Where (Di mana),When(Kapan),Why(Mengapa), Who (Siapa), danHow (Bagaimana) (Siagian, 2007: 37).

Perencanaan merupakan tahap yang pertama kali dilaksanakan dalam suatu proses manajemen, sehingga menjadi fungsi manajemen terpenting karena perencanaan akan berpengaruh pada seluruh proses manajemen yang lain. Oleh karena itu dalam prosesnya perlu diberikan perhatian khusus, imajinasi yang kuat, serta didasari dengan pengetahuan teknik yang luas dan mendalam (Ranupandojo, 1996: 60).

Perencanaan yang baik menurut Harris & Allen (2010: 5) harus terjadi selama berjalannya acara, dan mungkin berubah seiring dengan berubahnya lingkungan dan ditemukannya faktor-faktor baru. Menurut Harris & Allen (2010: 5) terdapat dua tingkat perencanaan yang relevan dalam penyelenggaraan acara yaitu: (1) Perencanaan strategis yang membahas gambaran besar atau sasaran jangka panjang acara dan strategi yang dibutuhkan untuk mencapainya, dan (2) Perencanaan operasional untuk membahas langkah-langkah tertentu yang dibutuhkan untuk menerapkan strategi tersebut.


(25)

Perencanaan strategis diperlukan untuk mendapat gambaran menyeluruh yang jelas mengenai tujuan organisasi. Dalam kata lain, perencanaan strategis berarti menetapkan visi dan misi organisasi. Perencanaan strategis berguna untuk memberikan arah pada organisasi, menentukan fokus dan batasan, serta memudahkan dalam menyusun rencana kegiatan lebih lanjut. Perencanaan strategis dilaksanakan sebelum aktivitas-aktivitas dalam organisasi dilaksanakan.

Perencanaan operasional di sisi lain merupakan perencanaan yang lebih mendetail dan spesifik sebagai implementasi dari perencanaan strategis yang telah dibuat. Perencanaan operasional mencakup rancangan kegiatan serta pengalokasian sumber daya dalam jangka pendek yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi sebagaimana ditetapkan dalam perencanaan strategis. Perencanaan operasional dilaksanakan seiring dengan berjalannya aktivitas manajemen.

b. Pengorganisasian

Para ahli memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai definisi organisasi. Pandangan-pandangan tersebut oleh The Liang Gie dalam Sutarto (2006: 38) dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu organisasi sebagai kumpulan orang, organisasi sebagai proses pembagian kerja, dan organisasi sebagai sistem kerjasama, sistem hubungan atau sistem sosial. Dari ketiga pandangan tersebut, diutarakan oleh Sutarto (2006: 40) bahwa pandangan yang tepat adalah organisasi sebagai suatu sistem kerjasama, sistem hubungan, dan sistem sosial.


(26)

Guna memudahkan pemahaman akan makna organisasi, Sutarto (2006: 40) mengemukakan definisi organisasi secara sederhana yaitu: “Organisasi adalah sistem saling pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu.” Definisi ini menunjukkan adanya keterlibatan berbagai faktor yang saling berpengaruh dalam organisasi, yaitu orang-orang, kerjasama, dan tujuan.

Sistim hubungan antar faktor dalam organisasi tersebut masih tak berwujud. Agar hubungan antar faktor-faktor tersebut menjadi konkret, dibutuhkan adanya struktur organisasi supaya kewujudan organisasi menjadi jelas. Menurut Sutarto (2006: 41), struktur organisasi adalah kerangka antar hubungan satuan-satuan organisasi yang meliputi pejabat, tugas, serta wewenang yang masing-masing memiliki peran tertentu.

Herbert G. Hicks dalam Sutarto (2006: 12) membedakan organisasi menjadi dua berdasarkan kepastian strukturnya, yaitu organisasi formal dan informal. Organisasi formal menurut Hicks memiliki struktur yang dinyatakan dengan baik yang mampu menggambarkan hubungan-hubungan wewenang, kekuasaan, akuntabilitas, dan tanggungjawab dalam organisasi (Sutarto, 2006: 12). Hubungan-hubungan dan tujuan bersama dalam organisasi formal ditetapkan secara rasional dan setiap unsur organisasi memiliki kedudukan, tugas, dan fungsi-fungsi yang tegas (Manullang, 2008: 61). Dengan kata lain, organisasi formal dapat disebut sebagai organisasi yang strukturnya bersifat kaku karena strukturnya yang pasti dan ketat.


(27)

Organisasi informal merupakan kebalikan dari organisasi formal. Hicks dalam Sutarto (2006: 12) mendeskripsikan struktur organisasi dalam organisasi informal sebagai struktur yang luwes karena disusun secara bebas, fleksibel, tak pasti, dan spontan. Tidak seperti organisasi formal, kedudukan, tugas, serta fungsi-fungsi di dalam organisasi informal tampak kabur (Manullang, 2008: 61).

Sementara itu Murgiyanto (1985: 66) mengutarakan beberapa bentuk atau tipe struktur organisasi sebagai berikut:

1) Organisasi Lini (Garis)

Organisasi lini adalah bentuk organisasi yang paling sederhana. Wewenang dipegang oleh satu orang, dan garis komandonya satu arah dari atas ke bawah, sehingga segala keputusan dan tanggung jawab dipegang oleh pimpinan. 2) Organisasi Lini dan Staf

Bentuk organisasi ini adalah pengembangan dari bentuk organisasi lini, yang dalam hal ini dibantu oleh sekelompok staf yang mempunyai wewenang untuk memberikan bantuan pemikiran atau saran bagi pimpinan. Wewenang tertinggi untuk pengambilan keputusan tetap berada di tangan pimpinan.

3) Organisasi Fungsional

Organisasi fungsional menggolongkan anggotanya berdasarkan fungsi atau pekerjaan yang dilakukan. Bawahan menerima perintah dari kepala bagian dalam kelompok bidangnya masing-masing.


(28)

4) Organisasi Panitia

Dalam organisasi ini kepemimpinannya bersifat kolegial atau dewan, sehingga terdiri dari beberapa orang. Segala keputusan dan tanggung jawab diambil secara bersama-sama.

c. Penggerakan

Penggerakan menyangkut tindakan-tindakan yang menyebabkan suatu organisasi dapat berjalan ke arah sasaran perencanaan manajerial (Jazuli, 2014: 16). Penggerakan dilakukan oleh atasan kepada bawahan dengan tujuan agar anggota yang terlibat dalam organisasi mau dan sadar untuk mengerjakan tugas-tugasnya sesuai dengan rencana.

Menurut Jazuli (2014: 17), penggerakan dijalankan dengan berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Efisiensi, yaitu pemanfaatan sumber daya dan fasilitas yang ada secara optimal untuk mencapai hasil yang maksimal.

2) Komunikasi yang lancar, mempertahankan tenggang rasa dan hubungan yang sehat antarpelaku organisasi.

3) Kompensasi atau penghargaan berupa uang atau gratifikasi lainnya dari pimpinan.

Jazuli (2014: 17) juga mengutarakan beberapa tipe penggerakan yang dapat dilakukan, yakni sebagai berikut:

1) Motivasi, semangat, inspirasi yang dapat memacu tindakan dan kesadaran pekerja.


(29)

3) Pengarahan yang jelas dan konstruktif agar bawahan dapat melakukan pekerjaan dengan baik dan terkoordinasi.

d. Pengawasan

Pengawasan adalah bagian dari manajemen yang berfungsi untuk memastikan pelaksanaan manajemen berjalan sesuai dengan rencana. Pengawasan juga berfungsi untuk membenahi apabila terjadi kesalahan dalam proses manajemen (Murgiyanto, 1985: 72).

Terdapat berbagai macam cara pengawasan yang tergantung dari sudut pandang orang yang menjalankan (subjek), bidang yang diawasi (objek), dan dari segi waktu kapan pengawasan dilakukan (Murgiyanto, 1985: 72). Berdasarkan subjeknya, pengawasan terbagi menjadi:

1) Pengawasan internal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh orang dalam, misalnya oleh kepala bagian kepada bawahannya.

2) Pengawasan eksternal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh orang luar, misalnya pengawasan oleh bagian keuangan terhadap anggaran salah satu bidang kegiatan organisasi.

3) Pengawasan langsung yaitu pengawasan yang dilakukan sendiri oleh pimpinan.

4) Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan yang dilaksanakan lewat pembuatan laporan baik lisan maupun tulisan.

5) Pengawasan formal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh petugas yang memiliki wewenang pengawasan misalnya pengawasan oleh Dewan Komisaris terhadap perusahaannya.


(30)

6) Pengawasan informal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, misalnya lewat tulisan di surat kabar atau majalah (Murgiyanto, 1985: 75).

Kemudian berdasarkan objeknya, pengawasan mencakup hal-hal berikut: pengawasan terhadap penggunaan keuangan, pengawasan terhadap mutu dan jumlah produksi, pengawasan efisiensi waktu kerja, serta pengawasan terhadap tingkah laku personal anggota (Murgiyanto, 1985: 76).

Yang terakhir adalah pengawasan berdasarkan waktu pelaksanaannya. Dikenal dua macam pengawasan yaitu: pengawasan preventif yang dilakukan sebelum hal-hal tidak diinginkan terjadi, guna mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Lalu pengawasan represif yang dilakukan setelah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, dengan tujuan mencegah terulangnya kembali kejadian yang sama (Murgiyanto, 1985: 76).

3. Sarana Manajemen

Sarana, atau dapat pula disebut alat manajemen, adalah sumber daya yang digunakan dalam proses manajemen. Menurut Murgiyanto (1985: 33) sarana-sarana manajemen dibutuhkan guna mencapai tujuan manajemen dengan sebaik-baiknya. Terdapat enam sarana dalam manajemen yang disebut dengan “Enam M”, yakni: Men (Manusia), Money (Uang), Materials (Bahan-bahan), Methods (Metode), Machines(Mesin),danMarkets(Pasar) (Manullang, 2008: 5).

a. Men(Manusia)

Manusia adalah unsur utama dalam manajemen karena pada hakikatnya manajemen adalah suatu upaya pencapaian tujuan dengan cara menggunakan


(31)

orang (manusia) lain (Murgiyanto, 1985: 34). Tentunya suatu proses manajemen akan melibatkan lebih dari satu orang, dengan fungsi yang berbeda-beda pula.

Manusia yang terlibat dalam manajemen dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu manusia yang memimpin dan dipimpin (Murgiyanto: 1985: 34). Pimpinan dalam manajemen, disebut juga manajer, memegang peranan penting dalam proses manajemen karena manajer merupakan orang yang bertanggung jawab atas seluruh aktivitas manajemen yang terselenggara. Sedangkan manusia yang dipimpin merupakan seluruh anggota pelaksana kegiatan.

Meskipun suatu pertunjukan seni melibatkan banyak sekali orang, unsur manusia dalam manajemen seni pertunjukan hanya terdiri dari orang-orang yang tergabung dalam kepanitiaan pementasan seni pertunjukan. Sedangkan manusia yang tidak berperan sebagai penyelenggara acara dikategorikan sebagaiMaterials atau bahan dalam manajemen pertunjukan.

b. Money(Uang)

Uang dalam manajemen merupakan sarana yang dibutuhkan dalam proses produksi. Dalam manajemen seni pertunjukan uang digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti sewa tempat, kostum, lighting, dan sound system, biaya konsumsi panitia pertunjukan, biaya tata artistik panggung, hingga upah jasa untuk orang-orang yang terlibat dalam penggarapan pertunjukan.

c. Materials(Bahan-bahan)

Bahan-bahan dalam proses manajemen dapat berupa bahan mentah, bahan setengah jadi, maupun bahan jadi. Proses manajemen dalam suatu usaha produksi


(32)

bertujuan untuk mengolah bahan mentah atau bahan setengah jadi untuk dijual atau dipasarkan (Murgiyanto, 1985: 36).

Menurut Murgiyanto (1985: 37) berkaitan dengan material atau bahan-bahan, manajemen seni pertunjukan memiliki sifat yang sangat unik. Dalam sebuah manajemen seni pertunjukan, bahan yang akan diolah dan dipasarkan bukanlah bahan dalam bentuk benda mati, tetapi berupa nomor-nomor pertunjukan yang diproduksi secara estetis oleh manusia-manusia pelaku, dalam hal ini para seniman dan seniwati dari berbagai bidang. Sehingga dalam kata lain, materi atau bahan-bahan dalam manajemen seni pertunjukan adalah manusia-manusia seniman pelaku tersebut.

d. Methods(Metode)

Metode adalah cara kerja dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan dalam suatu proses manajemen (Murgiyanto, 1985: 38). Metode ditentukan dengan cara menjawab pertanyaan how (bagaimana) mengelola sumber-sumber daya dan waktu yang tersedia dengan sebaik-baiknya dalam rangka mencapai tujuan. Metode dalam manajemen meliputi perencanaan proses kegiatan, pembagian tugas, serta tata cara pelaksanaan kerja (Murgiyanto, 1985: 38). Apabila suatu proses manajemen mampu menerapkan metode yang baik dan tepat, maka pelaksanaan kerja akan menjadi lebih efisien dan terkoordinasi, dan sumber-sumber daya serta waktu yang ada dapat dimanfaatkan secara maksimal.

e. Machines(Mesin)

Kemajuan teknologi menempatkan mesin sebagai bagian penting dalam proses manajemen di masa sekarang. Penggunaan mesin bertujuan untuk


(33)

meningkatkan efisiensi dan mempermudah tercapainya tujuan manajemen (Murgiyanto, 1985: 39).

Mesin-mesin yang digunakan beragam, sesuai dengan bidang manajemen yang dijalankan (Murgiyanto, 1985: 39). Mesin yang saat ini paling umum digunakan dalam kegiatan manajemen di bidang apapun adalah komputer. Dalam manajemen produksi yang menghasilkan barang dalam jumlah massal, mesin yang digunakan adalah mesin produksi skala besar (Murgiyanto, 1985: 39).

Manajemen pertunjukan musik di masa modern tidak lepas dari penggunaan mesin untuk mendukung penyelenggaraannya. Mesin dalam manajemen pertunjukan menunjuk pada alat-alat produksi yang digunakan dalam mewujudkan suatu pagelaran (Murgiyanto, 1985: 40). Dalam pertunjukan musik konvensional mesin sangat dibutuhkan dalam tata suara, tata lampu, juga pemberian efek panggung. Mesin juga dibutuhkan dalam proses dokumentasi pertunjukan, baik dalam bentuk rekaman suara, foto, maupun video.

f. Markets(Pasar)

Pasar dibentuk oleh adanya permintaan dan penawaran akan suatu barang ataupun jasa (Murgiyanto, 1985: 41). Dalam perusahaan industri yang tujuan utamanya adalah mencari laba, pasar merupakan faktor penting yang menentukan keberlangsungan perusahaan karena laku atau tidaknya barang yang ditawarkan akan berpengaruh pada keuntungan yang diperoleh perusahaan. Perusahaan yang gagal membaca minat pasar akan kesulitan dalam memasarkan produknya, dan apabila terus-menerus merugi tentu perusahaan tersebut tidak akan mampu membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dibutuhkan untuk terus beroperasi.


(34)

Sementara itu peran pasar dalam seni pertunjukan tidak serta merta menjadi penentu arah jalannya suatu organisasi seni pertunjukan. Berbeda dengan barang jadi untuk diperjualbelikan, seni pertunjukan sebagai produk seni merupakan hasil kreatif manusia. Setiap produk seni memiliki karakteristik dan keunikan masing-masing sehingga suatu produk seni yang dibuat tidak selalu memiliki penikmat atau pasar yang jelas. Dalam hal ini, menurut Riantiarno dalam Haryono (2005: 4), produk seni (artistik) adalah sumber sekaligus muaranya. Bukan seni yang menyesuaikan pasar, namun pasar harus diciptakan untuk menyesuaikan produk seni tersebut. Seni bukanlah produk yang “market oriented” melainkan “product oriented” (Riantiarno dalam Bisri, 2000: 5).

B. Manajemen Seni Pertunjukan

1. Pengertian Manajemen Seni Pertunjukan

Seni pertunjukan menurut Murni (2013: 5) adalah usaha dan karya kelompok seniman atau orang-orang yang bekerja untuk menghasilkan karya seni sebagai sebuah pertunjukan. Dalam suatu produksi seni pertunjukan, di luar komponen artistik seni pertunjukan itu sendiri, selalu dibutuhkan keterlibatan komponen-komponen lain yang saling berkaitan. Komponen-komponen non-artistik yang melingkupi suatu seni pertunjukan merupakan wilayah tata kelola seni yang tidak dapat lepas dari produksi seni pertunjukan. Dengan demikian, untuk dapat mempertahankan suatu bentuk seni pertunjukan, dalam prosesnya sangat dibutuhkan adanya kerja pengelolaan atau yang disebut dengan manajemen seni pertunjukan (Bisri, 2000: 2).


(35)

Menurut Riantiarno, manajemen dalam seni pertunjukan tidak lepas dari hakikat manajemen itu sendiri, berperan sebagai alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri (dalam Haryono, 2005: 4). Riantiarno menyatakan bahwa manajemen harus sanggup membantu para seniman untuk sampai pada pencapaian mutu artistiknya, bukan malah sebaliknya menjadi penghambat. Dalam seni pertunjukan, manajemen diharapkan dapat berfungsi sebagai bantuan bagi seniman dalam mengelola urusan-urusan di luar artistik sehingga seniman mampu menggarap karya seninya secara lebih terfokus.

2. Organisasi Seni Pertunjukan

Pengorganisasian sebagai salah satu fungsi manajemen merupakan bagian penting dari produksi seni pertunjukan. Suatu produksi seni pertunjukan seperti teater, tari, dan musik dalam pelaksanaannya membutuhkan kontribusi lebih dari satu orang. Pada dasarnya baik disadari maupun tidak, pengorganisasian sudah selalu dilakukan oleh pelaku seni pertunjukan. Pembagian tugas dan wewenang dalam suatu produksi seni pertunjukan baik tradisional maupun modern merupakan bentuk pengorganisasian sehingga dapat dikatakan bahwa setiap kelompok seni pertunjukan sudah memiliki bentuk organisasinya masing-masing.

a. Jenis-jenis Organisasi Seni Pertunjukan 1) Menurut Profesionalitasnya

Dalam penggolongan ini Jazuli (2014: 32) membagi pengelolaan seni pertunjukan dalam dua kategori, yaitu organisasi profesional dan amatir. Dalam Jazuli (2014: 33), profesional diartikan sebagai berikut:


(36)

“…profesional dapat dimengerti sebagai suatu aktivitas usaha yang dilandasi sikap dan perilaku yang efisien, efektif, rasional, pragmatis, dan produktif. Profesional mempersyaratkan adanya kemampuan yang tinggi (khusus), rancangan kerja yang matang, motivasi dan keinginan untuk bekerja keras, ulet, penuh kreativitas dan dedikasi. Sasaran profesional adalah untuk memperoleh prestise, keuntungan finansial, mencapai kualitas produk yang tinggi, dan boleh jadi dapat sebagai sandaran hidup.”

Selanjutnya, Jazuli (2014: 33) menerangkan pengertian amatir sebagai berikut:

“…amatir dapat dimengerti sebagai kegiatan yang lebih dilandasi oleh kesenangan, bukan sebagai sumber pendapatan utama, kurang berorientasi pada keuntungan finansial, dan perencanaan dan cara kerja relatif kurang serius, kurang matang, dan yang penting bisa berjalan lancar.”

Sehingga dapat dipahami bahwa perbedaan mendasar antara organisasi profesional dan amatir terletak pada tujuan dan kualitas dari pekerjaan yang dilaksanakan. Organisasi profesional menitikberatkan pada kualitas yang tinggi dan bertujuan untuk mencari keuntungan finansial. Sebaliknya organisasi amatir didasari oleh hobi atau kesenangan sehingga tidak mementingkan kualitas, serta tidak bertujuan mencari keuntungan finansial.

2) Menurut Pembiayaannya

Secara umum, menurut pembiayaannya terdapat tiga jenis organisasi yang dikenal dalam masyarakat yaitu organisasi pemerintahan (publik), organisasi bisnis (privat), dan organisasi nonprofit atau voluntary (Salusu, 2006: 1). Organisasi sektor publik dijalankan oleh pemerintah dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Organisasi publik memperoleh pembiayaan dari negara dan pegawai atau anggota organisasinya mendapatkan gaji serta tunjangan-tunjangan berdasarkan kinerja.


(37)

Sementara itu organisasi bisnis, atau disebut juga sektor privat merupakan organisasi yang dibentuk oleh individu atau masyarakat (swasta). Tujuan utama dari organisasi pada sektor ini adalah untuk menghasilkan keuntungan material dan pembiayaannya bersumber dari profit dari proses produksi yang dijalankan.

Yang terakhir adalah organisasi nonprofit yang dijalankan oleh kelompok-kelompok mandiri dalam masyakarat, dengan dilatarbelakangi berbagai kepentingan sosial budaya, politik, pendidikan, dan tidak menjadikan keuntungan sebagai motif utamanya. Organisasi nonprofit tidak membagikan sedikit pun keuntungan dari transaksi dan aktivitasnya kepada anggota, karyawan, atau eksekutifnya (Oleck dalam Salusu, 2006: 10). Organisasi jenis ini banyak bergantung kepada donasi dan kontribusi tenaga sukarela (volunteer).

Ketiga sektor tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut dalam konteks organisasi seni pertunjukan dengan merujuk pada Bradon dalam Jazuli (2014: 102) yang membagi pembiayaan dalam seni pertunjukan di Asia Tenggara menjadi tiga kelompok yaitu dari pemerintah, dari penonton atau komersial, serta dari masyarakat atau komunal. Pembagian tersebut juga sejalan dengan Murgiyanto (1985: 171) yang menggolongkan pembiayaan seni pertunjukan di Indonesia menjadi tiga yaitu dari pemerintah, komersial, dan komunal.

Pembiayaan oleh pemerintah tergolong dalam sektor pertama atau publik, dan banyak merujuk kepada pendanaan yang dilakukan oleh dinas kebudayaan di masing-masing daerah (Murgiyanto, 1985: 171). Pembiayaan oleh pemerintah ini ada yang bersifat rutin dan ada pula yang sifatnya sesaat. Pembiayaan yang rutin misalnya pendanaan pagelaran kesenian yang telah menjadi agenda tahunan suatu


(38)

daerah. Sedangkan pembiayaan sesaat misalnya pemberian bantuan untuk suatu pertunjukan seni oleh suatu lembaga atau organisasi dengan melalui proses seleksi sebelumnya (Murgiyanto, 1985: 173).

Pertunjukan yang pembiayaannya bersifat komersial terjadi apabila suatu organisasi seni pertunjukan pembiayaannya bersumber dari penjualan tiket atau sumbangan penonton dan bertujuan untuk mencari keuntungan finansial. Pertunjukan komersial ini tergolong pada sektor kedua yaitu sektor privat atau bisnis. Menurut J. Brandon dalam Murgiyanto (1985: 173) pertunjukan komersial sendiri terbagi menjadi komersial langsung dan tidak langsung. Yang tergolong pertunjukan komersial langsung adalah ketika suatu organisasi seni pertunjukan, termasuk di dalamnya segenap seniman yang menjadi penampil dalam pertunjukan tersebut, mengelola seluruh pertunjukan sendiri, termasuk seluruh kegiatan finansial seperti penjualan tiket, sewa gedung, pajak pertunjukan, sehingga keuntungan dan kerugian yang terjadi juga ditanggung oleh mereka sendiri (Murgiyanto, 1985: 173).

Berbeda dengan pertunjukan komersial tidak langsung yang terjadi apabila suatu pertunjukan seni melibatkan kerjasama antara suatu organisasi penyelenggara seni pertunjukan dengan suatu kelompok seniman (Murgiyanto, 1985: 173). Dalam penyelenggaraan pertunjukan seperti ini pihak penyelenggara acara biasanya mengundang seniman atau penampil tertentu dengan tujuan mendatangkan penonton, dan penampil memperoleh imbalan yang telah disetujui sebelumnya oleh kedua belah pihak. Pengelolaan finansial hanya menjadi urusan


(39)

penyelenggara acara, sehingga apabila terjadi keuntungan maupun kerugian maka yang menanggung adalah penyelenggara acara.

Tipe ketiga adalah pembiayaan secara komunal, yang dapat digolongkan dalam organisasi sektor ketiga atau nonprofit. Dalam pertunjukan semacam ini, pembiayaan pengadaan acara ditanggung oleh seseorang atau suatu lembaga, tanpa adanya tujuan mencari laba, sehingga penonton yang datang tidak dipungut biaya (Murgiyanto, 1985: 175). Bentuk pertunjukan seperti ini banyak dilakukan pada saat upacara-upacara penting seperti pesta perkawinan, pembukaan gedung, peringatan hari raya nasional, perayaan keagamaan, maupun perayaan-perayaan lain yang sifatnya kelompok religius/non religius maupun personal (Murgiyanto, 1985: 175).

Dalam pembiayaan semacam ini, organisasi seni pertunjukan kerap kali masih harus mencari tambahan untuk biaya produksi dan uang lelah para pemain (Murgiyanto, 1985: 176). Permasalahan ini biasanya ditanggulangi dengan upaya mencari bantuan dari lembaga maupun perorangan yang memiliki perhatian terhadap perkembangan seni pertunjukan. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Salusu (2006: 28) terkait organisasi sektor ketiga. Menurut Salusu (2006: 28) sektor nonprofit seringkali menemui permasalahan dalam ketersediaan sumber daya, baik dalam bentuk dana maupun tenaga profesional, sehingga organisasi nonprofit sering kali harus terlibat untuk ikut mencari keuntungan. Hanya dengan cara itu organisasi nonprofit dapat mempertahankan dirinya secara sehat (Salusu, 2006: 29).


(40)

Terlepas dari jenis pembiayaan organisasinya. sampai saat ini masih jarang ditemukan organisasi pertunjukan yang bisa memperoleh keuntungan memadai tanpa adanya bantuan dari sponsor. Organisasi seni pertunjukan tidak bisa mengandalkan keuntungan dari penonton karena kesadaran masyarakat untuk menonton pertunjukan dengan cara membayar belum membudaya. Ditambah lagi dengan tingkat ekonomi masyarakat yang masih rendah (Jazuli, 2014: 102). Menurut Jazuli (2014: 102) sebagian masyarakat Indonesia cenderung belum memahami bahwa sebuah pertunjukan seni membutuhkan biaya yang besar. Situasi tersebut dapat dimaklumi jika menengok cara pembiayaan pertunjukan pada masa lampau yang sepenuhnya didukung oleh pemerintah istana dan masyarakat. Di masa sekarang, penyelenggaraan pertunjukan banyak didukung oleh sponsor yang tentunya mengharapkan timbal balik atau pamrih. Dukungan sponsor sesungguhnya bertujuan untuk meningkatkan gengsi pihak sponsor dengan cara mempublikasikan keinginan sponsor melalui pertunjukan (Jazuli, 2014: 102).

b. Struktur Organisasi Seni Pertunjukan

Struktur dalam suatu organisasi seni pertunjukan berbeda satu dengan yang lain karena pengelolaan pertunjukan bergantung pada jenis acara dan kebutuhan-kebutuhan dalam acara tersebut. Struktur organisasi dengan pembagian kerja paling sederhana digambarkan oleh Harris & Allen (2010: 9) sebagai berikut:


(41)

Gambar 1:Struktur Organisasi Pertunjukan Sederhana (Sumber: Harris & Allen, 2010: 9)

Struktur organisasi sederhana ini bersifat dasar dan melibatkan seorang manajer acara atau pimpinan dan sejumlah panitia yang menjadi bagian dari satu tim acara. Struktur ini sangat mudah dikelola dan memungkinkan orang-orang untuk diberi tugas berbeda ketika dibutuhkan (Harris & Allen, 2010: 9).

Dalam struktur organisasi yang lebih kompleks, secara garis besar terdapat beberapa peran atau posisi yang umumnya ada dalam setiap organisasi seni pertunjukan. Peran-peran tersebut berfungsi dalam suatu struktur organisasi yang terbagi dalam beberapa wilayah kerja. Jazuli dalam Bisri (2000: 2) mengemukakan pembagian wilayah kerja dalam organisasi seni pertunjukan sebagai berikut:

“Ditarik ke lingkup yang lebih sempit lagi dalam sistem produksi seni pertunjukan, komponen komponen pendukung dan penunjang produksi terdiri dari urusan artistik dan non artistik. Pendukung urusan artistik adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang seni meliputi: pemain, pemusik, penata pentas, teknisi cahaya, teknisi sound system dan lain-lain. Pendukung non artistik adalah orang-orang yang bekerja di luar bidang seni seperti sekretaris, humas, transportasi, akomodasi, perlengkapan dan lain-lain.”

Dalam kutipan tersebut Jazuli membagi wilayah kerja organisasi seni pertunjukan menjadi dua wilayah yaitu artistik dan non artistik. Sedangkan Murgiyanto (1985: 100) menggolongkan struktur organisasi seni pertunjukan dalam tiga wilayah kerja, yaitu petugas di belakang panggung, petugas di atas

Manajer Acara


(42)

panggung, dan petugas gedung. Maka dengan merujuk kepada kedua pembagian wilayah kerja di atas di atas, dapat dijabarkan pembagian kerja dalam organisasi seni pertunjukan sebagai berikut:

1) Direktur Utama atau Produser

Produser adalah pimpinan tertinggi dalam pertunjukan yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan pertunjukan (Murgiyanto, 1985: 100). Produser memiliki wewenang dan tanggung jawab secara manajemen dan artistik terhadap proses produksi sebuah pertunjukan (Karsito, 2008: 16). Ada kalanya produser merupakan pemilik organisasi pertunjukan, namun ada juga produser yang hanya merupakan tenaga profesional. Keduanya memiliki otoritas penuh untuk menentukan seluruh aspek pendukung produksi pertunjukan (Karsito, 2008: 16).

Dalam menjalankan tugasnya produser membawahi wilayah-wilayah produksi yang terdiri dari wilayah artistik dan non-artistik. Dijelaskan oleh Jazuli dalam Bisri (2000: 2) wilayah artistik dan non-artistik dalam seni pertunjukan sebagai berikut:

“Pendukung urusan artistik adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang seni meliputi: pemain, pemusik, penata pentas, teknisi cahaya, dan teknisisound system dan lain-lain. Pendukung non- artistik adalah orang-orang yang bekerja di luar bidang seni seperti

sekretaris, humas, transportasi, akomodasi, perlengkapan, dan lain-lain” Wilayah artistik mencakup orang-orang yang pekerjaannya membutuhkan keahlian seni seperti pengisi acara, penata pentas, penata cahaya dan penata suara. Sedangkan wilayah non-artistik mencakup orang-orang yang pekerjaannya


(43)

mendukung pelaksanaan seni pertunjukan tetapi berada di luar bidang seni seperti sekretaris, humas, transportasi, akomodasi, maupun perlengkapan.

2) Wilayah Non-artistik

Wilayah non-artistik dikepalai oleh seorang pimpinan yang dibantu oleh seksi-seksi pelaksanaan produksi mencakup sekretaris, bendahara, pimpinan kerumahtanggaan (house manager), bagian transportasi, publisitas, konsumsi, dan urusan tiket. Tugas utamanya adalah berhubungan dengan urusan administrasi, mengurusi gedung pertunjukan, dan melayani penonton (Jazuli, 2014: 75).

a) Pimpinan Produksi

Pimpinan produksi adalah pimpinan tertinggi dalam wilayah non-artistik (Riantiarno, 2011: 213). Pimpinan produksi bekerja di bawah direktur utama atau produser. Meskipun demikian ada sebagian organisasi seni pertunjukan yang menempatkan pimpinan produksi sebagai pimpinan tertinggi. Tugas utamanya adalah menyukseskan penyelenggaraan pertunjukan terutama dalam segala urusan non-artistik. (Jazuli, 2014: 76). Dia bertanggungjawab atas seluruh pelaksanaan proses produksi dalam pementasan, serta menjadi tonggak keberhasilan suatu produksi pertunjukan.

b) Administrasi (1) Kesekretariatan

Kesekretariatan adalah bagian dalam organisasi yang menyangkut hal-hal bersifat administratif (Sukoco, 2007: 24). Peran-peran sekretaris menurut Susanto dalam Sukoco (2007: 24) adalah sebagai pusat informasi dalam organisasi,


(44)

menunjang kerja pimpinan dengan menyalurkan informasi yang jelas sebagai bahan pengambilan keputusan, serta mendistribusikan informasi kepada anggota organisasi secara cepat dan tepat sasaran.

(2) Keuangan

Peran bagian keuangan meliputi pengendalian uang masuk dan keluar. Tugas-tugasnya mencakup penyusunan anggaran, pencatatan pengeluaran, serta pengawasan anggaran (Riantiarno, 2011: 236). Koordinasi yang baik dengan seksi-seksi lain diperlukan untuk menghindari adanya ketidaksesuaian perencanaan anggaran dengan uang yang keluar yang diakibatkan oleh pengeluaran-pengeluaran tak terduga (Riantiarno, 2011: 236).

(3) Pemasaran/publikasi

Pemasaran dan publikasi mencakup segala cara untuk mengenalkan pertunjukan yang diproduksi dan menarik penonton (Riantiarno, 2011: 237). Meskipun kata pemasaran biasanya terkait dengan masalah uang, tidak semua pemasaran bertujuan untuk uang semata. Pemasaran menurut Murni (2013: 11) adalah suatu proses yang membantu organisasi budaya menukarkan karya seni yang mempunyai nilai atau manfaat bagi publik penontonnya dengan sesuatu (nama, posisi, uang) yang dibutuhkan organisasi budaya tersebut.

Publikasi meliputi segala materi tertulis yang digunakan untuk memberitahukan kepada publik akan adanya suatu produksi pertunjukan. Tugas utamanya adalah mendatangkan penonton, bisa melalui iklan, poster, selebaran, dan pemberitaan media lainnya (Riantiarno, 2011: 237). Dibutuhkan kejelian


(45)

untuk mampu melihat sasaran lokasi dan segmentasi penonton yang tepat agar tidak terjadi salah sasaran dalam publikasi.

(4) Dokumentasi

Tim dokumentasi terdiri dari sekelompok orang yang bertugas mendokumentasikan proses pementasan, baik dalam bentuk foto, video, maupun rekaman audio (Karsito, 2008: 65). Dokumentasi yang dihasilkan kemudian digunakan untuk kebutuhan arsip, evaluasi setelah acara, dan kepentingan-kepentingan lain di masa mendatang.

c) Kerumahtanggaan

Kerumahtanggaan merupakan bagian yang mengatur segala hal yang berhubungan dengan pelayanan publik dan layanan staf produksi. Pelayanan publik berupa layanan penjualan karcis, pelayanan gedung, hingga memastikan penonton memperoleh kenyamanan yang semestinya dalam gedung pertunjukan (Jazuli, 2014: 88). Layanan kepada staf produksi dilakukan dalam bentuk pemberian kesejahteraan berupa pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesehatan (Jazuli, 2014: 88). Apabila suatu pertunjukan memiliki gedung sendiri maka terdapat seorang house manager yang menjadi kepala urusan kerumahtanggaan pertunjukan (Murgiyanto, 1985: 107). Namun fungsi kerumahtanggaan yang dilaksanakan suatu organisasi seni pertunjukan dengan atau tanpahouse manager kurang lebih sama. Secara rinci tugas-tugas dalam bagian kerumahtanggaan dapat digambarkan sebagai berikut:


(46)

(1) Konsumsi

Bagian konsumsi bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan konsumsi bagi seluruh staf produksi. Konsumsi diberikan selama proses produksi berlangsung mulai dari pra pementasan, pementasan, hingga kepentingan pasca pementasan (Karsito, 2008: 66).

(2) Transportasi

Bagian transportasi bertanggung jawab untuk masalah pelayanan antar-jemput staf produksi, pemain, dan mobilitas produksi. Transportasi staf dan pemain, serta keperluan pertunjukan seperti lighting, sound, dan properti diakomodasi oleh bagian transportasi (Karsito, 2008: 66).

(3) Karcis

Petugas karcis atau bagian ticketingbertugas melayani pemesanan tempat dan penjualan karcis sebelum acara dimulai, serta memastikan keseimbangan hasil penjualan karcis dengan jumlah karcis yang terjual (Jazuli, 2014: 89). Penghitungan kapasitas penonton dan jumlah tiket yang akan dijual menjadi tanggung jawab dari petugas karcis. Bagian karcis juga menjadi reprentasi layanan pertunjukan yang pertama kali dilihat oleh penonton sebelum masuk dalam gedung pertunjukan sehingga petugas karcis diharapkan dapat melayani penonton dengan ramah dan menarik (Jazuli, 2014: 89).

(4) Liaison Officer

Liaison Officer atau biasa disebut LO merupakan bagian hospitality atau keramahtamahan dalam pertunjukan yang bertugas mendampingi penampil yang


(47)

terlibat dalam suatu pertunjukan (Subono, 2007: 2). LO merupakan pihak yang menjadi penghubung penampil dengan penyelenggara acara.

3) Wilayah Artistik

Wilayah artistik terbagi menjadi dua yaitu yang bekerja di atas panggung dan di belakang panggung. Petugas di atas panggung antara lain:

(1) Pimpinan Artistik

Merupakan pimpinan dalam bidang artistik yang bertanggung jawab atas seluruh rangkaian karya seni yang diproduksikan. Pimpinan artistik adalah orang yang merancang karya seni yang ditampilkan dalam pertunjukan serta bertanggung jawab atas pelaksanaan latihan hingga pementasan. Peran pimpinan artistik tergantung dari jenis pertunjukannya, dapat dipegang oleh sutradara, koreografer, atau konduktor (Murgiyanto, 1985: 113).

(2) Seniman Pelaku atau Pengisi Acara

Tergantung dari jenis pertunjukannya, seniman pelaku atau pengisi acara dapat terdiri dari: penari, aktor dan aktris, atau pemain musik yang bertugas mementaskan di panggung segala rancangan pertunjukan yang telah dibuat oleh pimpinan artistik (Murgiyanto, 1985: 106). Seniman pelaku berkewajiban mengikuti segala jadwal latihan hingga berlangsungnya pertunjukan, dan menampilkan pertunjukan dengan sebaik-baiknya. Selama produksi pementasan para seniman pelaku mengikuti arahan dari pimpinan artistik, sedangkan saat pementasan mereka tetap berada di bawah koordinasistage manager.


(48)

(3) Master of Ceremony atau Pembawa Acara

Pembawa acara berperan sebagai pengatur jalannya pementasan sehingga sangat bertanggungjawab terhadap kelancaran jalannya pagelaran. Pembawa acara harus peka terhadap situasi di dalam gedung dan di atas pentas. Pembawa acara juga harus mampu menciptakan situasi yang menyenangkan bagi penonton agar merasa nyaman dalam gedung pertunjukan (Jazuli, 2014: 88).

Sedangkan petugas yang berada di belakang panggung antara lain: (1) Pimpinan Panggung/Stage Manager

Pimpinan panggung atau stage manager adalah orang yang bertanggung jawab atas proses latihan dan pertunjukan. Dia yang bertugas mengatur koordinasi pekerjaan-pekerjaan teknis di belakang panggung sehingga seluruh divisi yang terlibat dalam urusan panggung bertanggung jawab terhadap stage manager (Murgiyanto, 1985: 103). Stage managerjuga bertugas menyusun run down atau detail susunan acara dan kemudian bertugas di atas panggung untuk memastikan acara berjalan sesuai dengan rancangan yang dibuat (Wibisono, 2014: 2).

(2) Penata Panggung

Disebut juga stage designer, bertugas merancang segala bentuk artistik panggung yang mencakup set, kostum, pencahayaan, dan perlengkapan panggung (Murgiyanto, 1985: 201).Stage designer dibantu oleh set designer yang bertugas merencanakan dan menangani pembuatan set dalam pertunjukan, serta lighting designer atau penata cahaya yang tugasnya merencanakan tata cahaya dan bertanggung jawab atas pelaksanaannya (Murgiyanto, 1985: 104).


(49)

(3) Petugas Tata Cahaya

Bertugas membantu pimpinan artistik mewujudkan konsep yang dibuat melalui desain pencahayaan. Penata lampu harus memahami tentang urusan listrik, dan efek yang ditimbulkan oleh cahaya yang dihasilkan pada (Jazuli, 2014: 85).

(4) Petugas Tata Suara

Petugas tata suara atau operator suara bertugas melayani dan mengumpulkan peralatan tata suara (sound system) serta bertanggung jawab atas pengadaan dan pemeliharaan serta pengoperasiannya (Murgiyanto, 1985: 106) (5) Kru Panggung

Kru panggung adalah orang-orang yang mengerjakan (di lapangan) segala rencana artistik yang telah dirancang. Kru panggung bertanggung jawab atas susunan panggung sebelum, saat acara berlangsung, hingga setelah acara selesai (Murgiyanto, 1985: 105).

c. Proses Produksi Manajemen Pertunjukan 1) Tahap Pra Pementasan

Dalam tahap pra pementasan terdapat serangkaian kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka mempersiapkan suatu acara. Kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan dalam tahap ini di antaranya:

a) Penentuan ide/tema

Terselenggaranya sebuah pertunjukan kerap kali berangkat dari suatu ide yang ingin diwujudkan oleh seseorang atau sekelompok orang. Ide yang ada kemudian diolah menjadi suatu tema spesifik yang akan menentukan alur cerita


(50)

dalam sebuah pertunjukan (Beatrix, 2007: 17). Tema diperlukan untuk memberi gambaran yang jelas akan batasan dan arah bagaimana acara akan dibuat. Tema tersebut akan menjadi pedoman bagi tim produksi untuk merancang rangkaian karya seni yang akan ditampilkan sehingga menjadi suatu kesatuan yang harmonis.

b) Pembentukan panitia

Setelah tema atau ide acara ditentukan, dibentuk suatu panitia yang akan membantu mewujudkan acara tersebut. Susunan kepanitiaan suatu pementasan terdiri dari sejumlah orang atau tim yang bekerja bersama-sama dalam suatu koordinasi di bawah pimpinan acara. Menurut Wibisono (2014: 1) pembagian kerja dalam kepanitiaan harus dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan orang-orang yang ditunjuk untuk menjalankan tugas-tugasnya, agar mereka dapat bekerja secara maksimal sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

c) Pembuatantime schedule

Time scheduleatau jadwal pelaksanaan kegiatan dibuat untuk menertibkan kinerja masing-masing divisi dalam kepanitiaan. Time schedule dibagi menjadi tiga bagian secara garis besar yaitu tahap perencanaan dan persiapan, mulai operasional, dan tahap gladi bersih, hari H, serta setelah acara. (Beatrix, 2007: 56). Dengan adanya time schedule panitia diharap mampu melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

d) Merancang pembiayaan

Rancangan biaya yang akan dikeluarkan, kebutuhan peralatan dan material yang akan digunakan dalam keperluan pertunjukan ditentukan pada tahap ini.


(51)

Diperlukan ketelitian yang tinggi dan prediksi yang tepat untuk menghindarkan terjadinya defisit dalam pembiayaan. Murni (2013: 10) mengemukakan dalam biaya produksi yang baik hanya diperbolehkan terjadi defisit atau kelebihan biaya sebesar 5%. Untuk itu biasanya pimpinan produksi memiliki cadangan dana atau kas sebesar 5% dari jumlah biaya produksi yang diperlukan yang nantinya berfungsi sebagai penyeimbang biaya (Murni, 2013: 10). Dalam pengelolaan yang baik, hal ini jarang dilakukan. Sekiranya ada, biasanya kelebihan biaya ini banyak digunakan untuk kebutuhan artistik yang sering berkembang seiring dengan perkembangan kreativitas seniman. Apabila tidak digunakan maka dana ini akan dikembalikan ke kas organisasi (Murni, 2013: 10).

e) Pembuatanrun down

Run down adalah detail susunan acara pada saat pertunjukan dilangsungkan. Run down memuat seluruh rangkaian kegiatan lengkap dengan keterangan waktu dan orang yang bertanggung jawab dalam kegiatan tersebut (Beatrix, 2007: 27). Run down diperlukan untuk membuat gambaran konkret mengenai bagaimana pertunjukan akan dilaksanakan pada hari-H, guna merencanakan alur dan tata kerja masing-masing divisi pada saat pelaksanaan pertunjukan.

f) Pelaksanaan gladi resik

Gladi resik adalah latihan terakhir sebelum pelaksanaan pertunjukan yang berfungsi sebagai simulasi pementasan untuk mematangkan kesiapan panitia dalam melaksanakan pertunjukan (Wibisono, 2014: 3). Dalam gladi resik seluruh rangkaian pertunjukan dipentaskan sebagaimana pertunjukan sebenarnya akan


(52)

berlangsung, agar panitia dapat menemukan dan mengatasi kendala yang kiranya akan dihadapi dalam pertunjukan sesungguhnya (Wibisono, 2014: 3). Pertunjukan yang tidak melangsungkan gladi resik biasanya tetap melakukan pengecekan teknis terkait multimedia dan tata suara, sehingga pada saat pertunjukan output yang ditampilkan tetap maksimal.

2) Tahap Pementasan

Pada tahap ini seluruh panitia melaksanakan pementasan sesuai dengan yang telah direncanakan dan dilatih sebelumnya (Wibisono, 2013: 3). Stage manager memegang tanggung jawab penuh atas koordinasi seluruh tim baik di belakang maupun di atas panggung (Beatrix, 2007: 77). Stage manager yang bertugas untuk memastikan acara berjalan sesuai denganrun down.

3) Tahap Pasca Pementasan a) Evaluasi

Setelah pementasan berakhir, panitia maupun pengisi acara mengadakan evaluasi untuk mengukur keberhasilan serta mengetahui kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaan pertunjukan (Beatrix, 2007: 90). Evaluasi diperlukan untuk mengecek apakah kinerja masing-masing divisi sudah sesuai dengan yang direncanakan. Kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pertunjukan dapat dikoreksi guna menjadi bahan pembelajaran bagi panitia dan pengisi acara dalam mengadakan pertunjukan-pertunjukan yang akan datang.


(53)

b) Pembuatan LPJ

LPJ atau Laporan Pertanggung Jawaban dibuat untuk memastikan apakah perencanaan yang telah dibuat pada awal kepanitiaan telah berjalan sebagaimana mestinya (Wibisono, 2014: 3). LPJ berguna sebagai bentuk pertanggungjawaban atas rencana kegiatan yang telah dibuat oleh panitia sebelumnya. Laporan pertanggung jawaban kemudian diserahkan pada pihak-pihak yang berkontribusi dalam pelaksanaan acara, terutama yang telah membantu dalam pembiayaan, sebagai wujud transparansi finansial.

C. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Skripsi yang berjudul Analisis atas Manajemen Konser Light Keroncong Orchestra Singgih Sanjaya yang diteliti oleh Dian Kurniawati dari Program Studi S1 Seni Musik Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif analisis. Fokus dalam penelitian ini adalah bentuk struktur dalam manajemen pertunjukan konser Light Keroncong Orchestra, faktor-faktor yang mempengaruhi berjalannya manajemen dalam mempersiapkan suatu pertunjukan konser Light Keroncong Orchestra, serta seberapa penting perencanaan strategi dalam manajemen pertunjukan Light Keroncong Orchestra. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen organisasi seni sangat dibutuhkan untuk memberi hiburan pada masyarakat luas, menjadi tempat para seniman berekspresi maupun mencari penghidupan, melestarikan kesenian, serta mendukung sektor wisata.


(54)

2. Skripsi yang berjudul Analisis Deskriptif Manajemen Pertunjukan “Vita Mahaswari Production Orchestra” di Semarang yang diteliti oleh Andreas Wulandoro dari Program Seni S1 Seni Musik Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif analisis. Penelitian ini memfokuskan permasalah pada bagaimana “Vita Mahaswari Production Orchestra” dapat bertahan selama dua belas tahun meskipun pemiliknya tidak memiliki latar belakang pendidikan musik. Penelitian ini juga mengemukakan peranan Vita Maheswari Production dalam pertunjukan orkestra. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa tanpa pendidikan akademik dan hanya berdasarkan pengalaman, subjek dalam penelitian ini yaitu Vita Maheswari mampu mengelola manajemen pertunjukan.

Dari kedua penelitian tersebut relevansi penelitian terdapat pada objek dan metode penelitian yang digunakan. Objek penelitian berupa manajemen pertunjukan musik, sementara metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif.


(55)

41 A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Dijelaskan oleh Moleong (2014: 6) pengertian metode penelitian kualitatif sebagai berikut:

“Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.” Metode kualitatif dipilih oleh peneliti karena permasalahan yang dikaji menyangkut perilaku dan hubungan antar manusia secara sosial dan dinamis. Fungsi metode penelitian kualitatif sejalan dengan tujuan penelitian yakni meneliti proses yang dialami oleh subjek penelitian.

Sedangkan jenis penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan kejadian yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, menganalisis, dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang saat ini ada atau sedang terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan saat ini dan melihat kaitan antara variabel-variabel yang ada. (Mardalis, 2010: 26).

Sehingga penelitian kualitatif deskriptif memiliki hasil akhir berupa data deskriptif berupa data lisan atau tulisan sebagai hasil dari analisis dan interpretasi dari permasalahan yang dikaji. Dalam hal ini permasalahan yang dikaji adalah


(56)

struktur dan peran dalam manajemen, proses manajemen, serta upaya mempertahankan keberlangsungan pagelaran musik Lelagu.

B. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian adalah manusia atau informan yang menjadi sumber informasi dalam penelitian. Pemilihan subjek dilakukan dengan mempertimbangkan kedalaman pengetahuan subjek mengenai objek penelitian. Dalam hal ini subjek penelitian adalah tim inti panitia penyelenggara Lelagu yang terdiri dari Prihatmoko Moki, Gisela Swaragita, dan Uniph. Peneliti memutuskan untuk memilih panitia inti Lelagu yang telah sejak awal menjadi bagian dari penyelenggaraan acara Lelagu sehingga memiliki pengalaman dan pengetahuan yang mendalam dan spesifik mengenai manajemen pertunjukan Lelagu.

Subjek yang pertama kali dipilih peneliti adalah Gisela Swaragita selaku kurator Lelagu yang sebelumnya sudah kenal dengan peneliti dan pernah mengajak peneliti untuk tampil dalam gelaran Lelagu. Setelah melakukan wawancara dengan Gisela Swaragita, peneliti menentukan dua informan lain berdasarkan informasi yang diperoleh mengenai kepanitiaan Lelagu, yaitu Prihatmoko Moki dan Uniph.

Objek penelitian adalah hal yang menjadi titik perhatian dalam penelitian. Objek dalam penelitian ini adalah manajemen pertunjukan pagelaran musik Lelagu mencakup seluruh bagian proses penyelenggaraan pagelaran mulai dari persiapan pra-acara hingga pasca acara, susunan kepanitiaan, dan pengelolaan pertunjukan. Peneliti melakukan observasi pada objek penelitian yakni penyelenggaraan pertunjukan Lelagu #18, yang di dalamnya mencakup kegiatan


(57)

pra acara seperti Technical Meeting dan soundcheck, serta proses pelaksanaan acara Lelagu dari awal hingga selesai. Peneliti juga mendapat data mengenai objek penelitian melalui wawancara yang dilakukan pada subjek penelitian yaitu tim inti Lelagu.

C. Instrumen Penelitian

Dalam Sugiyono (2013: 372) yang menjadi instrumen utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Peran peneliti pada penelitian kualitatif sebagai human instrument antara lain: menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan atas temuannya (Sugiyono, 2013: 373).

Peneliti berperan serta dalam kegiatan subjek yang diteliti yaitu dalam penyelenggaraan pagelaran Lelagu #18 guna memperoleh data yang akurat untuk mendeskripsikan penelitian. Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan alat bantu berupa pedoman observasi, pedoman wawancara, pedoman dokumentasi, catatan lapangan, alat perekam, dan kamera untuk meningkatkan keabsahan data serta memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data penelitian terkait manajemen pertunjukan pagelaran musik Lelagu.

D. Tahap-tahap Penelitian


(58)

1. Tahap Pra-lapangan

Tahap pra-lapangan adalah langkah-langkah yang dilaksanakan sebelum peneliti turun ke lapangan. Kegiatan pra-lapangan yang dilakukan oleh peneliti antara lain menjajaki dan menilai lapangan, memilih informan dan menggali informasi, dan menyusun rancangan penelitian.

Menjajaki dan menilai lapangan dilakukan untuk mengenal kondisi dan situasi dalam lapangan penelitian. Penjajakan lapangan telah dilakukan peneliti dengan beberapa kali menghadiri gelaran musik Lelagu pada tahun 2015.

Kemudian peneliti memilih informan yang memiliki pengalaman dan pengetahuan mendalam mengenai subjek penelitian. Dalam hal ini informan yang dipilih adalah panitia penyelenggara acara Lelagu. Informan berperan memberikan informasi bagi peneliti ketika peneliti turun ke lapangan. Informan juga berperan dalam tahap pra-lapangan, untuk memberi gambaran awal yang lebih baik mengenai permasalahan yang diteliti.

Peneliti melakukan wawancara dengan Gisela Swaragita pada bulan Mei 2015 untuk mengetahui kebenaran observasi yang telah dilakukan peneliti terhadap permasalahan di lapangan. Dalam wawancara ini peneliti mendapat informasi mendalam terkait latar belakang diselenggarakannya acara, struktur kepanitiaan dan sistem kerja, serta permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam manajemen pertunjukan Lelagu. Kemudian diperoleh informasi lebih lanjut mengenai kepanitiaan Lelagu yang mengarah kepada informan-informan lain yaitu Prihatmoko Moki dan Uniph.


(59)

Berkenaan dengan adanya wacana ticketing atau penerapan tiket masuk Lelagu, peneliti kembali melakukan observasi pada subjek penelitian dengan cara menghadiri forum diskusi Lelagu pada tanggal 3 Agustus 2015 terkait penerapan tiket masuk Lelagu untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai perubahan yang terjadi dalam manajemen Lelagu. Kemudian peneliti menghadiri beberapa gelaran Lelagu pada tahun 2015 yaitu pada Lelagu #16 bulan Agustus 2015 sebagai penonton dan Lelagu #17 bulan November 2015 sebagai penampil untuk mendapat gambaran lapangan mengenai kondisi pertunjukan setelah dilakukan penarikan biaya masuk.

Selanjutnya peneliti menyusun rancangan atau proposal penelitian yang memuat latar belakang penelitian dan alasan pelaksanaan penelitian, serta segala rincian rencana kegiatan yang dilaksanakan dalam penelitian sampai dengan tahap akhir yaitu penarikan kesimpulan dan validasi data. Penyusunan rancangan penelitian dilakukan sebagai pra-syarat untuk melanjutkan penelitian ke tahap selanjutnya yaitu tahap pekerjaan lapangan. Penyusunan rancangan penelitian dilakukan peneliti pada bulan Februari sampai dengan April 2016.

2. Tahap Pekerjaan Lapangan

Dalam tahap pekerjaan lapangan, peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menjadi bagian dari kepanitiaan Lelagu #18

Peneliti bergabung sebagai bagian dari panitia melalui bantuan Gisela Swaragita. Proses penggarapan pertunjukan berlangsung sejak awal April 2016, tetapi peneliti baru bergabung secara aktif pada tahap Technical Meeting yaitu


(60)

pada tanggal 7 April 2016 dan saat hari-H penyelenggaraan acara pada tanggal 8 April 2016. Dalam penggarapan acara, peneliti berperan sebagai Liaison Officer yang bertugas saat acara berlangsung untuk menghubungkan pihak panitia dengan pihak-pihak luar dalam hal pembagian konsumsi dan poster.

b. Melakukan wawancara dengan panitia inti Lelagu

Peneliti melakukan wawancara terhadap kedua informan lain yang terlibat sebagai panitia inti Lelagu yaitu Prihatmoko Moki dan Uniph. Wawancara dengan Uniph dilakukan pada tanggal 7 April 2016, 2 Juni 2016, dan 22 Juli 2016, sedangkan wawancara dengan Prihatmoko Moki dilakukan pada tanggal 7 Juni 2016. Wawancara pertama dengan Uniph berupa obrolan santai ketikaTechnical Meetingberlangsung, pertanyaannya mencakup tugas-tugas setiap anggota panitia dan struktur organisasi KKF. Kemudian peneliti melakukan wawancara lebih lanjut pada tanggal 2 Juni 2016 untuk mendapatkan informasi mendalam terkait kerumahtanggaan pertunjukan. Berikutnya peneliti melakukan wawancara dengan Prihatmoko Moki terkait keterlibatannya dalam Lelagu, serta perkembangan dalam manajemen Lelagu. Wawancara terakhir dilakukan peneliti dengan Uniph pada tanggal 22 Juli 2016 untuk mengkonfirmasi informasi yang diperoleh dari Prihatmoko Moki.

3. Tahap Analisis Data

Menurut Sugiyono (2013: 402), analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari lapangan dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih yang penting untuk


(61)

dipelajari, dan menarik kesimpulan agar mudah untuk dipahami. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan peneliti menggunakan model Miles dan Huberman. Analisis data dilakukan peneliti dari sejak data terkumpul yaitu bulan Juni 2016 sampai dengan bulan Agustus 2016.

E. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juli 2016 dengan lokasi bertempat di Kedai Kebun Forum, Tirtodipuran, Yogyakarta, di mana pagelaran Lelagu #18 diadakan.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti antara lain:

1. Observasi

Metode observasi seperti dikemukakan oleh John W. Creswell dalam Herdiansyah (2013: 131) adalah proses penggalian data yang dilakukan secara langsung oleh peneliti dengan cara melakukan pengamatan mendetail terhadap manusia dan lingkungannya dalam suatu lokasi penelitian.

Jenis metode observasi yang digunakan oleh peneliti adalah observasi partisipatif, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara berperan serta dalam kejadian yang diteliti. Metode observasi partisipatif dipilih untuk mempermudah peneliti mengamati secara langsung struktur kepanitiaan dan proses manajemen pertunjukan pagelaran musik Lelagu.


(62)

Observasi ini dilakukan dengan cara mengamati sambil turut ambil bagian dalam aktivitas manajemen pagelaran musik Lelagu sebagai panitia acara. Peneliti berperan sebagai Liaison Officer dalam penyelenggaraan Lelagu #18 sembari merekam dan mencatat kejadian-kejadian di lapangan.

2. Wawancara

Menurut Moleong (2014: 186), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilaksanakan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan danterwawancara(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dalam penelitian ini wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam (in depth interview) menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur, untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka dan mendalam mengenai objek yang diteliti.

Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dengan beberapa panitia tetap penyelenggara acara Lelagu guna memperoleh data mendalam tentang objek penelitian sesuai dengan kondisi saat ini. Wawancara dilakukan peneliti pada informan melalui obrolan yang mendalam dalam suasana yang santai. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur sehingga informan lebih terbuka dan luwes dalam mengutarakan cerita dan pendapatnya mengenai penyelenggaraan acara.

Wawancara dilakukan melalui kesepakatan peneliti dan informan setelah peneliti mengutarakan maksud untuk melakukan wawancara. Wawancara dengan ketiga informan yaitu Gisela Swaragita, Prihatmoko Moki, dan Uniph dilaksanakan dengan cara tatap muka langsung di lokasi yang telah disetujui. Peneliti tetap mengarahkan pembicaraan pada wawancara agar sesuai dengan


(63)

topik, namun dengan cara yang tidak kaku agar wawancara dapat berjalan dengan nyaman dan peneliti tetap memperoleh data yang sesuai dengan masalah penelitian.

3. Dokumen

Dokumen menurut Sugiyono (2013: 396) adalah catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen yang dapat digunakan sebagai data penelitian antara lain foto, video, film, surat, ataupun catatan harian. Dalam hal ini peneliti menggunakan arsip foto, video, dan catatan mengenai pagelaran musik Lelagu yang bersumber dari pihak-pihak yang pernah menjadi bagian dari kepanitiaan Lelagu di bulan-bulan lampau.

Dokumen yang digunakan peneliti antara lain poster dan foto yang diperoleh dari kepanitiaan Lelagu. Peneliti juga menggunakan arsip dalam media-mediaonline yang memuat konten terkait penyelenggaraan Lelagu. Media online yang digunakan oleh peneliti antara lain laman situs We Need More Stages yang memuat wawancara Fathoni dengan Gisela Swaragita mengenai penyelenggaraan Lelagu, serta laman blog milik Komang Adhyatma selaku salah satu pendiri Lelagu yang menuliskan tentang pengalamannya selama bergabung dengan kepanitiaan Lelagu.

G. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif, proses analisis data terjadi secara simultan atau serempak dalam satu siklus, sehingga antara kegiatan pengumpulan data dan analisis data tidak bisa dipisahkan satu sama lain (Sanapiah Faisal dalam Bungin, 2015: 68).


(64)

Peneliti menggunakan teknik analisis data kualitatif model Miles dan Huberman (Emzir, 2012: 129). Analisis data menurut Miles dan Huberman terdiri atas rangkaian kegiatan yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2:Teknik Analisis Data Kualitatif (Sumber: Emzir, 202: 129)

1. Reduksi Data

Data mentah berupa hasil observasi, wawancara, maupun dokumen yang diperoleh dari lapangan kemudian melalui tahap reduksi. Reduksi data ialah bagian dari tahap analisis data yang bertujuan untuk menajamkan, menyederhanakan, menyeleksi, serta mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat digambarkan dan diverifikasi.

Reduksi data dilakukan peneliti dengan cara mengeliminasi data yang tidak berkaitan dengan fokus permasalahan pada penelitian. Observasi berkelanjutan yang dilakukan peneliti serta wawancara tidak terstruktur menghasilkan data-data yang tidak relevan, di antaranya fakta-fakta mengenai para informan yang tidak berhubungan dengan Lelagu, dan kejadian-kejadian yang terjadi dalam penyelenggaraan Lelagu namun melenceng dari fokus permasalahan.

Reduksi Data

Penarikan Kesimpulan dan

Verifikasi Pengumpulan

Data

Penyajian Data


(65)

2. Penyajian Data

Penyajian data berfungsi untuk membantu peneliti memahami apa yang terjadi sebagai dasar untuk melakukan tindak lanjut atas pemahaman tersebut. Bentuk penyajian data yang paling umum dalam data kualitatif adalah teks naratif. Namun bentuk sajian data yang sedemikian rupa memuat terlalu banyak informasi, sifatnya terlalu luas dan tidak beraturan sehingga menyulitkan peneliti untuk menarik kesimpulan.

Dalam Emzir (2012: 132) penyajian data yang lebih baik adalah berupa matrik, grafik, jaringan kerja, dan bagan. Bentuk-bentuk penyajian data tersebut memudahkan peneliti untuk mengakses data secara langsung dan praktis, sehingga lebih mudah untuk menggambarkan kesimpulan dan bergerak ke tahap analisis berikutnya.

Penyajian data telah dilakukan peneliti dengan cara mendeskripsikan temuan-temuan di lapangan dengan teks, mengelompokkan data-data dalam tabel-tabel, serta membuat bagan-bagan untuk menunjukan proses yang terjadi dalam penggarapan pertunjukan. Penyajian data oleh peneliti bertujuan untuk mengklasifikasikan data yang ditemukan sesuai dengan rentang waktu dan kategori kejadian. Peneliti berusaha menunjukkan perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam objek penelitian serta perbandingan-perbandingan pada fakta-fakta di lapangan dengan teori yang digunakan.

3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Dalam penelitian kualitatif, sejak awal pengumpulan data peneliti sudah mulai memutuskan makna sesuatu, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan,


(66)

konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi. Meskipun demikian kesimpulan akhir mungkin tidak akan didapatkan sebelum pengumpulan data selesai (Emzir, 2012: 133).

Kesimpulan yang diperoleh kemudian diverifikasi. Proses verifikasi dapat dilakukan baik oleh peneliti sendiri dengan cara mengecek kembali catatan lapangan atau melalui diskusi dan tinjauan antar kolega untuk mengembangkan konsensus antarsubjek (Emzir, 2012: 133).

H. Uji Keabsahan Data

Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan oleh peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek penelitian. Uji validitas atau keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji kredibilitas atau uji kepercayaan dengan teknik triangulasi. Triangulasi menurut Sugiyono (2013: 439) adalah pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Dalam penelitian ini teknik yang digunakan oleh peneliti adalah triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

1. Triangulasi Sumber

Dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber berbeda. Triangulasi sumber telah dilakukan peneliti dengan cara mewawancarai tiga orang tim inti Lelagu yakni Prihatmoko Moki yang menjadi salah satu inisiator Lelagu dan saat ini menjadi pimpinan artistik visual Lelagu, Gisela Swaragita yang mulanya menghubungkan Prihatmoko Moki dengan KANALTIGAPULUH dan saat ini berperan sebagai kurator Lelagu, serta


(67)

Uniph yang berperan dalam kerumahtanggaan acara sekaligus manajer KKF. Hasil wawancara dengan ketiga sumber tersebut kemudian dianalisis oleh peneliti sembari melakukan verifikasi dengan informan ketika ditemukan data yang berbeda, hingga dapat ditarik kesimpulan yang dapat disepakati oleh ketiga sumber yang bersangkutan. Triangulasi sumber dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3:Triangulasi Sumber (Sumber: Sugiyono, 2013: 439) 2. Triangulasi Teknik

Triangulasi teknik dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda (Sugiyono, 2013: 440). Misalnya dalam penelitian ini data yang diperoleh dengan wawancara kemudian dicek dengan teknik-teknik lain yang digunakan yakni observasi dan dokumentasi. Apabila data yang dihasilkan berbeda-beda, maka peneliti perlu melakukan diskusi lebih lanjut dengan sumber data yang bersangkutan untuk memastikan data mana yang dianggap benar. Triangulasi teknik dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4:Triangulasi Teknik (Sumber: Sugiyono, 2013: 440) Wawancara

Observasi Dokumen

SUMBER DATA WAWANCARA

A B C


(68)

Triangulasi teknik telah dilakukan dengan melakukan observasi dan wawancara pada bulan Mei 2015 - Juli 2016. Pengumpulan data berupa tulisan maupun dokumentasi berbentuk gambar dan rekaman telah dilakukan pada saat observasi dan wawancara, juga studi dokumen yang dilakukan peneliti secara online melalui situs We Need More Stages, media sosial Lelagu, dan blog milik Komang Adhyatma. Perbedaan-perbedaan temuan yang ditemukan peneliti dalam wawancara dan observasi telah diverifikasi dengan menggunakan dokumen yakni arsip foto dan poster pertunjukan, serta arsip wawancara Fathoni dengan Gisela Swaragita yang diunggah di situs We Need More Stages, serta sebaliknya, sehingga dapat diperoleh data yang akurat mengenai hasil penelitian.


(69)

55 A. Hasil Penelitian

1. Kedai Kebun Forum

Lelagu merupakan program reguler dari Kedai Kebun Forum, sebuah art space atau ruang berkesenian milik seniman Agung Kurniawan dan istrinya Yustina Neni. Kedai Kebun Forum berlokasi di Jalan Tirtodipuran no. 3 Yogyakarta. Kedai Kebun Forum dibangun pada tahun 1996, dan pada mulanya adalah restoran bernama Kedai Kebun yang memiliki ruang kosong di belakang dapur. Ruang tersebut kemudian digunakan secara rutin untuk beragam kegiatan seni seperti pameran seni rupa, pertunjukan teater, musik, tari, pembacaan puisi dan cerpen, juga diskusi budaya. Aktivitas-aktivitas ini kemudian memunculkan gagasan untuk membangun ruang baru yang bersifat mandiri. Bangunan Kedai Kebun kemudian mengalami renovasi dari Desember 2001 hingga Mei 2003. Renovasi tersebut mengubah Kedai Kebun yang tadinya hanya berupa restoran menjadi Kedai Kebun Forum, selanjutnya disebut KKF, yang terdiri dari dua lantai dan terbagi menjadi galeri, ruang pertunjukan, bookstore, dan restoran (Anonim, 2016).

Tujuan KKF adalah menjadi suatu ruang pergaulan bagi komunitas-komunitas seni agar mampu saling melebur dan mendukung satu sama lain. KKF memiliki misi menjadi ruang alternatif di tengah minimnya lahan berekspresi bagi seniman di Yogyakarta. Di samping memiliki agenda kegiatan sendiri, KKF juga


(70)

mengakomodasi proposal-proposal kegiatan dari berbagai kalangan sebagai bentuk dukungan pada perkembangan kesenian (Anonim, 2016).

KKF dikepalai oleh Yustina Neni selaku direktur utama, dan Agung Kurniawan sebagai direktur artistik. Di bawahnya terdapat manajer operasional yang dipegang oleh Uniph (wawancara dengan Uniph, 7 April 2016). KKF dikelola secara independen dengan memanfaatkan restorannya sebagaisupporting systematau sistem pembiayaan.Restoran KKF menjadi sumber pemasukan yang digunakan untuk menutup biaya operasional KKF serta membiayai kegiatan-kegiatan kesenian yang dilaksanakan di KKF (wawancara dengan Gisela Swaragita, 3 Mei 2015).

2. Perkembangan Lelagu a. Asal-usul Lelagu

Lelagu terbentuk karena adanya keinginan Agung Kurniawan untuk mengaktifkan ruang pertunjukan di lantai dua KKF yang tadinya tidak terpakai. Agung Kurniawan yang memiliki basis seni rupa mengutarakan gagasan tersebut kepada beberapa rekan senimannya, salah satunya Prihatmoko Moki. Prihatmoko Moki yang juga tergabung dalam beberapa proyek musikindiedi Yogyakarta lalu mengajak rekannya dalam band Gemati, Gisela Swaragita untuk membantu mewujudkan gagasan Agung Kurniawan tersebut. Pada saat itu Gisela Swaragita juga aktif dalam KANALTIGAPULUH, suatu komunitas yang bergerak secara kolektif mengelola majalah serta radio online untuk mengekspos youth culture dan skena indie di Malang dan Yogyakarta. Kebetulan pada saat itu KANALTIGAPULUH yang dikepalai oleh Komang Adhyatma tengah menggarap


(1)

110

Gambar 12:Penonton Lelagu (Dokumentasi: Lelagu)

Gambar 13:Poster Lelagu #18 (Dokumentasi: Lelagu)


(2)

111

Gambar 14:SuasanaTechnical MeetingLelagu #18 (Dokumentasi: Danastri, 2016)


(3)

112

Gambar 16:Pembuatan Dekorasi Panggung (Dokumentasi: Danastri, 2016)

Gambar 17:Penampilan Kavvah dan Ayu Desianti (Dokumentasi: Lelagu)


(4)

113

Gambar 18:Penampilan Monohero dan Isnaen Bahar (Dokumentasi: Lelagu)

Gambar 19:Penampilan Teman Sebangku dan Caitlin Taguibao (Dokumentasi: Lelagu)


(5)

114

Gambar 20:Panitia dan Penampil Lelagu #18 (Dokumentasi: Lelagu)


(6)