Hapusnya perjanjian pemakaian tempat usaha dan penyelesaianya perpektif hukum positif dan hukum islam : Studi kasus perusahaan daerah Pasar Jaya area Tanah Abang

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (SSy)

Oleh:

Saipul Hidayat NIM: 105043201343

K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (SSy) Oleh:

Saipul Hidayat NIM: 105043201343 Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag. Nahrowi, S.H., M.H. NIP: 197003232000031001 NIP: 197302151999031002

K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

ISLAM (Studi Kasus Perusahaan Daerah Pasar Jaya Area Tanah Abang)”, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal 15 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (SSy) pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH) Konsentrasi Perbandingan Hukum.

Ciputat, 19 Maret 2010 Mengesahkan

Dekan

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. NIP: 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. ( ... ) NIP: 195703121985031003

2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. ( ... ) NIP: 196511191998031002

3. Pembimbing I : Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag. ( ... ) NIP: 197003232000031001

4. Pembimbing II : Nahrowi, S.H., M.H. ( ... ) NIP: 197302151999031002

5. Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. ( ... )

NIP: 195003061976031001

6. Penguji II : Drs. H. Hamid Farihi, M.A. ( ... ) NIP: 195811191986031001


(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 19 Maret 2009


(5)

melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Hapusnya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha Dan Penyelesaiannya Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam (Studi Kasus Perusahaan Daerah Pasar Jaya Area Tanah Abang)” yang merupakan kewajiban bagi Mahasiswa Program Sarjana (S-1) Perbandingan Hukum pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi dan melengkapi sebagian persyaratan dan tugas akhir untuk mencapai Gelar Sarjana Syariah (SSy).

Dalam penulisan Skripsi ini, sudah barang tentu Penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, yang sangat bermanfaat bagi penulisan ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum.

2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA. Dan Bapak Dr. H. Ahmad Taufiqi, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag. dan Bapak Nahrowi, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing, yang telah membimbing dan memberikan motivasi yang besar selama proses penulisan skripsi ini.


(6)

5. Bapak Wayan Darmajaya, S.H., M.H. dan Ibu Yohana Damar Lati, S.H. selaku Manager PD. Pasar Jaya Area Tebet dan Asisten Manager Divisi Hukum PD. Pasar Jaya yang telah membantu dalam pemenuhan data penelitian yang Penulis lakukan.

6. Segenap Pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidaytullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.

7. Ayahanda dan Ibunda, Bapak Mardinis dan Ibu Niswar, yang selalu penulis hormati dan sayangi, dan yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan do’a demi kesuksesan penulis. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberi limpahan rahmat dan kasih sayangnya kepada mereka. Amin.

8. Dewan Guru Pesantren Qotrun Nada yang selalu memberikan motivasi dan dukungan demi kesuksesan dalam penulisan skripsi ini.

9. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi dari Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum angkatan 2005 / 2006 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam masa studi dan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, Sholahuddin, S.H.I., Arif Hidayat, S.H.I., Rizal Baydillah, S.H.I., Shohibul Munir,


(7)

iii

materil penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT membalas dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan semua pihak. Amin.

Ciputat, 18 Maret 2010

Saipul Hidayat Penulis


(8)

A. Latar Belakang Masalah………..1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………..6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………7

D. Metode Penelitian………8

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu……….11

F. Sistematika Penulisan………13

BAB II KAJIAN TEORITIS PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA A. Hukum Perdata 1. Hakikat Perjanjian………...15

2. Pengertian Hak Pakai………..17

3. Pengertian Perjanjian Pemakian Tempat Usaha………..18

4. Syarat Syahnya Perjanjian………...20

5. Asas-Asas Perjanjian………...22

6. Hapusnya Perjanjian………25

7. Penyelesaian Perselisihan………27

B. Hukum Islam 1. Pengertian Perjanjian (Akad)………...30


(9)

5. Hapusnya/Berakhirnya Perjanjian………...39 6. Penyelesaian Perselisihan………41

BAB III PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA DI PERUSAHAAN DAERAH PASAR JAYA (PD. PASAR

JAYA)

A. Profil Singkat PD. Pasar Jaya

1. Sejarah Singkat PD. Pasar Jaya ………..45 2. Visi dan Misi PD. Pasar Jaya………...46 3. Struktur Organisasi PD. Pasar Jaya……….47 B. Perjanjian di PD. Pasar Jaya

1. Bentuk Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha………..50 2. Hak dan Kewajiban Pemakai Tempat Usaha………...51 C. Mekanisme Terjadinya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha

di PD. Pasar Jaya………....53


(10)

vi

Tempat Usaha antara PD. Pasar Jaya dengan Pihak Pemakai Tempat Usaha

1. Kronologis Kasus……….56

2. Dasar Hukum Kedua Belah Pihak………...58

3. Dasar Pertimbangan Hukum………62

B. Perbandingan Penyelesaian Perselisihan yang Terjadi pada Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam...67

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………77

B. Saran……..………78

DAFTAR PUSTAKA……….79


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat terlepas dari hubungan dengan manusia lainnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan tersebut akan berlangsung baik apabila ada penyesuaian kehendak di antara para pihak yang berhubungan. Untuk mencapai kesesuaian kehendak dalam hubungan tersebut timbul suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lainnya untuk melakukan suatu hal. Hal itu dapat berupa kebebasan untuk berbuat sesuatu, untuk menuntut sesuatu, untuk tidak berbuat sesuatu dan dapat berarti keharusan untuk menyerahkan sesuatu, untuk berbuat suatu hal, atau untuk tidak bebuat suatu hal, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Hal ini berarti para pihak tersebut melakukan suatu perjanjian sehingga antara para pihak timbul hubungan hukum yang dinamakan perikatan.

Perikatan didefinisikan sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.1

Perikatan dapat lahir dari perjanjian atau undang-undang seperti yang

disebutkan dalam pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUP Perdata).2

1


(12)

Perikatan yang timbul baik dari perjanjian maupun undang-undang akan melahirkan hak dan tanggung jawab yang dapat dituntut serta harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Namun dasar lahirnya perikatan tersebut mempunyai akibat yang berbeda bagi para pihak. Dalam perikatan yang lahir dari perjanjian akibat yang timbul dikehendaki oleh para pihak sedangkan dalam perikatan yang lahir dari undang-undang, akibat hukum yang timbul ditentukan oleh undang-undang yang mungkin saja tidak dikehendaki para pihak.

Perjanjian sebagaimana yang diungkapakan M. Yahya Harahap adalah suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.3

Dalam Islam istilah perjanjian lebih dikenal dengan kata akad, yaitu pertalian

îjâb dan qâbûl yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum

terhadap objeknya.4 Ajaran Islam mengharuskan kepada kedua belah pihak yang

melakukan suatu akad untuk memenuhi akad tersebut. Ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Maidah (5) ayat 1 yang berbunyi:

2

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2005), cet. ke-36, h.323.

3

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), cet. ke-2, h.6. 4

Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2007), cet. ke-3, h. 46.


(13)

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan

bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. al-Maidah/5: 1)

Seiring perkembangan zaman, perjanjian tertulis (kontrak) banyak diterapkan oleh orang dan atau badan usaha untuk melaksanakan berbagai transaksi dengan seseorang atau dan badan usaha lainya. Ini terjadi karena bisa menjamin kedua belah pihak yang melakukan transaksi melaksanakan apa yang diperjanjikan. Terkait dengan hal tersebut Perusahaan Daerah Pasar Jaya (yang selanjutnya disingkat PD. Pasar Jaya) menerapkan perjanjian antara PD. Pasar Jaya dengan Pemakai tempat usaha (pedagang), yang dinamakan Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha (PPTU).

PD. Pasar Jaya merupakan perusahaan daerah yang dimiliki DKI Jakarta yang bergerak di bidang perpasaran terutama pasar tradisional. Sesuai Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No.12 Tahun 1999 jo Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 2 Tahun 2009, PD. Pasar Jaya mempunyai tugas pokok melaksanakan pelayanan umum di bidang perpasaran, membina pedagang pasar, dan ikut membantu stabilitas harga dan kelancaran distribusi barang dan jasa di pasar.5

Dalam menyediakan fasilitas tempat usaha PD. Pasar jaya memberikan harga yang variatif sesuai lokasi tempat yang diinginkan. Sebelum diterapkannya perjanjian

5

Administrator PD. Pasar Jaya, “Tugas Pokok PD. Pasar Jaya” diakses 24 Januari 2010 dari http://www.pasar jaya.com.


(14)

tertulis yaitu perjanjian pemakaian tempat usaha (PPTU) dan sertifikat hak pemakaian tempat usaha (SHPTU) sebagai bukti kepemilikan tempat PD. Pasar Jaya hanya memberikan surat izin pemakaian tempat usaha (SIPTU) tanpa didahului perjanjian tertulis antara kedua belah pihak, dengan jangka waktu pemakaian tempat selama-lamanya 20 tahun sesuai ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 ayat 2 Perda No. 6 tahun 1992. Meskipun belum diterapkannya perjanjian pemakaian tempat usaha PD. Pasar Jaya dan pemakai tempat sudah bersepakat untuk saling memberikan prestasi yaitu pembayaran atas hak pemakaian tempat usaha oleh pemakai tempat usaha kepada PD. Pasar Jaya dan pemberian hak pemakaian tempat usaha oleh PD. Pasar Jaya kepada Pemakai tempat usaha. peristiwa ini dapat dianalogikan kepada sebuah perjanjian (kontrak) karena pada peristiwa tersebut telah terpenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian.

Seiring berjalannya waktu praktek pelaksanaan pemakaian tempat usaha, salah satu pasar yang dikelola PD. Pasar Jaya, tepatnya di Area Tanah Abang mengalami kebakaran yang mengakibatkan sebagian tempat usaha tidak dapat beroperasi. Kejadian ini berlangsung setelah hak pemakaian berlangsung selama 15 tahun dan masih menyisakan 5 tahun lagi. Sesuai keputusan Direksi PD. Pasar Jaya No. 4.268 tanggal 29 Desember, bahwa hak pemakaian tempat yang dimiliki pemakai tempat usaha dinyatakan berakhir/batal demi hukum bila terjadi suatu musibah seperti bencana alam baik berupa tanah longsor, gempa bumi dan atau kebakaran sehingga tempat usaha tidak berfungsi sebagaimana mestinya secara total.


(15)

Keputusan ini diperkuat dengan ketentuan KUH Perdata Pasal 1381 tentang hapusnya perikatan (perjanjian), bahwa salah satu sebab hapusnya perjanjian karena musnhanya barang yang terutang, yaitu jika suatu barang tertentu yang dijadikan objek perjanjian dalam hal ini tempat usaha musnah, tidak dapat diperdagangkan, atau hilang, hapuslah perikatannya kecuali kalau hal tersebut terjadi karena kesalahan debitur telah lalai menyerahkan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.6

Setelah kejadian ini, PD. Pasar Jaya melakukan peremajaan kembali bangunan sehingga bisa berfungsi sebagaimana mestinya dengan membongkar bangunan tersebut. Namun tidak hanya yang terkena kebakaran yang dibongkar tetapi yang terkena dampak kebakaran juga ikut dibongkar, sehingga menimbulkan polemik antara PD. Pasar Jaya dengan pemakai tempat usaha yang tidak terkena kebakaran yang masih menyisakan 5 tahun waktu pemakaian yang mengakibatkan kerugian materil bagi pedagang yang tak terkena kebakaran. Ini dilakukan PD. Pasar Jaya dengan alasan kadar kualitas bangunan telah menurun yang telah diteliti oleh ahlinya dan dikhawatirkan akan timbul kejadian yang tidak diinginkan dengan menurunnya kualitas bangunan.7

Berdasarkan kejadian tersebut, PD. Pasar Jaya melakukan perbaikan di bidang pelayanan tempat usaha khususnya ketentuan-ketentuan mengenai hak dan

kewajiban antara PD. Pasar Jaya dengan Pemakai Tempat Usaha dengan menerbitkan

6

Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perencanaan Kontrak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007)h.105.

7

Yohana Damar Lati, Asisten Manager Divisi Hukum PD. Pasar Jaya, Wawancara Pribadi, Jakarta , 29 Januari 2010.


(16)

perjanjian tertulis yaitu perjanjian pemakaian tempat usaha (PPTU), di mana perjanjian ini telah berlaku setelah kejadian tersebut.

Dengan latar belakang di atas penulis menulis skripsi ini dengan judul: HAPUSNYA PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA DAN PENYELESAIANNYA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM ( Studi Kasus Perusahaan Daerah Pasar Jaya Area Tanah Abang).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas, penulis memfokuskan bahasan skripsi ini yang berkisar pada hapusnya perjanjian pemakaian tempat usaha dan penyelesaiannya yang diatur PD. Pasar Jaya perspektif hukum Positif dan hukum Islam dilatar belakangi kasus yang terjadi di Perusahaan Daerah Pasar Jaya Area Tanah Abang.

2. Perumusan Masalah

Masalah dalam skripsi ini penulis rumuskan sebgaimana berikut:

Di antara ketentuan Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

Per.) tentang hapusnya perikatan (perjanjian) adalah hapusnya perikatan karena musnahnya barang yang terutang (objek yang diperjanjikan). Namun pada kenyataannya tidak musnahnya barang yang terutang (objek yang diperjanjikan) dinyatakan hapus perikatannya.


(17)

Dari rumusan masalah di atas penulis merinci dalam bentuk beberapa pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana mekanisme perjanjian pemakaian tempat usaha di PD. Pasar Jaya?

b. Bagaimana penyelesaian permasalahan hapusnya perjanjian pemakaian

tempat usaha antara PD. Pasar Jaya dengan pihak Pemakai tempat usaha?

c. Bagaimana Pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam mengenai

penyelesaian perselisihan antara kedua belah pihak yang berselisih dalam perjanjian pemakaian tempat usaha?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui konsep perjanjian pemakaian tempat usaha menurut

Hukum Positif dan Hukum Islam.

b. Untuk mengetahui mekanisme perjanjian pemakaian tempat usaha yang diatur

PD. Pasar Jaya.

c. Untuk mengetahui dan menganalis hapusnya perjanjian pemakaian tempat

usaha dan penyelesaiannya sesuai ketentuan yang diatur PD. Pasar Jaya. 2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu:


(18)

a. Penelitian ini dapat menciptakan suatu penemuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum.

b. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan khazanah pengetahuan

kepada para mahasiswa dalam masalah perjanjian pemakaian tempat usaha.

2. Manfaat praktis

a. Penelitian ini sekiranya dapat memberikan wawasan bagi para pemakai

tempat usaha, khususnya para pedagang yang terikat perjanjian dengan PD. Pasar Jaya

b. Penelitian ini sekiranya berguna bagi para pemakai tempat usaha dalam

mengetahui dan memahami isi perjanjian antara PD. Pasar Jaya dan Pemakai tempat usaha dalam hal ini pedagang.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh penulis dalam mengumpulkan dan mengolah data penelitian.8

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif yang menggambarkan data informasi berdasarkan pada data yang diperoleh di

8

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998). cet. ke-11, ed. revisi ke-4, h.151.


(19)

lapangan.9 Metode kualitatif, menurut Boy dan Taylor (1975) merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati10. Serta metode komperatif, yaitu metode yang mengkomparasikan antara Hukum Positif dan Hukum Islam yang berlaku dalam menelaah masalah yang sedang diteliti.

2. Sumber Data

Sumber data yang penulis jadikan sebagai bahan untuk memudahkan dalam penyelesaian masalah penelitian dengan menggunakan data-data sebagai berikut:

a. Data Primer

Data utama yang dijadikan acuan pembahasan sedangkan data acuan tersebut adalah Perjanjian pemakaian tempat usaha yang diatur PD. Pasar Jaya, KUH-Perdata, Peraturan Daerah DKI Jakrata No. 6 Tahun 1992 jo Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 3 Tahun 2009, keputusan-keputusan Direksi PD. Pasar Jaya sebagai sumber hukum positif, serta Al-Qur’an sebagai literatur dari hukum Islam.

b. Data Sekunder

Data-data sekunder yang penulis gunakan terdiri dari buku-buku

hukum, artikel maupun data dari internet (website) yang ada kolerasinya

9

Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), cet. ke-2, h.309.

10

Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001), h.3.


(20)

dengan materi yang menjadi pokok masalah yang dibahas dalam skripsi ini sehingga memudahkan bagi penulis untuk menganalisa bagian-bagian yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka mengumpulkan, mengolah dan menyajikan bahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan pengolahan data dengan cara sebagai berikut: a. Studi Pustaka

Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini yaitu literatur-literatur, buku-buku perpustakaan, tulisan-tulisan sebagai dasar teori dalam pembahasan masalah.

b. Penelitian Lapangan

Melalui penelitian ini, didapatkan data-data mengenai pelaksanaan perjanjian pemakaian tempat usaha yang dilaksanakan oleh perusahaan serta melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang mengerti dan menguasai tentang prosedur pelaksanaan perjanjian pemakaian tempat usaha yaitu dari pejabat instansi perusahaan daerah Pasar Jaya.

4. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Alasan penggunaan metode ini ialah karena data kualitatif berdasarkan metode data yang didapat, oleh karenanya dapat mengolah dari berbagai teknik pengumpulan data. Penggunaan metode ini menyajikan suatu kesimpulan dalam bentuk uraian mengenai kualitas data.


(21)

Proses analisis data atau pengolahan data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu dari fakta-fakta pengamatan di lapangan, wawancara dan dokumen yang tersedia.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Iniveristas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

1. Buku yang berjudul “Hapusnya Perikatan”, yang ditulis oleh Gunawan Widjaja

dan Kartini Muljadi, PT. Raja Grafindo Persada 2003, buku ini membahas tentang konsep perikatan dan perjanjian, khususnya hapusnya perikatan yang diatur dalam KUH Perdata dan seberapa jauh tentang pembatalan perjanjian oleh para pihak dalam sebuah perjanjian sebelum jangka waktunya berakhir, serta hak-hak yang diberikan dan dimiliki oleh pihak tertentu untuk membatalkan suatu perjanjian yang merugikan kepentingannya.

Persamaan dengan skripsi yang Penulis angkat, konsep teori hapusnya perikatan yang dibahas buku ini sama dengan teori hapusnya perjanjian yang penulis bahas dalam skripsi yang berujuk pada ketentuan KUH Perdata. Adapun kaitannya perjanjian dengan perikatan adalah akibat diterapkannya perjanjian timbulah perikatan. Adapun perbedaan dengan skripsi yang penulis angkat, objek bahasan dalam buku ini umum untuk semua perjanjian sedangkan dalam bahasan


(22)

skripsi ini objek bahasan fokus pada hapusnya perjanjian pemakaian tempat berdasarkan yang terjadi di lapangan, selain itu dijelaskan pula penyelesaian perselisihan yang timbul akibat perjanjian tersebut.

2. Skripsi yang berjudul “Perjanjian Sewa Kendaraan Antara PT. Medco Power

Indonesia Dengan PT. Pustaka Prima Transport Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif”, yang ditulis oleh Citra Mayasari (202064101224) SJM tahun 1428 H/2007 M. Skripsi ini menjelaskan Perjanjian Sewa kendaraan

antara dua perusahaan PT. Medco Power Indonesia dengan PT. Pustaka Prima

Transport yaitu yang didalamnya dibahas konsep perjanjiannya dan analisis perjanjian tersebut dan membandingkannya dengan tinjauan hukum Islam dan Positif.

Persamaan dengan skripsi yang penulis angkat, konsep teori perjanjian yang dibahas skripsi ini sama dengan skripsi yang penulis angkat, baik syarat sahnya perjanjian, asas-asas perjanjian dan hapusnya perjanjian yang berlandaskan KUH Perdata, selain itu dalam skripsi ini terdapat studi perbandingan antara hukum Positif dan hukum Islam, hal ini sama dengan skripsi yang penulis angkat. Adapun perbedaan dengan skripsi yang penulis angkat, objek kajian yang dibahas dalam skripsi ini adalah perjanjian sewa kendaraan sedangkan skripsi yang penulis angkat adalah perjanjian pemakaian tempat usaha, selain itu bahasan dalam skripsi ini tidak dijelaskan pola penyelesaian perselisihan yang terjadi pada perjanjian tersebut, sedangkan skripsi yang penulis


(23)

angkat dijelaskan pola penyelesaian perselisihan yang terjadi pada perjanjian pemakaian tempat usaha.

Dari skripsi dan literatur yang membahas tentang perjanjian di atas, fokus bahasan yang penulis angkat dalam skripsi ini berbeda dengan kajian terdahulu tersebut, yaitu tentang Hapusnya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha dan Penyelesaiannya (Studi Kasus Perusahaan Daerah Pasar Jaya Area Tanah Abang).

Dengan demikian melalui studi review yang penulis lakukan, penulis yakin bahwa judul skripsi yang diangkat belum ada yang membahas khususnya di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini penulis memberikan suatu gambaran tentang bagian-bagian dalam susunan penelitian sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Dalam uraian bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Teoritis Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha. Dalam uraian bab ini berisi tentang konsep perjanjian pemakaian tempat usaha menurut hukum positif dan hukum Islam. Dalam hukum Positif tercakup di dalamnya hakikat perjanjian, pengertian hak pakai, pengertian perjanjian pemakaian tempat usaha, syarat sahnya perjanjian, asas-asas perjanjian,


(24)

hapusnya perjanjian dan penyelesaian perselisihan dalam perjanjian.

Adapun hukum Islam tercakup didalamnya pengertian perjanjian (akad),

pengertian ijârah, asas-asas perjanjian, syarat sahnya perjanjian, hapusnya perjanjian, dan penyelesaian perselisihan dalam perjanjian.

Bab III Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha di Perusahaan Daerah Pasar Jaya. Dalam uraian bab ini berisi tentang porfil singkat PD. Pasar Jaya yang mencakup sejarah, visi dan misi, serta struktur Organisasi PD. Pasar Jaya dan pembahasan bentuk perjanjian yang diatur oleh PD. Pasar Jaya, hak dan kewajiban Pemakai tempat usaha serta mekanisme terjadinya Perjanjian pemakian tempat usaha .

Bab IV Analisis Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha. Dalam uraian bab ini berisi tentang penyelesaian permasalahan hapusnya perjanjian pemakaian tempat usaha antara PD. Pasar Jaya dengan pihak Pemakai tempat usaha, serta analisis hukum Positif dan hukum Islam mengenai penyelesaian perselisihan yang terjadi pada Perjanjian pemakaian tempat usaha.

Bab V Penutup. Dalam uraian bab ini berisi tentang kesimpulan dari seluruh hasil pembahasan penelitian yang dilakukan dan saran-saran.


(25)

BAB II

KAJIAN TEORITIS

PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA

A. Hukum Perdata

1. Hakikat Perjanjian

Perjanjian jika dilihat dari wujudnya adalah merupakan rangkai kata-kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan-kesanggupan yang diucapkan atau dituangkan dalam bentuk tulisan oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dalam perjanjian tercantum hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak yang membuatnya.

Melaksanakan perjanjian berarti melaksanakan sebagaimana mestinya apa yang merupakan kewajiban terhadap siapa perjanjian itu dibuat. Oleh karena itu, melaksanakan perjanjian pada hakikatnya adalah berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain yakni pihak yang berhak atas pelaksanaan perjanjian tersebut.

Hukum perjanjian diatur pada buku III KUH Perdata. Dalam buku III KUH Perdata, kata “persetujuan” digunakan untuk menyatakan perjanjian. Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu


(26)

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” 1

Pengertian yang diberikan pasal 1313 KUH Perdata ini, hanya mengenai perjanjian sepihak saja, namun juga dikatakan luas karena mencakup janji kawin.

Dalam mendefinisikan perjanjian, belum ada keseragaman dari para sarjana, dan juga belum terdapat suatu kesepakatan tentang rumusan yang tepat. Karenanya untuk lebih mudah memahami dan mengerti apa yang dimaksud dengan perjanjian (verbintenis), ada baiknya dikemukakan beberapa definisi perjanjian yang diberikan oleh para ahli sarjana hukum.

Menurut K.R.M.T. Tirtodiningrat, Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk

menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh undang-undang.2

Begitu pula Wirjono Prodjodikoro, memberikan rumusan sebagai berikut: “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai benda antara dua pihak dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal. Sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.”3

1

Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata (Bandung: PT. Alumni, 2004), h.26.

2

K.R.M.T. Tirtodiningrat, Ichtiar Hukum Perdata dan Dagang (Bandung: Sumur Bandung, 1981), h.9.


(27)

Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang tua saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.4

Menurut M. Yahya Harahap perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.5

Dari definisi atau rumusan yang dikemukakan para sarjana di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian mengandung pengertian, sebagai suatu hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan prestasi pada suatu pihak dan sekaligus mewajibkan pihak lain dalm memenuhi prestasinya.

2. Pengertian Hak Pakai

Hak Pakai sesuai ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam surat keputusan surat

3

Wirdjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur Bandung, 1981), h.9.

4

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Penerbit Intermasa, 2001), cet ke-18, h.1. 5


(28)

pemberian hak (tanah negara) atau perjanjian dengan pemiliknya yang bukan sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah (tanah milik orang lain).6

Adapun sifat dan ciri-ciri hak pakai itu adalah:7

1. Termasuk hak yang harus didaftar menurut PP 10/1961, apabila jangka

waktunya melebihi 5 tahun (Pasal 9 PMA No. 9/1965);

2. Pengalihan hak pakai tidak merupakan unsur mutlak. Hak pakai dapat

diberikan dengan ketentuan atau dengan perjanjian bahwa jika pemegang hak pakai tersebut meninggal, hak pakai itu tidak jatuh kepada ahli waris pemegang hak pakai akan tetapi batal dengan sendirinya;

3. Tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan,

tetapi khusus Hak Pakai di atas tanah Negara dapat difiduciakan menurut UU 16/1985;

4. Dapat dialihkan; 5. Dapat dilepaskan;

6. Dapat diberikan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian

jasa berupa apapun (Pasal 41 (2) UUPA).

3. Pengertian Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha

Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha (PPTU) terdiri dari dua istilah yaitu Perjanjian dan Hak Pemakaian Tempat Usaha. Perjanjian sebagaimana

6

Arie S. Hutagalung, Asas-Asas Hukum Agraria, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1993), h.52.


(29)

yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, adalah suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus

mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.8 Adapun hak

pemakaian tempat usaha sebagaiman yang diatur dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 3 tahun 2009 tentang Pengelolaan Pasar Pasal 1 butir 21: “Hak Pemakaian Tempat Usaha adalah hak memakai tempat di pasar untuk jangka waktu tertentu dengan kewajiban membayar hak pemakaian tempat usaha di pasar dan kewajiban yang ditetapkan oleh direksi.”

Adapun definisi Perjanjian pemakaian tempat usaha adalah Perjanjian antara Perusahaan Daerah Pasar Jaya dengan Pemakai Tempat Usaha yang didalamnya diatur hak dan kewajiban kedua belah pihak yang berkaitan dengan tempat usaha yang dipakai berikut penerapan sanksi apabila tidak dilaksanakan.9

Penerapan perjanjian pemakaian tempat usaha berlandaskan hukum: KUH Perdata di dalam Buku Ketiga tentang Perikatan, Peraturan Daerah DKI Jakarta No.06 Tahun 1992 jo. Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 3 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Area Pasar dan Keputusan Direksi No. 450 Tahun 2003.10

8

Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, h.6. 9

Yohana Damar Lati, Asisten Manager Divisi Hukum PD. Pasar Jaya, Wawancara


(30)

5. Syarat Sahnya Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat seperti ditegaskan oleh pasal 1320 KUH Perdata. Syarat-syarat tersebut adalah:

a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendakai oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain.11 Namun kesepakatan itu tidak dianggap sah sebagai suatu kesepakatan, jika kesepakatan itu diberikan karena: 1) Salah pengertian (dwaling) atau kekhilafan, 2) Paksaan (dwang), dan 3) Penipuan (bedrog).

b. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perjanjian

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum, pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil balig dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:

1) Orang yang belum dewasa;

10

Wayan Darmajaya, Manager PD. Pasar Jaya Area 15 Tebet, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 Januari 2010.

11


(31)

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang,

dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.12

c. Suatu Hal atau Objek Tertentu

Suatu perjanjian, obyeknya harus jelas dan terang. Jika pokok perjanjian obyeknya atau prestasinya kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak

mungkin dilaksanakan, maka perjanjian itu batal.13 Pasal 1332

menyebutkan “Hanya benda yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan”. Hal ini berarti segala sesuatu yang menjadi obyek hukum yang dapat dihaki dapat dijadikan obyek perikatan. Benda ini bila berupa benda berwujud maupun tidak berwujud, yaitu berupa hak.14 d. Suatu sebab yang halal

Subekti mengemukakan bahwa “Sebab atau causa dari suatu

perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.”15 Wirjono Prodjodikoro

mengemukakan bahwa “Yang dimaksud sebab atau causa dalam perjanjian

adalah isi dan tujuan persetujuan yang menyebabkan adanya persetujuan

12Ibid, h.17. 13

Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), hal.111.

14Ibid

., h.112. 15


(32)

itu.”16 Namun isi dan tujuan perjanjian yang melahirkan perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum dan nilai kesusilaan. Dengan kata lain sebab atau causa yang melahirkan perjanjian adalah sebab atau causa yang sah atau halal.

6. Asas-Asas Perjanjian

Dalam suatu perjanjian terdapat asas-asas yang berpengaruh pada suatu perjanjian. Ketika asas ini tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan batal atau tidak sahnya perjanjian yang dibuat. Adapun asas-asas itu adalah:

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur atau belum diatur dalam undang-undang. Kebebasan ini dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak betentangan dengan undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. 17

b. Asas Pelengkap (aanvullend recht)

Asas ini mengandung arti bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang boleh tidak diikuti apabila para pihak menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan

16

Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, h.35. 17


(33)

undang. Tetapi apabila tidak ditentukan lain dalam perjanjian yang mereka buat, maka berlakulah ketentuan undang-undang.18

c. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat kedua belah pihak.19

d. AsasPersonalia

Asas ini diatur dan dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1351 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: “Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.20

18Ibid.

19

Salim H.S., Hukum Kontrak Teori &Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) cet.ke-4, h.10.


(34)

e. Asas Persamaan Hukum

Asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.21

f. Perjanjian Harus Dilakasanakan dengan Iktikad Baik

Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan

iktikad baik.” Rumusan tersebut memberikan arti pada kita semua bahwa sebagai sesuatu yang disepakati dan disetujui oleh para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati sepenuhnya, sesuai dengan kehendak para pihak pada saat perjanjian ditutup.22

7. Hapusnya Perjanjian

Dalam KUH Perdata tidak diatur secara khusus tetntang hapusnya perjanjian, tetapi yang diatur dalam Bab IV Buku III KUH Perdata hanya hapusnya perikatan-perikatan. Walaupun demikian, ketentuan tentang

20

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2004) cet. ke-2, h.15.

21

Mariam Darus Badrulzaman, et. al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), h.88.

22

Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) Dalam Hukum


(35)

hapusnya perikatan tersebut juga merupakan ketentuan hapusnya perjanjian karena perikatan yang dimaksud dalam Bab IV Buku III KUH Perdata tersebut adalah perikatan pada umumnya baik itu lahir dari perjanjian maupun yang lahir dari perbuatan melanggar hukum.

Dari sepuluh ketentuan Pasal 1381 KUH Perdata tentang hapusnya perikatan-perikatan. PD. Pasar Jaya hanya menerapkan lima dari ketentuan-ketentuan yang diatur Pasal tersebut tentang hapusnya perjanjian pemakaian tempat usaha. berdasarkan ketentuan Pasal 1381 KUH Perdata, hapusnya perjanjian pemakaian tempat usaha karena:

a. Pembaharuan Utang atau Novasi23

Pembaharuan utang dapat terjadi jika si berutang dengan persetujuan si berpiutang digantikan oleh seorang yang lain yang menyanggupi untuk membayar utang itu. Disini ada perjanjian baru yang mengahapuskan utang yang lama dengan timbulnya suatu perikatan baru, antara si berpiutang dengan orang yang baru itu.

b. Musnahnya Barang yang Terutang24

Musnahnya barang terutang adalah hancurnya, tidak dapat diperdagangkan, atau hilangnya barang yang terhutang, sehingga tidak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak ada.

23

Subekti, Hukum Perjanjian, h.70. 24Ibid.,


(36)

Syaratnya, bahwa musnahnya barang itu di luar kesalahan debitor dan sebelumnya dinyatakan lalai oleh kreditor.

c. Kebatalan atau Pembatalan25

Kebatalan atau batal demi hukum suatu kontrak terjadi jika perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif dari syarat sahnya perjanjian (kontrak) yaitu “suatu hal tertentu” dan “sebab yang halal.” Jadi kalau kontrak itu objeknya tidak jelas atau bertentangan dengan undang-undang ketertiban umum atau kesusilaan, kontrak tersebut batal demi hukum.

9. Berlakunya Suatu Syarat Batal26

Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian, demikianlah pasal 1265 KUHPer. menjelaskan. Dengan begitu, syarat batal itu mewajibkan si berhutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi.

25

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perencanaan Kontrak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.107.

26


(37)

10.Daluwarsa atau Lewat Waktu 27

Pasal 1946 KUHPer. menjelaskan, yang dinamakan daluwarsa atau lewat waktu ialah “ suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang”. Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa

“acquasitif”, sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu periaktan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extincif”.

8. Penyelesaian Perselisihan

Pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat para pihak yang berjanji harus dapat dilaksanakan dengan sukarela atau i’tikad baik, namun dalam kenyataannya perjanjian yang dibuatnya sering kali dilanggar. Dan pelanggaran inilah yang membuat terjadinya sengketa antara kedua belah pihak. Untuk penyelesaian perselisihan tersebut dibutuhkan pola dalam menyelesaiakannya. Pola penyelesaian perselisihan ini dibagi menjadi 2 macam yaitu (1) melalui pengadilan (litigasi), dan alternatif penyelesaian sengketa.28

a. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan (Litigasi)

1) Penyelesaian perselisihan (sengketa) melalui pengadilan (litigasi)

merupakan suatu proses gugatan, suatu sengketa diritualisasikan yang

27Ibid. 28

Salim H.S. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) cet. ke-4, h.140.


(38)

menggantikan sengketa sesungguhnya, yaitu para pihak dengan memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang berbeda.

Proses (pengadilan) litigasi mensyaratkan pembatasan sengketa dan persoalan-persoalan sehingga para hakim atau para pengambil keputusan lainnya dapat lebih siap membuat keputusan. Di dalam pengandilan terdapat proses yang penting dalam menetapkan suatu keputusan yaitu pembuktian dan alat-alat pembuktian tersebut sesuai ketentuan KUH Perdata Pasal 1866 adalah: a) bukti tulisan (surat); b) bukti dengan saksi-saksi; c) bukti persangkaan; d) Bukti pengakuan; e) bukti sumpah.

b. Penyelesaian Perselisihan Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) Penyelesaian Perselisihan melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara arbitrase dan atau konsiliasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli ini sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa. Dari kelima pola penyelesaian sengketa diluar pengadilan peneliti hanya membahas sebagian dari pola penyelesaian sengketa ini, yaitu :


(39)

1. Negosiasi 29

Negosiasi adalah penyelesaian sengketa secara langsung antara pihak atau wakil mereka, dalam penyelesaian melalui negosiasi para

pihak menggunakan cara persuasive dan kompromi guna

menyelesaikan sengketa diantara mereka tanpa bantuan pihak ketiga. 2. Mediasi30

Mediasi adalah penggunaan pihak ketiga yang netral (mediator) untuk membantu para pihak menegosiasikan suatu penyelesaiaan. Model ini merupakan perluasan dari proses negosiasi. Berbeda dengan arbiter seorang mediator tidak berwenang untuk memaksakan suatu penyelesaiaan kepada para pihak yang bersengketa. Sebaliknya mediator berupaya menciptakan suatu kondisi dimana para pihak dapat mencapai suatu penyelesaiaan sendiri.

3. Konsiliasi

Menurut Oppenheim, konsiliasi adalah suatu proses penylesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas menguraikan/menjelaskan fakta-fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar

29

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. ke-4, h. 129.

30Ibid., h.130.


(40)

mereka mencapai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan suatu penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat.31

B. Hukum Islam

1. Pengertian Perjanjian (Akad)

Istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam

hukum Islam. Kata akad berasal dari kata al-‘aqd, yang berarti mengikat,

menyambung atau menghubungkan (al-rabt).32 Secara terminologi, akad

memiliki arti umum (al-ma’na al-âm) dan khusus (al-ma’na al-khâs). Adapun arti umum dari akad adalah “segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk dikerjakan, baik yang muncul dari kehendaknya sendiri, seperti kehendak untuk wakaf, membebaskan hutang, thalak, dan sumpah, maupun yang membutuhkan pada kehendak dua pihak dalam melakukannya, seperti jual beli,

sewa menyewa, perwakilan, dan gadai/jaminan. Sedangkan arti khusus

(al-ma’na al-khâs) akad adalah Pertalian atau keterikatan antara îjâb dan qabul

sesuai dengan kehendak syarî’ah (Allah dan Rasul-Nya) yang menimbulkan

akibat hukum pada obyek akad.33

31

Salim, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, h.155. 32

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.68.

33

Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet. ke-1. h.60.


(41)

Îjâb dan qabûl dimaksudkan untuk menunjukan adanya keinginan dan kerelaan timbal balik para pihak yang bersangkutan terhadap isi akad. Oleh karena itu, îjâb dan qabûl menimbulkan hak dan kewajiban atas masing-masing pihak secara timbal balik. Îjâb adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabûl adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.34

Pencantuman kata “sesuai dengan kehendak syarî’ah” dalam definisi di atas, maksudnya adalah bahwa setiap akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dipandang sah jika tidak sejalan dengan kehendak atau ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh al-syâri’ (Allah dan Rasul-Nya) misalnya akad untuk melakukan transaksi riba atau transaksi lain yang dilarang. Apabila

ijâb dan qabûl telah dilakukan sesuai dengan kehendak syara’, maka munculah akibat hukum dari perjanjian tersebut.35

2. Pengertian Ijârah

Menurut Ulama Hanafi ijârah adalah transaksi terhadap suatu menfaat dengan imbalan. Menurut Ulama Syafi’i adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan dapat dimanfaatkan dengan imbalan tertentu. Sedangkan, menurut Ulama Maliki dan Hambali adalah pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu

34Ibid. 35Ibid.


(42)

imabalan. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, akad ijârah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad ijârah itu hanya ditujukan kepada adanya menfaat pada barang maupun bersifat jasa.36

Dasar hukum dibolehkanya akad ijârah terdapat dalam Al-Qur’an yaitu pada surat al-Qasas (28) ayat 26 yang berbunyi:

)

ﻟا

ﺺﺼﻘ

/

28

:

26

(

Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah

ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya" (al-Qasas/28: 26).

Ijârah yang mempunyai status hukum boleh ini, mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai kebolehannya. Adapun syarat-syarat tersebut adalah:37

1. Harus diketahui kegunaanya, seperti membuat rumah, menjahit pakaian,

memakai kendaraan, dan sebagainya. Transaksi sewa-menyewa mempunyai kesamaan dengan jual beli. Jual beli tersebut harus diketahui kualitas barang yang diperjualbelikannya. Demikian juga sewa-menyewa dalam pengertian harus duketahui kualitas barang yang disewa;

36

Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. ke-3. h.112.

37


(43)

2. Pemanfaatan barang yang disewa harus yang dibolehkan. Menyewakan seorang budak perempuan untuk disetubuhi, atau untuk meratap, atau menyewakan tanah untuk dibangun gereja atau tempat-tempat yang tidak baik (maksiat) adalah dilarang oleh hukum perdata Islam;

3. Harus diketahui oleh penyewa mengenai jumlah upah atau sewa dari suatu

pekerjaan.

3. Asas-Asas Perjanjian (Akad)

Dalam Hukum Islam, Terdapat asas-asas dari suatu perjanjian yang berpengaruh pada status akad. Dimana ketika asas ini tidak terpenuhi akan berakibat pada batalnya atau tidak sahnya perikatan/perjanjian yang dibuat. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut:

a. Asas Ibâhah(Mabda’ al-Ibâhah)

Asas Ibâhah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang

muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “Pada

asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.” Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum Islam, untuk tindakan ibadah berlaku asas bahwa bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil Syariah. Sebaliknya, dalam tindakan-tindakan


(44)

muamalat berlaku asas sebaliknya, yaitu bahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu.38

b. Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyyah at-Ta’âqud)

Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apa pun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang Syariah dan memasukan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya, sejauh tidak berakibat makan

harta sesama dengan jalan batil.39 Landasan asas kebebasan berakad

terdapat dalam Q.S. al-Mâidah (5) ayat 1:

)

ةﺪﺋﺎﻤﻟا

/

5

:

1

(

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.

dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. al-Mâidah/5: 1).

c. Asas Konsensualisme (Mabda’ al-Ridâiyyah)

38

Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, h.83.

39Ibid., h.84.


(45)

Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hukum Islam umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual.40 Landasan asas konsensualisme terdapat dalam Q.S. an-Nisâ (4) ayat 29:

⌧ ☺

)

ءﺎﺴﻨﻟا

/

4

:

29

(

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. an-Nisâ’/4: 29).

d. Asas Keseimbangan (Mabda’ al-Tawâzun fi al-Mu’âwadah)

Asas keseimbangan dalam transaksi antara apa yang diberikan dengan apa yang diterima tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, di mana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha, sementara kreditor bebas sama sekali dan

40Ibid., h.87.


(46)

harus mendapat presentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negatif.41

e. Asas Amanah (Mabda’ al-Amânah)

Dengan asas amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengekploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam hukum Islam, terdapat suatu bentuk perjanjian amanah, salah satu pihak hanya bergantung kepada informasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan untuk menutup perjanjian bersangkutan. 42

f. Asas Keadilan (Mabda’ al-‘Adâlah)

Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah

Al-Qur’an yang menegaskan, “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat

kepada takwa” (Q.S. al-Maidah/5: 8). Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.43

4. Syarat Sahnya Perjanjian (Akad)

41Ibid., h.90. 42Ibid.,

h.91. 43Ibid.,


(47)

Para ulama fiqh menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi oleh suatu akad. Disamping itu, setiap akad juga memiliki syarat-syarat khusus. Akad jual-beli memiliki syarat-syarat-syarat-syarat tersendiri sedang akad

al-ijârah (sewa menyewa) demikian juga. Adapun syarat-syarat umum suatu akad itu adalah:44

1. Pihak-pihak yang melakukan akad itu telah cakap bertindak hukum

(mukallaf) atau jika obyek akad itu merupakan milik orang yang belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu, suatu akad yang dilakukan orang gila dan anak kecil yang belum

mumayyiz secara langsung , hukumnya tidak sah. Tetapi, jika dilakukan wali ini memberi manfaat bagi orang-orang yang diampunya, maka akad itu hukumnya sah.

2. Obyek akad itu diakui oleh syara’. Untuk obyek akad ini disyaratkan pula: a) berbentuk harta, b) dimiliki oleh seseorang, dan c) bernilai harta menurut

syara’. Oleh sebab itu, jika obyek akad itu sesuatu yang tidak bernilai harta

dalam Islam, maka akadnya tidak sah, sepreti khamar (minuman keras).

Disamping itu, jumhur ulama fiqh selain ulama Hanafiyah, menyatakan bahwa barang najis, seperti anjing, bulu dari babi, bangkai dan darah tidak bisa dijadikan obyek akad, karena najis tidak bernilai harta dalam Syara’.

44


(48)

3. Akad itu tidak dilarang oleh nas (ayat atau hadits) syara’. Atas dasar syarat ini, seorang wali (pengelola anak kecil) tidak boleh menghibahkan harta anak kecil itu. Alasannya adalah melakukan suatu akad yang sifatnya menolong sementara (tanpa imbalan) terhadap harta anak kecil tidak dibolehkan syara’.

4. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait

dengan akad itu. Artinya, disamping memenuhi syarat-syarat khususnya. Misalnya, dalam jual beli, disamping syarat-syarat umum suatu akad terpenuhi, juga harus terpenuhi syarat-syarat khusus yang berlaku dalam akad jual beli.

5. Akad itu bermanfaat. Oleh sebab itu, jika seseorang melakukan suatu akad dan imbalan yang diambil salah seseorang yang berakad merupakan kewajiban baginya, maka akad itu batal.

6. Pernyataan îjâb tetap utuh dan shahih sampai terjadinya qabûl. Apabila îjâb tidak utuh dan shahih lagi ketika qabûl diucapkan, maka akad itu tidak sah. Hal ini banyak dijumpai dalam suatu akad yang dilangsungkan melalui tulisan. Misalnya, dua orang pedagang dari daerah yang berbeda melakukan

suatu transaksi dagang melalui surat. 7. Îjâb dan Qabûl dilakukan dalam suatu majelis, yaitu suatu keadaan yang


(49)

Ahmad al-Zarqa’,45 majelis itu bisa berbentuk tempat dilangsungkannya akad dan bisa juga berbentuk keadaan selama proses berlangsungnya akad, sekalipun tidak dalam satu tempat.

8. Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’. Di mana tujuan akad ini terkait erat dengan tujuan berbagai bentuk akad yang dilakukan. Misalnya dalam akad nikah, tujuannya adalah untuk menghalalkan hubungan suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita, dalam jual beli tujuannya adalah untuk memindahkan hak milik dari penjual kepada pembeli dengan imbalan,

dalam akad ijârah (sewa menyewa) tujuannya adalah pemilikan manfaat

bagi orang yang menyewa dan hak yang menyewakan mendapat imbalan. 5. Hapusnya/Berakhirnya Perjanjian (Akad)

Menurut hukum Islam,46 akad hapus/berakhir disebabkan terpenuhinya tujuan akad (tahqîq gharad al-‘aqd), fasakh, infisâkh, kematian, dan

ketidak-izinan (‘adam al-ijâzah) dari pihak yang memiliki kewenangan dalam akad

mauqûf.

1. Suatu akad dipandang berakhir apabila tujuan akad telah tercapai. Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berakhir apabila barang telah berpindah tangan kepada pembeli dan

45

Mustafa bin Ahmad bin Muhammad az-Zarqa (1904-1999 M). Mustafa az-Zarqa adalah seorang ulama fiqh dan mujtahid asal Syiria. Beliau merupakan salah satu guru besar fiqh Islam di Universitas Amman, Yordania. di antara karangannya adalah Madkhal Fiqhi Âm

al-Islâmi fi Tsaubihi al-Jadîd.

46

Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet. ke-1. h.75-77.


(50)

harganya telah menjadi milik penjual. Demikian juga, akad berakhir

disebabkan intihâ’muddah al-‘aqd (berakhir masa akad). Jika masa

kontrak sudah berakhir misalnya, maka akad sewa menyewa sudah habis dan akad menjadi berakhir/selesai dengan sendirinya.

2. Fasakh. sebuah akad berakhir disebabkan fasakh (pemutusan). Dalam akad yang mengikat bagi para pihak, ada beberapa alasan yang menyebabkan akad dapat atau bahkan harus difaskah:

a. Disebabkan akad dipandang fasâd, misalnya menjual sesuatu yang tidak jelas spesifikasi atau menjual sesuatu dengan dibatasi waktu. Jual beli semacam itu dipandang fasâd, dan karenanya harus (wajib) difasakh, baik oleh para pihak yang berakad maupun oleh hakim, kecuali terdapat hal-hal yang menyebabkan fasakh tidak dapat dilakukan seperti pihak pembeli telah menjual barang yang dibelinya.

b. Disebabkan adanya khiyâr. Pihak yang memiliki hak khiyâr, baik

khiyâr syarat, khiyâr ‘aib, kyiyâr ru’yah maupun lainnya dibolehkan untuk melakukan fasakh akad yang telah dilakukannya.

c. Disebakan iqâlah. yaitu fasakh terhadap akad berdasarkan kerelaan

kedua belah pihak ketika salah satu pihak menyesal dan ingin mencabut kembali akad yang telah dilakukannya.

d. Disebabkan ‘adam al-tanfîdz yakni kewajiban yang ditimbulkan oleh

akad tidak dipenuhi oleh pihak atau salah satu pihak yang bersangkutan. Jika hal itu terjadi, akad boleh fasakh.


(51)

3. Infisâkh, yakni putus dengan sendirinya (dinyatakan putus, putus demi hukum). Sebuah akad dinyatakan putus apabila si akad tidak mungkin dapat

dilaksanakan (istihâlah al-tanfîdz) disebabkan âfat samawiyah (force

majeure). Dalam akad jual beli misalnya, barang yang dijual rusak di tangan penjual sebelum diserahkan ke tangan pembeli.

4. Kematian

Beberapa bentuk akad berakhir disebabkan kematian salah satu pihak yang berakad. Berikut contoh-contoh akad yang dimaksud:

a. Akad sewa menyewa (ijârah). b. Akad rahn dan kafâlah.

5. Tidak ada persetujuan (‘adam al-ijâzah). Akad mauqûf berakahir apabila pihak yang memiliki kewenangan tidak memberikan persetujuan terhadap pelaksanaan akad.

6. Penyelesaian Perselisihan

Penyelesaian perselisihan dalam Hukum Perjanjian Islam (akad), pada prinsipnya boleh dilaksanakan melalui tiga jalan, yaitu pertama dengan jalan perdamaian (sulhu); yang kedua dengan jalan arbitrase (tahkîm); dan yang terakhir melalui proses peradilan (al-Qadhâ’).47

a. Sulhu (Perdamaian)

47


(52)

Jalan pertama dikakukan apabila terjadi perselisihan dalam suatu

akad adalah menggunakan jalan perdamaian (sulhu) antara kedua pihak.

Dalam fiqh pengertian sulhu adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri

perlawanan antara dua orang yang saling berlawanan, atau untuk mengakhiri sengketa.48

Perdamaian (sulhu) ini diisyaratkan berdasarkan Al-Qur’an surat al-Hujurât (49) ayat 9, yang berbunyi:

☺ ☺

)

تاﺮﺠﺤﻟا

/

:

(

Artinya: "Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu

berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. al-Hujurat/49: 9).

48

A.T. Hamid, Ketentuan Fiqih dan Ketentuan Hukum yang Kini Berlaku di Lapangan


(53)

Dalam suatu riwayat Umar r.a pernah berkata: ”Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan menembangkan kedengkian di antara mereka”.49

b. Tahkîm (Arbitrase)

Istilah Tahkim secara literal berarti mengangkat sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan secara terminologis tahkîm berarti pengangkatan seorang atau lebih yang bersengketa, sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai. Dalam hal ini, hakam ditunjuk untuk menyelesaikan perkara bukan oleh pihak pemerintah, tetapi ditunjuk langsung oleh dua orang yang bersengketa. Penyelesaian yang dilakukan oleh hakam dikenal di abad modern dengan arbitrase.50

Dasar hukum dari tahkîm ini yaitu QS. an-Nisâ’ (4) ayat 35:

☺ ☺ ☯ ☺ ⌧ ☺

)

ءﺎﺴﻨﻟا

/

4

:

35

(

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,

Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah

49

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Daar al-Fikr, 2007), jilid 3, h.938. 50


(54)

memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. an-Nisa/4: 35).

C. Al-Qadhâ’ (Pengadilan)

Al-qadhâ’ secara harfiah berarti antara lain memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah fiqih kata ini berarti menetapkan hukum

syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat. Lembaga peradilan semacam ini berwenang menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang mencakup perkara-perkara atau masalah keperdataan, termasuk ke dalamnya Hukum Keluarga, dan masalah tindak pidana. Orang yang berwenang menyelesaikan perkara pada

pengadilan semacam ini dikenal qâdhi (hakim). Penyelesaian sengketa

melalui peradilan melawati beberapa proses, salah satu proses yang penting adalah pembuktian.51 Alat bukti menurut Islam yaitu:52

1. Ikrâr (pengakuan para pihak mengenai ada tidaknya sesuatu); 2. Syahâdat (persaksian);

3. Yamîn (sumpah);

4. Watsâiq Rasmiyyah Tsâbitah (pegangan resmi yang telah ditetapkan pemerintah).

51Ibid.,

h.89-90. 52


(55)

BAB III

PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA DI PERUSAHAAN DAERAH PASAR JAYA

A. Profil Singkat Perusahaan Daerah Pasar Jaya a. Sejarah Singkat PD. Pasar Jaya1

Perusahaan Daerah Pasar Jaya, pada awalnya adalah perusahaan pasar hasil reorganisasi di lingkungan Djawatan Perekonomian Rakyat DKI Jakarta yang ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor lb.3/2/15/66 Tanggal 24 Desember 1966, dan kemudian disahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Ekbang 8/8/13305 Tanggal 23 Desember 1967.

Seiring dengan perkembangan kota Jakarta menjadi kota metropolitan dan persaingan usaha yang makin kompetitif, status dan kedudukan hukum PD. Pasar Jaya ditingkatkan dengan Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1982 dan disahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 511.2331 - 181 Tanggal 19 April 1983.

Dalam upaya meningkatkan peranan PD. Pasar Jaya sebagai perusahaan daerah yang lebih profesional serta mengantisipasi tuntutan perkembangan bisnis

1

Administrator PD. Pasar Jaya, “Sejarah PD. Pasar Jaya” diakses pada 24 Januari 2010 dari http://www.pasar jaya.com.


(56)

perpasaran di DKI Jakarta yang makin kompetitif dan untuk meningkatkan fungsi dan peranannya maka Perusahaan Daerah Pasar Jaya ditetapkan kembali dengan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 12 Tahun 1999 Tanggal 30 Desember 1999.

Dengan bergulirnya waktu, pasar terus berkembang. Pada mulanya pasar merupakan tempat bertemunya pedagang dan pembeli dan terjadinya transaksi langsung, namun dari waktu ke waktu, dan tuntutan konsumen pasar yang terus berubah maka pasar tidak hanya sekedar menjadi tempat bertemunya pedagang dan konsumen serta terjadi transaksi barang riil di pasar, akan tetapi pasar merupakan entity business yang lengkap dan kompleks dimana kenyamanan dan kepuasan pelanggan (consumer satisfaction) yang menjadi tujuan utama.

2. Visi dan Misi PD. Pasar Jaya a. Visi PD. Pasar Jaya2

Sebagai pedoman dan panduan langkah untuk menentukan arah jangka panjang dalam mencapai tujuan perusahaan perlu penyamaan dan pembudayaan visi perusahaan. Visi PD. Pasar Jaya adalah menjadikan pasar tradisional dan modern sebagai sarana unggulan dalam penggerak perekonomian daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

]

2

Administrator PD. Pasar Jaya, “Visi dan Misi PD. Pasar Jaya” diakses pada 24 Januari 2010 dari http://www.pasar jaya.com.


(57)

b. Misi PD. Pasar Jaya3

Misi PD. Pasar Jaya adalah menyediakan pasar tradisional dan modern yang bersih, aman, nyaman dan berwawasan lingkungan serta memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang lengkap, segar, murah dan bersaing.

3. Struktur Organisasi PD. Pasar Jaya

Sumber Daya Manusia merupakan aset terpenting bagi perusahaan, maju mundurnya perusahaan sangat tergantung dengan kualitas SDM, teamwork, dan komitmen dalam berorganisasi serta strategi jitu perusahaan dalam menangkap peluang dan memenangkan setiap persaingan yang dihadapi.

Salah satu program utama dalam bidang organisasi adalah restrukturisasi dan pengurangan jumlah karyawan serta pendelegasian tugas dan tanggung jawab secara tepat dan proporsional. Sistem pengelolaan pasar yang semula berdasarkan pendekatan wilayah kotamadya (5 wilayah) diubah menjadi berdasarkan letak geografis yaitu (20 Area). Jumlah karyawan Perusahaan Daerah Pasar Jaya pada bulan Januari 2004 adalah sebanyak 2.241 orang yang tersebar di 151 pasar. Jumlah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan periode satu semester sebelumnya yaitu bulan Juli 2003 yang mencapai 3.429 orang.4

3Ibid.

4

Administrator PD. Pasar Jaya, “Organisasi dan SDM PD. Pasar Jaya” diakses pada 24 Januari 2010 dari http://www.pasar jaya.com.


(58)

Program restrukturisasi berjalan mulus dan dapat mengurangi beban operasional serta meningkatkan kesejahteraan karyawan yang diimbangi dengan meningkatnya produktivitas kerja. Pada awal tahun 2007 jumlah karyawan 1.876 orang, seiring dengan adanya karyawan yang pensiun, meninggal dunia atau yang mundur atas permintaan sendiri. Jumlah karyawan awal tahun 2009 sebanyak 1541 karyawan.

PD. Pasar Jaya dipimpin oleh 4 orang Direktur yang terdiri atas Direktur Utama, Direktur Administrasi, Direktur Operasi dan Direktur Perencanaan & Hukum yang masing-masing bertanggung jawab kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta melalui Badan Pengawas PD. Pasar Jaya. Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dibantu oleh Kepala Satuan Pengawasan Intern, 7 Manager Divisi dan 19 Manager Area serta 1 Unit Strategic Business Unit / Unit Usaha Perpakiran.5 Berikut ini sturuktur orgnisasi yang berlaku di PD. Pasar Jaya:

a. Badan Pengawas b. Direksi terdiri dari:

1). Direktur Utama 2). Direktur Administrasi 3). Direktur Operasi

4). Direktur Perencanaan dan Hukum

5Ibid.


(59)

c. Unsur Staf terdiri dari:

1). Satuan Pengawasan Intern 2). Divisi Satuan Umum dan Humas 3). Divisi Sumber Daya Manusia (SDM) 4). Divisi Keuangan

5). Divisi Usaha 6). Divisi Teknik 7). Divisi Perencanaan

8). Divisi Hukum dan Keamanan Ketertiban d. Unsur Pelaksana:

1). Unit Area


(60)

B. Bentuk Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha

Perjanjian yang diatur oleh PD. Pasar Jaya berkaitan dengan pemakaian tempat usaha terdiri dari dua bentuk perjanjian, yaitu:6

1. Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha yaitu Perjanjian antara PD. Pasar Jaya dengan Pemakai Tempat Usaha yang di dalamnya diatur hak dan kewajiban kedua belah pihak yang berkaitan dengan tempat usaha yang dipakai berikut penerapan sanksi apabila tidak dilaksanakan

2. Perjanjian Sewa Tempat Usaha yaitu Perjanjian antara PD. Pasar Jaya dengan Penyewa Tempat Usaha yang di dalamnya diatur hak dan kewajiban kedua belah pihak yang berkaitan dengan tempat usaha yang dipakai berikut penerapan sanksi apabila tidak dilaksanakan

Menurut Wayan Darmajaya letak perbedaan dari kedua perjanjian ini adalah:7

a. Jangka waktu Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha selama-lamanya adalah 20 (dua puluh) tahun, sedangkan Perjanjian Sewa Tempat Usaha yaitu dengan sistem sewa kontrak tahunan.

b. Sebagai bukti kepemilikan hak pemakaian atas tempat usaha, pemakai tempat usaha selain diberikan Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha (PPTU), diterbitkan pula Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) dan Surat

6

Yohana Damar Lati, Asisten Manager Divisi Hukum PD. Pasar Jaya, Wawancara Pribadi,

Jakarta, 29 Januari 2010.

7

Wayan Darmajaya, Manager PD. Pasar Jaya Area 15 Tebet, Wawancara Pribadi, Jakarta,


(61)

Ijin Pemakaian Tempat Usaha (SIPTU), sedangkan Perjanjian Sewa Tempat usaha hanya diberikan Perjanjian saja;

c. Akibat Perjanjian pemakaian tempat usaha hak pemakaian atas tempat usaha tersebut dapat dialihkan, sedangkan Perjanjian sewa tempat usaha tidak dapat dialihkan;

d. Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) yang diterbitkan setelah adanya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha dapat dijadikan jaminan kredit, sedangkan perjanjian sewa tempat usaha tidak dapat dijadikan jaminan kredit, karena tidak mendapat SHPTU.

e. Perjanjian pemakaian tempat usaha memiliki nilai ekonomis, sedangkan Perjanjian sewa kontrak tidak memiliki nilai ekonomis.

C. Hak dan Kewajiban Pemakai Tempat Usaha

Akibat diterapkannya suatu perjanjian maka timbulah hak dan kewajiban bagi yang mengadakan perjanjian, begitu pula dalam Perjanjian pemakaian tempat usaha. Adapun hak dan kewajiban pemakai tempat usaha sesuai ketentuan yang terdapat dalam Perjanjian pemakaian tempat usaha adalah:

1. Hak Pemakai Tempat Usaha8

a. Pemakai tempat usaha memiliki hak pemakaian tempat usaha selama 20 (dua puluh) tahun dan dijamin tidak akan mendapat rintangan dari pihak siapapun

8

Yohana Damar Lati, Asisten Manager Divisi Hukum PD. Pasar Jaya, Wawancara Pribadi,


(62)

juga yang menyatakan turut mempunyai hak terlebih dahulu atas tempat usaha yang dipakainya dan membebaskan Pemakai tempat usaha dari segala tuntutan dari pihak lain mengenai hal-hal tersebut;

b. Pemakai tempat usaha boleh mengalihkan hak pemakaian tempat usahanya kepada pihak lain;

c. Pemakai tempat usaha dapat menjaminkan apa yang ia miliki dari Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) kepada Bank sebagai jaminan kredit; d. Pemakai tempat usaha dapat menghibahkan, mewariskan dan atau

menyewakan hak pemakaian tempat usaha. 2. Kewajiban Pemakai Tempat Usaha

a. Pemakai tempat usaha dibebani Biaya Pengelolaan Pasar sesuai ketentuan tarif yang berlaku untuk masa Hak Pemakaian 20 (dua puluh) tahun yang pembayarannya dilakukan oleh pemakai tempat usaha kepada PD. Pasar Jaya secara harian atau bulanan terhitung sejak digunakan Tempat Usaha dimaksud oleh PD. Pasar Jaya;

b. Pemakai tempat usaha dibebani kewajiban tagihan pemakaian listrik sesuai meteran tersendiri yang digunakan oleh pemakai tempat usaha dan kewajiban membayar tagihan listrik untuk sarana dan prasarana Pasar yang dihitung secara proporsional oleh PD. Pasar Jaya;

c. Pemakai tempat usaha harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sesuai tagihan yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak;


(63)

d. Pemakai tempat usaha harus memperpanjang Surat Ijin Pemakaian Tempat Usaha (SIPTU), tepat pada waktunya serta membayar biaya administrasi perpanjangan SIPTU;

e. Pemakai tempat usaha tidak diperkenankan: 1) Bertempat tinggal, atau tidur di Pasar;

2) Mengotori, merusak tempat atau bangunan dan barang inventaris Pasar; 3) Melakukan perbuatan asusila di Pasar;

4) Menyalahgunakan narkoba dan minuman keras, melakukan perjudian atau sejenisnya;

5) Mempergunakan dan menyalakan kompor yang dapat menimbulkan bahaya kebakaran.

D. Mekanisme Terjadinya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha

Pencapaian kata sepakat dalam perjanjian merupakan salah salah satu syarat sahnya suatu perjanjian. Begitu pula halnya dalam Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha, untuk terjadinya hal tersebut maka harus diketahui mekanisme terjadinya perjanjian pemakaian tempat usaha. Adapun mekanisme terjadinya Perjanjian pemakaian tempat usaha didahului dengan permohonan calon pemakai tempat usaha kepada Manager Area Pasar dan atau Developer untuk tempat usaha yang akan dibeli hak pemakaiannya oleh pemohon nantinya, kemudian Maneger Area menyampaikan permohonan tersebut kepada Direktur Operasi PD. Pasar Jaya. Sebelum dilaksanakan Perjanjian, calon pemakai tempat usaha diberitahu akan ketentuan-ketentuan pasal


(64)

perjanjian yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban calon pemakai tempat usaha, setelah disetujui pihak kedua dengan mengasaskan kebebasan berkontrak maka dibuatlah draft perjanjian antara Direktur Operasi PD. Pasar Jaya sebagai pihak pertama dan Pemakai Tempat Usaha sebagai pihak kedua.

Draft Perjanjian pemakaian tempat usaha dibuat sesuai dengan tanggal terjadinya perjanjian, dimana dalam perjanjian tersebut dicantumkan identitas kedua belah pihak yang tercakup didalamnya nama dan tempat tinggal kedua belah pihak, Jenis tempat usaha, Nomor tempat usaha, Luas tempat usaha dan Harga jual tempat usaha dan Cara pembayaran. Setelah diketahui itu semua, maka Pihak Kedua harus tunduk pada aturan PD. Pasar Jaya dan pasal-pasal yang tercantum dalam Perjanjian, selanjutnya kedua belah pihak menandatangani Perjanjian Pemakaian Tempat/Ruangan Usaha sesuai dengan Surat Penunjukan Tempat yang diterbitkan PD. Pasar Jaya dan Perjanjian yang dimaksud dicatatkan pada Register Notaris.9

Adapun ketentuan Pasal-pasal yang diatur dalam Perjanjian pemakaian tempat usaha adalah sebagai berikut (penjelasan terlampir):

1. Pasal 1: Ketentuan Umum

2. Pasal 2: Penggunaan Tempat Usaha 3. Pasal 3: Masa Hak Pemakaian

4. Pasal 4: Pembayaran Iuran Pembangunan Pasar 5. Pasal 5: Pembayaran Iuran Pembangunan Pasar

9

Wayan Darmajaya, Manager PD. Pasar Jaya Area 15 Tebet, Wawancara Pribadi, Jakarta,


(65)

6. Pasal 6: Kewajiban Pihak Kedua 7. Pasal 7: Jaminan dan Asuransi 8. Pasal 8: Renovasi

9. Pasal 9: Bea Materai, Beban Pajak dan Biaya Notaris 10.Pasal 1: Sanksi dan Denda

11.Pasal 1: Reklame

12.Pasal 12: Penyelesaian Perselisihan 13.Pasal 13: Domisili

14.Pasal 14 : Hal-Hal Yang Belum Diatur 15.Pasal 15: Force Majeure

16.Pasal 16: Penutup


(66)

BAB IV

ANALISIS PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA DI PD. PASAR JAYA AREA TANAH ABANG

A. Penyelesaian Permasalahan Hapusnya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha antara PD. Pasar Jaya dengan Pihak Pemakai Tempat Usaha

1. Kronologis Kasus

Pada tahun 1987 Bapak Bahri membeli tempat usaha di PD. Pasar Jaya dengan harga yang beragam sesuai dengan lokasi tempat usaha, Bapak Bahri menempati kios di Area 01 Pasar Tanah Abang tepatnya di blok E. Adapun ijin yang dimiliki bapak Bahri adalah sampai dengan tahun 2007 (20 tahun) sesuai dengan Surat Ijin Pemakaian Tempat Usaha (SIPTU).

Setelah 15 tahun berjalannya Pemakaian Tempat Usaha tepatnya pada Bulan September 2002, terjadilah peristiwa kebakaran pada salah satu blok Pasar yaitu di blok A yang mengakibatkan banyak tempat usaha di blok tersebut dan di blok-blok lain musnah terbakar, sehingga tempat usaha tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Namun dalam peristiwa tersebut, kios bapak Bahri yang terletak di blok E, tidak ikut terbakar.

Setelah kejadian tersebut PD. Pasar Jaya melakukan peremajaan kembali bangunan yang terkena kebakaran dengan membongkar bangunan tersebut dengan alasan musnahnya barang yang terutang yang merupakan sebab hapusnya perjanjian. Namun tidak hanya bangunan yang terbakar saja yang dibongkar,


(67)

bangunan yang tidak terkena kebakaranpun juga ikut dibongkar dengan alasan terkena dampak kebakaran. Bapak Bahri yang berada di blok E merasa masih memiliki hak pemakaian tempat usaha, karena tidak terbakar dan masih menyisakan 5 (lima) tahun hak pemakaian tempat usaha tersebut tidak menerima perlakuan PD. Pasar Jaya karena dianggap melawan hukum dan mengabaikan aspek-aspek serta prinsip musyawarah dengan para pemilik dan penghuni kios.

Di lain pihak PD. Pasar Jaya menjanjikan kepada Bapak Bahri dan kawan-kawan akan diberikan tempat baru sebagai pengganti tempat usaha yang mereka ikut rubuhkan, selain itu pula PD. Pasar Jaya menyediakan penampungan sementara bagi tempat yang terkena ataupun dampak kebakaran. Setelah pembangunan selesai, Bapak Bahri kehilangan hak pemakaian tempat usaha dengan lokasi yang sama seperti sebelum kios mereka dirubuhkan. Akan tetapi Bapak Bahri ditawarkan kios dengan lokasi yang sangat tidak strategis dengan menambah Rp. 20.000.000,-(dua puluh juta rupiah).

Setelah pembangunan kembali pasar, ada rencana pengundian lokasi kios bagi pemilik kios yang terut terbongkar (tidak terbakar), pengundian ini awalnya ditolak oleh Bapak Bahri karena lokasi yang ditawarkan sangat tidak strategis, yang berarti menimbulkan kerugian bagi Bapak Bahri, namun pengundian tersebut tetap berlangsung dan pada saat pengundian tempat usaha bangunan baru blok A, sedangkan Bapak Bahri dalam keadaan sakit dan tidak mendapatkan informasi tentang pelaksanaan undian karena sedang berada diluar daerah tepatnya di Padang Sumatera Barat.


(1)

Jawab: setelah diterapkannya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha, Pemakai tempat usaha berhak atas ketentuan-ketentauan sebagai berikut:

a. Pemakai tempat usaha memiliki hak pemakaian tempat usaha selama 20 (dua puluh) tahun dan dijamin tidak akan mendapat rintangan dari pihak siapapun juga yang menyatakan turut mempunyai hak terlebih dahulu atas tempat usaha yang dipakainya dan membebaskan Pemakai tempat usaha dari segala tuntutan dari pihak lain mengenai hal-hal tersebut.

b. Pemakai tempat usaha boleh mengalihkan hak pemakaian tempat usahanya kepada pihak lain.

c. Pemakai tempat usaha dapat menjaminkan apa yang ia miliki dari Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) kepada Bank sebagai jaminan kredit. d. Pemakai tempat usaha dapat menghibahkan, mewariskan dan atau

menyewakan hak pemakaian tempat usaha.

5. Perjanjian apa sajakah yang diatur oleh PD. Pasar Jaya berkaitan dengan pemakaian tempat usaha dan apa letak perbedaan antara bentuk perjanjian tersebut?

Jawab: ”Ada 2 (dua) bentuk Perjanjian yang diatur oleh PD. Pasar Jaya yaitu, Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha dan Perjanjian Sewa Tempat Usaha. Adapun letak perbedaannya adalah:


(2)

1. Jangka waktu Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha selama-lamanya adalah 20 (dua puluh) tahun, sedangkan Perjanjian Sewa Tempat Usaha yaitu sengan sistem sewa kontrak tahunan.

2. Sebagai bukti kepemilikan hak pemakaian atas tempat usaha, Pemakai tempat usaha selain diberikan Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha (PPTU), diterbitkan pula Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) dan Surat Ijin Pemakaian Tempat Usaha (SIPTU), sedangkan Perjanjian Sewa Tempat usaha hanya diberikan Perjanjian saja;

3. Akibat Perjanjian pemakaian tempat usaha hak pemakaian atas tempat usaha tersebut dapat dialihkan, sedangkan Perjanjian sewa tempat usaha tidak dapat dialihkan;

4. Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) yang diterbitkan setelah adanya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha dapat dijadikan jaminan kredit, sedangkan perjanjian sewa tempat usaha tidak dapat dijadikan jaminan kredit, karena tidak mendapat SHPTU.

6. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu sehubungan dengan kasus yang terjadi pada tahun 2002 silam di Pasar Area Tanah Abang?

Jawab: “Kejadian yang terjadi pada tahun 2002 yang lalu merupakan peristiwa kebakaran yang hebat yang mangkibatkan sebagian tempat usaha di area Tanah Abang hangus terbakar dan harus dibongkar untuk diremajakan kembali. Sesuai ketentuan KUH Perdata Pasal 1381 tentang hapusnya perikatan yaitu yang menyebabkan hapusnya perikatan diantaranya adalah karena musnahnya barang yang terutang (objek perjanjian), dari sini jelas bahwa pemakai tempat usaha yang tempatnya terbakar maka hak pakai atas tempat usahanya hilang dan ini dikuatkan dengan diktum keempat Keputusan Direksi No. 4.268 tanggal 29 Desember 1993 tentang batas waktu pemakaian tempat usaha yaitu “apabila pada suatu saat terjadi musibah yang menimpa bangunan seperti bencana alam baik berupa tanah


(3)

longsor/sambaran petir/gempa bumi dan atau kebakaran maupun huru hara yang berakibat bangunan pasar tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya secara total, maka hak pemakaian tempat usaha yang dimiliki pedagang pada bangunan itu dinyatakan berakhir/batal demi hukum. Adapun pembongkaran yang dilakukan oleh PD. Pasar Jaya untuk seluruh tempat usaha yang terbakar dan terkena dampak kebakaran (tidak terbakar) ini dilakukan karena kondisi bangunan yang sudah tidak memungkinkan untuk dipakai karena dikhawatirkan akan membahayakan pemakai tempat usaha (pedagang) dan juga para pembeli, hal ini terkait dengan Undang-undang tentang Bangunan No. 28 Tahun 2002. Dan kami selaku pengelola tidak serta merta lepas dari tanggung jawab karena memfasilitasi tempat penampungan sementara kepada seluruh pemakai tempat usaha tersebut.

7. Apakah ketika kejadian kebakaran 2002 lalu tersebut sudah diterapakan Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha?

Jawab: “Pada kejadian tersebut pasar area Tanah Abang belum menerapkan Perjanjian pemakaian tempat usaha dan pemakai tempat usaha hanya diberikan Surat Ijin Pemakian Tempat Usaha (SIPTU) sebagai pegangan yuridis Pemakai tempat usaha. Namun disebagian pasar telah diterapkan Perjanjian tersebut.

8. Menurut Bapak/Ibu, hal apa saja yang menyebabkan hapusnya perjanjian Pemakaian Tempat Usaha?

Jawab: “Hal yang menyebabkan hapusnya Perjanjian pemakaian tempat usaha ini mengacu pada KUH Perdata Pasal 1381 tentang hapusnya perikatan-perikatan, yaitu:

a. karena pembaruan hutang/novasi;


(4)

c. karena kebatalan atau pembatalan; d. karena berlakunya suatu syarat batal; e. karena lewat waktu.

.

9. Menurut Bapak/Ibu, apakah dampak kebakaran merupakan hal yang menyebabkan hapusnya Perjanjian pemakaian tempat usaha?

Jawab: “ Dampak kebakaran bukan merupakan hal yang menyebabkan hapusnya Perjanjian, namun kami melihat apakah dampak tersebut mengakibatkan kerusakan pada tempat usaha, bila terjadi hal tersebut maka kami akan merenovasi kembali sesuai kebutuhan dan biaya renovasi ditanggung oleh para Pemakai tempat usaha dan PD. Pasar Jaya dihitung secara proporsional.

10.Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang penyelesaian PD. Pasar Jaya sengketa yang terjadi akibat adanya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha?

Jawab: “Untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara PD. Pasar Jaya dengan pemakai tempat usaha sebagai akibat Perjanjian pemakaian tempat usaha, PD. Pasar Jaya mengacu pada ketentuan Pasal 12 yang terdapat pada Perjanjian pemakaian tempat usaha itu sendiri, yaitu dengan mengadakan musyawarah antara kedua belah pihak, bila tidak bisa menemukan titik temu maka ditempuh jalur hukum oleh salah satu pihak melalui pengadilan, sebelum proses persidangan pengadilan, pengadilan menyelesaiakan dahulu sengketa tersebut melalui proses mediasi, yang dimediatori pengadilan sendiri, bila tidak bisa diselesaikan juga maka dilanjutkan ke proses persidangan .


(5)

(6)