harus mendapat presentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negatif.
41
e. Asas Amanah Mabda’ al-Amânah Dengan asas amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak
haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengekploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam
hukum Islam, terdapat suatu bentuk perjanjian amanah, salah satu pihak hanya bergantung kepada informasi jujur dari pihak lainnya untuk
mengambil keputusan untuk menutup perjanjian bersangkutan.
42
f. Asas Keadilan Mabda’ al-‘Adâlah Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua
hukum. Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah Al- Qur’an yang menegaskan, “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa” Q.S. al-Maidah5: 8. Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
43
4. Syarat Sahnya Perjanjian Akad
41
Ibid., h.90.
42
Ibid., h.91.
43
Ibid., h.92.
Para ulama fiqh menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi oleh suatu akad. Disamping itu, setiap akad juga memiliki syarat-
syarat khusus. Akad jual-beli memiliki syarat-syarat tersendiri sedang akad al-ijârah sewa menyewa demikian juga. Adapun syarat-syarat umum suatu
akad itu adalah:
44
1. Pihak-pihak yang melakukan akad itu telah cakap bertindak hukum mukallaf atau jika obyek akad itu merupakan milik orang yang belum
cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu, suatu akad yang dilakukan orang gila dan anak kecil yang belum
mumayyiz secara langsung , hukumnya tidak sah. Tetapi, jika dilakukan wali ini memberi manfaat bagi orang-orang yang diampunya, maka akad itu
hukumnya sah. 2. Obyek akad itu diakui oleh syara’. Untuk obyek akad ini disyaratkan pula:
a berbentuk harta, b dimiliki oleh seseorang, dan c bernilai harta menurut syara’. Oleh sebab itu, jika obyek akad itu sesuatu yang tidak bernilai harta
dalam Islam, maka akadnya tidak sah, sepreti khamar minuman keras. Disamping itu, jumhur ulama fiqh selain ulama Hanafiyah, menyatakan
bahwa barang najis, seperti anjing, bulu dari babi, bangkai dan darah tidak bisa dijadikan obyek akad, karena najis tidak bernilai harta dalam Syara’.
44
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah , Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, h.101-104.
3. Akad itu tidak dilarang oleh nas ayat atau hadits syara’. Atas dasar syarat ini, seorang wali pengelola anak kecil tidak boleh menghibahkan harta
anak kecil itu. Alasannya adalah melakukan suatu akad yang sifatnya menolong sementara tanpa imbalan terhadap harta anak kecil tidak
dibolehkan syara’. 4. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait
dengan akad itu. Artinya, disamping memenuhi syarat-syarat khususnya. Misalnya, dalam jual beli, disamping syarat-syarat umum suatu akad
terpenuhi, juga harus terpenuhi syarat-syarat khusus yang berlaku dalam akad jual beli.
5. Akad itu bermanfaat. Oleh sebab itu, jika seseorang melakukan suatu akad dan imbalan yang diambil salah seseorang yang berakad merupakan
kewajiban baginya, maka akad itu batal. 6. Pernyataan îjâb tetap utuh dan shahih sampai terjadinya qabûl. Apabila îjâb
tidak utuh dan shahih lagi ketika qabûl diucapkan, maka akad itu tidak sah. Hal ini banyak dijumpai dalam suatu akad yang dilangsungkan melalui
tulisan. Misalnya, dua orang pedagang dari daerah yang berbeda melakukan suatu transaksi dagang melalui surat.
7. Îjâb dan Qabûl dilakukan dalam suatu majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi. Oleh sebab itu menurut Mustafa
Ahmad al-Zarqa’,
45
majelis itu bisa berbentuk tempat dilangsungkannya akad dan bisa juga berbentuk keadaan selama proses berlangsungnya akad,
sekalipun tidak dalam satu tempat. 8. Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’. Di mana tujuan akad ini terkait erat
dengan tujuan berbagai bentuk akad yang dilakukan. Misalnya dalam akad nikah, tujuannya adalah untuk menghalalkan hubungan suami istri antara
seorang pria dengan seorang wanita, dalam jual beli tujuannya adalah untuk memindahkan hak milik dari penjual kepada pembeli dengan imbalan,
dalam akad ijârah sewa menyewa tujuannya adalah pemilikan manfaat
bagi orang yang menyewa dan hak yang menyewakan mendapat imbalan. 5.
HapusnyaBerakhirnya Perjanjian Akad
Menurut hukum Islam,
46
akad hapusberakhir disebabkan terpenuhinya tujuan akad tahqîq gharad al-‘aqd, fasakh, infisâkh, kematian, dan ketidak-
izinan ‘adam al-ijâzah dari pihak yang memiliki kewenangan dalam akad mauqûf.
1. Suatu akad dipandang berakhir apabila tujuan akad telah tercapai. Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah
berakhir apabila barang telah berpindah tangan kepada pembeli dan
45
Mustafa bin Ahmad bin Muhammad az-Zarqa 1904-1999 M. Mustafa az-Zarqa adalah seorang ulama fiqh dan mujtahid asal Syiria. Beliau merupakan salah satu guru besar fiqh Islam
di Universitas Amman, Yordania. di antara karangannya adalah al-Madkhal al-Fiqhi al-Âm al- Islâmi fi Tsaubihi al-Jadîd.
46
Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005, cet. ke-1. h.75-77.
harganya telah menjadi milik penjual. Demikian juga, akad berakhir disebabkan intihâ’muddah al-‘aqd berakhir masa akad. Jika masa
kontrak sudah berakhir misalnya, maka akad sewa menyewa sudah habis dan akad menjadi berakhirselesai dengan sendirinya.
2. Fasakh. sebuah akad berakhir disebabkan fasakh pemutusan. Dalam akad yang mengikat bagi para pihak, ada beberapa alasan yang menyebabkan
akad dapat atau bahkan harus difaskah: a. Disebabkan akad dipandang fasâd, misalnya menjual sesuatu yang tidak
jelas spesifikasi atau menjual sesuatu dengan dibatasi waktu. Jual beli semacam itu dipandang fasâd, dan karenanya harus wajib difasakh,
baik oleh para pihak yang berakad maupun oleh hakim, kecuali terdapat hal-hal yang menyebabkan fasakh tidak dapat dilakukan seperti pihak
pembeli telah menjual barang yang dibelinya. b. Disebabkan adanya khiyâr. Pihak yang memiliki hak khiyâr, baik
khiyâr syarat, khiyâr ‘aib, kyiyâr ru’yah maupun lainnya dibolehkan untuk melakukan fasakh akad yang telah dilakukannya.
c. Disebakan iqâlah. yaitu fasakh terhadap akad berdasarkan kerelaan kedua belah pihak ketika salah satu pihak menyesal dan ingin mencabut
kembali akad yang telah dilakukannya. d. Disebabkan ‘adam al-tanfîdz yakni kewajiban yang ditimbulkan oleh
akad tidak dipenuhi oleh pihak atau salah satu pihak yang bersangkutan. Jika hal itu terjadi, akad boleh fasakh.
3. Infisâkh, yakni putus dengan sendirinya dinyatakan putus, putus demi hukum. Sebuah akad dinyatakan putus apabila si akad tidak mungkin dapat
dilaksanakan istihâlah al-tanfîdz disebabkan âfat samawiyah force majeure. Dalam akad jual beli misalnya, barang yang dijual rusak di
tangan penjual sebelum diserahkan ke tangan pembeli. 4. Kematian
Beberapa bentuk akad berakhir disebabkan kematian salah satu pihak yang berakad. Berikut contoh-contoh akad yang dimaksud:
a. Akad sewa menyewa ijârah. b. Akad rahn dan kafâlah.
5. Tidak ada persetujuan ‘adam al-ijâzah. Akad mauqûf berakahir apabila pihak yang memiliki kewenangan tidak memberikan persetujuan terhadap
pelaksanaan akad.
6. Penyelesaian Perselisihan