Pengertian Gratifikasi Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

2. Pengertian Gratifikasi

Gratifikasi sesungguhnya merupakan delik korupsi yang unik. Tidak seperti lazimnya delik, gratifikasi mensyaratkan unsur tenggat waktu untuk ‘sempurna’ disebut sebagai delik. Pasal gratifikasi memang lebih didasari oleh semangat pengembalian uang negara yang telah dikorupsi ketimbang menjebloskan pelakunya ke sel penjara. Sayang, semangat mengembalikan uang negara sepertinya terlalu besar sehingga rumusannya tidak jelas. Akibatnya, implementasinya juga tidak optimal seperti yang terjadi sekarang. Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk tanda kasih tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan. 22 1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan: Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut: a. Yang nilainya Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih pembuktiannya bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; 22 http:www.kesad.mil.idindex.php?option=com_contentview=articleid=170:gratifik asicatid=52:umum , 18 April 2010, pkl 16:28 WIB Universitas Sumatera Utara b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum: 2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah pidana penjara seumur hidupatau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. 23 Sementara yang dimaksud dengan gratifikasi kepada pegawai negeri telah dijelaskan dalam penjelasan pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan “yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat discount, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. 24 23 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing, 2005, hlm: 259-260. 24 Darwan Prinst op.cit ,hlm: 57. Dengan adanya penjelasan ini, memang lebih jelas dan lebih terang dan hal ini berarti lebih menjamin kepastian hukum dari pada tidak dijelaskan sama sekali. Dari penjelasan pasal 12B ayat 1 ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 1. Bahwa ternyata pengertian gratifikasi ini sama dengan pengertian suap pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa penerimaan dari pemberian-pemberian dalam arti luas yang terdiri atas benda, jasa, fasilitas, dan sebagainya. 2. Karena berupa penyuapan pasif, berarti tidak termasuk pengertian suap aktif, maksudnya tidak bisa mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan pidana dengan menjatuhkan pidana pada pemberi grastifikasi menurut Pasal 12B ini. 3. Dengan demikian, luasnya pengertian gratifikasi ini seperti yang diterangkan dan dijelaskan dalam penjelasan mengenai Pasal 12B ayat 1 ini, tidak bisa tidak bahwa tindak pidana korupsi gratifikasi ini menjadi tumpang tindih dengan pengertian tindak pidana suap pasif pada Pasal 5 ayat 2, Pasal 6 ayat 2, dan Pasal 12 huruf a, b, dan c. 25 Berdasarkan ketentuan Pasal 12 B ayat 1, menurut Barda Nawawi Arief, diketahui 6 hal berikut. 26 25 Adami chazawi, op.cit, hlm: 261-262. a. Gratifikasi dirumuskan sebagai unsur delik, yang pengertiannya dirumuskan dalam penjelasan Pasal 12 B ayat 1, yaitu suatu pemberian dalam arti luas yang meliputi: 1 pemberian uang, barang, rabat discount, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma- cuma, dan fasilitas lainnya; 26 http:fh.wisnuwardhana.ac.idindex.php?option=com_contenttask=viewid=16Ite mid=1,02 September 2010, pkl 21.24 WIB Universitas Sumatera Utara 2 pemberian itu diterima di dalam maupun di luar negeri; 3 pemberian itu dilakukan dengan atau tanpa sarana elektronik. b. Dilihat dari perumusannya, gratifikasi bukan merupakan jenis maupun kualifikasi delik, yang dijadikan tindak pidana menurut Pasal 12 B ayat 2, bukan gratifikasi-nya, melainkan perbuatan menerima gratifikasi. c. Pasal 12 B ayat 1 tidak merumuskan tindak pidana gratifikasi, tetapi hanya memuat ketentuan mengenai: 1 batasan pengertian gratifikasi yang dianggap sebagai pemberian suap; dan 2 jenis-jenis gratifikasi yang dianggap sebagai pemberian suap. Tindakan yang dianggap sebagai pemberian suap, yaitu apabila gratifikasi pemberian diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara; dan berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Berdasarkan ketentuan tentang gratifikasi diketahui bahwa ada 2 dua jenis gratifikasi, yaitu: a. gratifikasi yang bernilai Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih; dan b. gratifikasi yang bernilai kurang dari Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah. d. Pasal 12 B ayat 2 menentukan ancaman pidana bagi penerima gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, yaitu 1 pidana seumur hidup, atau Universitas Sumatera Utara 2 pidana penjara dalam waktu tertentu, paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan 3 pidana denda minimal Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah clan maksimal Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. e. Dengan perumusan Pasal 12 B ayat 2 itu. maka tidak ada perbedaan ancaman pidana bagi penerima gratifikasi jenis pertama besarnya Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih dan penerima gratifikasi jenis ke dua besarnya di bawah Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah. Jadi, tidak ada perbedaan substantif. Yang ada hanya perbedaan prosesual, yaitu berdasarkan Pasal 12 B ayat 1: 1 Untuk gratifikasi pertama, beban pembuktian bahwa gratifikasi itu bukan suap pada penerima; 2 Untuk gratifikasi kedua, beban pembuktian bahwa gratifikasi itu merupakan suap pada penuntut umum PU. f. Logika pembuat undang-undang dalam menentukan Pasal 12 B ayat 2 untuk tidak membedakan ancaman pidana terhadap gratifikasi jenis ke-1 dan ke-2, tidak konsisten dengan logika yang tertuang daiam Pasal 12 A yang membedakan ancaman pidana untuk Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 sebagai berikut: 1 Yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 lima juta rupiah, diancam pidana penjara maksimal 3 tiga tahun tidak ada minimalnya dan denda maksimal Rp 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah tidak ada minimalnya; lihat Pasal 12 A ayat 2. Universitas Sumatera Utara 2 Yang nilainya Rp 5.000.000,00 lima juta rupiah atau lebih, berlaku ketentuan pidana dalam pasal yang bersangkutan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12; lihat Pasal 12 A ayat 1. Berarti untuk Tindak Pidana Korupsi ke-2 ini dapat dikenakan pidana minimal dalam pasal yang bersangkutan.

3. Peranan Badan Usaha Milik Negara Sebagai Penyelenggara Kepentingan Umum

Dokumen yang terkait

GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 3 18

GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 4 15

PENEGAKAN...HUKUM....PIDANA…TERHADAP ..TINDAK.. .PIDANA GRATIFIKASI. MENURUT. UNDANG.UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG .UNDANG .NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 21

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

1 34 229

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 8

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 1

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 1 28

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 36

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 3

Pembuktian Terbalik Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 14