2. Dysmenorrhea
2.1 Pengertian
Suzannec 2001 mendeskripsikan dysmenorrhea sebagai nyeri saat menstruasi pada perut bagian bawah yang terasa seperti kram. Menurut Manuaba
dkk 2006 dysmenorrhea adalah rasa sakit yang menyertai menstruasi sehingga dapat menimbulkan gangguan pekerjaan sehari-hari. Dysmenorrhea merupakan
menstruasi yang sangat menyakitkan, terutama terjadi pada perut bagian bawah dan punggung bawah yang terasa seperti kram Varney, 2004.
2.2 Patofisiologis Dysmenorrhea
Dysmenorrhea terjadi pada saat fase pramenstruasi sekresi. Pada fase ini terjadi peningkatan hormon prolaktin dan hormon estrogen. Sesuai dengan
sifatnya, prolaktin dapat meningkatkan kontraksi uterus. Hormon yang juga terlibat dalam dysmenorrhea adalah hormon prostaglandin. Prostaglandin sangat
terkait dengan infertilitas pada wanita, dysmenorrhea, hipertensi, preeklamsi- eklamsi, dan anafilaktik syok. Pada fase menstruasi prostaglandin meningkatkan
respon miometrial yang menstimulasi hormon oksitosin. Dan hormon oksitosin ini juga mempunyai sifat meningkatkan kontraksi uterus. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa dysmenorrhea sebagian besar akibat kontraksi uterus Manuaba , 2006.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dysmenorrhea
Menurut Prawirohardjo 1999, ada beberapa faktor diduga berperan
dalam timbulnya dysmenorrhea yaitu: 2.3.1 Faktor psikis
Pada wanita yang secara emosional tidak stabil, dysmenorrhea primer mudah terjadi. Kondisi tubuh erat kaitannya dengan faktor psikis, faktor ini
dapat menurunkan ketahanan terhadap rasa nyeri. Seringkali segera setelah perkawinan dysmenorrhea hilang, dan jarang sekali dysmenorrhea menetap
setelah melahirkan. Mungkin kedua keadaan tersebut perkawinan dan melahirkan membawa perubahan fisiologis pada genitalia maupun perubahan
psikis. Disamping itu, psikoterapi terkadang mampu menghilangkan dysmenorrhea primer.
2.3.2 Vasopresin
Kadar vasopresin pada wanita dengan dysmenorrhea primer sangat tinggi dibandingkan dengan wanita tanpa dysmenorrhea. Pemberian vasopresin
pada saat menstruasi menyebabkan meningkatnya kontraksi uterus, menurunnya aliran darah pada uterus, dan menimbulkan nyeri. Namun, peranan pasti
vasopresin dalam mekanisme terjadinya dysmenorrhea masih belum jelas.
2.3.3 Prostaglandin
Penelitian pada beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa prostaglandin memegang peranan penting dalam terjadinya dysmenorrhea.
Prostaglandin yang berperan di sini yaitu prostaglandin E2 PGE2 dan F2α PGF2α. Pelepasan prostaglandin di induksi oleh adanya lisis endometrium dan
Universitas Sumatera Utara
rusaknya membran sel akibat pelepasan lisosim. Prostaglandin menyebabkan peningkatan aktivitas uterus dan serabut-serabut saraf terminal rangsang nyeri.
Kombinasi antara peningkatan kadar prostaglandin dan peningkatan kepekaan miometrium menimbulkan tekanan intrauterus hingga 400 mmHg dan
menyebabkan kontraksi miometrium yang hebat. Selanjutnya, kontraksi miometrium yang disebabkan oleh prostaglandin akan mengurangi aliran darah,
sehingga terjadi iskemia sel-sel miometrium yang mengakibatkan timbulnya nyeri spasmodik. Jika prostaglandin dilepaskan dalam jumlah berlebihan ke
dalam peredaran darah, maka selain dysmenorrhea timbul pula diare, mual, dan muntah.
2.3.4 Faktor hormonal
Umumnya kejang atau kram yang terjadi pada dysmenorrhea primer dianggap terjadi akibat kontraksi uterus yang berlebihan. Tetapi teori ini tidak
menerangkan mengapa dysmenorrhea tidak terjadi pada perdarahan disfungsi anovulatoar, yang biasanya disertai tingginya kadar estrogen tanpa adanya
progesteron. Kadar progesteron yang rendah menyebabkan terbentuknya PGF2α dalam jumlah banyak. Kadar progesteron yang rendah akibat regresi korpus
luteum menyebabkan terganggunya stabilitas membran lisosom dan juga meningkatkan pelepasan enzim fosfolipase-A2 yang berperan sebagai katalisator
dalam sintesis prostaglandin melalui perubahan fosfolipid menjadi asam archidonat. Peningkatan prostaglandin pada endometrium yang mengikuti
turunnya kadar progesteron pada fase luteal akhir menyebabkan peningkatan tonus miometrium dan kontraksi uterus.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Faktor Resiko Dysmenorrhea
Menurut Damianus 2006, ada beberapa faktor resiko yang bisa meningkatkan terjadinya dysmenorrhea yaitu:
a. Wanita yang merokok
b. Wanita yang minum alkohol selama menstruasi karena alkohol akan
memperpanjang nyeri pada saat menstruasi c.
Wanita yang kelebihan berat badan dan obesitas d.
Wanita yang tidak memiliki anak e.
Menarche dini wanita yang pertama menstruasi sebelum umur 12 tahun
f.Mempunyai riwayat yang sama dalam keluarga
2.5 Gejala Dysmenorrhea
Menurut Kasdu 2005, gejala dysmenorrhea yang sering muncul
adalah :
a. Rasa sakit yang dimulai pada hari pertama menstruasi
b. Terasa lebih baik setelah pendarahan menstruasi mulai
c. Terkadang nyerinya hilang setelah satu atau dua hari. Namun, ada
juga wanita yang masih merasakan nyeri perut meskipun sudah dua
hari haid.
d. Nyeri pada perut bagian bahwa, yang bisa menjalar ke punggung
bagian bahwa dan tungkai.
Universitas Sumatera Utara
e. Nyeri dirasakan sebagai kram yang hilang timbul atau sebagai nyeri
tumpul yang terus menerus. f. Terkadang disertai rasa mual, muntah, pusing atau pening.
2.6 Klasifikasi dan Karakteristik Gejala Dysmenorrhea