Remaja Awal 12-15 Tahun Remaja Pertengahan 15-18 Tahun Remaja Akhir 18-21 Tahun Kerangka Teori

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. WHO dalam Depkes RI 2005 juga mendefinisikan bahwa seseorang yang berusia 12 sampai 24 tahun atau dapat dikatakan sebagai seorang remaja merupakan individu yang sedang mengalami masa peralihan secara berangsur-angsur mencapai kematangan seksual, jiwanya berkembang dari jiwa kanak-kanak menjadi dewasa dan keadaan ekonominya beralih dari ketergantungan menjadi relatif mandiri. Dari definisi tersebut maka dapat dilihat adanya perkembangan pada diri remaja baik perkembangan fisik yang meliputi pertumbuhan organ seksual baik yang primer maupun sekunder, pertumbuhan otot-otot, tulang, hormon, serta perkembangan kejiwaan yang meliputi emosi, intelek, sosial, dan moral.

2.3.2 Batasan Usia Remaja

Terdapat batasan usia pada masa remaja yang difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Menurut Kartini Kartono 1995 dibagi tiga yaitu:

a. Remaja Awal 12-15 Tahun

Pada masa ini, remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif, sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi namun belum bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya. Selain itu pada masa ini 14 remaja sering merasa sunyi, ragu- ragu, tidak stabil, tidak puas dan merasa kecewa.

b. Remaja Pertengahan 15-18 Tahun

Kepribadian remaja pada masa ini masih kekanak-kanakan tetapi pada masa remaja ini timbul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis. Maka dari perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal ini rentan akan timbul kemantapan pada diri sendiri. Rasa percaya diri pada remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang dilakukannya. Selain itu pada masa ini remaja menemukan diri sendiri atau jati dirinya.

c. Remaja Akhir 18-21 Tahun

Pada masa ini remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja mulai memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya.

2.4 Faktor-Faktor yang Mendasari Persepsi Berkendara

2.4.1 Jenis Kelamin

Muchlas 2005, mengatakan karakteristik individu mempengaruhi seseorang memberikan interpretasi persepsi pada suatu objek atau stimulus yang dilihatnya, interpretasi persepsi tersebut sangat dipengaruhi oleh karakteristik individunya seperti jenis kelamin. Dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin laki-laki mempersepsikan tentang sesuatu objek berbeda dengan perempuan. Iversen Rundmo 2004, menyebutkan bahwa berdasarkan kelompok umur, pengemudi remaja yang berjenis kelamin laki-laki memiliki kemampuan memperkirakan kondisi di jalan dan lingkungan sekitar untuk meminimalisasi risiko dibandingkan dengan pengemudi perempuan. Hal tersebut menggambarkan bahwa remaja laki-laki lebih banyak yang mengendarai sepeda motor dibandingkan dengan perempuan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Lestari 2013 pada siswa kelas X sepuluh SMAN di Depok, menunjukkan hasil bahwa sebagian besar 65,4 siswa yang mengendarai sepeda motor berjenis kelamin laki-laki dibandingkan siswa berjenis kelamin perempuan. Perbedaan jenis kelamin dalam persepsi risiko mengindikasikan bahwa laki-laki lebih toleran terhadap risiko dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki cenderung untuk berlebihan dalam menilai kemampuan berkendaranya. Laki-laki muda khususnya lebih menilai peraturan lalu lintas secara negatif dan menganggap remeh risiko yang berhubungan dengan pelanggaran lalu lintas Botterill Mazur, 2004. Hal ini diungkapkan juga dalam penelitian Botteril Mazur 2004, bahwa laki-laki cenderung untuk berlebihan dalam menilai kemampuan berkendaranya. Laki-laki muda khususnya lebih menilai peraturan lalu lintas secara negatif dan menganggap remeh risiko yang berhubungan dengan pelanggaran lalu lintas Botterill Mazur, 2004. Begitu juga Matthews dan Moran 1986, mengatakan bahwa laki-laki muda cenderung untuk menganggap remeh bahaya pada situasi berkendara yang berisiko menengah hingga tinggi. Ditambahnya lagi pernyataan dari Trankle, dkk 1990, ditemukan bahwa remaja laki-laki lebih rendah dalam hal menilai risiko pada situasi lalu lintas dibandingkan laki-laki dewasa. Penelitian yang dilakukan oleh Chang, dkk 2007, di Taipei mengenai perilaku berisiko yang menyebabkan kecelakaan sepeda motor bahwa sebagian besar pengemudi laki-laki menampakkan perilaku pelanggaran dalam berkendara dibandingkan dengan pengemudi perempuan. Namun sebaliknya, pengemudi perempuan lebih sering terlibat kasus kecelakaan motor dibandingkan dengan pengemudi laki-laki. Sehingga Chang, dkk 2007, berpendapat bahwa tidak ada hubungan signifikan yang berkaitan dengan jenis kelamin dan kecelakaan sepeda motor. Salihat 2009, juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi risiko keselamatan berkendara.

2.4.2 Pengetahuan

Robbins 1996 dan David Krech 1962, menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah pengetahuan. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Didapat dari hasil penginderaan manusia terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga Notoatmodjo, 2007. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain Notoatmodjo, 2007. Menurut Mehra dan Burhan 1988, pengetahuan dapat diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Pengetahuan yang bersifat langsung adalah pengetahuan yang didapat dari persepsi intern dan ekstern, sedangkan pengetahuan tidak langsung adalah pengetahuan yang didapat dengan cara menarik kesimpulan, kesaksian dan authority. Rogers 1976, mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru berperilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni kesadaran, ketertarikan, evaluasi, mencoba, dan adopsi, namun pada penelitian selanjutnya, ditemukan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Pengetahuan dalam domain kognitif terdiri dari 6 tingkatan, yaitu : tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. 1. Tahu, mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya atau rangsangan yang telah diterima. 2. Memahami, kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi, kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real. 4. Analisis, kemampuan menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5. Sintesis, kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. 6. Evaluasi, kemampuan melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek Notoatmodjo, 2003. Penelitian yang dilakukan oleh Ben Fauzi Ramadhan 2009, menyatakan bahwa salah satu yang mempengaruhi persepsi rendah adalah pengetahuan yang dimiliki oleh pengendara sepeda motor kurang baik. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti 2013, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan persepsi risiko keselamatan berkendara. Hal ini dikarenakan adanya faktor lain misalkan pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain dalam mengasumsikan risiko yang dihadapinya

2.4.3 Pengalaman

Robbins 1996 dan David Krech 1962, menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah pengalaman. Menurut Rachmat 2009, pengalaman yang dimiliki seseorang akan sangat berperan dalam menginterpretasikan stimulus seseorang. Pengalaman masa lalu atau apa yang dipelajari pada masa lalu akan menyebabkan terjadinya perbedaan interpretasi. Geller 2001, menyebutkan bahwa individu yang tidak pernah mengalami injury atau near miss, akan menganggap bahwa bahaya tidak akan pernah terjadi pada dirinya. Orang cenderung untuk menilai berlebihan kejadian yang jarang terjadi, dan menilai remeh kejadian yang sering terjadi. Pengalaman memberikan informasi yang memberikan gambaran baru mengenai risiko terhadap individu, sehingga mempengaruhi individu dalam menginterpretasikan suatu risiko. Pada kasus dimana individu memiliki informasi yang sedikit mengenai pengalaman yang dialami oleh dirinya sendiri terhadap suatu risiko, maka informasi yang diterima dari berbagai sumber memainkan peranan penting dalam persepsi risiko seseorang Suprani, 2010. Menurut Cooper 1998, orang sering berperilaku tidak aman karena orang tersebut belum pernah cedera saat melaksanakan pekerjaannya dengan tidak aman. Tetapi jika kita melihat Heinri ch’s Triangle, sebenarnya orang tidaklah jauh dari potensi kecelakaan. Sementara itu, Geller 2001 menyebutkan faktor pengalaman pada tugas yang sama dan lingkungan yang sudah dikenal dapat mempengaruhi orang tersebut berperilaku tidak aman dan terus berlaku karena menyenangkan, nyaman, serta menghemat waktu dan perilaku ini cenderung berulang. Penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti 2013, menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengalaman dengan persepsi risiko keselamatan berkendara. Notoatmodjo 2007, menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain sehingga pengetahuan dan pengalaman saling berhubungan.

2.4.4 Motivasi

Robbins 1996, menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang yaitu motivasi. Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Motivasi seseorang akan sangat mempengaruhi seseorang berpersepsi bila motivasi seseorang itu belum terpuaskan. Bila motivasi dasar sudah terpenuhi maka seseorang memenuhi motivasi lain yang belum terpuaskan. Motivasi adalah sesuatu yang ada dalam diri seseorang, yang mendorong orang tersebut untuk bersikap dan bertindak untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi dapat berupa kebutuhan dan cita-cita. Motivasi diartikan dengan istilah dorongan, dorongan tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat Saleh, 2006. Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa tidak ada suatu motivasi apabila tidak dirasakan adanya suatu kebutuhan, sehingga motivasi yang telah tumbuh merupakan dorongan untuk mencapai tujuan guna memenuhi kebutuhan. Salah satu teori terkenal yang membahas tentang kebutuhan adalah teori Maslow yang mengklasifikasikan kebutuhan menjadi lima tingkat yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta kasih, penghargaan dan aktualisasi diri. Teori ini sangat berpengaruh dalam psikologi industri dan organisasi sebagai teori motivasi kerja. Dapat dikatakan kebutuhan-kebutuhan ini akan memotivasi manusia untuk mencapai tujuan Cushway Lodge, 1993. Maslow mengemukakan lima tingkat kebutuhan, sebagai berikut : a Kebutuhan fisiologis : kebutuhan yang harus dipuaskan untuk dapat tetap hidup, termasuk makanan, papan, pakaian, udara untuk bernafas dan sebagainya. b Kebutuhan rasa aman : ketika kebutuhan fisiologis telah dipuaskan, perhatian dapat diarahkan kepada kebutuhan akan keselamatan. Keselamatan ini termasuk merasa aman dari setiap jenis ancaman fisik atau kehilangan. c Kebutuhan cinta kasih atau sosial : cinta kasih dan kasih sayang yang diperlukan pada tingkat ini mungkin disadari melalui hubungan antar-pribadi yang mendalam tetapi juga yang akan dicerminkan dalam kebutuhan untuk menjadi bagian berbagai kelompok sosial. d Kebutuhan penghargaan : percaya diri dan harga diri mau pun kebutuhan akan pengakuan orang lain. e Kebutuhan aktualisasi diri : kebutuhan ini ditempatkan paling atas pada hierarki Maslow dan berkaitan dengan keinginan pemenuhan diri. Ketika semua kebutuhan lain sudah dipuaskan, seseorang ingin mencapai potensi penuhnya. Tahap terakhir ini mungkin akan tercapai hanya oleh beberapa orang. Gambar 2.2 Hierarki Kebutuhan Maslow Pada gambar 2.2 dapat dilihat bahwa kebutuhan individu bergerak naik mengikuti anak tangga hierarki. Meskipun tidak ada Aktualisasi diri Pengharhaan Cinta kasih Rasa aman Kebutuhan fisiologis kebutuhan yang pernah dipenuhi secara lengkap, suatu kebutuhan yang dipuaskan secara cukup banyak tidak lagi termotivasi. Menurut Maslow mengatakan jika kita ingin memotivasi seseorang maka kita perlu memahami sedang berada pada anak tangga manakah orang tersebut dan memusatkan pemenuhan kebutuhan- kebutuhan itu atau kebutuhan di atas tingkat itu Cushway Lodge, 1993. Pada tahun 2009, Ben Fauzi Ramadhan melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa hampir sebagian siswa SMA di Kota Bogor memiliki persepsi yang rendah terhadap keselamatan berkendara. Dari total sampel yang diteliti yaitu sebesar 239 responden, 59,95 memiliki motivasi yang kurang baik terhadap keselamatan berkendara. Penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti 2013, menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara motivasi dengan persepsi. Menurutnya semakin baik tingkat motivasi responden terhadap keselamatan berkendara maka semakin baik pula persepsi responden terhadap keselamatan berkendara, begitu pula sebaliknya semakin buruk tingkat motivasi responden terhadap keselamatn berkendara maka semakin buruk juga persepsi responden tersebut terhadap keselamatan berkendara. 2.4.5 Kondisi Lingkungan 2.4.5.1 Kepemilikan SIM SIM dibuat atau diterbitkan sebagai upaya kepolisian untuk mengatur lalu lintas di jalan raya. Dengan melakukan “seleksi” terhadap kepemilikan SIM. SIM. C dibuat atau diterbitkan untuk pengguna kenderaan khusus roda dua atau sepeda motor, diharapkan pengguna kenderaan khususnya sepeda motor memiliki kemampuan dan pemahaman yang cukup sehingga tidak membahayakan orang lain ketika mengemudi Siahaan, 2011. Pengendara sepeda motor memiliki SIM dengan alasan untuk kewajiban dan keamanan berkendara, sehingga apabila tidak memiliki SIM, masyarakat cenderung takut dengan sanksi. Ketidakpemilikan SIM tersebut membuat adanya perasaan takut melanggar peraturan pemerintah karena sanksinya yang sangat mengikat Setiyarini, 2014. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asdar dkk di SMA Kabupaten Pangkep tahun 2013, didapatkan bahwa dari 25 responden yang telah memiliki SIM sebanyak 19 orang 76,0 yang memiliki perilaku safety riding baik dan sebanyak 6 orang 24,0 yang berperilaku buruk. Sedangkan dari 150 responden yang tidak memiliki SIM sebanyak 77 orang 51,3 berperilaku baik dan 73 orang 48,7 berperilaku buruk. Hasil uji statistik menggunakan uji chi-square antara kepemilikan SIM dengan perilaku safety riding diperoleh nilai p= 0,022. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepemilikan SIM dengan perilaku safety riding pada siswa SMA di Kabupaten Pangkep Asdar dkk, 2013. Keberadaan SIM pada siswa setidaknya akan mempengaruhi perilaku safety riding mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Ouimet et al 2007 mengemukakan bahwa remaja yang telah memiliki SIM akan cenderung berperilaku safety riding yang baik pada masa awal kepemilikan SIMnya. Perilaku yang baik mengenai safety riding salah satunya dikarenakan persepsi keselamatan berkendara yang positif. Aprilita 2008, menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara persepsi dengan perilaku safety riding.

2.5 Kerangka Teori

Beberapa sumber menyebutkan bahwa banyak faktor yang berhubungan dengan persepsi seseorang antara lain, menurut Robbins 1996, persepsi dibagi menjadi tiga faktor yaitu faktor dalam diri sipengarti motivasi, pengalaman, minat dan harapan, faktor situasi kondisi lingkungan dan faktor dalam diri target. Selain itu, menurut David Krech 1962, pengetahuan dan pengalaman seseorang akan menimbulkan persepsi seseorang terhadap sesuatu. Dari faktor diatas dapat dilihat bahwa persepsi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Dibawah ini merupakan kerangka teori pada penelitian yang dilakukan, yaitu : Gambar 2.3 Teori Persepsi oleh Robbins 1996 dan David Krech 1962 PERSEPSI Faktor eksternal : a. Kondisi lingkungan - Kepemilikan SIM Faktor internal : a. Jenis kelamin b. Pengetahuan c. Pengalaman d. Motivasi e. Minat f. Harapan 38

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan teori yang dijelaskan sebelumnya, peneliti membuat kerangka konsep mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi keselamatan mengendarai sepeda motor pada siswa yang terdiri dari variabel dependen persepsi keselamatan mengendarai sepeda motor dan variabel independen yang terdiri dari faktor internal yaitu jenis kelamin, pengetahuan keselamatan berkendara, pengalaman keselamatan berkendara dan motivasi keselamatan berkendara dan faktor eksternal yaitu kepemilikan SIM. Berdasarkan teori yang ditunjang oleh fakta serta pengamatan langsung di lapangan, pemilihan variabel independen tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa variabel terpilih memang sudah dikenal secara umum termasuk oleh calon responden. Variabel independen tersebut diasumsikan oleh peneliti mempunyai hubungan dengan persepsi keselamatan mengendarai sepeda motor. Asumsi hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dapat diuraikan sebagai berikut: jenis kelamin berhubungan dengan persepsi, pengetahuan siswa yang kurang baik akan menimbulkan persepsi negatif atau berpendapat bahwa tentang keselamatan mengendarai sepeda motor tidak penting, pengalaman mempengaruhi persepsi siswa tentang keselamatan berkendara. Artinya bahwa persepsi keselamatan