Pengukuran Kinerja Pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan di PPI Muara Angke

(1)

ABSTRAK

FIFI DEWI RESTI, Pengukuran Kinerja Pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan di PPI Muara Angke. Dibimbing oleh RETNO MUNINGGAR dan IIN SOLIHIN. Tempat pelelangan ikan (TPI) Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke merupakan suatu kelembagaan ekonomi yang didalamnya terdapat transaksi jual beli antara nelayan dan pedagang yang memiliki tujuan untuk mensejahterakan nelayan. Namun demikian, sebagai suatu sektor publik, TPI PPI Muara Angke harus diukur pengelolaannya agar dapat dilihat seberapa besar kinerja yang telah dilakukan guna mencapai tujuan awal pembangunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aktivitas yang terdapat di TPI, kepuasan pengguna pelelangan serta kinerja pengelolaan TPI. Metode yang digunakan adalah studi kasus dengan tujuan untuk mengidentifikasi aktivitas pelelangan yang terjadi dengan menggunakan analisis deskriptif, mengetahui kepuasan pengguna pelelangan menggunakan metode Importanceand Performance Analysis (IPA) dan mengukur kinerja pengelolaan TPI dari segi ekonomi dan efisiensi dengan menggunakan metode value for money. Hasil analisis menunjukkan bahwa aktivitas di tempat pelelangan ikan PPI Muara Angke sudah berjalan dan dikelola oleh seksi pelelangan serta koperasi. Berdasarkan pengukuran kepuasan pengguna pelelangan diketahui bahwa kepuasan pengguna pelelangan masih berada di bawah kriteria puas yaitu agen merasa cukup puas terhadap pengelolaan yang terdapat di TPI sedangkan pedagang merasa kurang puas terhadap pengelolaan yang terdapat di TPI PPI Muara Angke tersebut. Adapun untuk kinerja TPI dinilai tidak ekonomis dari segi input karena memiliki nilai rataan sebesar 33% dan kinerja dinilai cukup efisien dengan nilai rataan sebesar 100%. Nilai tersebut dapat digunakan oleh pengelola TPI PPI Muara Angke sebagai dasar untuk memperbaiki kinerja TPI, agar dapat mencapai tujuan awal pembangunannya serta meningkatkan kepuasan pengguna pelelangan.


(2)

1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pelabuhan perikanan merupakan tempat yang penting bagi aktivitas perikanan, mulai dari pendaratan, pembongkaran sampai dengan pemasaran. Aktivitas ini terjadi hampir di semua tipe pelabuhan baik skala besar yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) sampai dengan tipe pelabuhan skala kecil yaitu Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Salah satu PPI yang memiliki aktivitas perikanan tersebut adalah PPI Muara Angke. PPI Muara Angke merupakan pelabuhan perikanan yang terletak di Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. PPI ini memiliki produksi hasil tangkapan yang terus meningkat secara signifikan setiap tahunnya. Menurut laporan tahunan yang dimiliki oleh PPI Muara Angke, jumlah produksi yang didaratkan di PPI Muara Angke pada tahun 2009 sebesar 10.771 ton. Hal ini menjadikan PPI Muara Angke sebagai pelabuhan perikanan yang efektif untuk kegiatan perekonomian.

Kegiatan perekonomian yang berlangsung di PPI Muara Angke sangatlah penting untuk dikembangkan. Pengembangan ini diutamakan pada sektor pemasaran. Hal ini dikarenakan aktivitas pemasaran dapat meningkatkan pendapatan PPI, nelayan maupun aspek-aspek yang turut berada dalam kegiatan perikanan tersebut. Oleh sebab itu, PPI Muara Angke memerlukan mekanisme penjualan untuk menciptakan keteraturan dan kelancaran dalam berinteraksi antara penjual dengan pembeli. Mekanisme tersebut adalah pelelangan ikan agar pemasaran dapat dilakukan dengan lancar.

Tempat pelelangan ikan (TPI) merupakan suatu kelembagaan ekonomi yang didalamnya terdapat transaksi jual beli antara nelayan dan pedagang. PPI Muara Angke sendiri telah memiliki TPI yang terletak berdekatan dengan darmaga pendaratan. Aktivitas pelelangan di TPI PPI Muara Angke dilakukan setiap hari jam 09.30 WIB oleh pihak TPI. Aktivitas tersebut terdiri dari kegiatan penimbangan, transaksi jual beli oleh juru lelang dan pencatatan data oleh pihak TPI.

TPI merupakan fasilitas publik yang memiliki tujuan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Oleh sebab itu, sangatlah penting untuk


(3)

dilakukan pengukukuran mengenai kinerja agar dapat diketahui seberapa besar kinerja yang dilakukan TPI saat ini sesuai dengan tujuan awal pembangunan TPI itu sendiri. Pengukuran kinerja dapat diukur dari segi ekonomi dan efisiensi TPI dalam melakukan kegiatan pelelangan dan pengelolaan fasilitas. Pengukuran kinerja ini juga sangat penting agar dapat mengetahui kepuasan dari pihak pengguna jasa pelelangan, karena kepuasan pengguna pelelangan berdampak pada aktifnya kegiatan pelelangan dan pengembangan ekonomi pelabuhan.

Penelitian ini sangat penting dilaksanakan untuk mengukur kinerja pengelolaan tempat pelelangan ikan (TPI) terhadap ekonomi dan efisiensi tempat pelelangan ikan (TPI) serta mengukur tingkat kepuasan pengguna tempat pelelangan ikan (TPI) tersebut. Penelitian mengenai TPI di Muara Angke telah dilakukan sebelumnya oleh Simarmata (2010) dengan pendekatan deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Kriteria tersebut berdasarkan Pane (2009), sedangkan penelitian ini menggunakan pengukuran kinerja dengan pendekatan value for money berdasarkan Mahmudi (2010).

1.2 Perumusan Masalah

Tempat pelelangan ikan (TPI) merupakan tempat dimana nelayan dan konsumen bertemu untuk melakukan transaksi jual beli. Tempat ini sebagai sarana pemasaran di pelabuhan perikanan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Dalam pencapaian tujuan tersebut, maka TPI harus diukur kinerja pengelolaan aktivitasnya. Saat ini pengukuran kinerja TPI telah banyak dilakukan dengan menggunakan metode DEA (Data Envelopment Analysis), namun belum banyak yang menerapkan metode value for money dalam pengukuran kinerja TPI yang menekankan pada segi ekonomi dan efisiensi. Selain itu, tingkat kepuasan pengguna pelelangan di TPI PPI Muara Angke harus diketahui agar dapat mendukung aktivitas pelelangan dan kinerja TPI selanjutnya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah gambaran pengelolaan aktivitas TPI PPI Muara Angke? 2. Bagaimanakah tingkat kepuasan pengguna pelelangan TPI PPI Muara Angke? 3. Bagaimanakah kinerja pengelolaan TPI dari sisi ekonomi dan efisiensi?


(4)

1.3 Tujuan

1. Mendeskripsikan pengelolaan aktivitas TPI PPI Muara Angke;

2. Mengukur tingkat kepuasan pengguna pelelangan TPI PPI Muara Angke; dan 3. Mengukur tingkat kinerja pengelolaan TPI dilihat dari segi ekonomi dan

efisiensi TPI Muara Angke. 1.4 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi kepada semua pihak yang terkait dengan pengelolaan TPI di PPI Muara Angke mengenai kinerja pengelolaan TPI, sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja TPI di PPI Muara Angke selama ini.


(5)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pelabuhan Perikanan

2.1.1 Pengertian, klasifikasi dan fungsi pelabuhan perikanan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2006 pasal 1, pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan perikanan. Pelabuhan perikanan adalah pusat pengembangan ekonomi perikanan ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan pemasaran, baik berskala lokal, nasional maupun internasional.

Aspek-aspek pelabuhan perikanan secara terperinci menurut Direktorat Jenderal perikanan 1994 adalah (Lubis, 2006):

1) Produksi : Pelabuhan perikanan sebagai tempat para nelayan untuk melakukan kegiatan-kegiatan produksinya, mulai dari memenuhi kebutuhan perbekalan untuk menangkap ikan di laut sampai membongkar hasil tangkapannya.

2) Pengolahan: Pelabuhan perikanan menyediakan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk mengolah hasil tangkapannya.

3) Pemasaran : Pelabuhan perikanan merupakan pusat pengumpulan dan tempat awal pemasaran hasil tangkapannya.

Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan BAB VII pasal 16, pelabuhan perikanan diklasifikasikan kedalam 4 (empat) kelas, yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Pelabuhan perikanan diklasifikasikan menjadi empat kategori utama yaitu:

1) Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)

Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) adalah pelabuhan perikanan tipe A yang biasa disebut sebagai pelabuhan perikanan kelas 1. Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) memiliki kemampuan beroperasi di samudera dan lepas pantai


(6)

yang sifatnya nasional dan internasional. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan BAB VII pasal 17- pasal 20 tentang pelabuhan perikanan, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) memiliki kriteria sebagai berikut:

(1) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di laut teritorial, Zona Ekonomi Esklusif Indonesia dan laut lepas;

(2) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya minus 60 GT;

(3) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 300 m, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 3 m;

(4) Mampu menampung sekurang-kurangnya 100 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 6.000 GT kapal perikanan sekaligus; (5) Ikan yang didaratkan sebagian untuk tujuan ekspor; dan

(6) Terdapat industri perikanan. 2) Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)

Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) adalah pelabuhan perikanan tipe B yang biasa disebut sebagai pelabuhan perikanan kelas II. Pelabuhan perikanan ini memiliki kemampuan beroperasi di lepas pantai yang sifatnya regional dan nasional. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan BAB VII pasal 17-20 tentang pelabuhan perikanan, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) memiliki kriteria sebagai berikut:

(1) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di laut teritorial dan Zona Ekonomi Esklusif Indonesia;

(2) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 30 GT;

(3) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 150 m, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 3 m;

(4) Mampu menampung sekurang-kurangnya 75 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 2.250 GT kapal perikanan sekaligus; dan


(7)

3) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)

Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) adalah pelabuhan perikanan tipe C. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) ini memiliki kemampuan beroperasi di pantai yang sifatnya regional. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan BAB VII pasal 17-20 tentang pelabuhan perikanan, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) memiliki kriteria sebagai berikut:

(1) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial;

(2) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 10 GT;

(3) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 100 m, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya 2 m; dan

(4) Mampu menampung sekurang-kurangnya 30 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 300 GT kapal perikanan sekaligus. 4) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)

Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) adalah pelabuhan perikanan tipe D. Pelabuhan ini dikelola oleh daerah untuk mendukung kegiatan penangkapan ikan di daerah pantai. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan BAB VII pasal 17-20 tentang pelabuhan perikanan, Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) memiliki kriteria sebagai berikut:

(1) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan pedalaman dan perairan kepulauan;

(2) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 3 GT;

(3) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 50 m, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya 2 m; dan

(4) Mampu menampung sekurang-kurangnya 20 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 60 GT kapal perikanan sekaligus.


(8)

Lubis (2010) menyatakan bahwa fungsi pelabuhan perikanan berdasarkan pendekatan kepentingan terbagi menjadi 3 fungsi, diantaranya:

1) Fungsi maritim; 2) Fungsi komersial; dan 3) Fungsi jasa.

Selain fungsi pelabuhan berdasarkan kepentingannya, terdapat juga fungsi pelabuhan ditinjau dari segi aktivitasnya yaitu sebagai pusat kegiatan ekonomi perikanan baik ditinjau dari aspek produksi, pengolahan, pemasaran. Aspek-aspek tersebut dapat dirinci sebagai berikut (Lubis, 2010):

1) Aspek produksi;

2) Aspek pengolahan; dan 3) Aspek pemasaran.

2.1.2Fasilitas pelabuhan perikanan

Menurut Lubis (2006) dalam pelaksanaan fungsi dan peranannya, pelabuhan perikanan dilengkapi berbagai fasilitas. Kapasitas dan jenis fasilitas yang terdapat di suatu pelabuhan perikanan umumnya akan menentukan skala atau tipe dari suatu pelabuhan dan akan berkaitan pula dengan skala perikanannya.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan menyatakan bahwa fasilitas pelabuhan perikanan merupakan sarana dan prasarana yang tersedia di pelabuhan perikanan untuk mendukung operasional pelabuhan. Fasilitas-fasilitas tersebut berupa fasilitas pokok, fungsional, dan fasilitas penunjang.

1) Fasilitas pokok

Fasilitas pokok merupakan fasilitas dasar yang diperlukan oleh suatu pelabuhan perikanan guna menjamin keamanan dan kelancaran kapal baik sewaktu berlayar keluar masuk pelabuhan maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas pokok ini disebut juga dengan fasilitas infrastruktur suatu pelabuhan perikanan. Fasilitas-fasiltas tersebut antara lain:

(1) Fasilitas pelindung seperti breakwater, revertment, dan groin; (2) Fasilitas tambat seperti dermaga dan jetty;

(3) Fasilitas perairan seperti kolam dan alur pelayaran;


(9)

(5) Fasilitas lahan pelabuhan perikanan. 2) Fasilitas fungsional

Fasilitas fungsional dapat disebut juga suprastruktur yaitu fasilitas yang berfungsi meningkatkan nilai guna dari fasilitas pokok dengan cara memberikan pelayanan yang dapat menunjang kegiatan yang ada di pelabuhan perikanan. Fasilitas ini tidak harus ada pada suatu pelabuhan perikanan, disediakan sesuai dengan kebutuhan operasional perikanan tersebut. Fasilitas fungsional tersebut antara lain:

(1) Fasilitas pemasaran hasil perikanan seperti tempat pelelangan ikan (TPI); (2) Fasilitas navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB,

rambu-rambu, lampu suar, dan menara pengawas; (3) Fasilitas suplai air bersih, es dan listrik;

(4) Fasilitas pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dock/slipway, bengkel dan tempat perbaikan jaring;

(5) Fasilitas penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan laboratorium pembinaan mutu;

(6) Fasilitas perkantoran seperti kantor administrasi pelabuhan; (7) Fasilitas transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan es; dan (8) Fasilitas pengolahan limbah seperti PAL.

3) Fasilitas penunjang

Fasilitas penunjang adalah fasilitas yang secara tidak langsung meningkatkan peranan pelabuhan, fasilitas penunjang diantaranya adalah: (1) Fasilitas pembinaan nelayan seperti balai pertemuan nelayan;

(2) Fasilitas pengelola pelabuhan seperti mess operator, pos jaga, dan pos pelayanan terpadu;

(3) Fasilitas sosial dan umum seperti tempat peribadatan dan MCK; (4) Fasilitas kios IPTEK; dan

(5) Fasilitas penyelenggaran fungsi pemerintah.

2.1.3 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke

Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke merupakan pelabuhan perikanan tipe D. Pelabuhan ini dikelola oleh daerah untuk mendukung kegiatan


(10)

penangkapan ikan di daerah pantai. PPI Muara Angke terletak di delta Muara Angke disebelah barat dan selatan berbatasan dengan kali Angke, disebelah selatan berbatasan dengan Jalan Pluit dan disebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 598 tentang Pangkalan Pendaratan Ikan Daerah dan Pusat Pembinaan Kegiatan Perikanan DKI Jakarta, Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke seluruhnya seluas ±649.784 m2, sedangkan berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1263 tentang Panduan Rancang Kota Kawasan Pembangunan Terpadu Muara Angke memiliki rencana reklamasi Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke seluruhnya menjadi seluas ±71,72 ha.

Kondisi saat ini kawasan Muara Angke secara eksisting telah dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan nelayan yang secara garis besarnya terbagi kedalam empat kawasan, yaitu:

1) Perumahan nelayan;

2) Pengolahan hasil perikanan tradisional (PHPT); 3) Tambak uji coba air payau; dan

4) Pangkalan Pendaratan Ikan.

PPI Muara Angke memiliki fasilitas yang menunjang kegiatannya. Fasilitas-fasilitas tersebut berupa:

1) Tempat pelelangan ikan (TPI); 2) Pasar grosir;

3) Pasar pengecer; 4) Pabrik es; 5) Cold storage; 6) SPBU/SPBB;

7) Tempat pengepakan ikan; 8) Pusat jajanan serba ikan; dan 9) Instansi lain, Fasos dan Fasum. 2.2Tempat Pelelangan Ikan 2.2.1 Pengertian dan fungsi TPI

Berdasarkan Keputusan Bersama 3 Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor:


(11)

139 Tahun 1997;902/Kpts/PL.420/9/97;03/SKB/M/IX/1997 tertanggal 12 September 1997 tentang Penyelengaraan Tempat Pelelangan Ikan, bahwa yang disebut dengan tempat pelelangan ikan adalah tempat para penjual dan pembeli melakukan transaksi jual beli ikan melalui pelelangan dimana proses penjualan ikan dilakukan di hadapan umum dengan cara penawaran bertingkat. Ikan hasil tangkapan para nelayan harus dijual di TPI kecuali: 1) ikan yang digunakan untuk keperluan lauk keluarga; 2) Ikan jenis tertentu yang diekspor dan ikan hasil tangkapan pola kemitraan dengan pertimbangan dan atas dasar persetujuan dari Kepala Daerah. Fungsi tempat pelelangan ikan adalah untuk melelang ikan, dimana terjadi pertemuan antara penjual (nelayan atau pemilik kapal) dengan pembeli (pedagang atau agen perusahaan perikanan), sedangkan menurut Mogohito vide Priyaza (2008), fungsi tempat pelelangan ikan adalah sebagai pusat pendaratan ikan, pusat pembinaan mutu hasil perikanan, pusat pengumpulan data, pusat kegiatan para nelayan dibidang pemasaran.

Menurut Hardani (2008), pelelangan ikan merupakan suatu kegiatan dimana penjual dan pembeli bertemu dalam satu tempat (gedung TPI), di dalamnya terdapat proses tawar menawar harga ikan sehingga diperoleh harga yang mereka sepakati bersama. Pelelangan ikan merupakan mata rantai pemasaran nelayan sebagai produsen dengan pembeli dan konsumen lainnya atau disebut juga mata rantai tata niaga ikan. Kegiatan pelelangan berperan dalam menentukan harga hasil tangkapan yang dilelang (Bustami, 2007).

2.2.2 Pengelolaan aktivitas di tempat pelelangan ikan

Aktivitas pelelangan ikan di TPI merupakan salah satu aktivitas di suatu pelabuhan perikanan yang termasuk dalam kelompok aktivitas yang berhubungan dengan pendaratan dan pemasaran ikan. Pelelangan ikan memiliki peran yang cukup penting untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam pemasaran ikan. Pelelangan ikan adalah suatu kegiatan di tempat pelelangan ikan guna mempertemukan penjual dan pembeli sehingga terjadi tawar-menawar harga ikan yang disepakati bersama (Dwiyanti, 2010).

Menurut Lubis (2010), tipe pengelolaan tempat pelelangan ikan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) termasuk kepada tipe pengelolaan oleh Pemerintah Daerah. Pengelolaan tempat pelelangan ikan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah TK


(12)

I/Propinsi c/q Dinas Perikanan dan Kelautan setempat atau adanya otonomi daerah, Pemerintah Daerah Propinsi menyerahkan lagi pengelolaan lelang ikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten melalui Dinas Perikanan dan Kelautan setempat dan beberapa Pemda Propinsi atau Kabupaten menyerahkan lagi ke KUD. Kemudian hasil retribusi yang dikenakan kepada nelayan dan pembeli diserahkan ke kas Pemerintah Daerah.

Menurut UPT PPI Muara Angke (2007) vide Faubiany (2008), prosedur pelelangan ikan di PPI Muara Angke adalah sebagai berikut:

1) Kapal melaporkan kedatangannya ke pengawas perikanan (WASKI), dicatat dokumen dan mendapatkan nomor urut lelang;

2) Proses pembongkaran ikan dengan menyortir ikan berdasarkan jenis dan mutu lalu ditempatkan di dalam keranjang (trays);

3) Penimbangan hasil tangkapan di dermaga dan diawasi oleh juru timbang dari koperasi Mina Jaya kemudian diberi label volume ikan dan nama kapal;

4) Ikan disusun di lantai TPI berdasarkan nomor urut lelang yang didapatkan oleh setiap kapal;

5) Juru lelang mengumumkan dan memanggil peserta lelang untuk memulai proses pelelangan;

6) Ikan dilelang oleh juru lelang dimana jumlah peserta lelang kurang lebih 70 orang dan harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Penawaran yang dilakukan bersifat meningkat sampai tercapai harga penawaran tertinggi;

7) Seluruh hasil transaksi dicatat oleh juru bakul. Pencatatan hasil transaksi lelang meliputi: jenis, ukuran, berat dan harga ikan, nama nelayan dan nama pemenang lelang. Setelah proses pelelangan selesai, maka data diserahkan kepada petugas operator pelelangan;

8) Peserta pemenang lelang umumnya melakukan pencatatan hasil transaksi pemenang lelang yang biasanya langsung mengemasi ikannya. Setelah mencatat hasil transaksi ikan, pemilik kapal menerima uang dari petugas kasir; dan


(13)

2.2.3 Tipe pelelangan ikan

Aktivitas pelelangan ikan di Indonesia umumnya masih dilakukan dengan cara-cara sederhana. Hal ini dikarenakan pihak pengelola pelelangan belum mampu berkoordinasi secara optimal dengan pengelola pelabuhan maupun Dinas Perikanan untuk menyediakan sarana dan prasarana yang memadai serta upaya untuk menarik minat masyarakat agar ikut serta dalam proses pelelangan ikan.

Klemperer (1999) vide DKP (2006) menerangkan bahwa terdapat empat tipe pelelangan ikan (fish action) yang umum dikenal. Keempat tipe pelelangan tersebut, masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Keempat tipe pelelangan tersebut adalah:

1) Tipe Inggris (english type auction); 2) Tipe Belanda (dutch type auction);

3) Tipe lelang tertutup (first-price sealed bid auction); dan

4) Tipe Vickrey (vickrey type auction) atau yang lebih umum dikenal adalah second-price sealed bid auction.

Tipe Inggris (English type auction) memiliki karateristik harga lelang ditentukan secara meningkat (ascending-bid auction). Harga lelang mengalami kenaikkan hingga menyisakan seorang pelelang yang menentukan harga tertinggi. Pemenang lelang inilah yang kemudian mendapatkan barang yang dilelang. Lelang dilakukan secara terbuka dengan cara mengucapkan langsung harga lelang (call out). Mekanisme lelang ini, biasanya melalui sistem elektronik dimana peserta lelang menekan tombol elektronik berdasarkan harga yang ditawarkan.

Tipe pelelangan kedua yaitu tipe Belanda, pada tipe pelelangan dilakukan dengan sistem penurunan harga (descending-bid auction). Harga ditentukan pada level yang sangat tinggi kemudian menurun secara kontinyu sampai ada peserta lelang yang menerima harga tersebut pertama kali. Peserta lelang ini kemudian ditentukan sebagai pemenang lelang (Klemperer, 2000 vide DKP, 2006)

Tipe pelelangan ketiga termasuk tipe pelelangan tertutup, lelang dilakukan secara tertutup oleh peserta lelang secara independen peserta lelang tidak mengetahui harga lelang yang ditawarkan satu sama lain. Harga lelang diputuskan dari harga tertinggi (first price) yang ditawarkan peserta lelang. Tipe keempat yaitu vickrey type action memiliki karateristik yang hampir sama dengan tipe


(14)

lelang tertutup, namun perbedaannya terletak pada penentuan harga lelang, dimana harga lelang ditetapkan berdasarkan harga kedua (second highest price) bukan berdasarkan harga tertinggi. Tipe pelelangan keempat sangat jarang dilakukan bila dibandingkan dengan ketiga tipe lelang yang lain (Klemperer, 2000 vide DKP, 2006).

Sistem lelang yang digunakan di tempat pelelangan ikan pelabuhan perikanan Indonesia pada umumnya adalah tipe Inggris (English type auction), dimana harga ditetapkan secara meningkat, disampaikan secara terbuka dan peserta lelang dengan penawaran tertinggi ditetapkan sebagai pemenang (Klemperer, 2000 vide DKP, 2006).

2.2.4 Landasan hukum penyelenggaraan lelang ikan di Indonesia

Pelelangan di Indonesia memiliki aturan dan landasan hukum dalam pengaturan kegiatan maupun cara pelelangan. Landasan hukum penyelenggaraan pelelangan ikan di Indonesia diatur oleh beberapa ketentuan yang berlaku, yaitu:

1) PP No 64 Tahun 1957 pasal 7, tentang Penyerahan Sebagian dari Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan laut, Kehutanan dan Karet Rakyat kepada Daerah-Daerah Swantantra Tingkat 1;

2) PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;

3) Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor: 139 Tahun 1997/902/Kpts/PL.420/9/97/03/SKB/M/IX/1997 tentang Penyelenggaraan Pelelangan Ikan; dan

4) SK Gubernur Nomor 2074/2000 tanggal 10 Agustus 2000 Tentang Penetapan Presentase Pengenaan Retribusi Pemakaian Tempat Pelelangan Ikan dan Biaya Penyelenggaraan Pelelangan Ikan oleh Koperasi Perikanan Mina Jaya yang dipungut dari nelayan sebesar 3% dan bakul sebesar 2%, sedangkan bagian Koperasi Perikanan Mina Jaya sebesar 2% dari 5% retribusi yang diterima.


(15)

2.2.5 Sarana dan prasarana tempat pelelangan ikan

Tempat pelelangan ikan dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana yang menunjang untuk dilakukannya pelelangan. Sarana yang terdapat di tempat pelelangan dapat berupa keranjang (trays), timbangan, alat hitung dan alat pengangkut ikan, sedangkan prasarana tempat pelelangan ikan (TPI) dapat berupa gedung tempat pelelangan ikan (TPI). Menurut Lubis (2006) ruangan yang terdapat pada gedung pelelangan adalah:

1) Ruang sortir, yaitu tempat membersihkan, menyortir dan memasukkan ikan ke dalam peti atau keranjang;

2) Ruang pelelangan, yaitu tempat menimbang, memperagakan dan melelang ikan;

3) Ruang pengepakan, yaitu tempat memindahkan ikan ke dalam peti lain dengan diberi es, garam, dan lain-lain selanjutnya siap dikirim; dan

4) Ruang administrasi pelelangan, terdiri dari loket-loket, gudang peralatan lelang, ruang duduk untuk peserta lelang, toilet dan ruang cuci umum.

Luas gedung pelelangan ikan ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Jumlah produksi yang harus ditampung oleh gedung pelelangan; 2) Jenis ikan yang ditangkap; dan

3) Cara penempatan ikan untuk diperagakan.

Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per. 04/Men/2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per. 01/Men/2007 Tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Menteri Kelautan Tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi, bahwa persyaratan tempat pelelangan ikan (TPI) adalah:

1) Terlindung dan mempunyai dinding yang mudah untuk dibersihkan;

2) Mempunyai lantai yang kedap air yang mudah dibersihkan dan disanitasi, dilengkapi dengan saluran pembuangan air dan mempunyai sistem pembuangan limbah cair yang higienis;

3) Dilengkapi dengan fasilitas sanitasi seperti tempat cuci tangan dan toilet dalam jumlah yang mencukupi. Tempat cuci tangan harus dilengkapi dengan bahan pencuci tangan dan penyaring sekali pakai;


(16)

4) Mempunyai penerangan yang cukup untuk memudahkan pengawasan hasil perikanan;

5) Kendaraan yang mengeluarkan asap dan binatang yang dapat mempengaruhi mutu hasil perikanan tidak diperbolehkan berada dalam TPI;

6) Dibersihkan secara teratur minimal setiap selesai penjualan, wadah harus dibersihkan dan dibilas dengan air bersih atau air laut bersih;

7) Dilengkapi dengan tanda peringatan dilarang merokok, meludah, makan dan minum dan diletakkan di tempat yang mudah dilihat dengan jelas;

8) Mempunyai pasokan air bersih dan air laut bersih yang cukup; dan

9) Mempunyai wadah khusus yang tahan karat dan kedap air untuk menampung hasil perikanan yang tidak layak untuk dimakan.

Satu hal yang perlu diperhatikan yaitu lantai tempat pelelangan harus miring kearah saluran pembuangan sekitar 2o. Hal ini dimaksudkan agar air dari penyemprotan kotoran sisa-sisa ikan setelah selesai aktivitas pelelangan dapat mengalir ke saluran pembuangan dengan mudah sehingga kebersihan tempat pelelangan senantiasa terpelihara (Lubis, 2006).

2.3Kinerja dan Pengukurannya 2.3.1 Kinerja dan penilaian kinerja

Menurut Bernadin dan Russel (1993) vide Gigentika (2010), kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. Pencapaian kinerja yang tinggi merupakan suatu prestasi bagi setiap organisasi dan bagian (unit) organisasi yang oleh karenanya setiap organisasi dituntut untuk dapat selalu meningkatkan kinerjanya. Semakin tinggi kinerja organisasi, maka semakin tinggi pencapaian tujuan organisasi.

Kinerja merupakan suatu konstruksi multidimensional yang mencakup banyak faktor yang mempengaruhinya. Menurut Mahmudi (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah:

1) Faktor personal/individual, meliputi: pengetahuan, keterampilan (skill), kemampuan, kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu;


(17)

2) Faktor kepemimpinan, meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan, dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader; 3) Faktor tim, meliputi: kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh

rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakkan dan keeratan anggota tim;

4) Faktor sistem, meliputi: sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan oleh organisasi, proses organisasi, dan kultur kinerja dalam organisasi; dan

5) Faktor konstekstual (situasional), meliputi: tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal.

Pada sistem penilaian kinerja tradisional, kinerja hanya dikaitkan dengan faktor personal, namun dalam kenyataannya, kinerja sering diakibatkan oleh faktor-faktor lain di luar faktor personal, seperti sistem, situasi, kepemimpinan, atau tim. Proses penilaian kinerja individual tersebut harus diperluas dengan penilaian kinerja tim dan efektivitas manajernya. Hal itu karena yang dilakukan individu merupakan refleksi perilaku anggota grup dan pimpinan (Mahmudi, 2010).

Sistem penilaian kinerja dilakukan dalam sebuah proses manajemen dimana harus terjadi dan dimulai dengan menetapkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, kemudian tahap pembuatan rencana, pengoperasian, penggerakan atau pengarahan dan akhirnya evaluasi atas hasilnya. Secara teknis penilaian kinerja harus dimulai dengan menetapkan tujuan dan sasaran yaitu kinerja dalam bentuk apa dan bagaimana yang ingin dicapai dalam hal ini yang menjadi objek adalah kinerja operasional (Widiastuti, 2010).

2.3.2 Pengertian dan fungsi indikator kinerja

Indikator kinerja merupakan sarana atau alat (means) untuk mengukur hasil suatu aktivitas, kegiatan, atau proses, dan bukan hasil atau tujuan itu sendiri (ends). Peran indikator kinerja bagi organisasi sektor publik adalah memberikan tanda atau rambu-rambu bagi manajer dan pihak luar untuk menilai kinerja organisasi. Indikator kinerja akan bermanfaat apabila digunakan untuk mengukur


(18)

sesuatu. Dengan demikian peran utama indikator kinerja adalah alat sebagai pengukur kinerja (Mahmudi, 2010).

Menurut Widiastuti (2010) secara umum, indikator kinerja memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:

1) Memperjelas tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan; 2) Menciptakan consensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk

menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kebijakan/program dan dalam menilai kinerjanya termasuk kinerja satuan organisasi/kerja yang melaksanakannya; dan

3) Membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja satuan organisasi/kerja.

2.3.3 Konsep dasar dan pengukuran value for money

Menurut Mahmudi (2010) value for money (VFM) merupakan konsep penting dalam organisasi sektor publik. Value for money memiliki pengertian penghargaan terhadap nilai uang. Hal ini berarti bahwa setiap rupiah harus dihargai secara layak dan digunakan sebaik-baiknya. Konsep value for money terdiri dari:

1) Ekonomi, memiliki pengertian bahwa sumber daya input hendaknya diperoleh dengan harga lebih rendah (spending less), yaitu harga yang mendekati harga pasar. Secara matematis, ekonomi merupakan perbandingan antara input dengan nilai rupiah untuk memperoleh input tersebut; dan

2) Efisiensi, terkait dengan hubungan antara output berupa barang atau pelayanan yang dihasilkan dengan sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut. Secara matematis, efisiensi merupakan perbandingan antara output dengan input atau dengan istilah lain output per unit input. Suatu organisasi, program, atau kegiatan dikatakan efisien apabila mampu menghasilkan output tertentu dengan input serendah-rendahnya, atau dengan input tertentu mampu menghasilkan output sebesar-besarnya (spending well).

Pembuatan indikator input dan output memerlukan pemahaman mengenai konsep dasar input dan output sebagai komponen dasar kedua dari sistem


(19)

pengukuran kinerja, untuk itu dapat diketahui mengenai deskripsi dari ketiga unsur tersebut, yaitu:

1) Input

Input adalah semua jenis sumber daya masukan yang digunakan dalam suatu proses tertentu untuk menghasilkan output. Input tersebut dapat berupa bahan baku untuk proses, orang (tenaga, ketrampilan dan keahlian), infrastruktur seperti gedung dan peralatan, teknologi (hardware dan software). Pengukuran input adalah pengukuran sumber daya yang dikonsumsi oleh suatu proses dalam rangka menghasilkan output. Proses tersebut dapat berbentuk program atau aktivitas. Ukuran input mengindikasikan jumlah sumber daya yang dikonsumsi untuk suatu program, aktivitas dan organisasi. Pengukuran input dilakukan dengan cara membandingkan input sekunder dengan input primer. Dengan kata lain, pengukuran input adalah untuk mengetahui harga per unit input.

2) Output

Output adalah hasil langsung dari suatu proses. Pengukuran output merupakan pengukuran keluaran langsung dari suatu proses. Ukuran output menunjukkan hasil implementasi program atau aktivitas. Pengukuran output ini berbentuk kuantitatif dan keuangan atau kuantitatif nonkeuangan.

Setelah penentuan indikator input dan output selesai dilakukan tahap berikutnya, yaitu mendesain pengukuran ekonomi dan efisiensinya. Ukuran ekonomi mengindikasikan alokasi biaya, yaitu mengukur biaya input (cost of input). Ukuran ekonomi berupa beberapa anggaran yang dialokasikan. Pemanfaatan sumber daya di bawah anggaran menunjukkan adanya penghematan, sedangkan melebihi anggaran menunjukkan adanya pemborosan. Ukuran efisiensi mengukur biaya output (cost of output). Ukuran efisiensi didasarkan pada dua ukuran, yaitu input dan output. Ukuran efisiensi dapat dinyatakan dalam bentuk biaya per unit output (Mahmudi, 2010).

2.4Kepuasan Pelanggan

2.4.1 Definisi kepuasan pelanggan

Menurut Rangkuti (2002) vide Nurhayati (2007), kepuasan konsumen sebagai respon konsumen terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja aktual yang dirasakannya setelah pemakaian. Apabila


(20)

persepsi terhadap kinerja tidak dapat memenuhi harapan konsumen, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan konsumen. Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purnabeli, dimana persepsi terhadap kinerja produk atau jasa yang dipilih sekurang-kurangnya memenuhi atau bahkan melebihi harapan prapembelian. Jika persepsi terhadap kinerja tidak sesuai dengan harapan, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan (Tjiptono, 2000 vide Shanticka, 2008).

Kepuasan pelanggan memiliki lima driver (Irawan, 2003 vide Panggabean, 2008) antara lain:

1) Kualitas produk; 2) Harga;

3) Kualitas pelayanan; 4) Emotional factor; dan

5) Biaya dan kemudahan mendapat produk dan jasa. 2.4.2 Tingkat kepentingan pelanggan

Menurut Panggabean (2008), tingkat kepentingan pelanggan merupakan keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli produk atau jasa yang akan dijadikannya standar acuan dalam menilai kinerja produk jasa tersebut. Terdapat dua tingkat kepentingan pelanggan yaitu:

1) Adequate service adalah tingkat kinerja jasa minimal yang masih dapat diterima berdasarkan perkiraan jasa yang mungkin akan diterima dan tergantung pada alternatif yang tersedia.

2) Desired service adalah tingkat kinerja jasa yang diharapkan pelanggan akan diterimanya yang merupakan gabungan dari kepercayaan pelanggan mengenai apa yang dapat dan harus diterimanya.

Desired service dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga pelanggan yang mendapatkan jasa merasa puas yaitu:

(1) Keinginan untuk dilayani dengan baik dan benar; (2) Kebutuhan perorangan;

(3) Janji secara langsung; (4) Janji secara tidak langsung; (5) Komunikasi mulut ke mulut; (6) Pengalaman masa lalu; dan


(21)

(7) Keadaan darurat;

Sedangkan adequate service dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

(1) Keadaan darurat; (2) Ketersediaan alternatif;

(3) Derajat keterlibatan pelanggan;

(4) Faktor-faktor yang tergantung situasi; dan (5) Pelayanan yang diperkirakan.

2.4.3 Pengukuran kepuasan pelanggan

Menurut Rangkuti (2006) vide Panggabean (2008), kepuasan pelanggan dapat diukur dengan cara berikut:

1) Traditional approach, yaitu dengan meminta konsumen memberikan penilaian atas masing-masing indikator produk atau jasa yang mereka nikmati dengan cara memberikan rating dari sangat tidak puas sampai sangat puas sekali, kemudian konsumen juga diminta memberikan penilaian atas produk atau jasa tersebut secara keseluruhan.

2) Analisis secara deskriptif. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan analisis statistik secara deskriptif.

3) Structured approach. Semantic differential merupakan salah satu teknik yang popular dengan menggunakan prosedur scaling. Caranya dengan meminta responden untuk memberikan penilaiannya terhadap suatu produk atau fasilitas.

4) Analisis importance dan performance matrix, yaitu pendekatan dimana tingkat kepentingan pelanggan (customer expectation atau importance) diukur dalam kaitannya dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan agar menghasilkan produk yang berkualitas baik.

Pengukuran kepuasan pelanggan dapat dilakukan dengan enam konsep, yaitu (Umar, 2003 vide Panggabean, 2008):

1) Kepuasan pelanggan secara keseluruhan. Caranya yaitu dengan menanyakan pelanggan mengenai tingkat kepuasan atas jasa yang bersangkutan serta menilai dan membandingkan dengan kepuasan pelanggan secara kesuluruhan terhadap jasa yang mereka terima dari pesaing;


(22)

2) Dimensi kepuasan pelanggan. Dilakukan dengan empat proses yaitu pertama terlebih dahulu mengidentifikasi dimensi-dimensi kunci kepuasan pelanggan. Kedua, dengan meminta pelanggan menilai jasa perusahaan berdasarkan beberapa faktor seperti kecepatan dalam proses pelayanan atau keramahan pelayanan jasa yang diberikan terhadap pelanggan. Ketiga, meminta pelanggan menilai jasa pesaing berdasarkan faktor-faktor yang sama. Keempat, meminta pelanggan menentukan dimensi-dimensi yang menurut mereka ada di kelompok penting dalam menilai kepuasan pelanggan keseluruhan;

3) Konfirmasi harapan. Kepuasan pelanggan tidak diukur secara langsung, tetapi berdasarkan kesesuaian dan ketidaksesuaian antara harapan pelanggan dengan kinerja aktual jasa yang dijual perusahaan;

4) Minat pembelian ulang. Kepuasan pelanggan diukur berdasarkan apakah mereka akan mengadakan pembelian ulang atas jasa yang sama yang dia konsumsi;

5) Kesediaan untuk merekomendasi. Hal ini merupakan suatu cara yang memiliki ukuran penting, apalagi bagi jasa yang pembelian uangnya relatif lama, seperti jasa pendidikan tinggi; dan

6) Ketidakpuasan pelanggan. Cara mengetahui ketidakpuasan ini dapat dilakukan dengan hal komplain pelanggan, biaya garansi serta kerusakan barang.


(23)

3

KERANGKA PENDEKATAN STUDI

TPI PPI Muara Angke berada di Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Tempat pelelangan ikan tersebut dibangun oleh pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) bagi Pemerintah Daerah Jakarta Utara. Pengelolaan TPI ini harus dilakukan secara ekonomis dan efisien agar aktivitas pelelangan dapat berjalan dengan lancar dan memuaskan pengguna pelelangan. Hal tersebut menjadi dasar pengukuran kinerja pengelolaan tempat pelelangan ikan di PPI Muara Angke guna meningkatkan aktivitas yang terdapat di TPI tersebut agar menjadi lebih ekonomis dan efisien. Selain itu, dengan kinerja pengelolaan TPI yang baik, maka akan meningkatkan kepuasan pengguna pelelangan.

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan beberapa pengukuran. Analisis deskriptif ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Analisis deskriptif juga digunakan untuk menjelaskan aktivitas pelelangan yang terjadi di PPI Muara Angke pada saat penelitian, sehingga dapat diketahui alur aktivitas yang berlangsung di TPI tersebut.

Selain analisis deskriptif terdapat pengukuran lainnya yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu pengukuran kinerja pengelolaan. Pengukuran kinerja pengelolaan TPI dilakukan dengan menggunakan metode value for money. Metode ini memiliki keunggulan berupa bentuk pengukuran kinerja yang spesifik serta unik pada sektor publik dan mengukur kinerja dari segi ekonomi dan efisiensi. Namun sebelum melakukan pengukuran kinerja tersebut, harus dilakukan penilaian kinerja terlebih dahulu yang terbagi ke dalam dua kategori yaitu input dan output serta mengukur tingkat kepuasan pengguna pelelangan yang terdapat di TPI PPI Muara Angke.

Pengukuran tingkat kepuasan pengguna pelelangan ini menggunakan metode Importance and Performance Analysis (IPA). Metode IPA tersebut melihat tingkat kinerja dan kepentingan dari tempat pelelangan ikan (TPI). Data yang digunakan yaitu data kuesioner yang diberikan kepada pengguna pelelangan


(24)

seperti agen dan pedagang. Pengukuran ini dilakukan agar pengelola TPI dapat mengetahui sejauh mana kepuasan pengguna pelelangan terhadap kinerja serta pelayanan yang diberikan TPI terhadap pengguna pelelangan itu sendiri.

Ketiga analisis tersebut berkaitan erat dengan tempat pelelangan ikan, sehingga bila hasil ketiga analisis diketahui maka pengelolaan TPI PPI Muara Angke selanjutnya diharapkan akan lebih baik. Berikut kerangka pendekatan studi dalam penelitian ini, dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pendekatan studi. Analisis

deskriptif • Sarana dan

prasarana TPI • Pelayanan TPI • Kegiatan

pelelangan

Kinerja Pengelolaan aktivitas TPI

Pengukuran Kinerja

•Pengukuran kepuasan dengan metode Importance Performance Analysis (skala likert)

•Ekonomi •Efisiensi

Kinerja Pengelolaan TPI Analisis deskriptif

• Sarana dan prasarana TPI

• Pelayanan TPI • Kegiatan pelelangan • Peraturan yang

ditetapkan oleh TPI

Kinerja Pengelolaan TPI


(25)

4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2011. Adapun tempat pelaksanaan penelitian yaitu Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke. 4.1 Alat

Alat yang digunakan yaitu kuisioner, komputer/laptop, kamera, serta peralatan lainnya yang digunakan dalam membantu pengumpulan data dan pengolahan data.

4.2Metode Penelitian dan Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus terhadap kinerja tempat pelelangan ikan di PPI Muara Angke. Batasan yang akan diteliti adalah kinerja pengelolaan aktivitas tempat pelelangan ikan (TPI) dan kepuasan pengguna jasa TPI, untuk itu maka akan diteliti:

1) Ketersediaan fasilitas pelelangan ikan (sarana dan prasarana) untuk mendukung berlangsungnya pelelangan;

2) Aktivitas pelelangan (ketika ikan di letakkan di TPI, ditimbang, kegiatan jual beli, serta distribusi);

3) Kebersihan tempat pelelangan ikan;

4) Pendapatan dari kegiatan pelelangan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang didapatkan oleh pihak penyelenggara pelelangan yang kemudian berdampak pada anggaran dari pusat ke pihak TPI Muara Angke; dan

5) Kepuasan pengguna jasa pelelangan.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan purposive sampling. Metode sampling ini dilakukan dengan cara mengambil sampel sebanyak 5 orang secara sengaja yang dapat mewakili populasi sehingga tujuan yang diinginkan tercapai. Populasi yang diteliti merupakan agen, pedagang, pihak TPI PPI Muara Angke dan anggota koperasi yang menjalankan pelelangan di PPI Muara Angke.


(26)

Tabel 1 dan 2 menjelaskan tentang pengumpulan data yang dilakukan dengan pengamatan dan wawancara.

1) Pengamatan

Pengamatan dilakukan dengan cara melihat kondisi fisik TPI maupun aktivitas yang terdapat di TPI tersebut. Berikut merupakan Tabel 1 Objek pengamatan:

Tabel 1 Objek pengamatan

No Objek pengamatan Hal yang diamati

1. Tempat pelelangan ikan • Kondisi fasilitas yang digunakan dalam proses penanganan dan pelelangan ikan meliputi kebersihan peralatan dan lantai TPI, penggunaan air bersih, tersedianya sarana penunjang kegiatan pelelangan (speaker, trolly, kursi petugas lelang, tempat cuci tangan, lampu, timbangan, keranjang (trays), tanda dilarang merokok, dan tempat sampah).

2. Aktivitas pelelangan ikan • Kegiatan selama pelelangan (frekuensi dan waktu pelelangan), penimbang, pendataan dan distribusi.

2) Wawancara

Wawancara dilakukan disertai dengan pengisian daftar pertanyaan (kuesioner) terhadap responden. Berikut Tabel 2 wawancara berdasarkan narasumber dan materi wawancara.

Tabel 2 Objek wawancara

No Narasumber Materi wawancara

1. Pengelola TPI • Peran pihak TPI dalam proses pelelangan ikan;

• Ketersediaan fasilitas untuk menunjang aktivitas pelelangan;

• Anggaran untuk fasilitas pelelangan dan aktivitas pelelangan dari pemerintah daerah;

• Pemahaman pengelola TPI terhadap ikan/hasil tangkapan; • Pemahaman tentang sanitasi di TPI;

• Pemahaman tentang fasilitas yang dibutuhkan untuk pelelangan ikan;


(27)

Tabel 2 Lanjutan

No Narasumber Materi wawancara

2. Koperasi • Peran koperasi dalam proses pelelangan ikan; • Sistem pengelolaan penjualan ikan;

• Sistem bagi hasil kepada pihak TPI atau pemerintah daerah; dan

• Kebersihan tempat pelelangan ikan dan biaya operasional gedung tempat pelelangan ikan.

3 Agen • Jenis dan jumlah ikan yang diperjualbelikan • Harga ikan per Kg untuk tiap jenisnya • Pemahaman terhadap pelelangan

• Pemahaman terhadap kualitas ikan yang dijual • Keuntungan-kerugian pelelangan;

• Persepsi nelayan/agen terhadap aktivitas pelelangan; • Retribusi yang harus dibayarkan dalam setiap kali proses

lelang; dan

• Kepuasan nelayan terhadap kegiatan pelelangan, fasilitas TPI, dan pelayanan pihak TPI.

4. Pedagang/bakul • Persepsi pedagang terhadap kegiatan pelelangan; • Persepsi pedagang terhadap fasilitas TPI;

• Persepsi pedagang terhadap kebersihan TPI dan kualitas ikan yang dilelang;

• Keuntungan-kerugian pelelangan;

• Kepuasan pedagang terhadap kegiatan pelelangan dan fasilitas TPI; dan

• Retribusi yang harus dibayarkan dalam setiap kali proses lelang.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung kondisi TPI, hasil wawancara dengan pihak pengelola TPI, pihak koperasi yang mengurusi pelelangan, nelayan/agen yang melakukan pelelangan, serta pedagang yang membeli ikan yang dilelang (kuesioner oleh responden yang digunakan sebagai sampel). Adapun data sekunder diperoleh dari data hasil pelelangan oleh pihak TPI dan koperasi PPI Muara Angke serta studi pustaka dan internet. Berikut ini


(28)

adalah data utama dan data tambahan yang masing-masing berisi data primer pada Tabel 3 dan data sekunder pada Tabel 4:

1) Data utama Tabel 3 Data utama

Data Primer Data Sekunder

• Kondisi aktivitas tempat pelelangan ikan; • Kondisi kebersihan di TPI ;

• Kondisi fasilitas TPI;

• Kinerja pengelolaan TPI dilihat dari segi ekonomi dan efisiensi; dan

• Kepuasan pengguna tempat pelelangan ikan;

• Produksi dan nilai produksi hasil tangkapan yang dilelang;

• Jenis dan jumlah fasilitas yang berada di TPI;

• Data pendapatan yang diterima pihak koperasi dan TPI dari hasil retribusi; • Data pendapatan Pemda dari hasil

retribusi; dan

• Jumlah nelayan, alat tangkap dan kapal bongkar

2) Data tambahan Tabel 4 Data tambahan

Data Primer Data Sekunder

• Gambar/foto-foto proses pelelangan hasil tangkapan ; dan

• Gambar/foto-foto fasilitas TPI;

• Kondisi umum PPI Muara Angke; • Kondisi umum TPI PPI Muara Angke; • Letak geografis dan luas wilayah; dan • Layout PPI Muara Angke.

4.3Analisis Data

4.3.1 Analisis deskriptif

Kegiatan pelelangan ikan dan TPI dinilai dengan menggunakan analisis deskriptif terhadap aktivitas tempat pelelangan ikan (TPI) di PPI Muara Angke. Analisis deskriptif bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Selain itu, metode ini menjawab pertanyaan yang menyangkut sesuatu pada saat berlangsungnya proses penelitian (Nazir, 1988). Metode analisis deskriptif digunakan untuk melihat karateristik umum responden terhadap kegiatan di tempat pelelangan ikan (TPI). Adapun data yang digunakan untuk


(29)

melakukan analisis aktivitas TPI PPI Muara Angke adalah data primer dan sekunder yang berhubungan dengan kegiatan TPI PPI Muara Angke pada tahun 2010. Data-data tersebut berupa hasil pengamatan di lapangan, tabel dan grafik yang kemudian dideskripsikan. Adapun pada penelitian ini, terdapat beberapa aktivitas yang akan diamati antara lain:

1) Keadaan umum dari sarana dan prasarana yang dimiliki oleh TPI; 2) Pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh pihak pengelolaTPl; dan

3) Kegiatan pelelangan (ketika ikan diletakkan di TPI, ditimbang, kegiatan jual beli dan kegiatan distribusi).

4.3.2 Kinerja pengelolaan tempat pelelangan ikan (TPI)

Kinerja pengelolaan tempat pelelangan ikan (TPI) diukur dengan pengukuran terhadap ekonomi dan efisiensi TPI, tetapi sebelum melakukan pengukuran kinerja terlebih dahulu mengetahui tujuan pembangunan TPI, penentuan parameter input dan output, mengetahui tingkat kepuasan pengguna TPI, pembobotan serta pengukuran kinerja menurut input dan output TPI.

1) Tujuan pembangunan TPI

Menurut Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor: 139 Tahun 1997 Pasal 3 tentang Penyelenggaraan Pelelangan Ikan maka tujuan pembangunan TPI PPI Muara Angke dalam hal ini adalah:

(1) Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan;

(2) Mendapatkan kepastian pasar dan harga ikan yang layak bagi nelayan maupun konsumen;

(3) Meningkatkan pendapatan daerah; (4) Memberdayakan koperasi nelayan; dan

(5) Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan nelayan. 2) Penentuan parameter input dan output

Penentuan parameter input dan output dilakukan agar dapat mengetahui variabel apa yang akan diukur dalam penghitungan kinerja. Parameter tersebut berdasarkan hasil diskusi bersama kelompok hibah pasca (2007) vide widayati (2008). Berikut Tabel 5 dasar penentuan parameter input dan output:


(30)

Tabel 5 Dasar penentuan parameter input dan output

No Kriteria Parameter Subparameter Dasar penentuan parameter

1 Input SDM Personil TPI • Peraturan daerah di Jakarta tidak ada untuk jumlah kuantitatif personil TPI dan KUD sehingga memakai perbandingan dengan Perda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah Nomor 1 Tahun 1984 (Widayati, 2008)

• Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 71 Tahun 2006 mengenai petugas Koperasi secara kualitatif

Fasilitas TPI • Timbangan • Lori • Trays

• Peraturan Daerah di Jakarta tidak ada sehingga memakai perbandingan dengan Perda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah Nomor 1 Tahun 1984 (Widayati,2008)

• Perhitungan dengan menggunakan rumus JK= JHT/Kebutuhan (Aulia, 2010) untuk jumlah

trays dan troli

Luas lantai lelang Luas lantai lelang (m2) Hasil Diskusi bersama Kelompok Hibah Pasca, 2007 vide Widayati, 2008) dan perhitungan luas lantai lelang.

Volume produksi ikan hasil tangkapan yang dilelang

Volume produksi ikan hasil tangkapan yang dilelang (ton)

Hasil Diskusi bersama Kelompok Hibah Pasca, 2007 vide Widayati, 2008) dan Laporan tahunan UPT PKPP PPI Muara Angke 2008.

2 Output Pendapatan Nelayan Pendapatan nelayan (Rupiah)

Hasil Diskusi bersama Kelompok Hibah Pasca, 2007 vide Widayati, 2008).

Pemasukan daerah Pemasukan daerah dari retribusi (Rupiah)

Hasil Diskusi bersama Kelompok Hibah Pasca, 2007 vide Widayati, 2008).

Kepuasan pengguna pelelangan

Fasilitas TPI Aktivitas TPI Pelayanan TPI Pelayanan koperasi

• Analisis Tingkat Kepuasan Peserta Lelang dan Perceived Quality Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke, Jakarta (Nurhayati,. et al).

• Penghitungan kepuasan untuk kinerja berdasarkan Gigentika (2010)


(31)

3) Pengukuran tingkat kepuasan pengguna jasa pelelangan

Tingkat kepuasan nelayan terhadap jasa pelelangan dapat diketahui dengan menggunakan metode penilaian kepentingan dan kepuasan pengguna TPI (Importance and Performance Analysis). Metode Importance and Performance Analysis merupakan metode yang melihat tingkat kinerja dan kepentingan suatu pelayanan jasa. Berikut ini merupakan metode penghitungan kepuasan pengguna pelelangan:

(1) Importance and Performance Analysis (IPA)

Metode tingkat kepentingan dan kinerja dapat digunakan untuk mendapatkan informasi tentang tingkat kepuasan pengguna jasa pelelangan terhadap pelayanan dengan cara mengukur tingkat kepentingan dan pelaksanaannya, sehingga dapat diketahui tingkat kesesuaian antara kebutuhan pemberi dan penerima jasa. Penilaian pelanggan terhadap tingkat kepentingan dan pelaksanaan atribut-atribut kepuasan pelanggan yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner dikonversikan ke dalam skala 5 tingkat (skala likert) (Shanticka, 2008).

Tingkat kepentingan pengguna jasa pelelangan diukur berdasarkan apa yang seharusnya dikerjakan oleh pihak TPI agar menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas tinggi. Untuk penentuan bobot tingkat kepentingan, responden diminta menilai seberapa penting atribut pelayanan menurut penilaian mereka dengan cara memberi penilaian dengan rentang 1-5. Kelima penilaian tersebut diberi bobot sebagaimana disajikan pada Tabel 6 (Nurhayati, 2007).

Tabel 6 Tingkat kepentingan pelayanan aktivitas pelelangan

Jawaban Nilai

A Tidak penting 1

B Kurang penting 2

C Cukup penting 3

D Penting 4

E Sangat penting 5

Tingkat kinerja diukur berdasarkan kinerja aktual dari pelayanan yang diberikan pihak TPI yang dirasakan pengguna jasa TPI untuk menentukan bobot tingkat pelaksanaan digunakan skala likert (rentang 1-5) dalam memberi penilaian


(32)

terhadap jawaban pengguna jasa TPI. Kelima penilaian tersebut diberi bobot sebagaimana terdapat pada Tabel 7 (Nurhayati, 2007).

Tabel 7 Tingkat kinerja aktivitas tempat pelelangan ikan (TPI)

Jawaban Nilai

A Tidak puas 1

B Kurang puas 2

C Cukup puas 3

D Puas 4

E Sangat puas 5

Oleh karena itu, untuk mendapatkan gambaran lebih komprehensif mengenai Importance and Performance Analysis, digunakan diagram kartesius. Diagram ini merupakan suatu bangunan yang dibagi atas empat bagian yang dibatasi dua buah garis yang berpotongan tegak lurus pada titik (X,Y), adapun tahapan yang dilakukan adalah (Nurhayati, 2007) :

1) Menghitung jumlah skor kinerja (X) dan jumlah skor kepentingan (Y) pada masing-masing atribut pelayanan. Berikut penilaian kinerja dan kepentingan pengguna pelayanan aktivitas TPI pada Tabel 8:

Tabel 8 Penilaian kinerja dan kepentingan pengguna pelayanan aktivitas TPI No Atribut Jumlah Skor Kinerja (X) Jumlah Skor Kepentingan (Y) 1

2 …. I

2) Mengisi sumbu X pada diagram dengan tingkat kinerja dan sumbu Y dengan skor tingkat kepentingan. Setiap faktor yang mempengaruhi kepuasan pengguna jasa aktivitas TPI dihitung dengan (Nurhayati, 2007):


(33)

Keterangan:

X : Skor rata-rata tingkat kinerja Y : Skor rata-rata tingkat kepentingan N : Jumlah responden

Tabel 9 Penilaian responden terhadap atribut tingkat kinerja dan kepentingan

Responden Atribut tingkat kinerja (X) Total

1 2 3 4 5 …. I (∑)

1 …. N

∑Xi N N N N N …. N

Responden Atribut tingkat kepentingan (Y) Total

1 2 3 4 5 …. I (∑)

1 …. N

∑Yi N N N N N …. N

3) Menghitung letak batas dua garis berpotongan dengan rumus (Nurhayati, 2007):

Keterangan:

χ : Rata-rata dari rata-rata skor tingkat kinerja γ : Rata-rata dari rata-rata skor tingkat kepentingan


(34)

Diagram kartesius seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.

Gambar 2 Diagram kartesius kepuasan.

4) Didapat titik-titik (X,Y) yang menggambarkan letak atribut pada diagram. Posisi masing-masing atribut pada keempat kuadran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Kuadran A (Prioritas utama):

Menunjukkan faktor atau atribut yang dianggap mempengaruhi kepuasan pengguna, termasuk unsur-unsur jasa yang dianggap sangat penting, namun manajemen belum melaksanakan sesuai keinginan pengguna sehingga mengecewakan atau tidak puas.

(2) Kuadran B (Pertahankan prestasi):

Menunjukkan unsur jasa pokok yang telah berhasil dilaksanakan perusahaan, sehingga wajib untuk dipertahankan.

(3) Kuadran C (Prioritas rendah):

Menunjukkan faktor yang kurang penting pengaruhnya bagi pengguna, pelaksanaanya oleh perusahaan biasa-biasa saja.

(4) Kuadran D (Berlebihan):

Menunjukkan faktor yang mempengaruhi pengguna kurang penting, akan tetapi pelaksanaannya berlebihan.

Kepentingan (Y) X=χ

Kinerja (X) A

Prioritas utama

C

Prioritas rendah

D Berlebihan

B

Pertahankan prestasi

Y=γ γ


(35)

(2) Analisis gap

Gap atau kesenjangan merupakan nilai selisih yang terjadi antara nilai selisih yang terjadi antara nilai yang diberikan oleh produk, melalui atributnya dengan harapan yang diinginkan. Nilai kesenjangan ini akan memberikan informasi mengenai seberapa besar suatu atribut produk atau jasa memenuhi harapan konsumen. Informasi ini akan dimanfaatkan oleh produsen sebagai bahan masukan untuk memperbaiki kinerja produk atau jasanya (Panggabean, 2008).

Tingkat kepuasan akan semakin tinggi apabila nilai gap tersebut semakin kecil. Bila nilai kinerja suatu atribut lebih besar dari harapan, maka berarti konsumen puas terhadap atribut tersebut. Sebaliknya, jika nilai harapan lebih besar dari nilai kinerjanya, maka konsumen kecewa terhadap atribut tersebut. Nilai gap dihitung pada masing-masing atribut dengan rumus berikut (Panggabean, 2008):

Nilai gap = Rata-rata tingkat kinerja − rata-rata tingkat kepentingan Dalam menentukan kriteria kepuasan harus dibuat selang frekuensi/kelas berdasarkan tingkat kesesuaian, selisih nilai kinerja dan kepentingan yang telah diolah. Pembuatan selang frekuensi/kelas bagi sekumpulan data yang besar dapat dilakukan dengan cara pengolahan statistik yaitu dengan menentukan banyaknya frekuensi dimana dalam perhitungan ini menggunakan 5 selang frekuensi (Walpole, 1995).

4) Penghitungan pembobotan

Pembobotan ini dilakukan dengan menggunakan metode Saaty. Pembobotan tersebut diukur, karena saat ini belum terdapat standar bobot untuk pengelolaan aktivitas berdasarkan input dan output tempat pelelangan ikan. Adapun standar bobot yang sudah diketahui yaitu pada operasional pelabuhan (Gigentika, 2010). Oleh sebab itu, untuk mengukur kinerja yang memakai pembobotan harus dilakukan pengambilan kuisioner. Pengambilan kuisioner ini dilakukan terhadap 5 orang pakar pelabuhan perikanan.

Metode Saaty ini dimisalkan jika dalam suatu sub sistem operasi terdapat n elemen operasi, yaitu elemen-elemen A1, A2, A3 ...An, maka hasil perbandingan


(36)

secara berpasangan elemen –elemen operasi akan membentuk matrik perbandingan. Skala nilai perbandingan berpasangan menurut Saaty dapat dilihat pada Tabel 10 berikut (Saaty, 1991):

Tabel 10 Skala penilaian perbandingan berpasangan Intensitas

kepentingan

Keterangan Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen memiliki pengaruh yang sama besar terhadap tujuan

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya

Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen dibandingkan elemen lainnya

5 Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lainnya

Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen dibanding elemen yang satunya

7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya

Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya

Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua pertimbangan nilai yang berdekatan

Nilai ini diberikan jika ada kompromi antara dua pilihan

Kebalikan Jika untuk aktivitas I mendapatkan satu angka dibanding dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding i

Model matematika yang digunakan untuk membandingkan tiap pasangan adalah model matriks bujur sangkar yang resiprokal. Misalnya dalam suatu subsistem operasi terdapat n unsur operasi, yaitu A1, A2,…, An maka hasil perbandingan dari unsur-unsur operasi tersebut akan membentuk matriks perbandingan berukuran � . Matriks perbandingan tersebut dapat disajikan sebagai berikut (Saaty, 1991):

A1 A2 …. An

A1 1 a12 …. a1n

A2 a21 1 …. a2n

….. ….. ….. …. ….. An an1 an2 …. 1


(37)

Matriks � � merupakan matriks resiprokal. Diasumsikan terdapat n unsur yaitu a11, a12,… a1n yang akan dinilai secara perbandingan. Aturan untuk memasukkan aij adalah sebagai berikut (Saaty, 1991):

1. Jika aij= a, maka aji=1/a, untuk aij≠ 0; dan

2. Pada diagonal matriks, di mana unsur yang sama diperbandingkan, maka nilainya 1.

Setelah nilai intensitas kepentingan telah masuk didalam matriks maka selanjutnya dilakukan langkah-langkah sebagai berikut (Saaty, 1991):

1. Menjumlahkan nilai-nilai setiap kolom dalam matriks perbandingan berpasangan;

2. Membagi nilai aij pada setiap kolom dengan jumlah pada kolom bersangkutan sehingga didapat matriks yang dinormalisasi; dan

3. Menjumlahkan semua nilai setiap baris dari matriks yang dinormalisasi tersebut dan membaginya dengan jumlah unsur tiap baris. Hasil pembagian tersebut menunjukkan nilai prioritas menyeluruh untuk masing-masing unsur.

5) Penilaian kinerja input dan output

Metode yang digunakan adalah value for money. Metode tersebut memiliki keunggulan berupa bentuk pengukuran kinerja yang spesifik serta unik pada sektor publik dan mengukur kinerja dari segi ekonomi dan efisiensi. Pengukuran kinerja lain selain value for money adalah DEA, tetapi pengukuran kinerja dengan menggunakan metode DEA ini merupakan pengukuran kinerja yang hanya mengukur efisiensi bersifat teknis, bukan ekonomis. DEA hanya menghitung nilai absolut dari suatu variabel (Sudaryanto, 2006). Oleh karenanya dalam penelitian ini menggunakan konsep value for money karena aspek yang dikajinya lebih banyak yaitu diukur dari segi ekonomi dan efisiensi. Berikut merupakan kinerja penilaian pembobotan pada Tabel 11.


(38)

Tabel 11 Kertas kerja penilaian pembobotan Indikator

Kinerja

Satuan Target Kinerja (rencana)

Capaian kinerja (realisasi)

Bobot Nilai kinerja

Nilai akhir

Keterangan

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

Input Output

Jumlah ∑: Total:

1) Nilai kinerja input dan output dihitung dengan rumus berikut (Mahmudi, 2010):

2) Penilaian Kinerja (ekonomi dan efisiensi)

• Pengukuran Kinerja dari segi ekonomi (Mahmudi, 2010):

�� �= � �� ���

� �� �� � � 100%

Keterangan: >100% = ekonomis 85-100% = cukup ekonomis 65-84% = kurang ekonomis <65% = Tidak ekonomis

• Pengukuran kinerja dari segi efisiensi (Mahmudi, 2010):

Keterangan: <90% = sangat efisien 90-99% = efisien

100% = cukup efisien >100% = tidak efisien.


(39)

5 KEADAAN UMUM HASIL PENELITIAN

5.1 Keadaan Umum Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke 5.1.1 Topografis PPI Muara angke

Kawasan Muara Angke terletak di delta Muara Angke di sebelah barat dan selatan berbatasan dengan kali Angke, di sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Pluit tepatnya pada posisi 106015’ BT dan 590LS sedangkan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Kawasan Muara Angke mempunyai kontur permukaan tanah datar dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0–1 meter. Geomorfologi kawasan pantainya lunak sehingga daya dukung tanah rendah dan proses intrusi air laut tinggi, sedimen dasar laut dominan oleh lumpur (lempung dan danau) (Anonim, 2006 vide Aulia, 2011). Dasar laut yang berlumpur menjadikan kawasan perairan Muara Angke menjadi daerah penangkapan ikan yang cukup strategis. Dasar laut dengan kontur tersebut merupakan tempat tinggal dari ikan-ikan dasar yang bernilai ekonomis tinggi.

Berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 598 tentang Penetapan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke Jakarta Utara sebagai Pangkalan Pendaratan Ikan Daerah dan Pusat Pembinaan Kegiatan Perikanan DKI Jakarta, Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke memiliki luas ±649.784 m2. Sedangkan berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1263 tentang Panduan Rancang Kota Kawasan Pembangunan Terpadu Muara Angke Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, dengan adanya rencana reklamasi Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke seluruhnya menjadi seluas ±71,71 ha (UPT PKPP dan PPI Muara Angke, 2008).

Sejak tahun 1976 kawasan Muara Angke secara keseluruhan dipersiapkan untuk menampung kegiatan perikanan yang tersebar dibeberapa lokasi dan dalam kawasan Muara Angke sampai dengan saat ini telah dimanfaatkan untuk:

1) Perumahan nelayan;

2) Pengelolaan hasil perikanan tradisional (PHPT); 3) Tambak uji coba; dan

4) Kawasan pelabuhan perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan beserta fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang lainnya.


(40)

5.1.2 Pengelolaan PPI Muara Angke

Unit Pelaksana Teknis Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (UPT PKPP) merupakan UPT Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta dibidang pengelolaan kawasan pelabuhan perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan. Sesuai dengan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 105 Tahun 2002, UPT PKPP dan PPI mempunyai tugas sebagai berikut:

1) Mengatur, mengelola dan memelihara fasilitas pelabuhan perikanan, pelelangan ikan dan Pangkalan Pendaratan Ikan beserta sarana penunjangnya;

2) Mengelola pemukiman nelayan beserta fasilitas kelengkapannya; dan

3) Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban lingkungan kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan, umumnya tugas-tugas yang dilakukan oleh UPT PKPP dan PPI untuk mengelola PPI Muara Angke telah terlaksana dengan cukup baik, hal ini dapat dilihat dari kemudahan dalam melakukan aktivitas perikanan di kawasan PPI Muara Angke dengan tersedianya fasilitas dan sarana yang mendukung kegiatan perikanan khususnya perikanan tangkap. Selain memiliki tugas, UPT PKPP dan PPI memiliki fungsi, fungsi tersebut yaitu (UPT PKPP dan PPI Muara Angke, 2008):

1) Menyusun program dan rencana kegiatan operasional;

2) Perencanaan, pemeliharaan, pengembangan dan rehabilitasi dermaga dan pelabuhan;

3) Penertiban rekomendasi izin kapal perikanan yang masuk dan keluar pelabuhan perikanan dari aspek kegiatan perikanan;

4) Pelayanan tambat labuh dan bongkar muat kapal ikan;

5) Penyediaan fasilitas penyelenggaraan pelelangan ikan dan penyewaan fasilitas penunjang lainnya;

6) Pengelolaan lahan yang diperuntukan bagi kegiatan usaha yang menunjang usaha perikanan;


(41)

7) Pengelolaan sarana fungsional, sarana penunjang dan pengusahaan barang dan atau pihak ketiga;

8) Pelayanan fasilitas sandar kapal, pasar grosir, pasar pengecer, pengolahan ikan, pengepakan ikan gudang hasil perikanan dan usaha pengolahan ikan; 9) Pengkoordinasian kegiatan operasional instansi terkait yang melakukan

aktivitas di Pangkalan Pendaratan Ikan;

10)Penyelenggaraan keamanan, ketertiban dan kebersihan di kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan; dan

11)Pengelolaan urusan ketatausahaan.

Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya UPT PKPP dan PPI memiliki struktur organisasi. Sesuai dengan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 105 tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Dinas Kelautan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta, susunan organisasi UPT PKPP dan PPI terdiri dari (UPT PKPP dan PPI Muara Angke, 2008):

1) Kepala Unit;

2) Sub Bagian Tata Usaha;

3) Seksi Kepelabuhanan Perikanan; 4) Seksi Pelelangan Ikan;

5) Seksi Fasilitas Usaha;

6) Seksi Pemukiman Nelayan, Keamanan dan Ketertiban; dan 7) Sub Kelompok Jabatan Fungsional.


(42)

Struktur organisasi UPT PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur organisasi UPT PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta. Gambar 3 menunjukkan bahwa Kepala Unit merupakan kepala yang mengatur bagian-bagian dibawahnya seperti fasilitas, pelelangan ikan, kepelabuhanan, pemukiman dan keamanan. Masing-masing bagian ini dikepalai dan memiliki anggotanya sendiri. Bagian pelelangan ikan juga memiliki divisi sendiri sehingga dapat diketahui bahwa pelelangan ikan merupakan unsur penting dari suatu pengelolaan pelabuhan perikanan untuk menunjang kegiatan di dalamnya khususnya di PPI Muara Angke.

5.1.3 Kondisi dan potensi kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke

Saat ini kawasan Muara Angke telah banyak mengalami perkembangan dan secara eksisting telah dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan nelayan. Secara garis besar Muara Angke terbagi menjadi empat kawasan, yaitu:

1) Perumahan nelayan

Sejak tahun 1978, kompleks perumahan nelayan dibangun pada lahan seluas 21,16 ha dengan jumlah rumah sebanyak 1.728 unit. Sebanyak 1.128 unit pengelolanya sama dengan BTN maupun Perumnas yaitu dengan cara sewa/beli

Kepala Seksi Pelelangan Ikan Kepala Seksi Fasilitas Usaha Kepala Seksi Kepelabuhanan Kepala Seksi Pemukiman, Keamanan dan Ketertiban Kelompok Jabatan Fungsional Kepala Unit

Kepala Sub Bagian Tata Usaha Kepala Seksi Pelelangan Ikan Kepala Seksi Fasilitas Usaha Kepala Seksi Kepelabuhanan Kepala Seksi Pemukiman, Keamanan dan Ketertiban Kelompok Jabatan Fungsional Kepala Unit

Kepala Sub Bagian Tata Usaha


(43)

dengan jangka waktu antara 15-18 tahun, sedangkan sebanyak 600 unit berupa rumah susun disalurkan nelayan dengan cara sewa.

Di komplek perumahan nelayan tersebut telah dibangun pula fasilitas pendukung lainnya seperti:

(1) TK, SD dan SMP; (2) Mushola dan Masjid; (3) Puskesmas;

(4) Rumah sakit paru-paru; (5) Pasar Inpres;

(6) Berbagai fasilitas lainnya.

2) Pengolahan hasil perikanan tradisional (PHPT)

Pada tahun 1983 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membangun 201 unit pengolahan tadisional di atas lahan seluas ±5ha. Setiap unit pengolahan terdiri atas rumah kerja berlantai 2 ukuran 5×6 m dan tempat penjemuran ikan seluas 120 m² yang disalurkan dengan cara sewa yang besarnya sesuai peraturan daerah yang berlaku.

Jenis ikan yang diolah antara lain: ikan bilis, bloso, cucut, cumi-cumi, layang, pari, pepetek, tenggiri, tongkol dengan produksi rata-rata perhari sebanyak 30–40 ton. Hasil produksi para pengolah tersebut pada umumnya dipasarkan ke wilayah Jabodetabek. Jenis olahan dan jumlah pengolah ikan di PHPT tertera dalam Tabel 12 berikut:

Tabel 12 Jenis olahan dan jumlah pengolah di PHPT Muara Angke, 2008

No Jenis olahan Unit pengolahan

1 Ikan asin 189

2 Ikan pindang 1

3 Terasi 1

4 Kerupuk kulit pari 4

5 Pengolahan kulit pari 3

6 Pengolahan limbah ikan 3

Jumlah 201

Sumber: UPT PKPP dan PPI Muara Angke (2008)


(44)

3) Tambak uji coba air payau

Luas lahan tambak uji coba ±9,12 ha, pada lahan ini dilakukan kaji terap budidaya ikan bandeng dan mujair selain dipergunakan pula untuk kegiatan rekreasi pemancingan. Melalui tambak uji coba air payau tersebut pemerintah memberikan alternatif bagi para pengusaha untuk mempelajari teknik budidaya dan mereka dapat memanfaatkan pengetahuan yang diperolehnya guna membangun usaha budidaya di daerah lain yang memiliki sumberdaya alam yang menungkinkan bagi pengembangan usaha budidaya ikan air payau (UPT PKPP dan PPI Muara Angke, 2008).

4) Pangkalan Pendaratan Ikan

Kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke telah tersedia berbagai fasilitas baik yang dibangun oleh UPT PKPP dan PPI, instansi terkait maupun pihak swasta, sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Keputusan Menteri di Kelautan dan Perikanan Nomor 10 tahun 2004 tentang pelabuhan perikanan. Fasilitas yang telah tersedia/dibangun dimaksud yaitu sebagai berikut (UPT PKPP dan PPI Muara Angke, 2008):

(1) Tempat Pelelangan Ikan

Tempat pelelangan ikan (TPI) memiliki nilai yang strategis dalam upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan, karena di tempat ini pengelola pelelangan memberikan pelayanan lelang sehingga harga yang terjadi dalam proses lelang merupakan harga optimal yang dapat diperoleh nelayan.

Tempat pelelangan ikan dalam satu hari melayani sekitar 15 kapal dan sekitar 45 perahu yang membongkar hasil tangkapannya dengan produksi ikan yang masuk ke DKI Jakarta dalam satu hari mencapai rata-rata 100–125 ton. Tempat pelelangan ikan ini dikelola oleh Koperasi Mina Jaya beserta pihak UPT PKPP PPI Muara Angke.

(2) Pasar grosir

Pasar grosir merupakan salah satu mata rantai distribusi/pemasaran ikan yang berada di Muara Angke. Pasar grosir memiliki 870 lapak yang dimanfaatkan oleh 275 pedagang grosir. Aktivitas pasar grosir ini dilakukan pada malam hari dan ikan yang diperdagangkan selain dari hasil lelang di Muara Angke juga berasal dari luar daerah seperti: Tuban, Pekalongan, Tegal, Cilacap, dan


(45)

Lampung. Dalam satu malam perputaran perdagangan ikan di pasar grosir rata-rata mencapai 35 ton dan untuk meningkatkan pelayanan kepada pedagang dan pembeli ikan pada tahun 2007–2008 telah dibangun pasar grosir baru dengan 216 lapak.

(3) Pasar pengecer

Luas pasar pengecer 1.260 m² dengan jumlah lapak 150 buah dan dimanfaatkan oleh 148 orang pedagang pengecer. Pasar pengecer ini melayani kebutuhan konsumen dan para pengunjung yang akan menkonsumsi ikan bakar di pusat jajan serba ikan yang masih berada di kawasan Muara Angke. Omzet penjualan di pasar pengecer dalam satu minggu mencapai 500 kg/pedagang dan puncak keramaian penjualan biasanya terjadi pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu. (4) Pabrik es

Guna memenuhi kebutuhan nelayan, pedagang dan pengolah ikan, di kawasan Muara Angke telah tersedia 1 unit pabrik es dengan kapasitas 100.000 ton yang dibangun oleh PT AGB ICE pada tahun 2004.

(5) Cold storage

Ikan merupakan suatu produk yang cepat sekali mengalami penurunan kualitas apabila tidak ditangani dengan baik. Oleh karena itu, kegiatan penanganan ikan seharusnya dilakukan sejak penangkapan, pembongkaran, pengangkutan, distribusi dan pemasaran. Dalam menjaga proses penanganan ikan maka PPI Muara Angke telah menyediakan 1 unit cold storage dengan kapasitas 1.000 ton yang dibangun oleh PT AGB Tuna pada tahun 2003 di atas lahan seluas 3.000 m².

Pasokan ikan berasal dari nelayan Muara Angke, Palabuhanratu dan Muncar dengan jenis ikan yang disimpan adalah layur, bawal, cumi dan tenggiri dengan biaya penyewaan penitipan sebesar Rp.15,- per kg per hari. Namun melihat kapasitas cold storage tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan, maka UPT PKPP dan PPI sejak tahun 2007–2008 telah membangun 1 unit cold storage dengan kapasitas 900 ton.


(46)

(6) Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) /Stasiun Pengisisan Bahan Bakar (SPBB)

Fasilitas yang sangat dibutuhkan oleh nelayan untuk kegiatan operasional penangkapan adalah solar. Penyediaan kebutuhan bahar bakar minyak untuk kebutuhan kapal maupun kendaraan darat sejak tahun 1997 dilayani oleh stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dwi fungsi yang dibangun di atas lahan seluas 2.212 m².

Sejalan dengan kebijakan pemerintah pada tahun 2008 SPBU dwi fungsi dipecah menjadi SPBU untuk memenuhi kebutuhan kendaraan darat dan stasiun pengisian bahan bakar (SPBB) untuk melayani kebutuhan kapal perikanan. Selain itu tersedia juga 2 unit SPBB terapung yang dikelola oleh swasta.

(7) Tempat pengepakan ikan

Tempat pengepakan merupakan salah satu fasilitas yang disediakan oleh pemerintah di kawasan Muara Angke terutama untuk memenuhi kebutuhan ikan segar di supermarket dan kebutuhan pasar ekspor. Kawasan Muara Angke memiliki 30 unit gedung pengepakan dengan luas masing-masing 50–200 m², terdiri dari bangunan satu lantai dan dua lantai.

Produksi tempat pengepakan ini rata-rata per bulan mencapai 75 ton dengan negara tujuan ekspor yaitu Singapura, Malaysia dan Hongkong. Jenis ikan yang diekspor meliputi bawal, ekor kuning, kakap merah, kerapu, tenggiri dan lain-lain. Ikan sebagai bahan baku diperoleh dari Muara Angke sebanyak 40% dan dari luar daerah sebanyak 60%.

(8) Pusat jajan serba ikan

Pusat jajan serba ikan merupakan fasilitas kios ikan bakar yang dibangun pada tahun 1996 dengan jumlah kios sebanyak 24 buah masing-masing berukuran 5×17 m. Tujuan pembangunan pusat jajan serba ikan ini adalah untuk merangsang minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan dan menciptakan peluang pasar produk hasil perikanan khususnya jenis-jenis ikan yang lazim dikonsumsi.

(9) Instansi lain, fasilitas sosial dan fasilitas umum

Dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang berada di kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke terdapat pula instansi


(47)

pemerintah maupun kelembagaan serta fasilitas sosial dan fasilitas umum (UPT PKPP dan PPI Muara Angke, 2008).

Fasiltas fungsional yang dimiliki PPI Muara Angke sama halnya seperti di pelabuhan perikanan lainnya yaitu dibuat untuk memberikan pelayanan penggunanya dan memberikan kenyamanan serta kemudahan agar semakin banyak kegiatan perikanan yang dilakukan dan bertambahnya omset di daerah setempat.

5.1.4 Kondisi perikanan tangkap PPI Muara Angke 1) Armada penangkapan ikan di PPI Muara Angke

Armada penangkapan ikan di PPI Muara Angke dibagi menjadi 3 jenis yaitu perahu tanpa motor (PTM), perahu motor tempel (PMT) dan kapal motor. Armada penangkapan yang memiliki jumlah paling banyak di PPI Muara Angke adalah kapal motor. Kapal motor memiliki enam klasifikasi ukuran yang terbagi menjadi ukuran < 5 GT, 5-10 GT, 10-20 GT, 20-30 GT, 30-50 GT dan 50 GT ke atas.

Saat ini armada kapal perikanan yang ada di Muara Angke lebih didominasi oleh kapal motor yang berukuran antara 30 GT sampai di atas 50 GT. Perahu layar dan perahu motor tempel pada mulanya melakukan bongkar muat di PPI Muara Angke, tetapi saat ini kapal-kapal tersebut melakukan bongkar muat di daerah kali Adem. Pendaratan hasil tangkapan perahu nelayan kecil dan tradisional di sekitar kali Adem menyebabkan hasil penjualan hasil tangkapan nelayan tidak melalui proses lelang di TPI Muara Angke dan secara otomatis mengurangi pendapatan retribusi lelang. Kapal ikan di Muara Angke didominasi oleh kapal jaring cumi, gillnet, purse seine, jaring rampus, bubu dan pancing (Faubianny, 2008). Berikut jumlah armada penangkapan ikan di PPI Muara Angke (Tabel 13).


(48)

Tabel 13 Jumlah armada penangkapan ikan di PPI Muara Angke

Tahun Jumlah Armada Kapal

Motor

Motor tempel

Rata-rata Pertumbuhan

(%)

2006 3.045 2.988 57 -

2007 3.088 3.085 3 1,41

2008 2.263 2.263 - -26,72

2009 3.882 3.882 - 71,54

2010 3.792 3.792 - -2,32

Jumlah 16.070 16.010 60

Sumber: UPT PKPP dan PPI Muara Angke (2010) (data diolah kembali)

Armada jenis motor tempel masih terdapat di PPI Muara Angke pada tahun 2006-2007, sedangkan pada tahun setelah itu yaitu antara tahun 2008-2010 tidak terdapat lagi motor tempel yang melakukan bongkar muat di PPI Muara Angke. Sebaliknya jumlah kapal motor lebih mendominasi dan terus berfluktuasi tiap tahunnya. Peningkatan dan penurunan jumlah armada penangkapan ini dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Pertumbuhan jumlah armada penangkapan ikan di PPI Muara Angke. Gambar 4 menunjukkan bahwa jumlah armada penangkapan ikan mengalami peningkatan pada tahun 2007 dan 2009, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2008 dan 2010. Jumlah armada pada tahun 2010 berjumlah 3.792 unit yang mengalami penurunan sebesar 2,32% dari tahun sebelumnya dan


(1)

• Biaya penyelenggaraan pelelangan Tahun Biaya Lelang

(Rp)

Keamanan (Rp)

Pembinaan (Rp) 2006 304.032.504 35.768.529,85 53.652.794,77 2007 291.903.510 34.341.589,41 51.512.384,11 2008 246.269.903 28.972.929,81 43.459.394,72 2009 330.299.740 38.858.792,89 58.288.189,34 2010 372.482.176 43.821.432,43 65.732.148,64 • Dana sosial

Tahun Asuransi (Rp)

Paceklik (Rp)

Tabungan Nelayan dan Bakul (Rp)

2006 53.652.794,8 53.652.794,77 71.537.059,69 2007 51.512.384,1 51.512.384,11 68.683.178,81 2008 43.459.394,7 43.459.394,72 57.945.859,62 2009 58.288.189,3 58.288.189,34 77.717.585,78 2010 65.732.148,6 65.732.148,64 87.642.864,85 • Biaya administrasi dan kantor

Tahun Biaya Kantor TAL Pemeliharaan

2006 53.652.794,77 17.884.264,92 71.537.059,69 2007 51.512.384,11 17.170.794,7 68.683.178,81 2008 43.459.394,72 14.486.464,91 57.945.859,62 2009 58.288.189,34 19.429.396,45 77.717.585,78 2010 65.732.148,64 21.910.716,21 87.642.864,85


(2)

Lampiran 10 Validitas kepentingan agen Jumlah

responden

No Atribut

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

1 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 1 4 4 4 4 4 4 4 4

2 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 1 4 4 4 4 4 4 4 4

3 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3 4 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4

4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 5 4 4 3 2 4 4 4 4 4 4 4 4

5 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4

Jumlah x 20 20 20 20 20 20 16 20 20 21 18 20 19 9 20 20 20 20 20 20 20 20 Rata-rata 4 4 4 4 4 4 3,2 4 4 4,2 3,6 4 3,8 1,8 4 4 4 4 4 4 4 4 Lampiran 10 Lanjutan

No Atribut

Jumlah Y 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45

4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 177

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 176

4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 178

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 5 4 4 3 4 4 5 179

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 178

20 20 20 20 20 20 21 21 20 20 21 20 20 21 20 20 21 20 20 19 20 20 21 888 4 4 4 4 4 4 4,2 4,2 4 4 4,2 4 4 4,2 4 4 4,2 4 4 3,8 4 4 4,2


(3)

Lampiran 11 Validitas kinerja agen Jumlah

responden

No Atribut

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

1 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 1 4 4 4 4 4 4 4 4

2 4 4 4 3 4 4 4 2 4 4 3 4 1 1 4 4 4 4 4 4 4 4

3 3 3 3 3 3 4 4 3 4 3 3 4 4 2 3 4 3 3 4 4 4 4

4 3 3 4 3 4 4 4 3 4 3 2 4 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4

5 3 3 4 4 4 3 4 2 3 4 3 3 4 3 4 4 4 4 4 4 4 3

Jumlah X 17 17 19 17 19 19 20 14 19 17 14 19 17 9 19 20 19 19 20 20 20 19 Rata-Rata 3,4 3,4 3,8 3,4 3,8 3,8 4 2,8 3,8 3,4 2,8 3,8 3,4 1,8 3,8 4 3,8 3,8 4 4 4 4 Lampiran 11 Lanjutan

No Atribut Jumlah

y 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45

4 3 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 4 3 4 4 4 4 3 4 4 3 3 163

4 3 3 3 4 4 3 3 3 3 3 3 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 3 158

4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 4 3 3 4 4 4 4 4 156

4 3 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 164

4 4 3 4 4 4 4 3 3 3 3 3 4 4 3 3 3 4 4 4 4 4 3 160

20 17 18 19 20 18 17 16 15 15 15 15 19 17 16 19 18 19 19 20 20 19 17 801 4 3,4 3,6 3,8 4 3,6 3,4 3,2 3 3 3 3 3,8 3,4 3,2 3,8 3,6 3,8 3,8 4 4 3,8 3,4


(4)

Lampiran 12 Validitas kepentingan pedagang Jumlah

responden

No Atribut

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

1 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4

2 4 4 4 4 4 4 4 1 4 4 3 4 4 1 4 4 4 4 4 4 4 4

3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 1 4 4 4 4 4 4 4 4

5 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4

Jumlah X 20 20 20 20 20 20 20 16 20 20 18 20 19 9 20 20 20 20 20 20 20 20 Rata-rata 4 4 4 4 4 4 4 3,2 4 4 3,6 4 3,8 1,8 4 4 4 4 4 4 4 4 Lampiran 12 Lanjutan

No Atribut

Jumlah Y 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45

4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 180

4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 174

4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 178

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 3 4 4 5 5 178

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 178

20 20 20 20 20 21 21 20 20 21 20 20 21 20 20 21 20 20 19 20 20 21 21 888 4 4 4 4 4 4,2 4,2 4 4 4,2 4 4 4,2 4 4 4,2 4 4 3,8 4 4 4,2 4,2


(5)

Lampiran 13 Validitas kinerja pedagang Jumlah

responden

No Atribut

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

1 3 3 3 4 4 4 4 3 4 3 2 4 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4

2 4 4 4 3 4 3 4 2 3 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3

3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

4 3 4 3 4 4 4 4 3 4 3 2 4 4 1 4 4 4 4 4 4 4 4

5 4 4 3 3 3 3 4 2 3 4 3 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 3

Jumlah x 18 19 17 18 19 18 20 14 18 17 13 20 19 14 20 20 20 20 20 20 20 18 Rata-rata 3,6 3,8 3,4 3,6 3,8 3,6 4 2,8 3,6 3,4 2,6 4 3,8 2,8 4 4 4 4 4 4 4 3,6 Lampiran 13 Lanjutan

No Atribut

Jumlah y 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45

4 3 3 4 4 3 4 4 3 3 3 3 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 162

4 3 4 4 4 3 4 4 3 3 3 3 4 4 3 4 3 4 4 4 4 4 3 164

4 4 3 4 4 4 3 4 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 172

4 3 3 4 3 3 4 4 3 3 3 3 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 161

3 4 4 3 4 4 4 3 3 3 3 3 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 3 159

19 17 17 19 19 17 19 19 15 15 15 15 20 18 17 19 18 20 20 20 20 20 18 818 3,8 3,4 3,4 3,8 3,8 3,4 3,8 3,8 3 3 3 3 4 3,6 3,4 3,8 3,6 4 4 4 4 4 4


(6)