Larangan Gratifikasi Dalam Rangka Good Corporate Governance Di BUMN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Studi pada PT.Perkebunan Nusantara III)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Ambadar, Jackie, Corporate Social Responsibility Dalam Praktik Di Indonesia, Jakarta, Gramedia: 2008.

Anoraga, Pandji, BUMN,Swasta dan Koperasi, Jakarta, PT Dunia Pustaka Jaya: 1995.

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum Dan HAM, Pengkajian Masalah Hukum Penanggulangan Tindak pidana Korupsi, Jakarta: 2002.

Chazawi, Adami, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Alumni: 2006

---, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang , Bayu Media: 2003.

Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2005.

Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika: 2005.

Klitgaard, Robert, Controlling Corruption, Berkeley, University of California Press: 1988.

Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis,Praktik dan Masalahnya, ,Bandung, Alumni: 2007.


(2)

Sudharmono, Johny, Good Governed Company Panduan Praktis bagi BUMN untuk menjadi G2C dan Pengelolaannya Berdasarkan Suara Hati, Jakarta, PT. Elex Media Komputindo: 2004.

Sutojo, Siswanto & E Jhon Aldridge, Good Corporate Governance, Jakarta, PT. Damar Mulia Pustaka: 2005.

Situmorang, Victor M, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Jakarta, Rineka Cipta: 2005.

Tunggal, Amin Widjaja, Corporate Governance Suatu Pengantar, Jakarta, Harvarindo: 2007.

Amin Widjaja Tunggal, Tata Kelola Perusahaan Teori dan Kasus, Jakarta, Harvarindo: 2008.

Tangkilisan, Hassel Nogi S., Mengelola Kredit Berbasis Good Corporate Governance, Yogyakarta, Balairung&Co: 2003.

World Bank, Memerangi Korupsi di Indonesia Memperkuat Akuntabilitas Untuk Kemajuan, Jakarta, World Bank Office: 2003.

Wiyono, R., Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika: 2005.

R. Wiyono, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Bandung, Alumni: 1986.

Wibisono, Yusuf, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility, Jakarta, Fascho Publishing: 2007.


(3)

UNDANG-UNDANG:

Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Fokusmedia: 2008.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

INTERNET:

&id=1085&itemid=43, Jakarta, HukumHam


(4)

Majalah dan Jurnal :


(5)

g. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan.

h. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja. i. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya

keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya.75

Seluruh pemberian tersebut diatas, dapat dikategorikan sebagai gratifikasi, apabila ada hubungan kerja atau kedinasan antara pemberi dengan pejabat yang menerima, dan/atau semata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabat tersebut.

BAB III

KAITAN ANTARA PELARANGAN GRATIFIKASI

TERHADAP PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE

DALAM BADAN USAHA MILIK NEGARA

A. Latar Belakang, Konsep, Definisi dan Prinsip-Prinsip Dasar Good Corporate Governance Dalam Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara


(6)

1. Latar Belakang

Dalam suatu negara, korporasi memegang suatu peranan sentral dalam sistem perekonomian. Korporasi menjalankan fungsi-fungsi produksi dan distribusi barang dan jasa. Korporasi juga memegang peranan penting karena terlibat secara langsung dalam proses alokasi sumber daya alam yang bersifat ekonomis bagi masyarakat. Peranan ini sangat penting mengingat keberadaan sumber daya yang bersifat ekonomis sangat terbatas dan oleh karenanya harus dapat dialokasikan seoptimal mungkin.

Pada dasarnya korporasi atau perusahaan didirikan oleh pemilik dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan (profit motive) dan tujuan-tujuan lain yang diinginkan pemilik, termasuk sustainable profit. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mayoritas atau bahkan seratus persen sahamnya dimiliki pemerintah diharapkan mampu menjadi penggerak (powerhouse) perekonomian Indonesia dan sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara sederhana, BUMN diharapkan mampu memberikan kontribusi berharga bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).76

Namun dalam aktivitasnya, korporasi atau BUMN tidak terlepas dari masalah-masalah, baik secara internal maupun eksternal. Rendahnya penerapan Good Corporate Governance biasanya menjadi salah satu masalah yang kerap muncul. Masalah lain yang juga acap kali terjadi adalah adanya praktik korupsi di dalam tubuh BUMN atau korporasi, yang bukan hanya

76


(7)

menyerang dan menimbulkan kekacauan pada daya tahan perusahaan, tetapi juga membuat daya tahan perekonomian Indonesia ambruk.

Maraknya praktik korupsi di BUMN disebabkan oleh beberapa hal. Lingkungan bisnis yang memungkinkan untuk melakukan, rendahnya regulasi dan pengawasan, minimnya edukasi dan tingkat moral pada pegawai BUMN, menjadi pemicu maraknya praktik korupsi di BUMN.

Dengan demikian, praktik korupsi sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG), sehingga diperlukan regulasi yang jelas, baik dari sisi internal perusahaan (soft law) maupun dari pemerintah yang melarang adanya praktik korupsi di dalam korporasi ataupun BUMN.

2. Definisi dan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance

Pertama kali, Istilah corporate goverance diperkenalkan oleh Cadbury Committee tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadburry Report. Laporan ini dipandang sebagai titik balik (turning point) yang menentukan praktik Corporate Gorvernance di seluruh dunia77. Cadbury Committee mendefinisikan corporate governance sebagai: “ A set of rules that define the relationship between shareholder, managers, creditors, the government, employees and other internal and external stakeholders in respect to their rights and responsibilities”78

The Organization for Economic Corporation and Development (OECD), mendefinisikan corporate governance sebagai berikut: “ Corporate

77

Siswanto Sutojo & E Jhon Aldridge, Op.cit, hlm: 4.

78


(8)

governance is the system by which business corporations are directed and control. The corporate governance structure specifies the distributian of right and responsibilities among different participant in the corporattion, such as the board, the managers, shareholders and other staheholder, and spells out the rule and procedure for making decision on corprate affairs. By doing this, it also provides the structure through which the company objectives are set,and the means of attaining those objectives and monitoring performance”79

Sedangkan menurut Bank Dunia, yang dimaksud dengan Corporate Governance ialah kumpulan hukum, peraturan dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan.80

Menurut Ernst & Young, Corporate Governance consists of an inter-relatedset of mechanisms comprising institutional shareholders,boards of directors and commissioners, managers remunerate according to performance, the market for corporate control, ownership structure, financial structure, relational investors, and product market competition. A company’s management of its business risks if of crucial importance ( corporate governance terdiri atas sekumpulan mekanisme yang saling berkaitan yang terdiri dari pemegang saham institusional, dewan direksi dan komisaris, para manager yang dibayarkan berdasarkan kinerjanya, pasar sebagai pengendali perseroan, struktur kepemilikan, struktur keuangan, investor terkait dan persaingan produk. Manajemen perusahaan terhadap risiko bisnis merupakan hal yang sangat penting)81

Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mendefinisikan Corporate Governance sebagai: “…seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang, pengurus (pengendali) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Tujuan

79

OECD dalam Siswanto Sutojo & E Jhon Aldridge, Good Corporate Governance,

(Jakarta : PT. Damar Mulia Pustaka, 2005), hlm:2.

80

Bank Dunia dalam Amin Widjaja Tunggal, Tata Kelola Perusahaan Teori dan Kasus,

(Jakarta : Harvarindo, 2008), hlm: 4

81


(9)

Corporate Governance ialah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).”82

1. Landasan hukum yang diperlukan untuk menjamin penerapan good corporate governance secara efektif (ensuring the basis for an effective corporate governance framework),

Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance

Dalam konteks tumbuhnya kesadaran akan arti penting Corporate Governance ini, Organization for Economic Corporation and Development (OECD) telah mengembangkan seperangkat prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang mencakup :

2. Hak pemegang saham dan fungsi pokok kepemilikan perusahaan (the rights of shareholders and key ownership functions),

3. Perlakuan yang adil terhadap para pemegang saham (the equitable treatment of shareholders),

4. Peranan the stakeholders dalam corporate governance (the role of stakeholders in corporate governance),

5. Prinsip pengungkapan informasi perusahaan secara transparan (disclosure and transparency), dan

6. Tanggung jawab Dewan Pengurus (the responsibilities of the Board)83

Seiring dengan itu, pemerintah Republik Indonesia melalui Kantor Kementrian BUMN telah mengeluarkan berbagai keputusan yang mewajibkan BUMN-BUMN menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance,

82


(10)

misalnya Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tentang penerapan praktik Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dimana di dalamnya juga dijabarkan prinsip-prinsip good corporate governance yang sejalan dengan prinsip-prinsip yang dirumuskan oleh OECD yaitu:

1. Transparansi, yaitu keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.

2. Kemandirian, yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

3. Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.

4. Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi.

5. Kewajaran (Fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.84

Kelima prinsip Corporate Governance OECD di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:85

84


(11)

1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham.

Kerangka kerja corporate governance harus dapat melindungi hak-hak pemegang saham :

a. Hak-hak pemegang saham mencakup :

1)Metode yang aman dalam pencatatan kepemilikan (ownership registration);

2) Mengalihkan (convey) atau pemindahan saham;

3)Memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan pada waktu yang tepat dan berkala;

4)Berpartisipasi dan memberi suara dalam rapat umum pemegang saham;

5) Memilih anggota dewan komisaris (board of directors); 6) Mendapatkan pembagian laba perusahaan.

b.Pemegang saham mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam, dan secara memadai diberi informasi tentang keputusan yang berkaitan dengan perubahan perusahaan yang fundamental, seperti :

1)Perubahan anggaran dasar (statute atau articles of incorporation) atau dokumen sejenis dari perusahaan;

2) Otoritas tambahan saham; dan

3) Transaksi-transaksi yang luar biasa sebagai akibat dari penjualan perusahaan.

c.Pemegang saham harus mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi secara efektif dan member suara dalam rapat umum

85


(12)

pemegang saham (general shareholder meetings) dan harus diberi informasi tentang aturan-aturan, mencakup prosedur pemberian suara, yang mempengaruhi rapat umum pemegang saham, yaitu :

1)Para pemegang saham harus dilengkapi dengan informasi yang memadai dan tepat waktu yang berkaitan dengan tanggal, tempat, dan agenda rapat umum, dan juga informasi yang lengkap dan tepat waktu tentang masalah-masalah yang akan diputuskan dalam rapat;

2)Peluang harus diberikan kepada pemegang saham untuk menanyakan tentang dewan komisaris dan mencantumkan hal-hal dalam agenda rapat umum, dengan bergantung pada pembatasan-pembatasan yang masuk akal;

3)Pemegang suara harus dapat member suara secara pribadi atau in absentia, dan pengaruh yang sama harus diberikan terhadap suara apakah dilakukan secara pribadi atau in absentia.

d.Struktur modal yang memungkinkan pemegang saham tertentu untuk memperoleh suatu tingkat pengendalian yang tidak seimbang atau sepadan dengan kepemilikan ekuitas mereka harus diungkapkan.

e.Markets for corporate control harus dapat berfungsi dalam keadaan yang efisien dan transparan.

1)Aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang mempengaruhi akuisisi tentang pengendalian korporat dalam pasar modal,


(13)

dan transaksi-transaksi yang luar biasa seperti merger,dan penjualan porsi yang substansial dari aktiva korporat, harus secara jelas diungkapkan agar investor memahami hak mereka. Transaksi harus terjadi pada harga yang transparan dan di bawah kondisi yang wajar dan melindungi hak dari seluruh pemegang saham sesuai dengan kelompoknya; 2)Alat-alat yang anti pengambilalihan seharusnya tidak

digunakan untuk melindungi manajemen dari akuntabilitas/tanggungjawab.

f. Pemegang saham, termasuk investor kelembagaan, harus mempertimbangkan biaya dan manfaat untuk melaksanakan hak pemberian suara (voting rights).

2. Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham.

Kerangka kerja corporate governance harus memastikan perlakuan yang sama (equitable treatment) terhadap seluruh pemegang saham, mencakup pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing. Semua pemegang saham harus mempunyai kesempatan untuk memperoleh ganti rugi pelanggan (redress for violation) yang efektif atas hak-hak mereka :

a.Semua pemegang saham dari kelompok yang sama harus diperlakukan secara sama rata/adil :

1)Dalam setiap kelompok, semua pemegang saham harus mempunyai hak pemberian suara yang sama. Semua investor dapat memperoleh informasi tentang hak


(14)

pemberian suara yang melekat pada seluruh kelompok saham sebelum saham tersebut dibeli;

2)Suara harus diberikan Kustodian atau nominess dalam suatu keadaan sesuai dengan manfaat pemilik saham;

3)Proses dan prosedur untuk rapat pemegang saham harus memungkinkan perlakuan yang sama bagi seluruh pemegang saham. Prosedur perusahaan seharusnya tidak mengakibatkan terlalu sulit atau mahal untuk memberikan suara.

b.Praktik-praktik insider trading dan self dealing yang bersifat penyalahgunaan harus dilarang.

c.Anggota Dewan Komisaris (board of directors) dan manajer disyaratkan untuk mengungkapkan setiap kepentingan yang material dalam transaksi-transaksi atau hal-hal yang mempengaruhi perusahaan.

3. Peranan stakeholders dalam corporate governance.

Kerangka kerja corporate governance harus mengakui hak-hak stakeholders seperti yang ditetapkan hukum dan mendorong kerjasama yang aktif antara perusahaan dan stakeholders dalam menciptakan kemakmuran (creating wealth), pekerjaan dan kelangsungan dari perusahaan yang sehat secara finansial sehat :

a.Kerangka kerja corporate governance harus memastikan hak-hak stakeholders yang dilindungi hukum dihargai.


(15)

b.Apabila kepentingan stakeholders dilindungi oleh hukum, maka stakeholder harus mempunyai kesempatan untuk memperoleh ganti rugi pelanggaran yang efektif dari hak-hak mereka.

c.Kerangka kerja corporate governance memperbolehkan mekanisme penguatan kinerja (performance-enchancing mechanism) untuk partisipasi stakeholders.

d.Apabila stakeholders berpartisipasi dalam proses corporate governance, maka mereka harus mempunyai akses terhadap informasi yang releven.

4. Keterbukaan dan transparansi.

Kerangka kerja corporate governance harus memastikan bahwa pengungkapan yang tepat waktu dan akurat dilakukan terhadap semua hal yang material berkaitan dengan perusahaan, mencakup situasi keuangan, kinerja, kepemilikan dan tata kelola perusahaan.

a.Pengungkapan mencakup, akan tetapi terbatas pada, informasi yang material:

1) Hasil keuangan dan operasi perusahaan. 2) Tujuan perusahaan.

3) Kepemilikan saham utama dan hak-hak pemberian suara. 4) Anggota Dewan komisaris (board of directors) dan

eksekutif kunci dan remunerasi mereka.

5) Faktor-faktor risiko material yang dapat diperkirakan. 6) Isu material yang berkaitan dengan pekerja dan


(16)

7) Struktur dan kebijakan tata kelola.

b.Informasi harus disiapkan, diaudit, dan diungkapkan sesuai dengan standar akuntansi, pengungkapan keuangan dan non-keuangan, dan audit yang bermutu tinggi.

c.Audit tahunan harus dilaksanakan oleh auditor independen agar memberi keyakinan eksternal dan obyektif atas cara laporan keuangan disusun dan disajikan.

d.Saluran penyebaran informasi harus memberikan akses yang wajar, tepat waktu dan efisien biaya terhadap informasi yang relevan untuk pemakai.

5. Akuntabilitas dewan komisaris.

Kerangka corporate governance harus memastikan pedoman strategis perusahaan, pemonitoran manajemen yang efektif oleh dewan komisaris, dan akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham.

a.Anggota dewan komisaris bertindak dengan dasar informasi yang lengkap, itikad baik, penelitian yang cermat dan hati-hati, dan kepentingan yang paling baik bagi perusahaan dan pemegang saham.

b.Apabila keputusan dewan komisaris dapat mempengaruhi kelompok pemegang saham yang berbeda dengan cara yang berbeda, dewan komisaris harus memperlakukan semua pemegang saham secara layak.


(17)

c.Dewan komisaris harus memastikan ketaatan terhadap hukum yang berlaku dan mempertimbangkan kepentingan stakeholders.

d.Dewan komisaris harus memenuhi fungsi-fungsi kunci tertentu, mencakup :

1)Menelaah dan mengarahkan strategi korporat, rencana tindakan utama, kebijakan risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha, menetapkan sasaran kinerja, memonitor implementasi dan kinerja korporat, dan mengawasi pengeluaran modal yang pokok, akuisisi dan divestures. 2)Memilih, memberi kompensasi, memonitor dan, bila perlu,

mengganti eksekutif kunci dan mengawasi perencanaan suksesi (succession planning).

3)Menelaah eksekutif kunci dan remunerasi dewan komisaris, dan memastikan suatu proses nominasi dewan komisaris yang formil dan transparan.

4)Memonitor dan mengelola benturan kepentingan yang potensial dari manajemen, anggota dewan komisaris dan pemegang saham, mencakup penyalahgunaan aktiva korporat dan penyalahgunaan dalam transaksi-transaksi pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related party transactions).

5)Meyakini integritas akuntasi dan sistem pelaporan keuangan perusahaan, mencakup audit independen dan sistem pengendalian yang tepat berjalan, khususnya sistem


(18)

pemonitoran risiko, pengendalian keuangan, dan ketaatan terhadap hukum.

6)Memonitor efektifitas praktik-praktik tata kelola yang beroperasi dan melakukan perubahan-perubahan bila perlu. 7) Mengawasi proses pengungkapan dan komunikasi.

e.Dewan komisaris harus dapat melaksanakan pertimbangan yang obyektif tentang urusan korporat secara independen, khususnya terhadap manajemen.

1)Dewan komisaris harus mempertimbangkan menugaskan sejumlah dewan komisaris non-eksekutif yang memadai untuk melakukan pertimbangan yang independen tentang tugas-tugas dimana terdapat suatu potensial benturan kepentingan. Contoh dari tanggung jawab penting demikian adalah pelaporan keuangan, nominasi dan remunerasi eksekutif dan dewan komisaris.

2)Anggota dewan komisaris harus mencurahkan waktu yang memadai terhadap tanggungjawab mereka.

f. Agar dapat memenuhi tanggungjawab mereka, anggota dewan komisaris harus mempunyai akses terhadap informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu.

B. Dasar Hukum Penerapan Prinsip Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik Negara di Indonesia


(19)

Dalam praktiknya di masa lalu, banyak korporasi ataupun BUMN yang masih berfokus pada mencari profit dengan cara-cara yang tidak dapat dapat dianggap sehat. Tingkat moral para pelaku usaha berada pada titik yang amat rendah demi mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya yang mendorong terjadinya praktik bad corporate governance termasuk di dalamnya korupsi,kolusi dan nepotisme. Hal inilah yang pada kemudian hari menjadi alasan runtuhnya banyak korporasi dan BUMN-BUMN pada masa krisis ekonomi 1998.

Dengan demikian tidak ada pilihan lain bahwa korporasi-korporasi di Indonesia baik perusahaan publik maupun perusahaan-perusahaan terbukadi pasar modal harus mulai melihat good corporate governance bukan sebagai aksesoris belaka, tetapi suatu sistem nilai dan best practices yang sangat fundamental bagi peningkatan modal perusahaan dan menuntut pendekatan holistik dalam penerapannya.86

Penerapan good corporate governance (GCG) dapat didorong dari tiga sisi, yaitu etika, pasar dan peraturan. Dorongan dari etika (ethical driven) datang dari kesadaran individu-individu pelaku bisnis untuk menjalankan praktik bisnis yang mengutaman kelangsungan hidup perusahaan, kepentingan stakeholders, dan menghindari cara-cara menciptakan keuntungan sesaat. Di sisi lain, dorongan dari peraturan (regulatory driven) “memaksa” perusahaan untuk patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang ketiga ialah berupa market driven, dimana lebih menekankan pada kinerja pasar, dimana masyarakat dan investor menilai


(20)

sebuah perusahaan dari kinerja (performance), jika ada dorongan pasar (market driven) maka akan terbentuk sebuah sistem di pasar yang secara otomatis akan memberikan penghargaan dan penilaian yang lebih tinggi pada perusahaan yang terbukti menerapkan GCG dan memiliki kinerja baik, juga menghukum mereka yang tidak, dengan terefleksikan pada penurunan harga saham perusahaan, atau penurunan kepercayaan investor dan masyarakat internasional kepada suatu negara.87

Pada tahun 1999, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menko Ekuin Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999 telah mengeluarkan Pedoman Good Corporate Governance (GCG) yang pertama. Pedoman tersebut telah beberapa kali disempurnakan, terakhir pada tahun 2001. Yang menjadi dasar hukum penerapan good corporate governance dalam BUMN ialah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri BUMN No.23 Tahun 2000, tanggal 31 Mei 2000, tentang Pengembangan Praktik Good Corporate Governance Perusahaan Perseroan yang kemudian disempurnakan melalui Surat Keputusan Menteri BUMN No Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan praktik GCG pada BUMN, dimana dalam Pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa BUMN wajib menerapkan GCG secara konsisten dan atau menjadikan GCG sebagai landasan operasional. Ini berarti khusus BUMN

87


(21)

merupakan kewajiban dan BUMN dijadikan contoh dalam penerapan GCG di Indonesia.88

Dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut, diharapkan pelaksaaan GCG di BUMN dapat terlaksana dengan baik. Namun ternyata peraturan-peraturan tersebut dirasa belum cukup oleh sebagian pihak akan pengelolaan BUMN. Mereka menilai prinsip good corporate governance dalam beberapa kasus diabaikan oleh manajemen. Sehingga pada tanggal 19 Juni 2003 di sahkan UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. Peraturan ini diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang kuat bagi pelaksanaan restrukturisasi, privatisasi, penerapan GCG serta korporatisasi di BUMN. Karena Apabila berbicara mengenai good corporate governance, sudah sewajarnya BUMN sebagai satu motor utama penggerak perekonomian lebih meningkatkan profesionalisme melalui penerapan prinsip transparansi, kewajaran, kemandirian dan akuntabilitas. Agar tidak terjadi kesalahpahaman, semua pihak perlu kiranya memahami karakteristik UU BUMN, yaitu bahwa UU BUMN bersifat komplementer/melengkapi terhadap UUPT serta hanya mengatur sistem pengelolaan dan pengawasan serta restrukturisasi dan privatisasi. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa pengaturan mengenai Persero mengacu kepada UUPT serta UU BUMN tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang sektoral.89

Dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN ini terdapat ketentuan untuk menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance

88

Ibid, hlm: 206.


(22)

yaitu pada Pasal 5 ayat (3) : “Dalam melaksanakan tugasnya, anggota Direksi harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.”90

1. melaksanakan reformasi dalam ruang lingkup budaya kerja, strategi dan pengelolaan usaha untuk mewujudkan profesionalisme dengan berlandaskan kepada prinsip-prinsip good corporate governance di dalam pengelolaan BUMN.

Selain itu juga telah dikeluarkan Keputusan Menteri BUMN No. 103 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komite Audit.

Badan Pengawas Pasar Modal melalui Surat Edarannya No. SE-03/PM/2000 telah merekomendasikan pada perusahaan publik untuk memiliki Komite Audit.

Khusus untuk perbankan, termasuk juga bank BUMN, Bank Indonesia juga telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum.

Dalam Road Map Reformasi BUMN, terdapat visi dan misi dari Kementrian BUMN yang dirumuskan dalam Master Plan BUMN tahun 2002-2006 adalah “ Menjadikan BUMN sebagai badan usaha yang tangguh dalam persaingan global dan mampu memenuhi harapan stakeholders.”

Sedangkan misinya adalah :

90


(23)

2. Meningkatkan nilai perusahaan melalui restrukturisasi, privatisasi dan kerjasama usaha antar BUMN berdasarkan prinsip-prinsip bisnis yang sehat.

3. Meningkatkan daya saing melalui inovasi dan peningkatan efisiensi untuk dapat menyediakan produk barang dan jasa yang berkualitas dengan harga yang kompetitif serta pelayanan yang bermutu tinggi.

4. Meningkatkan kontribusi BUMN kepada negara.

5. Meningkatkan peran BUMN dalam kepedulian terhadap lingkungan (community development) dan pembinaan koperasi, usaha kecil dan menengah dalam program kemitraan.91

C. Gratifikasi Sebagai Pemicu Konflik Kepentingan ( Conflict of Interest ) Dalam Perusahaan (BUMN)

Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, gratifikasi dapat bersifat positif maupun negatif. Dalam arti positif, gratifikasi merupakan suatu pemberian yang bersifat tulus tanpa didasari adanya keinginan untuk mendapatkan balasan. Namun, dalam arti negatif, gratifikasi merupakan suatu pemberian yang didasari pada suatu balas jasa pada suatu waktu dimasa yang akan datang, atau dengan kata lain pemberian yang menanamkan budi buruk bagi si penerima, apalagi diketahui bahwa sipenerima adalah orang yang mempunyai posisi strategis dalam pengambilan kebijakan dari suatu lembaga


(24)

pemerintah ataupun korporasi. Sehingga dengan adanya gratifikasi tersebut, dapat diperoleh suatu kesempatan untuk melakukan kegiatan memperkaya diri sendiri ataupun korporasi dengan cara melawan hukum. Pemberian gratifikasi, biasanya dilakukan karena adanya interaksi kepentingan antara si pemberi terhadap si penerima.

Akibat dari pemberian dari gratifikasi bagi sipenerima adalah dengan munculnya konflik kepentingan. Konflik kepentingan adalah situasi dimana seorang penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.

Istilah konflik ini secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama, dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.92

De Dreu dan Gelfand menyatakan bahwa conflict as a process that begins when an individual or group perceives differences and opposition between itself and another individual or group about interests and resources, beliefs, values, or practices that matter to. Dari definisi tersebut tampak

92


(25)

bahwa konflik merupakan proses yang mulai ketika individu atau kelompok mempersepsi terjadinya perbedaan atau opisisi antara dirinya dengan individu atau kelompok lain mengenai minat dan sumber daya, keyakinan, nilai atau paktik-praktik lainnya. Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu hasil persepsi individu ataupun kelompok yang masing-masing kelompok merasa berbeda dan perdebaan ini menyebabkan adanya pertentangan dalam ide ataupun kepentingan, sehingga perbedaan ini menyebabkan terhambatnya keinginan atau tujuan pihak individu atau kelompok lain.93

Konsep dan definisi konflik kepentingan menurut OECD (2003) adalah “a conflict between the public duty and private interests of a public official, in which the public official’s private-capacity interests could improperly influence the performance of their official duties and responsibilities”.

94

Konsep konflik kepentingan dalam sistem hukum administrasi dan hukum pidana di Indonesia belum berakar. Bahkan sejarah pemerintahan Indonesia membuktikan bahwa praktik konflik kepentingan merupakan suatu hal yang biasa. Misalnya saja seorang Direktur Jenderal Departemen Keuangan dapat merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.

Agustus 2010, pkl 17.32 WIB

94


(26)

Demikian pula kajian mengenai konflik kepentingan dan dampaknya terhadap tindak pidana korupsi juga masih sangat miskin. Padahal, berdasarkan UU No 7 Tahun 2006, Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention Anti-Corruption (UNCAC) yang salah satu pasalnya adalah penanganan konflik kepentingan sebagai langkah pemberantasan korupsi. Ketentuan konflik kepentingan diatur dalam Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC), khususnya Pasal 7 ayat 4 dan Pasal 8 ayat 5. Pasal 7 ayat 4 UNCAC menyebutkan bahwa "Setiap negara peserta wajib, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dari hukum nasionalnya, berusaha keras mengadopsi, memelihara, dan memperkuat sistem-sistem yang meningkatkan transparansi dan mencegah konflik-konflik kepentingan".

Selanjutnya, Pasal 8 ayat 5 UNCAC berbunyi "Setiap negara peserta wajib berusaha keras untuk di mana cocok dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, menetapkan tindakan-tindakan dan sistem yang mewajibkan pejabat-pejabat publik membuat pernyataan-pernyataan kepada otoritas-otoritas yang tepat mengenai antara lain kegiatan-kegiatan mereka di luar pekerjaan, investasi-investasi, aset-aset, dan hadiah-hadiah atau keuntungan-keuntungan yang berarti, yang dapat menimbulkan konflik kepentingan".

Suatu pemberian atau gratifikasi, dapat menimbulkan konflik kepentingan bagi si penerima, baik disadari atau tidak. Maksud dari hal ini, bahwa gratifikasi dapat menjadi sebuah niat dari si penerima untuk memberikan keuntungan bagi si pemberi karena dimasa yang akan datang diharapkannya sebuah balasan atas perbuatannya, baik dalam bentuk


(27)

gratifikasi, maupun dalam bentuk lainnya. Sedangkan dalam hal tidak disadari, si penerima merasa perlu untuk membalas budi yang telah ditanamkan oleh si pemberi, tanpa disadari bahwa maksudnya adalah untuk memberi keuntungan bagi si pemberi dikemudian hari.

Dengan demikian, perlu adanya suatu perubahan mendasar dalam paradigma para pembuat kebijakan atau keputusan sehingga dapat membuat suatu keputusan atau kebijakan yang bebas dari pengaruh konflik kepentingan, sehingga dapat menciptakan suatu hasil yang maksimal atas keputusannya. Pemberian edukasi yang tepat bagi para pembuat kebijakan dan pemberian suatu komitmen untuk tidak melakukan tindakan yang berpotensi konflik kepentingan adalah langkah yang seharusnya dilakukan oleh semua korporasi ataupun BUMN. Sehingga tindakan-tindakan yang dapat merugikan bagi korporasi, khususnya korupsi, dapat diminimalisasi demi kepentingan semua pihak terutama para stakeholder.

Bentuk konflik kepentingan yang sering terjadi dalam BUMN ialah :

1. Kebijakan Direksi yang berpihak kepada suatu pihak akibat pengaruh/hubungan dekat/ketergantungan

2. Pengeluaran ijin oleh Direksi kepada suatu pihak yang mengandung unsur ketidakadilan atau pelanggaran terhadap hukum atau atas subyektivitas Direksi

3. Pengangkatan personil pegawai berdasarkan hubungan dekat/balas jasa/rekomendasi/pengaruh dari pejabat terkait

4. Pemilihan partner/rekanan kerja perusahaan berdasarkan keputusan pejabat terkait yang tidak profesional


(28)

D. Pelanggaran Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance Sebagai Akibat Dari Penerimaan Gratifikasi

Corporate governance memiliki prinsip-prinsip dalam pelaksaaannya sehingga dapat memberi dan meningkatkan nilai atau value dari sebuah korporasi bagi para stakeholdernya. Namun seringkali hal tersebut tersampingkan atau tidak terlaksana akibat hal-hal yang ada di dalam korporasi itu sendiri ataupun akibat dari human factor yang menjadi penggerak dalam korporasi. Dalam hal ini, akan dibahas secara khusus faktor manusia, terutama yang berkaitan dengan gratifikasi.

Pertama, pelanggaran prinsip keterbukaan (disclosure and transparency). Dalam pelaksanaan good corporate governance, prinsip keterbukaan ini berkaitan dengan informasi kinerja korporasi baik ketepatan waktu maupun akurasinya (keterbukaan dalam proses, decision making, control, fairness, quality, standardization, efficiency time & cost). Transparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan suatu proses kegiatan perusahaan. Dengan transparansi, pihak-pihak yang terkait akan dapat melihat dan memahami bagaimana dan atas dasar apa keputusan-keputusan tertentu dibuat serta bagaimana perusahaan dikelola.. namun, hal tersebut tidak berarti masalah-masalah strategik harus dipublikasikan, sehingga akan mengurangi keunggulan bersaing perusahaan.95

95

Amin Widjaja Tunggal, Tata Kelola Perusahaan Teori dan Kasus, (Jakarta


(29)

Pelanggaran yang kerap terjadi seiring dengan gratifikasi terhadap prinsip ini ialah pemberian informasi yang tidak sesuai dari perusahaan sehingga memberikan gambaran yang menyesatkan bagi pihak yang membutuhkan informasi. Dengan gratifikasi, diharapkan informasi tersebut dibatasi, sehingga pihak pemberi dapat mengambil keuntungan dengan cara melawan hukum (insider trading), atau bertujuan untuk menghalang-halangi pihak lain yang berkepentingan seperti para stakeholder, auditor baik internal maupun eksternal, dan pihak-pihak lain.

Bagi dunia korporasi, informasi merupakan salah satu komoditas utama. Karena dengan informasi, dapat ditentukan kebijakan-kebijakan ataupun keputusan yang dapat mempengaruhi suatu korporasi, apakah akan semakin berkembang atau tetap, bahkan bangkrut di kemudian hari.

Kedua, pelanggaran prinsip kemandirian (independency).

Dalam setiap pembuatan suatu kebijaksanaan atau keputusan dalam korporasi, haruslah berpegang pada prinsip kemandirian, dimana hal ini berarti perusahaan harus bebas dari pengaruh ataupun tekanan pihak lain yang tidak sesuai dengan mekanisme korporasi. Hal yang dilanggar dengan adanya gratifikasi pada prinsip ini adalah terutama pada hal pengaruh. Dengan adanya gratifikasi, pihak yang mempunyai posisi strategis ataupun dominan dalam penentuan suatu kebijakan akan terpengaruh dan tidak dapat memberikan suatu penilaian yang netral dan cenderung memihak si pemberi gratifikasi. Akibatnya, korporasilah yang akan menderita atas misjudgement tersebut.96


(30)

Ketiga, pelanggaran atas prinsip akuntabilitas (accountability).

Akuntabilitas ialah pertanggungjawaban atas pelaksaaan fungsi dan tugas-tugas sesuai dengan wewenang yang dimiliki oleh seluruh organ korporasi.97

Prinsip ini antara lain diwujudkan dengan menyiapkan Laporan Keuangan (Financial Statement) pada waktu yang tepat dan cara yang tepat; mengembangkan Komite Audit dan Risiko untuk mendukung fungsi pengawasan oleh Dewan Komisaris; mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi Internal Audit sebagai mitra bisnis strategik berdasarkan best practices; penegakan hukum (sistem penghargaan dan sanksi); menggunakan eksternal auditor yang memenuhi syarat (berbasis profesionalisme).98

Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan kerjasama yanga aktif antara perusahaan serta para pemegang kepentingan dalam menciptakan kekayaan, lapangan kerja, dan perusahaan yang sehat dari aspek keuangan. Ini merupakan tanggungjawab korporasi sebagai anggota masyarakat yang tunduk kepada hukum dan bertindak Pelanggaran yang sering terjadi akibat gratifikasi terhadap prinsip ini ialah dengan adanya pemalsuan data atau penyampaian data yang tidak benar dan sesuai dalam laporan keuangan, dikarena pihak si pemberi telah, sedang ataupun akan melakukan suatu kecurangan atas keuangan korporasi. Sehingga, disinilah salah satu peran dari Komite Audit.

Keempat, pelanggaran terhadap prinsip pertanggungjawaban (responsibility).

97

Ibid,hlm: 7 98


(31)

dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat sekitar. Prinsip ini diwujudkan dengan kesadaran bahwa tanggungjawab merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang; menyadari akan adanya tanggungjawab sosial; menghindari penyalahgunaan kekuasaan;menjadi profesional dan menjunjung etika; dan memelihara lingkungan bisnis yang sehat.99

Yang menjadi fokus dari prinsip ini ialah perlindungan kepentingan minority shareholders dari penipuan, kecurangan, perdagangan dan penyalah gunaan oleh orang dalam (selfdealing atau insider trading). Keadilan adalah kesetaraan perlakuan dari perusahaan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan sesuai dengan kriteria dan proporsi yang seharusnya.

Pelanggaran akibat gratifikasi disini ialah dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Sehingga pihak penerima, diharapkan dapat mengesampingkan tanggungjawabnya terhadap korporasi atas suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum yang berlaku. Misalnya perbuatan korupsi.

Kelima, pelanggaran atas prinsip keadilan (fairness).

100

Dari kelima prinsip good corporate governance, prinsip inilah yang paling banyak dilanggar dengan adanya gratifikasi. Selain karena melanggar hukum akibat perbuatan gratifikasi itu sendiri, juga menimbulkan kerugian bagi para stakeholders dan juga minority shareholders khususnya. Gratifikasi dapat menjadi latar belakang terjadinya insider trading yang notabene sangat merugikan. Akibatnya, perusahaan dapat mengalami dampak sistemik, yaitu dampak secara yuridis maupun hilangnya kepercayaan dari stakeholders dan masyarakat.

99

Ibid,hlm 52 100


(32)

E. Larangan Gratifikasi Sebagai Bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Masyarakat

Peranan korporasi sebagai salah satu penggerak utama roda perekonomian tidak dapat dipungkiri lagi. Korporasi menjadi pemain kunci atau key player yang juga menentukan pembangunan perekonomian, dan juga berperan untuk memajukan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, daerah dan juga negara. Dalam menjalankan usahanya suatu perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban secara ekonomis saja tetapi mempunyai kewajiban yang bersifat etis. Adanya suatu etika bisnis yang merupakan tuntunan perilaku bagi dunia usaha untuk bisa membedakan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Dalam pemenuhan etika dalam berbisnis memang tidak hanya profit yang menjadi tujuan utama, akan tetapi pemberdayaan masyarakat sekitar juga harus menjadi tujuan utama bagi perusahaan. Dikarenakan hal itu merupakan salah satu perwujudan dari Good Corporate oleh perusahaan terhadap Stakeholder.

Corporate Social Responsibility menjadi jamak terdengar karena adanya kebutuhan akan standar bisnis yang lebih tinggi daripada era-era sebelumnya, yaitu perusahaan harus dapat melampaui “berhasil dengan baik”, dengan cara mendapatkan laba, dan “melakukan dengan baik”dengan cara berbuat sesuai dengan tanggung jawab sosial mereka. Tanggung jawab sosial adalah kepedulian para manajer suatu perusahaan berkenaan dengan konsekuensi sosial, lingkungan, politik, manusia dan keuangan, atas


(33)

tindakan-tindakan yang mereka ambil. Suatu bisnis yang bertanggung jawab secara sosial tidak hanya mempertimbangkan “apa yang terbaik bagi perusahaannya” saja, tetapi juga kepada masyarakat umum.101

Corporate Social Responsibility merupakan suatu usaha yang bertujuan sebagai sustainable development, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan bersama yang berkelanjutan. Sustainable development menghendaki adanya hubungan yang harmonis antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat (stakeholders).102

Konsep CSR sebenarnya bukan merupakan konsep baru dalam dunia bisnis. Bank Dunia pun sudah mendefinisikan CSR sebagai “the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development". Apabila diterjemahkan secara bebas kurang lebih berarti komitmen dunia usaha untuk memberikan sumbangan guna menopang bekerjanya pembangunan ekonomi bersama karyawan dan perwakilan-perwakilan mereka dalam komunitas setempat dan masyarakat luas untuk meningkatkan taraf hidup, intinya CSR tersebut adalah baik bagi keduanya, untuk dunia usaha dan pembangunan.

Partisipasi dunia usaha dalam pengembangan berkelanjutan (sustainable development) adalah dengan mengembangkan program kepedulian perusahaan kepada masyarakat di sekitarnya yang disebut tanggung jawab sosial perusahaan/corporate social responsibility. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu upaya juga untuk menciptakan keberlangsungan usaha dalam menciptakan dan memelihara keseimbangan antara mencetak keuntungan, fungsi-fungsi sosial dan pemeliharaan lingkungan hidup (triple bottom line).

103

101

Jackie Ambadar, Corporate Social Responsibility Dalam Praktik Di Indonesia,

(Jakarta: Gramedia, 2008), hlm :29-30 102


(34)

Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) pada dasarnya merupakan bentuk obligasi moral dan etika perusahaan terhadap keberlangsungan pembangunan termasuk kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri. Dengan memandang bahwa implementasi CSR sebagai upaya perusahaan untuk mencapai keseimbangan jangka panjang dalam kaitannya dengan eksistensi perusahaan tersebut, semestinya penerapan CSR tidak harus dipaksakan melalui undang-undang. Namun banyak perusahaan yang tidak melaksanakannya dikarenakan akan mengurangi profit perusahaan dan menambah beban biaya berkurangnya produksi yang dapat dihasilkan, dan adanya kesan pajak tambahan kepada perusahaan untuk melakukan CSR. Sehingga pemerintah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk melaksanakan program CSR ini melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pada pasal 74 Ayat (1) yang berbunyi : “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.”104

Dalam pasal 74 ayat (1) jo. Penjelasan pasal 74 ayat (1) UU PT no.40 tahun 2007 ditentukan bahwa perseroan yang diwajibkan melakukan CSR adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dan Perseroan yang tidak mengelola dan tidak


(35)

memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.105

CSR sebagai suatu program sosial dari perusahaan adalah untuk melakukan pengembangan yang berkelanjutan. Namun, pelaksanaan CSR itu sendiri masih terbatas pada hal-hal yang bersifat sosial. Atas dasar tersebutlah, maka hendaknya larangan atas gratifikasi dapat menjadi salah

Aturan tentang tanggung jawab sosial perusahaan khususnya pada Badan Usaha Milik Negara diatur melalui Keputusan Menteri BUMN No. KEP-236/MBU/2003 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Keputusan tersebut didalamnya mengatur tentang hal-hal khusus mengenai tata cara atau prosedur pelaksanaan program kemitraan dan bina lingkungan yang wajib dilaksanakan oleh semua BUMN

Konsep CSR yang dikemukakan dalam peraturan ini terbatas pada perseroan yang berhubungan dengan sumber daya alam dan lingkungan, sehingga sehingga ruang lingkup konsep ini menjadi sempit. Konsep ini memusatkan pada tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat sekitar dari sisi eksternal perusahaan. Tanggung jawab internal perusahaan, seperti bersih dari praktik korupsi, tidak terlingkupi.

Mengingat nilai positif dari penerapan GCG, dan CSR sebagai turunannya, dalam korporasi, maka untuk dapat tetap bertahan dan berkembang serta tetap meningkatkan value dari korporasi, adalah harus dilaksanakan oleh setiap korporasi secara konsisten.


(36)

satu program CSR selain juga dalam pelaksanaan GCG dari suatu korporasi. Hal ini dikarenakan korupsi sudah menjadi masalah sosial yang harus segera diberantas. Maksud dan tujuan memasukkan larangan gratifikasi sebagai salah satu program CSR adalah untuk mencegah terjadinya praktek korupsi di dalam badan korporasi melalui gratifikasi, juga sebagai pemenuhan atas prinsip-prinsip GCG yang akan dilanggar melalui praktik gratifikasi ini. Selain itu, program ini juga untuk mengedukasi para stakeholders untuk menghindarkan diri dari perbuatan korupsi yang dapat merugikan dengan cara meningkatkan taraf moral stakeholders dan masyarakat.


(37)

BAB IV

LARANGAN GRATIFIKASI DALAM RANGKA GOOD

CORPORATE GOVERNANCE DI PTPN III

A. Profil Perusahaan PTPN III

1. Sejarah PTPN III

PT Perkebunan Nusantara III disingkat PTPN III (Persero), merupakan salah satu dari 14 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perkebunan yang bergerak dalam bidang usaha perkebunan, pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan. Kegiatan usaha Perseroan mencakup usaha budidaya dan pengolahan tanaman kelapa sawit dan karet. Produk utama Perseroan adalah Minyak Sawit (CPO) dan Inti Sawit (Kernel) dan produk hilir karet.

Sejarah Perseroan diawali dengan proses pengambilalihan perusahaan-perusahaan perkebunan milik Belanda oleh Pemerintah RI pada tahun 1958 yang dikenal sebagai proses nasionalisasi perusahaan perkebunan asing menjadi Perseroan Perkebunan Negara (PPN). Tahun 1968, PPN


(38)

(PNP) yang selajutnya pada tahun 1974 bentuk badan hukumnya diubah menjadi PT Perkebunan (Persero).

Guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas kegitan usaha perusahaan BUMN, Pemerintah merestrukturisasi BUMN subsektor perkebunan dengan melakukan penggabungan usaha berdasarkan wilayah eksploitasi dan perampingan struktur organisasi. Diawali dengan langkah penggabungan manajemen pada tahun 1994, 3 (tiga) BUMN Perkebunan yang terdiri dari PT Perkebunan III (Persero), PT Perkebunan IV (Persero) , PT Perkebunan V (Persero) disatukan pengelolaannya ke dalam manajemen PT Perkebunan Nusantara III (Persero).

Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1996 tanggal 14 Pebruari 1996, ketiga perseroan tersebut digabung dan diberi nama PT Perkebunan Nusantara III (Persero) yang berkedudukan di Medan, Sumatera Utara.

PT Perkebunan Nusantara III (Persero) didirikan dengan Akte Notaris Harun Kamil, SH, No. 36 tanggal 11 Maret 1996 dan telah disahkan Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No. C2-8331.HT.01.01.TH.96 tanggal 8 Agustus 1996 yang dimuat di dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 81 Tahun 1996 Tambahan Berita Negara No. 8674 Tahun 1996.106

106

2. Status Perusahaan


(39)

PT Perkebunan Nusantara III (Persero), disingkat PTPN III, dibentuk berdasarkan PP No. 8. Tahun 1996, tanggal 14 Pebruari 1996. Perusahaan yang berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini merupakan penggabungan kebun-kebun di Wilayah Sumatera Utara dari eks PTP III, PTP IV dan PTP V.107

3. Komoditi Usaha

PTPN III mengusahakan komoditi kelapa sawit, karet, kakao dengan areal konsesi seluas 166.909,94 hektar. Budidaya kelapa sawit diusahakan pada areal seluas 88.287 ha, karet 45.327 ha dan kakao seluas 8.761 ha. Selain penanaman komoditi pada areal sendiri + inti, PTPN III juga mengelola areal Plasma milik petani seluas 19.553,94 ha untuk tanaman kelapa sawit seluas 10.403,14 ha dan tanaman karet 9.150,80 ha.108

4. Tujuan Perusahaan

Meningkatkan keuntungan bagi pemegang saham dan mensejahterakan karyawan melalui pelaksanaan program secara sinergis dari semua pihak yang terkait terutama dukungan dan peran serta segenap karyawan melelui kerja keras, disiplin, kesungguhan dn ketekunan, kerjasama yang serasi dan terpadu, penuh dedikasi dan loyalitas, serta sikap proaktif yang konsisten dan berkesinambungan.109

107 Ibid.

108

Ibid.

109

Ibid.


(40)

5. Kebun-kebun

PTPN III memiliki 32 unit usaha kebun, sebagai berikut: Tabel 1.

Unit Usaha Kebun PTPN III

Sumber :

http://www.ptpn3.c o.id

6. Unit-unit Kegiatan/Usaha

Selain unit usaha kebun PTPN III juga memiliki sejumlah 26 unit pabrik pengolahan

Tabel 2.

Unit-Unit Kegiatan /Usaha PTPN III

1. Sungai Putih 12. Sungai Silau 23. Aek Nabara Selatan

2. Tanah raja

13. Huta Padang 24. Sisumut

3. Sarang Ginting 14. Sei Dadap/Hessa

25. Batang Toru 4. Silau Dunia 15. Pulau Mandi 26. Hapesong 5. Rambutan/Sei

bamban 16. Ambalutu 27. Aek Torop 6. Gunung Pamela 17. Bandar Selamat 28. Torgamba 7. Gunung Monako 18. Membang Muda 29. Sei Daun 8. Gunung para 19. Labuhan Haji 30. Sei Baruhur 9. Bangun 20. Rantau Prapat 31. Sei Moranti 10. Bandar Betsy 21. Merbau Selatan 32. Bukit Tujuh 11. Sei Mangkei 22. Aek Nabara


(41)

1. Pabrik CPO 10 unit 2. Pabrik RSS 3 unit 3. Pabrik Crumb Rubber 4 unit 4. Pabrik Centrifuge Lateks 3 unit 5. Pabrik Kakao 5 unit 6. Industri Karet 1 unit

Sumber : http://www.ptpn3.co.id

Kapasitas Produksi per tahun :

Tabel 3.

Kapasitas Produksi PTPN III

Kelapa Sawit

CPO : 399.858 ton Inti Sawit : 95.836 ton


(42)

Karet

RSS : 2.885 ton Cutting : 6 ton SIR 3 CV : 2.329 ton SIR 3 L : 1.250 ton SIR 3 WF : 155 ton SIR 10 : 12.334 ton SIR 20 : 1.370 ton Sediment : 1.496 ton

Sumber : http://www.ptpn3.co.id

Tabel 4.

Bagan Organisasi PTPN III

Industri Karet

Karet gelang : 2.400 ton Rubber articles : 29 ton Rubber fender : 2 ton Rubber cowmats : 24 ton Conveyor belt : 14 ton Toy balloon : 68 ton Rubber gloves : 400 ton Rubber thread : 7.200 ton Resiprene : 700 ton


(43)

Sumber : http://www.ptpn3.co.id

B. Instrumen Penerapan Good Corporate Governance Di PTPN III

Dalam melaksanakan aktivitasnya, PTPN III telah berupaya menerapkan prinsip good corporate governance. Penerapan itu didukung oleh berbagai instrumen untuk dapat mencapai hasil yang terbaik bagi peningkatan value perusahaan bagi para stakeholdernya, dimana PTPN III menyadari bahwa dengan implementasi GCG dapat menjadi kunci sukses suatu perusahaan.

Sistem yang dianut oleh PTPN III sebagaimana yang dianut di Indonesia dalam melakukan pengurusan pada umumnya adalah two tier system, dimana pengawasan dilakukan oleh “Board” (Dewan Komisaris), dan ”Key Executives” (Direksi).

Instrumen GCG yang mendasari tata kelola perusahaan PTPN III, terdiri dari: 1. Pedoman Tata Kelola Perusahaan.

Merupakan panduan bagi Dewan Komisaris, Direksi dan segenap Pegawai yang menguraikan tentang pelaksanaan prinsip GCG, struktur, dan proses yang ada pada setiap Organ Perusahaan yang penyusunannya mengacu pada berbagai peraturan dan perundang – undangan yang berlaku dan praktik terbaik dalam pengelolaan perusahaan.


(44)

Merupakan panduan bagi Dewan Komisaris dan Direksi dalam menjalankan tugas, wewenang, tanggung-jawab, hak dan kewajiban baik selaku dewan maupun individu. Dokumen ini juga mengatur tata hubungan antara Komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan Anak Perusahaan, sehingga Board Manual lebih merupakan cerminan penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas Dewan Komisaris dan Direksi.

3. Piagam Komite Audit

Merupakan panduan bagi Komite Audit agar pelaksanaan tugasnya dapat diterima dan dipertanggung-jawabkan secara professional oleh semua pihak yang berkepentingan. Komite Audit juga berperan dalam pengendalian manajemen internal perusahaan, manajemen risiko, dan juga untuk penerapan GCG.

Komite audit dapat berfungsi membantu kelancaran tugas komisaris, antara lain komite audit melakukan penelaahan terhadap kebenaran informasi yang disampaikan oleh direksi kepada komisaris Selain itu komite audit juga dapat berfungsi menilai efektivitas pengendalian internal (internal control), termasuk fungsi Internal Auditor atau Satuan Pengawasan Intern (SPI), sehingga dapat memberikan rekomendasi tentang peningkatan efektivitas internal auditor untuk meningkatkan sistem pengendalian internal perusahaan.

Komite audit bertugas untuk memberikan pendapat profesional yang independen kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal


(45)

yang disampaikan oleh direksi kepada dewan komisaris serta mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris, yang antara lain meliputi :110

a. melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan oleh perusahaan seperti, laporan keuangan, proyeksi dan informasi keuangan lainnya,

b. menelaah independensi dan objektifitas akuntan publik,

c. melakukan penelaahan atas kecukupan pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan publik untuk memastikan semua resiko yang penting telah dipertimbangkan,

d. melakukan penelaahan atas efektivitas pengendalian internal perusahaan,

e. menelaah tingkat kepatuhan Perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan, dan

f. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan adanya kesalahan dalam keputusan rapat direksi. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan oleh komite audit atas biaya Perusahaan.

Kedudukan komite audit berada sejajar dengan Dewan Komisaris (lihat bagan RUPS PTPN III). Hal ini disebabkan komite audit dibentuk langsung oleh dewan komisaris untuk melaksanakan tugas pengawasannya. Keberadaan Komite Audit di BUMN diatur melalui Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-103/MBU/2002 (bagi BUMN).


(46)

Komite Audit terdiri dari sedikitnya tiga orang, diketuai oleh Komisaris Independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen serta menguasai dan memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan. Dalam pelaksanaan tugasnya, Komite Audit mempunyai fungsi membantu Dewan Komisaris untuk :111

a. meningkatkan kualitas Laporan Keuangan

b. menciptakan iklim disiplin dan pengendalian yang dapat mengurangi

kesempatan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan perusahaan c. meningkatkan efektifitas fungsi internal audit (SPI) maupun eksternal

audit, serta

d. Mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian Dewan

Komisaris/Dewan Pengawas.

Kewenangan Komite Audit dibatasi oleh fungsi mereka sebagai alat bantu Dewan Komisaris, sehingga tidak memiliki otoritas eksekusi apapun (hanya sebatas rekomendasi kepada Dewan Komisaris), kecuali untuk hal spesifik yang telah memperoleh hak kuasa eksplisit dari Dewan Komisaris, misalnya mengevaluasi dan menentukan komposisi auditor eksternal, dan memimpin suatu investigasi khusus. Peran dan tanggung jawab Komite Audit akan dituangkan dalam Charter Komite Audit yang secara umum dikelompokkan menjadi tiga bagian besar, yaitu financial reporting, corporate governance, dan risk and control management.

111


(47)

4. Pedoman Etika dan Perilaku (Code of Conduct).

Merupakan panduan bagi Dewan Komisaris, Direksi, Perusahaan, dan segenap Pegawai dalam beretika dan berperilaku dalam proses bisnis, baik interaksi dengan eksternal maupun interaksi dengan internal / antar Organ Perusahaan yang bersandarkan kepada nilai-nilai moral. Code of Conduct, secara umum merupakan panduan tentang keharusan yang wajib dilaksanakan dan larangan yang harus dihindari sebagai penjabaran pelaksanaan prinsip GCG dan berbagai peraturan / perundang – undangan yang berlaku dan praktik terbaik.

5. Piagam Internal Audit.

Merupakan piagam yang mendasari dibentuknya Satuan Pengawasan Internal yang merupakan aparat pengawasan internal perusahaan. Satuan ini bertugas untuk membantu Direktur Utama dalam melaksanakan audit keuangan dan operasional serta menilai pengendalian, pengelolaan dan pelaksanaannya dan memberikan saran-saran perbaikan. Satuan ini juga merupakan instrumen konsultan peningkatan penerapan manajemen resiko dan prinsip-prinsip Good Corporate Governance.

Setiap BUMN,termasuk PTPN III membentuk Satuan Pengawasan Intern (SPI) yang merupakan aparat pengawasan internal perusahaan yang bertanggung jawab kepada Direktur Utama. SPI adalah aparat pengawasan internal yang berperan tidak saja membantu manajemen dalam menjalankan fungsi pengawasan tetapi juga merupakan mitra strategis bagi manajemen dalam rangka penerapan system pengendalian inter (internal


(48)

control system), manajemen risiko (risk management), dan penerapan good corporate governance (GCG).

Landasan Pembentukan Bagian Satuan Pengawasan Internal (SPI) didasarkan :112

112

1. Undang-Undang Nomor. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, bahwa :

a. Pada setiap BUMN membentuk Satuan Pengawasan Internal yang merupakan aparat pengawas internal perusahaan yang dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab kepada Direktur Utama. b. Atas permintaan tertulis Komisaris/Dewan pengawas, Direksi

memberikan keterangan hasil pemeriksaan atau hasil pelaksanaan tugas Satuan Pengawasan Internal.

c. Direksi wajib memperhatikan dan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan atas segala sesuatu yang dikemukakan dalam setiap laporan hasil pemeriksaan yang dibuat oleh Satuan Pengawasan Intern.

2. Peraturan Pemerintah Nomor. 3 Tahun 1983 pasal 45, bahwa pada setiap BUMN dibentuk Satuan Pengawasan Internal yang merupakan aparatur pengawasan internal perusahaan. Satuan Pengawasan Internal dipimpin oleh seorang Kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama.

3. Peraturan Pemerintah Nomor. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan, bahwa :


(49)

a. Pada setiap Perseroan dibentuk Satuan Pengawasan Internal.

b. Bagian Satuan Pengawasan Internal dipimpin oleh Kepala yang bertanggung jawab kepada Direktur Utama.

c. Bagian Satuan Pengawasan Internal bertugas membantu Direktur Utama dalam melaksanakan audit keuangan dan operasional serta menilai pengendalian, pengelolaan dan pelaksanaannya dan memberikan saran-saran perbaikan.

d. Direktur Utama memberikan keterangan mengenai hasil audit atau hasil pelaksanaan tugas Satuan Pengawasan Internal kepada Komisaris, atas permintaan tertulis dari Komisaris.

e. Direksi wajib memperhatikan dan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan atas segala yang dikemukakan dalam setiap Laporan Hasil Audit yang dibuat oleh Bagian Satuan Pengawasan Internal.

Hal ini ditegaskan lagi melalui SK Menteri BUMN Nomor : KEP-117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002, pasal 22 (1) yang menyebutkan “Direksi harus menetapkan suatu Sistem Pengendalian Internal yang efektif untuk mengamankan investasi dan aset BUMN”.

Kedudukan dan Fungsi Bagian SPI.113

Sesuai Surat Keputusan Direksi Nomor : 3.00/SKPTS/R/03/2005 tanggal 15 Desember 2005 tentang Revisi Struktur Organisasi PT. Perkebunan

Kedudukan.


(50)

Nusantara III (Persero), bahwa kedudukan Bagian SPI berada dan bertanggung jawab langsung dibawah Direktur Utama.

Sesuai dengan kedudukannya, Bagian SPI independen terhadap Bagian dan Unit-Unit lainnya. Independen Bagian SPI dijamin oleh :

a. Adanya tanggung jawab langsung kepada Direktur Utama.

b. Adanya kewenangan yang jelas bahwa Bagian SPI mempunyai akses terhadap seluruh Bagian dan Unit-Unit lainnya, catatan dan dokumentasi, sumber daya perusahaan termasuk sumber daya manusia dalam rangka mendapatkan informasi untuk kepentingan pelaksanaan tugas Bagian SPI.

c. Tidak terlibat dalam aktivitas sehari-hari atau bertanggung jawab langsung atau memiliki kewenangan operasional terhadap kegiatan unit kerja yang diaudit oleh Bagian SPI.

d. Tidak diberinya tanggung jawab penuh dalam pengembangan suatu sistem baru, kecuali memberikan pendapatnya atas metode dan standar pengendalian dari sistem baru tersebut.

Sesuai Surat Keputusan Direksi Nomor ; 3.00/SKPTS/R/01/2005 tanggal 8 Desember 2005 Bagian SPI dipimpin oleh seorang Kepala Bagian yang membawahi Pengawas Wilayah dan Pengawas Wilayah membawahi Ketua Tim serta Ketua Tim membawahi beberapa Staf Audit.

Fungsi

Dalam melaksanakan tugasnya Bagian SPI menjalankan fungsi sebagai berikut :


(51)

a. Memastikan bahwa Sistem Pengendalian Internal perusahaan telah memadai dan berjalan sesuai dengan ketentuan.

b. Merupakan mitra dalam penyempurnaan kegiatan pengelolaan perusahaan, memberikan nilai tambah melalui rekomendasi atas hasil audit yang dilakukannya.

c. Merupakan konsultan peningkatan penerapan manajemen resiko dan prinsip-prinsip Good Corporate Governance.

Wewenang dan Tanggung Jawab Bagian SPI

Bagian SPI mempunyai akses terhadap seluruh dokumen, pencatatan, personil dan fisik kekayaan perusahaan diseluruh Bagian dan Unit-unit lainnya untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas auditnya.

Dalam pelaksanaan tugasnya, Bagian SPI bertanggung jawab memberikan analisa, penilaian, rekomendasi, konsultasi dan informasi mengenai aktivitas yang diaudit sesuai dengan yang disyaratkan oleh Kode Etik dan standar Profesi Internal Audit.

Tanggung jawab dari bagian SPI termasuk : a. Menyusun rencana kerja audit tahunan.

b. Menyusun pedoman, mekanisme kerja SPI dan prosedur audit yang berbasis risiko.

c. Melaksanakan rencana kerja audit tahunan termasuk penugasan khusus/investigasi dari Direktur Utama.


(52)

d. Menjaga integritas dan obyektivitas serta bertindak secara profesional seperti yang dipersyaratkan dalam Standar Profesi Audit Internal (SPAI) termasuk menjamin tidak terdapat benturan kepentingan anggota SPI dengan auditan dan kegiatan yang diaudit.

Hubungan Bagian SPI dengan Komite Audit.

Bentuk hubungan Bagian Satuan Pengawasan Internal (SPI) dengan Komite Audit yang dilakukan melalui Komisaris, adalah sebagai berikut : 1. Bagian SPI membantu Komite Audit untuk memastikan bahwa

pedoman Komite Audit, aktivitas dan proses komite audit telah memadai untuk memenuhi tanggung jawabnya.

2. Komite Audit memastikan bahwa Pedoman Internal Audit, peranan, dan aktivitas dari audit internal dapat dipahami dan menjawab kebutuhan Komite Audit dan Komisaris.

3. Memelihara komunikasi yang terbuka dan efektif dengan Komite Audit, untuk menyamakan persepsi tentang tugas Komite Audit, sehingga mekanisme kerja dapat terbentuk dengan baik.

Hubungan Bagian SPI dengan Direksi.

Bagian SPI adalah unit pendukung Direksi dalam bidang pengawasan. Bentuk hubungan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bagian SPI sebagai mitra Direksi dalam mendiskusikan hal-hal yang mempengaruhi kegiatan perusahaan baik keuangan maupun non keuangan.


(53)

2. Menilai efektifitas sistem pengendalian intern (internal control system), termasuk didalamnya memberikan rekomendasi mengenai penyempurnaan sistem pengendalian intern dan mengidentifikasikan hal-hal yang memerlukan perhatian Direksi serta tindak lanjut atas hasil audit. 114

C. Larangan Gratifikasi Di PTPN III

Salah satu tujuan dari implementasi GCG pada sektor usaha adalah agar tercipta kondisi usaha yang bersih dari praktek-praktek korupsi, baik secara internal perusahaan maupun dalam kaitannya dengan perusahaan atau lembaga lain. Oleh karena itu, perlu didalami bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh perusahaan dalam mencegah tindakan korupsi.

PTPN III secara jelas melarang adanya praktik-praktik korupsi atau yang berpotensi untuk menimbulkan benturan kepentingan. Hal ini tertuang Code of Conduct dari perusahaan. Upaya lainnya ialah dengan membentuk suatu Komite Audit. Adapun yang menjadi landasan dari komite audit adalah Pedoman Good Corporate Governance (Maret 2001) yang menganjurkan semua perusahaan di Indonesia memiliki Komite Audit. Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. 103 tahun 2002, yang merupakan revisi terhadap Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Nomor : KEP-133/M-PBUMN/1999 tanggal 8 Maret 1999 tentang pembentukan komite audit bagi BUMN. Selain itu berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No.


(54)

KEP-117/M-MBU/2002 tentang penerapan praktek Good Corporate Governance pada BUMN. 115

D. Penegakan Terhadap Larangan Gratifikasi.

Selain itu, tertuang jelas dalam Code of Conduct PTPN III, dalam Komitmen Atas Hal-Hal Khusus bagian F. tentang Hadiah/cinderamata, Donasi, Komisi dan Suap. Khusus mengenai gratifikasi, diatur dalam poin 1.) yaitu: “Pemberian tanda terima kasih untuk kepentingan bisnis kepada/dari relasi berupa hadiah/cinderamata (souvenir)/parcel, tidak boleh dilakukan pada suatu keadaan yang dapat dianggap sebagai perbuatan yang tidak memenuhi azas kepatutan dan kewajaran.”

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa PTPN III telah mempunyai dasar yang jelas untuk melarang adanya kegiatan gratifikasi bagi individu di dalam perusahaan karena hal tersebut dianggap tidak memenuhi asas kepatutan dan kewajaran.

Sesuai dengan Code of Conductnya, PTPN III telah menyebutkan dengan jelas larangan terhadap gratifikasi. Bahkan terdapat “Pernyataan Kepatuhan” yang dibuat bagi seluruh karyawan, sehingga menjadi bukti persetujuan dan kepatuhan untuk menjalankan code of conduct. Dengan demikian, bagi setiap yang melanggarnya akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan dari perusahaan.


(55)

Penegakan ini juga didukung dengan adanya Komite Audit yang berkedudukan langsung dibawah Dewan Komisaris. Komite audit dapat berfungsi membantu kelancaran tugas komisaris, antara lain komite audit melakukan penelaahan terhadap kebenaran informasi yang disampaikan oleh direksi kepada komisaris Selain itu komite audit juga dapat berfungsi menilai efektivitas pengendalian internal (internal control), termasuk fungsi Internal Auditor atau Satuan Pengawasan Intern (SPI), sehingga dapat memberikan rekomendasi tentang peningkatan efektivitas internal auditor untuk meningkatkan sistem pengendalian internal perusahaan. Dengan demikian, apabila terdapat pelanggaran yang berhubungan dengan korupsi akan dapat terdeteksi dengan cepat.

Mekanisme Penegakan Pelanggaran.

Berdasarkan ketentuan Code of Conduct PTPN III, mekanisme penegakan pelanggaran dilakukan sesuai dengan mekanisme penegakan Code of Conduct itu sendiri, yang meliput i :116

A. Pemantauan Pelaksanaan Code of Conduct

Pelaksanaan Code of Conduct diawasi oleh Dewan Kehormatan yang bertugas mengawasi pelaksanaan pedoman ini. Pembentukan Dewan Kehormatan (terdiri dari unsur Dewan Komisaris, Direksi, Karyawan yang ditunjuk, dan Serikat Pekerja) dan mekanisme kerjanya diatur dalam Surat Keputusan Direksi.


(56)

1. Setiap individu berkewajiban melaporkan setiap pelanggaran atas Code of Conduct yang dilakukan individu lain dengan bukti yang cukup kepada Dewan Kehormatan. Laporan dari pihak luar wajib diterima sepanjang didukung bukti dan identitas yang jelas dari pelapor.

2. Dewan Kehormatan wajib mencatat setiap laporan pelanggaran pedoman peri laku perusahaan dan melaporkannya kepada Direksi dengan didukung oleh bukti yang cukup dan dapat dipertanggungjawabkan.

3. Dewan Kehormatan wajib memberikan perlindungan terhadap pelapor. C. Sanksi Atas Pelanggaran Code of Conduct

1. Pemberian sanksi atas pelanggaran Code of Conduct yang dilakukan oleh karyawan diberikan oleh Direksi atau pejabat yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.

2. Pemberian sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Direksi dan Dewan Komisaris mengacu sepenuhnya pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perusahaan serta ketentuan yang berlaku. 3. Pemberian sanksi dilakukan setelah ditemukan bukti nyata terhadap

terjadinya pelanggaran pedoman ini.

Terhadap kasus yang bersifat suap atau dalam hal ini yang termasuk korupsi, sesuai dengan Code of Conduct PTPN III, dalam Komitmen Atas Hal-Hal Khusus bagian F poin 1 (satu) dan 4 (empat), maupun kasus-kasus pelanggaran lainnya, PTPN III mempunyai mekanisme dalam penjatuhan


(57)

sanksi. Sehingga hak maupun kewajiban perusahaan ataupun pelaku pelanggaran tidak tersampingkan.

Apabila terjadi suatu pelanggaran, maka kasus pelanggaran tersebut akan dibawa kepada Dewan Kehormatan. Dewan Kehormatan kemudian akan melakukan analisis terhadap apa dan bagaimana pelanggaran tersebut serta pengaruhnya terhadap perusahaan. Hasil analisis tersebut kemudian akan diteruskan kepada Dewan Direksi untuk kemudian ditentukan sanksi yang dijatuhkan. Adapun sanksi yang dapat dijatuhkan dapat berupa :

a. Penundaan kenaikan pangkat atau jabatan; b. Penurunan pangkat atau jabatan;

c. Pemecatan; d. Ganti rugi; atau

e. Gabungan dari sanksi-sanksi di atas.117

117


(58)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan.

Berdasarkan uraian-uraian pada Bab-Bab sebelumnya, selanjutnya dapat dirumuskan sebagai jawaban permasalahan sebagai berikut :

1. Latar belakang pelarangan gratifikasi di BUMN, sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance adalah untuk menjaga independensi, transparansi dan akuntabilitas dari BUMN. Dengan demikian, melalui kebijakan ini, perusahaan dapat semakin meningkatkan value serta kinerja dan pada akhirnya dapat menguntungkan semua stakeholder dan masyarakat. BUMN sebagai salah satu penggerak utama roda perekonomian Indonesia harus bebas dari praktik-praktik korupsi.

2. Pengaturan gratifikasi dalam perusahaan, di luar KUHP dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, harus diatur secara


(59)

tersendiri dan mandiri serta applicable bagi seluruh elemen perusahaan. Sehingga dapat diterapkan bagi seluruh lapisan perusahaan. Bentuk penerapan peraturan ini dapat berupa code of conduct dari perusahaan, pembentukan sebuah komite audit yang dapat lebih terspesialisasi lagi dengan pembentukan suatu sistem pengawasan internal dibawah komite audit.

3. Pelarangan gratifikasi dapat menjadi sebuah code of conduct dalam sebuah perusahaan. Hal ini dikarenakan pelarangan tersebut mengacu pada kode etik perusahaan untuk dapat melaksanakan kegiatan maupun kebijakan perusahaan secara independen melalui perseorangan terutama yang mempunyai posisi strategis dalam menentukan kebijakan maupun suatu corporate action.

Pelarangan gratifikasi pun dapat menjadi sebuah bentuk program CSR perusahaan. Hal ini dikarenakan perusahaan juga mempunyai tanggung jawab moral kepada masyarakat untuk beroperasi dan dikelola secara bersih. Pada akhirnya, dengan semakin tingginya tingkat moral dari para eksekutif perusahaan juga akan meningkatkan tingkat kepedulian perusahaan terhadap masyarakat sekitar.


(60)

B. Saran.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat diajukan saran sebagai berikut : 1. Perusahaan harus meningkatkan standar etika bagi para eksekutifnya,

terutama dalam hal-hal yang dapat memotivasi ataupun dapat memudahkan terjadinya praktik korupsi. Perusahaan juga harus melakukan edukasi melalui publikasi, baik kepada stakeholder maupun masyarakat, bahwa perusahaan tersebut telah menjalankan larangan gratifikasi kepada seluruh karyawan dan eksekutif perusahaan.

2. Perusahaan, berkenaan dengan permasalahan korupsi, hendaknya menjalin kerjasama dengan KPK dalam upaya menerapkan larangan gratifikasi dalam perusahaan. Kerjasama tersebut juga bertujuan untuk memudahkan proses monitoring serta akuntabilitas, selain sebagai upaya preventif terhadap kemungkinan terjadinya praktik korupsi.

3. Perusahaan, dalam upaya menerapkan pelarangan atas gratifikasi sebagai code of conduct, hendaknya melakukan upaya edukasi bagi para stakeholder terutama dalam hal etika perusahaan maupun etika bisnis yang


(61)

benar. Edukasi ini bertujuan untuk meningkatkan moralitas, sehingga dapat terbentuk self awareness bagi para stakeholder untuk menghindarkan diri dari praktik korupsi.

Sebagai sebuah bentuk program CSR, pelarangan gratifikasi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan hendaknya dipublikasikan secara luas dan berkala kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat tertingkatkan kepercayaannya terhadap perusahaan akan praktik berusaha yang bersih, disamping program-program CSR lainnya.


(62)

tanggung jawab sosial dan moral perusahaan terhadap masyarakat ( Corporate Social Responsibility ).

BAB IV LARANGAN GRATIFIKASI DALAM RANGKA GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA III ( PTPN III), dimana bab ini akan mengulas mengenai penerapan larangan gratifikasi di PTPN III Medan yang mana juga merupakan bab pokok dari semua bab. Yaitu dengan melihat penerapan Good Corporate Governance di PTPN III terutama dalam hal larangan gratifikasi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN, pada bab yang terakhir ini berupa penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran – saran yang memuat secara keseluruhan hal- hal yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

BAB II

LATAR BELAKANG PENGATURAN GRATIFIKASI

SEBAGAI SALAH SATU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM

UU NO. 31 TAHUN 1999 JO UU NO. 20 TAHUN 2001

TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi di Indonesia

Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, di Era Orde Lama, Orde Baru, Era Reformasi hingga sekarang. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih belum memuaskan. Sejarah pengaturan masalah korupsi ini sendiri


(63)

sudah ada diatur dalam KUHP, namun karena korupsi juga mengalami perkembangan, baik dari segi bentuk maupun metodenya, maka dibuatlah peraturan yang secara khusus untuk menanganinya.

1. KUHP

Hal-hal yang dikategorikan sebagai perbuatan korupsi pada umumnya meliputi penggelapan uang, menerima atau meminta upeti, menerima hadiah atau janji, ikut serta urusan pemborongan, dan sebagainya. Tindak pidana korupsi suap berasal dari tindak pidana suap (omkoping) yang ada didalam KUHP. KUHP sendiri membedakan antara 2 (dua) kelompok tindak pidana suap, yakni tindak pidana menerima suap dan tindak pidana memberi suap. Kelompok pertama disebut suap aktif (actieve omkoping), subyek hukumnya adalah pemberi suap. Dimuat dan menjadi bagian dari kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII Buku II), yakni Pasal 209 dan Pasal 210.43

1. Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya duapuluh tahun dan/atau denda setingi-tingginya tiga puluh juta rupiah.

Pasal 209 KUHP

1e. Barang siapa memberi hadiah atau perjanjian kepada seorang pegawai negeri, dengan maksud hendak membujuk dia, supaya dalam pekerjaannya ia berbuat atau mengalpakan sesuatu apa, yang bertentangan dengan kewajibannya.

2e. Barang siapa memberi hadiah kepada seorang pegawai negeri oleh sebab atau berhubungan dengan pegawai negeri itu sudah membuat atau mengalpakan sesuatu apa dalam menjalankan pekerjaannya yang bertentangan dengan kewajibannya.44

43

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni,

2006), hlm: 169.


(64)

1. Dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun dan/atau denda setingi-tingginya tiga puluh juta rupiah.

1e. Barangsiapa memberi hadiah atau perjanjian kepada hakim, dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan hakim itu tentang perkara yang diserahkan kepada pertimbangannya.

2e. Barangsiapa memberi hadiah atau perjanjian kepada seseorang, yang menurut peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi penasehat untuk menghadiri pengaduan, dengan maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan dimajukannya tentang perkara yang diserahkan kepada pertimbangan pengadilan itu.

2. Jika hadiah atau perjanjian itu diberikan dengan maksud supaya hakim menjatuhkan pidana dalam sesuatu perkara pidana, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun dan/atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.45

Kelompok kedua yang disebut dengan suap pasif (passieve omkoping), subyek hukumnya adalah pegawai negeri yang menerima suap. Dimuat dan menjadi bagian dari kejahatan jabatan (Bab XVIII Buku II), yakni Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420. Jadi tindak pidana suap didalam KUHP semuanya ada 5 (lima pasal).46

Pegawai negeri yang menerima hadiah atau perjanjian, sedang ia tahu atau patut dapat menyangka, bahwa apa yang dihadiahkan atau dijanjikan itu berhubungan dengan jabatan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya

Rp.4.500,-Kejahatan jabatan yang dilakukan oleh pegawai negeri yang berupa menerima hadiah atau janji (suap).

Perumusannya terdapat dalam Pasal 418 KUHP. Pasal 418 KUHP

47

a. Yang menerima hadiah atau janji adalah pegawai negeri atau pejabat. Unsur-unsurnya sebagai berikut:

b. Yang diketahui atau patut diduga itu diberikan karena kekuasaannya atau kewenangannya yang berhubungan dengan jabatannya.

45

Ibid, hlm: 20.

46

Adami Chazawi, loc.cit.

47


(65)

c. Menurut orang yang memberi ada hubungannya dengan jabatannya.48 Kejahatan jabatan yang dilakukan oleh pegawai negeri berupa menerima atau janji. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 419 KUHP.

Pasal 419 KUHP

Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun dihukum pegawai negeri:

1e. yang menerima pemberian atau perjanjian, sedang diketahuinya bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk membujuknya supaya dalam jabatannya melakukan atau mengalpakan sesuatu apa yang berlawanan dengan kewajibannya;

2e. yang menerima pemberian, sedang diketahuinya, bahwa pemberian itu diberikan kepadanya oleh karena atau berhubungan dengan apa yang telah dilakukan atau dialpakan dalam jabatannya yang berlawanan dengan kewajibannya.49

1. a. Yang menerima hadiah/janji adalah pegawai negeri atau pejabat. Unsur-unsurnya adalah:

b. Itu diberikan untuk menggerakkan dia untuk melakukan atau tidak melakukan dalam jabatannya.

2. a. Yang menerima hadiah/janji adalah pegawai negeri.

b. Bahwa itu diberikan sebagai akibat atau karena ia telah melakukan/tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya.

Penyuapan yang diatur dalam Pasal 418 tersebut ada hubungannya dengan kekuasaan atau wewenang yang dimiliki oleh pegawai negeri. Penyuapan yang diatur dalam Pasal 419 yaitu penyuapan mengenai hal untuk menggerakkan sipegawai negeri tersebut supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau sebagai akibat oleh karena pegawai negeri tersebut telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam perbuatannya yang

48

Victor M Situmorang, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Rineka Cipta),


(1)

semua pihak, maka pada kesempatan ini Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ayahanda Drs. T. Tarigan dan Ibunda D. Sitepu tercinta yang telah memberikan kasih saying, dukungan moril dan materil dan yang tidak pernah berhenti berdoa mendukungku.

2. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum.

3. Bapak Pembantu Dekan I Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum., Syafrudin Hasibuan, S.H.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan II, dan M. Husni S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ketua Departemen Hukum Ekonomi, Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H,M.H., yang juga selaku dosen pembimbing I, yang telah memberikan waktunya membimbing saya dalam mengerjakan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H.,M.Hum., selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan waktu membimbing, mengajari, memberikan masukan serta motivasi sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai pada waktunya.

6. Ibu Dra. Zakiah,MPd., selaku dosen wali, yang telah member motivasi dan masukan kepada penulis.

7. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan selama perkuliahan.

8. Seluruh pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 9. Saudara/I ku yang tercinta, Joy Ernesta Tarigan dan Janty Srinita Tarigan.


(2)

10.Sahabat-sahabatku Verawati Manalu, Jenny, Adi “ito awak nan bawel bin astazim” Agustina, Tarulina, Ruth dan David “si dua sejoli”, Nico “Oom” Kurniawan, Nat “Kebom” dan Rahmi “mimi” (belajar klen dek,jangan maen-maen aja), dan juga Andri Bangun serta Imelda Situmorang. Juga kepada Honda Supra Fit “4583 UW” yang telah setia menemaniku dan mengantarku kemanapun.

11.Alumni, Abang/kakak senior, dan sluruh teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu dan semua pihak yang telah terlibat dalam penulisan skripsi ini.

Medan, September 2010 Penulis

Jimmy Ardhianta Tarigan 060200026


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………i

DAFTAR ISI ……….….ii

ABSTRAKSI ………vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….1

B. Perumusan Masalah……….5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……….5

D. Keaslian Penulisan………...7

E. Tinjauan Kepustakaan……….7

F. Metode Penulisan………. 32

G. Sistematika Penulisan………34

BAB II LATAR BELAKANG PENGATURAN GRATIFIKASI SEBAGAI SALAH SATU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi di Indonesia……36

1. KUHP………...36

2. UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi………41


(4)

3. UU No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi……….47

4. UU No.28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme………..49

B. Landasan Pengaturan Gratifikasi Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001……….51

1. Landasan Filosofis………...51

2. Landasan Sosiologis……….52

3. Landasan Yuridis……….54

BAB III KAITAN ANTARA PELARANGAN GRATIFIKASI TERHADAP PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM BADAN USAHA MILIK NEGARA A. Latar Belakang, Konsep, Definisi dan Prinsip-Prinsip Dasar Good Corporate Governance Dalam Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara..61

1. Latar belakang………..61

2. Definisi dan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance………….62

B. Dasar Hukum Penerapan Prinsip Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik Negara di Indonesia………...74

C. Gratifikasi Sebagai Pemicu Konflik Kepentingan (Conflict of Interest) Dalam Perusahaan (BUMN)………..79

D. Pelanggaran Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance Sebagai Akibat Dari Penerimaan Gratifikasi………...83

E. Larangan Gratifikasi Sebagai Bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap Masyarakat………..87


(5)

BAB IV LARANGAN GRATIFIKASI DALAM RANGKA GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI PTPN III

A. Profil Perusahaan PTPN III………93

1. Sejarah PTPN III..………93

2. Status Perusahaan….………94

3. Komoditi Usaha………...95

4. Tujuan Perusahaan………...95

5. Kebun-Kebun………..95

B. Instrumen Penerapan Good Corporate Governance Di PTPN III………98

C. Larangan Gratifikasi Di PTPN III………...109

D. Penegakan Terhadap larangan Gratifikasi………...110

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……….114

B. Saran………...116


(6)

Abstraksi

LARANGAN GRATIFIKASI DALAM RANGKA GOOD CORPORATE

GOVERNANCE DI BUMN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN

2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Bismar Nasution1 Mahmul Siregar2 Jimmy Ardhianta Tarigan3

1

Dosen Pembimbing I

2

Dosen Pembimbing II

3

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu tiang perekonomian nasional. Dalam sistem perekonomian nasional, BUMN berperan sebagai pelaksana pelayanan publik, membantu pengembangan usaha kecil dan koperasi, penyeimbang kekuatan swasta besar atau mengganti kekuatan swasta lemah. Pada Badan Usaha Milik Negara dimana saham perusahaan sebagian besar dipegang oleh negara melalui kementrian BUMN, sehingga sangat ditekankan untuk menerapkan sistem perusahaan yang berdasarkan kepada prinsip-prinsip Good Corporate Governance, yakni : fairness, disclosure and transparency, accountability dan responsibility. Penerapan prinsip tersebut bertujuan untuk mengefisiensikan kinerja perusahaan sehingga BUMN dapat memberikan dampak positif terhadap dunia usaha serta mampu menarik investor guna menanamkan sahamnya.

Maraknya praktik korupsi di dalam BUMN sering mempengaruhi penerapan GCG di BUMN itu sendiri. Sehingga prinsip-prinsip BUMN yang harusnya diterapkan tidak dapat dilakukan semestinya. Bentuk dari korupsi pun mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan jaman. Salah satunya adalah dalam bentuk gratifikasi. Gratifikasi menciptakan suatu budi buruk bagi penerimanya. Sehingga dapat mempengaruhi keputusan ataupun tindakan seseorang. Hal ini menjadi lebih berbahaya apabila orang tersebut memegang peranan penting dalam suatu korporasi ataupun lembaga dimana

keputusan ataupun tindakannya berakibat pada hajat hidup orang banyak. Oleh

karenanya, pelarangan mengenai hal gratifikasi, terutama dalam BUMN adalah penting karena dapat menyebabkan munculnya conflict of interest yang dapat mempengaruhi suatu aksi korporasi ataupun keputusan yang dapat merugikan masyarakat pada umumnya, stakeholder pada khususnya dan negara.

Permasalahan dalam skripsi ini adalah mengenai pengaturan larangan gratifikasi dalam BUMN, yaitu salah satu BUMN perkebunan PT. Perkebunan Nusantara III, serta efeknya bagi perusahaan tersebut.


Dokumen yang terkait

GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 3 18

GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 4 15

PENEGAKAN...HUKUM....PIDANA…TERHADAP ..TINDAK.. .PIDANA GRATIFIKASI. MENURUT. UNDANG.UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG .UNDANG .NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 21

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

1 34 229

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 8

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 1

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 1 28

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 36

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 3

Pembuktian Terbalik Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 14