2 Promosi Penjualan yang Cukup Baik
Dalam melakukan penjualan untuk pasar ekspor, Indonesia telah memiliki lembaga atau komunitas kelompok seperti Asean Pasific Coconut Community APCC yang telah
membantu perusahaan-perusahaan agroindustri kelapa termasuk industri desiccated coconut dalam mempromosikan produknya agar mendapatkan perhatian dan dikenal di pasar
internasional. Sehingga para konsumen luar negeri dapat membeli produk Indonesia dengan menghubungi industri tersebut secara langsung, baik melalui email, web, dan lain
sebagainya. Bentuk promosi tersebut berupa informasi iklan yang tercantum pada majalah Cocoinfo International
yang diterbitkan secara rutin oleh APCC setiap bulan serta informasi berupa directory traders kumpulan perusahaan-perusahaan yang mengekspor dan
mengimpor produk agroindustri kelapa dalam bentuk sebuah buku yang diterbitkan setiap 2 tahun sekali. Selain itu, para agroindustri kelapa Indonesia yang merupakan industri besar
telah memiliki website untuk penjualan produk-produk kelapa mereka, antara lain seperti PT. Pula Sambu dengan alamat website http:www.sambugroup.com dan PT. Cocomas
Indonesia dengan alamat website http:www.cocomas.com.sg.
3 Dapat Menghasilkan Produk Sampingan
Industri desiccated coconut dapat menghasilkan produk lain secara bersamaan dengan memproduksi desiccated coconut, yaitu produk santan. Hanya saja produk yang diproduksi
adalah produk desiccated coconut dengan karakter berbeda yaitu desiccated coconut low fat dengan kadar minyak dibawah produk desiccated coconut biasa yaitu kurang dari 60
APCC, 2011. Hal ini dapat diterapkan jika industri kelapa tersebut menerapkan proses produksi dengan teknologi proses kelapa terpadu.
b. Faktor Kelemahan
Faktor kelemahan yang dimiliki agroindustri desiccated coconut di Indonesia pada umumnya adalah sebagai berikut:
1 Kualitas Produk Masih Rendah
Kualitas produk desiccated coconut yang dihasilkan oleh sebagian besar industri kelapa di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara pesaing Filipina. Konsumen
negara lain produk desiccated coconut seperti Amerika maupun negara-negara Eropa sangat mementingkan kualitas dari produk yang akan dibelinya, terutama untuk produk pangan
seperti desiccated coconut. Nilai higienis dari produk desiccated coconut yang dihasilkan oleh sebagian besar petani dan industri kecil Indonesia masih kurang. Produk desiccated
coconut yang dihasilkan oleh industri kecil dan menengah atau petani Indonesia
menghasilkan bentuk fisik berupa warna yang kurang bersih atau cerah dengan tekstur yang masih kasar. Sehingga produk-produk desiccated coconut yang saat ini sudah tembus di pasar
ekspor masih merupakan hasil dari industri besar yang mana memang telah menghasilkan produk desiccated coconut yang sesuai dengan SNI dan standar internasional. Seperti yang
dinyatakan oleh Balitbang Pertanian 2007, perolehan ekspor produk kelapaIndonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan perolehan negara pesaing utama Filipina terutama
dikarenakan oleh kualitas produk kelapa Indonesia yang masih di bawah Filipina, tingginya biaya transportasi, dan kompleksitas prosedur ekspor yang turut berpengaruh terhadap
perolehan manfaat perdagangan ekspor produk kelapa Indonesia yang belum maksimal.
2 Infrastruktur Kurang Memadai
Terbatasnya infrastruktur seperti kurangnya pasokan listrik, sarana jalan, transportasi, telekomunikasi, serta pelabuhan ekspor di wilayah pengembangan kelapa yang meliputi
Maluku Utara, Sulawesi Utara, Riau, Kalimantan Barat, dan Lampung, juga dirasakan menjadi penghambat pengembangan industri pengolahan kelapa. Tidak terdapatnya
pelabuhan ekspor di wilayah-wilayah tersebut menyebabkan produk-produk kelapa yang akan diekspor ditujukan terlebih dahulu ke Surabaya untuk diekspor melalui pelabuhan
disana. Sementara biaya 1 kontainer dengan kapasitas 20 ton untuk menuju ke pelabuhan ekspor sekitar Rp.7.000.000,-. Sehingga harga produk menjadi lebih mahal yang disebabkan
oleh biaya transportasi menuju pelabuhan ekspornya itu sendiri.
3 Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Masih Kurang
Kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini masih kurang sinkron satu sama lain. Antara kebijakan Kementrian Pertanian yang pada umumnya lebih menginginkan kesejahteraan
petani dengan kebijakan Kementrian Perindustrian yang pada umumnya menginginkan kemajuan industri sampai saat ini masih mengalami ketidakkompakkan. Hal ini dikarenakan
sampai saat ini petani masih hanya bisa mengolah kelapa menjadi kopra, yang dijual ke industri untuk selanjutnya diolah kembali dan dijual untuk pasar domestik maupun pasar
internasional, yang mana harga jual kopra ataupun kelapa butiran petani tersebut pada umumnya masih belum dapat mensejahterakan petani kelapa Indonesia. Sedangkan
Kementrian Perindustrian juga menginginkan kemajuan agroindustri kelapa sehingga berupaya sebaik mungkin demi memajukan agroindustri kelapa Indonesia, salah satunya
dengan membantu meningkatkan kualitas produk dan mengupayakan agar penjualan ekspor produk agroindustri kelapa Indonesia semakin meningkat. Hal ini tentunya lebih
menguntungkan agroindustri kelapa di Indonesia, sementara nasib rakyat petani kelapa tetap pada harga standar buah kelapa pada umumnya,
belum lagi jika mereka “dipermainkan” oleh para tengkulak.
4 Kontinuitas Bahan Baku Masih Tidak Stabil
Kelapa memang merupakan komoditi yang tidak sulit ditemui. Luas areal kelapa di Indonesia yang sangat besar sebagian besar dimiliki oleh para petani rakyat kecil. Sebesar
98 atau sekitar 3,77 juta hektar areal kelapa dimiliki oleh para petani kelapa, sisanya sebesar 2 atau sekitar 77000 hektar dimiliki oleh perusahaan swasta. Sebagian besar para
petani masih mengolah kelapa hanya menjadi kopra atau dijual dalam bentuk butiran kelapa Dirjen Perkebunan, 2009. Namun, hal ini lantas tidak menjadi suatu keunggulan bagi
Indonesia yang disebabkan oleh masih banyaknya petani kelapa yang menjual kelapa segar utuh ke negara lain seperti Malaysia dan Singapore. Akibatnya, kontinuitas bahan baku bagi
agroindustri kelapa di Indonesia untuk mengolahnya kembali menjadi produk kelapa masih tidak stabil. Sebagian besar agroindustri kelapa yang berada di wilayah perbatasan masih
kekurangan bahan baku. Bahkan kini harga per butir buah kelapa di Sentra Tanaman Kelapa Riau sebesar Rp.3.000. Selain itu, berkurangnya jumlah tanaman kelapa yang menghasilkan
dari 2.789.416 ha pada tahun 2007 menjadi 2.773.489 pada tahun 2009 merupakan salah satu penyebab masih kurangnya bahan baku yang dapat dipasok untuk agroindustri kelapa
Indonesia. Manggabarani 2010 juga menyatakan bahwa produktivitas tanaman kelapa sampai dengan tahun 2009 1,15 tonha masih berada di bawah potensi produksinya yaitu
2,0-2,5 tonha dan bahkan sampai saat ini jumlah kondisi tanaman kelapa yang sudah tua dan tidak produktif mencapai 11,56 dari total luas areal kelapa Indonesia.
5 Aplikasi Desiccated Coconut Tidak Banyak Berkembang
Sampai saat ini aplikasi produk desiccated coconut sebagian besar masih digunakan pada industri industri pangan untuk dijadikan bahan baku produk makanan camilan atau sebagai
bahan pelengkap. Hal ini tidak banyak berkembang sehingga semakin lama pasar dapat mencapai titik jenuh dan mulai menurun permintaannya.
Tabel 19. Matriks IFE untuk Industri Desiccated Coconut Faktor Strategis Internal
Bobot a
Rating b
Skor a x b
1 Kekuatan
1. Ketersediaan bahan baku melimpah
0,15 4
0,60
2. Promosi penjualan cukup baik 0,12
3 0,36
3. Dapat menghasilkan produk sampingan 0,10
3,5 0,35
2 Kelemahan
1. Kualitas produk masih rendah 0,13
1,25 0,16
2. Infrastruktur kurang memadai 0,13
1,25 0,16
3. Sinkronisasi kebijakan pemerintah masih kurang 0,11
1,75 0,19
4. Kontinuitas bahan baku tidak stabil 0,16
1,25 0,20
5. Aplikasi desiccated coconut tidak banyak berkembang
0,10 1,5
0,15 Total
1,00 2,17
Matriks IFE diperoleh melalui penilaian pakar mengenai sejauh mana faktor-faktor strategis internal berpengaruh terhadap ekspor agroindustri desiccated coconut Indonesia. Setiap pakar
memberikan penilaian bobot dan peringkat terhadap masing-masing faktor strategis internal agroindustri desiccated coconut Indonesia pada umumnya. Semakin kuat faktor internal tersebut,
semakin tinggi skornya dan semakin lemah faktor internal tersebut, maka semakin rendah skornya. Penilaian pada kuesioner untuk matriks IFE dilakukan oleh para pakar kelapa yang telah disebutkan
sebelumnya dengan mengisi kuesioner seperti yang terdapat pada Lampiran 7. Penilaian pakar tersebut kemudian diambil nilai rata-rata dari seluruh penilaian para pakar untuk memperoleh nilai
rata-rata seperti yang terdapat pada Tabel 19 di atas. Berdasarkan Tabel 19, analisis matriks IFE menghasilkan total skor seluruh faktor internal
sebesar 2,17. Total total skor ini mengindikasikan bahwa kemampuan agroindustri desiccated coconut Indonesia pada umumnya masih mencirikan industri yang lemah secara internal. Seperti yang
dijelaskan oleh David 2009, terlepas dari berapa banyak faktor yang dimasukkan ke dalam Matriks Evaluasi Faktor Internal, skor bobot total di bawah 2,5 mencirikan organisasi yang lemah secara
internal, sedangkan skor bobot total di atas 2,5 mengindikasikan posisi internal yang kuat. Kekuatan utama dari agroindustri desiccated coconut Indonesia pada umumnya adalah ketersediaan bahan baku
yang melimpah, dengan total skor tertinggi sebesar 0,60. Hal ini menunjukkan kekuatan utama dari agroindustri desiccated coconut adalah karena ketersediaan bahan bakunya yang melimpah yang mana
memang negara Indonesia ini merupakan negara penghasil kelapa terbesar di dunia. Sedangkan kelemahan utama dari agroindustri desiccated coconut di Indonesia pada umumnya adalah aplikasi
desiccated coconut yang tidak banyak berkembang dengan total skor terendah yaitu 0,15. Hal ini
menunjukkan meskipun bahan baku kita melimpah, namun jika aplikasi dari produk desiccated coconut
tidak banyak berkembang, pasar suatu saat akan bosan dan ini bisa menjadi kelemahan utama yang menyebabkan penurunan penjualan desiccated coconut di pasar ekspor.
2. Analisis External Factor Evaluation EFE
Analisis eksternal industri desiccated coconut DC terdiri dari faktor peluang dan ancaman yang dapat dilihat pada Tabel 22. Masing-masing faktor yang mempengaruhi dijelaskan sebagai
berikut:
a. Faktor Peluang