Menurut Hukum Positif Bentuk-Bentuk Tindak Pidana 1. Menurut Hukum islam

Sedangkan bentuk-bentuk delik menurut doktrin terbagi menjadi dua macam, yaitu: 34 a. Doleus delicten atau disebut opzet yang berarti disengaja atau perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja. Dalam delik ini terbagi kembali menjadi tiga macam yakni: 1. Kesengajaan yang bersifat tujuan oogmerk. 2. Kesengajaan secara keinsafan kepastian opzet bij zekerheid bewustzijn. 3. Kesengajaan secara keinsafan kemungkinan opzet bij mogelijk heids bewustzijn. 35 b. Culpeus Delicten atau disebut tidak dengan sengajakealpaan atau perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan kealpaan. Adapun pembagian delik dalam KUHP antara lain: a. Doleus delicten dan Culpose delicten Doleus delicten adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidan yang dilakukan dengan sengaja seperti dalam pasal 338 KUHP. Sedangkan Culpose delicten adalah perbuatan yang 34 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, cet ke-3, hal. 110 35 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas hokum pidana di Indonesia, Bandung: Eresco, 1986, cet ke-4, hal. 58 dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan karena kealpaan. Misalnya dalam pasal 359 KUHP b. Formeele delicten dan Materiele delicten Formeele delicten adalah rumusan undang-undang yang menitikberatkan pada kelakuan seseorang yang dilarang dan diancam oleh undang-undang, seperti misalnya pasal 362 tentang pencurian. Sedangkan materiele delicten adalah rumusan undang- undang yang menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, mislanya dalam pasal 35 KUHP tentang penganiayaan. c. Commissie delicten dan Ommissie delicten Commissie delicten atau delicta commissionis adalah suatu delik yang terjadi karena suatu perbuatan seseorang, yang meliputi baik delik formil dan delik materil, yaitu dalam pasal 362 dan pasal 378 KUHP. Sedangkan ommissie delicten atau delicta ommissionis adalah suatu pristiwa yang terjadi karena seseorang tidak berbuat sesuatu dan merupakan delik formil. Misalnya di dalam pasal 224 KUHP tentang orang yang tidak memenuhi panggilan pengadilan. d. Zelfstandige delicten dan Voorgezette delicten Zelfstandinge delicten adalah delik yang berdiri sendiri yang terdiri atas perbuatan tertentu. Sedangkan voorgezette delicten adalah delik yang terdiri atas beberapa perbuatan berlanjut. e. Alflopende delicten dan Voordurende delicten Aflopende delicten adalah delik yang terdiri atas kelakuan untuk berbuat een doen of nalaten dan delik telah selesai ketika dilakukan, seperti kejahatan tentang penghasutan, pembunuhan, pembakaran dan sebagainya, atau terdapat dalam pasal 330 dan 529 KUHP. Sedangkan voodurende delicten adalah delik yang terdiri atas melangsungkan atau membiarkan suatu keadaan yang terlarang, walaupun keadaan pada mulanya ditimbulkan untuk sekali perbuatan, misalnya dalam pasal 221 tentang menyembunyikan orang jahat, pasal 333 tentang meneruskan merampas kemerdekaan orang lain, pasal 250 tentang mempunyai persediaan untuk memalsu mata uang, pasal 261 tentang menyimpan bahan yang diketahui untuk kejahatan pemalsuan, yang semua keadaan berlangsung atau dibiarkan menjadi terlarang oleh undang-undang. f. Enkelvoudige delicten dan Samengestelde delicten Enkelvoudege delicten mempunyai arti yang hampir mirip dengan “aflopende delicten” yaitu delik yang selesai dengan satu kelakuan. Sedangkan samengstelde delicten adalah delik yang terdiri atas lebih dari satu perbuatan. Ada juga yang menyebutnya dengan “collective delicten”atau delik yang menyangkut kejahatan karena pekerjaan, misalnya pasal 480-481 tentang penadahan, pasal 512-512a tentang melakukan pekerjaan harus dengan kewenangan untuk pekerjaan itu atau praktek dokter anpa izin dan lain sebagainya. g. Eenvoudige delicten dan Gequalificeerde delicten Eenvoudige delicten adalah delik biasa yang dilawankan dengan gekwalificeerde delicten yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur yang memberatkan atau juga disebut geprivillegieerde delicten yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur yang meringankan. Sedangkan gekwalificeerde delicten antara lain dalam pasal 362 sebagai eenvoudige delicten menjadi bentuk pasal 363 dengan disertai pemberatan pidana karena adanya syarat-syarat tertentu. h. Politieke delicten dan Commune delicten Politieke delicten ialah delik yang dilakukan karena unsure politik, dan dapat dibedakan menjadi: 1. Zuivere politieke delicten yang merupakan kejahatan hogverrad dan landverrad sebagaimana di atur dalam pasal 104-110 tentang pengkhianatan intern dan pasal 121, 124, 126 tentang pengkhianatan ekstern. 2. Gemengde politiekedelicen yang merupakan pencurian terhadap dokumen Negara, dan 3. Connexe politieke delicten yang merupakan kejahatan menyembunyikan senjata\ Sedangkan commune delicten adalah delik yang ditujukan kepada yang tidak termasuk keamanan Negara, misalnya penggelapan, pencurian dan lain sebagainya i. Delicta propria dan Commune delicten Delicta propria adalah delik yang dilakukan hanya oleh orang tertentu karena suatu kualitas, misalnya delik jabatan dan delik militer. Sedangkan commune delicten adalah delik yang dapat dilakukan oleh seiap orang pada umumnya. j. Delict yang ditentukan menurut penggolongan kepentingan hukum yang dilindungi. Yakni penggolongan delik berdasarkan kepentingan hokum yang dilindungi, misalnya delik aduan, delik harta kekayaan dan lain sebagainya. 36 Dari beberapa uraian yang telah penulis uraikan di atas, maka didalam suatu delik atau tindak pidana terdapat pembagian antara delik yang dapat dipidana dengan delik yang tidak dapat dipidana, yakni: 37 36 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Lattihan ujian Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, cet ke-3, hal. 111 37 Suharto R.M, Hukum pidana materil unsure-unsur obyektif sebagai dasar dakwaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, cet ke-2, hal. 5 a. Delik yang dapat dipidana adalah suatu perbuatan yang melanggar aturan hokum dapat dipidana apabila sudah dinyatakan salah yang berarti adanya hubungan batin orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatan yang dilakukan sehingga terjadi perbuatan yang disengaja atau alpa. Unsur-unsur kesalahan antara lain: 1. Bahwa perbuatan disengaja alpa 2. Adanya kemampuan bertanggung jawab 3. Pelaku insyaf atas perbuatannya melawan hukum 4. Tidak adanya alasan pemaaf atas tindak pidana yang dilakukan b. Delik yang tidak dapat dipidana pengkhususan antara lain: 1. Hapusnya kewenangan untuk memidana, bahwa tindak pidana tersebut dalam hal yang dilakukannya ternyata perbuatan yang diengaruhi oleh hal ikhwal pada diri pelaku. Artinya meskipun ia sudah melanggar larangan suatu aturan hokum pengenaan pidana dapat hapus apabila pebuatan tersebut telah diatur dalam pasal 44, pasal 45, pasal 48, pasal 49 ayat 1 dan 2, pasal 50 dan pasal 51 KUHP. 2. Hapusnya kewenangan menuntut, bahwa tindak pidana tersebut kapan waktunya dilakukan, seperti yang telah diatur dalam pasal 1 ayat 1, pasal 76, pasal 77, pasal 78 KUHP.

C. Tujuan Dan Sanksi Pidana

Setiap peraturan-peraturan hukum yang dilanggar pasti akan mendapatkan sanksi hukuman yang diterimanya. Dalam hukum pidana islam, hukuman dimaksudkan untuk memelihara, menciptakan kemaslahatan manusia dan untuk memperbaiki insan manusia dari perbuatan-perbuatan yang telah dilarang oleh Allah SWT.

1. Dalam Hukum Islam

Tujuan pokok penjatuhan hukuman di dalam hukum pidana islam terdapat beberapa macam antara lain: a. Pencegahan artinya: mencegah atau menahan pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi perbuatan jarimah yang telah ia lakukan atau agar ia tidak melakukan terus-menerus melakukan jarimah tersebut dikarenakan ia mengetahui sanksi hukuman jarimah tersebut. b. Pengajaran dan pendidikan artinya memberikan pelajaran bagi orang lain tentang suatu jarimah sehingga dapat mencegah orang lain untuk tidak melakukan suatu jarimah. 38 Sedangkan tujuan hukum pidana menurut Rahman Hakim terdapat tambahan dalam tujuan hokum pidana, yakni a. Memelihara masyarakat artinya upaya untuk menyelamatkan masyarakat dari perbuatan pelaku jarimah 38 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, hal. 191 Menurut Ahmad Hanafi hukuman itu sendiri dapat dibegi menjadi beberapa penggolongan dilihat dari segi tujuannya, diantaranya : 1. Dari segi hubungan atara satu hukuuman dengan hukuman lainnya : a. Hukuman pokok, yaitu hukuman asal bagi satu jarimah. seperti hukuman rajam bagi pezina. b. Hukuman pengganti, yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok apabila hukuman itu tidak dapat dilaksanakan dengan alas an yang sah. Seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qishash. c. Hukuman tambahan, yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok seperti larangan menerima warisan bagi seseorang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarganya. d. Hukuman pelengkap, yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat adanya keputusan tersendiri oleh hakim. 2. Dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya sebuah hukuman : a. Hukuman yang tidak ada batas tertinggi dan terendahnya seperti pada hukuman jilid sebagai hukuuman had b. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan terendahnya dalam satu hukuman, dimana seorang hakim diberikan