3. Infisâkh, yakni putus dengan sendirinya dinyatakan putus, putus demi hukum. Sebuah akad dinyatakan putus apabila si akad tidak mungkin dapat
dilaksanakan istihâlah al-tanfîdz disebabkan âfat samawiyah force majeure. Dalam akad jual beli misalnya, barang yang dijual rusak di
tangan penjual sebelum diserahkan ke tangan pembeli. 4. Kematian
Beberapa bentuk akad berakhir disebabkan kematian salah satu pihak yang berakad. Berikut contoh-contoh akad yang dimaksud:
a. Akad sewa menyewa ijârah. b. Akad rahn dan kafâlah.
5. Tidak ada persetujuan ‘adam al-ijâzah. Akad mauqûf berakahir apabila pihak yang memiliki kewenangan tidak memberikan persetujuan terhadap
pelaksanaan akad.
6. Penyelesaian Perselisihan
Penyelesaian perselisihan dalam Hukum Perjanjian Islam akad, pada prinsipnya boleh dilaksanakan melalui tiga jalan, yaitu pertama dengan jalan
perdamaian sulhu; yang kedua dengan jalan arbitrase tahkîm; dan yang terakhir melalui proses peradilan al-Qadhâ’.
47
a. Sulhu Perdamaian
47
Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h.87.
Jalan pertama dikakukan apabila terjadi perselisihan dalam suatu akad adalah menggunakan jalan perdamaian sulhu antara kedua pihak.
Dalam fiqh pengertian sulhu adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang saling berlawanan, atau untuk
mengakhiri sengketa.
48
Perdamaian sulhu ini diisyaratkan berdasarkan Al-Qur’an surat al- Hujurât 49 ayat 9, yang berbunyi:
⌧ ☺
☺ ☺
☺ ☺
تاﺮﺠﺤﻟا :
Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya tapi
kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai
surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah
kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Q.S. al-Hujurat49: 9.
48
A.T. Hamid, Ketentuan Fiqih dan Ketentuan Hukum yang Kini Berlaku di Lapangan Perikatan. Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1983, h.135.
Dalam suatu riwayat Umar r.a pernah berkata: ”Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan
menembangkan kedengkian di antara mereka”.
49
b. Tahkîm Arbitrase Istilah Tahkim secara literal berarti mengangkat sebagai wasit atau
juru damai. Sedangkan secara terminologis tahkîm berarti pengangkatan seorang atau lebih yang bersengketa, sebagai wasit atau juru damai oleh
dua orang atau lebih yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai. Dalam hal ini, hakam ditunjuk untuk
menyelesaikan perkara bukan oleh pihak pemerintah, tetapi ditunjuk langsung oleh dua orang yang bersengketa. Penyelesaian yang dilakukan
oleh hakam dikenal di abad modern dengan arbitrase.
50
Dasar hukum dari tahkîm ini yaitu QS. an-Nisâ’ 4 ayat 35:
☺ ☺
☯ ☺
⌧ ☺
ءﺎﺴﻨﻟا 4
: 35
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah
49
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Beirut: Daar al-Fikr, 2007, jilid 3, h.938.
50
Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h.89.
memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Q.S. an-Nisa4: 35.
C. Al-Qadhâ’ Pengadilan Al-qadhâ’ secara harfiah berarti antara lain memutuskan atau
menetapkan. Menurut istilah fiqih kata ini berarti menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara
adil dan mengikat. Lembaga peradilan semacam ini berwenang menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang mencakup perkara-perkara
atau masalah keperdataan, termasuk ke dalamnya Hukum Keluarga, dan masalah tindak pidana. Orang yang berwenang menyelesaikan perkara pada
pengadilan semacam ini dikenal qâdhi hakim. Penyelesaian sengketa melalui peradilan melawati beberapa proses, salah satu proses yang penting
adalah pembuktian.
51
Alat bukti menurut Islam yaitu:
52
1. Ikrâr pengakuan para pihak mengenai ada tidaknya sesuatu; 2. Syahâdat persaksian;
3. Yamîn sumpah; 4. Watsâiq Rasmiyyah Tsâbitah pegangan resmi yang telah ditetapkan
pemerintah.
51
Ibid., h.89-90.
52
Sabiq, Fiqih Sunnah, h.951.
BAB III PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA
DI PERUSAHAAN DAERAH PASAR JAYA
A. Profil Singkat Perusahaan Daerah Pasar Jaya
a. Sejarah Singkat PD. Pasar Jaya
1
Perusahaan Daerah Pasar Jaya, pada awalnya adalah perusahaan pasar hasil reorganisasi di lingkungan Djawatan Perekonomian Rakyat DKI Jakarta
yang ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor lb.321566 Tanggal 24 Desember 1966, dan kemudian disahkan
dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Ekbang 8813305 Tanggal 23 Desember 1967.
Seiring dengan perkembangan kota Jakarta menjadi kota metropolitan dan persaingan usaha yang makin kompetitif, status dan kedudukan hukum PD. Pasar
Jaya ditingkatkan dengan Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1982 dan disahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
511.2331 - 181 Tanggal 19 April 1983. Dalam upaya meningkatkan peranan PD. Pasar Jaya sebagai perusahaan
daerah yang lebih profesional serta mengantisipasi tuntutan perkembangan bisnis
1
Administrator PD. Pasar Jaya, “Sejarah PD. Pasar Jaya” diakses pada 24 Januari 2010 dari http:www.pasar jaya.com.