Khasiat dan Kandungan Gizi Tempe

7. Kedelai diambil dari dandang lalu diletakkan di atas tampah dan diratakan tipis-tipis. Selanjutnya, kedelai dibiarkan dingin sampai permukaan keping kedelai kering dan airnya menetes habis. 8. Sesudah itu, kedelai dicampur dengan laru ragi dua persen guna mempercepat atau merangsang pertumbuhan jamur. Proses mencampur kedelai dengan ragi memakan waktu sekitar 20 menit. Tahap peragian fermentasi adalah tahap penentu keberhasilan dalam membuat tempe kedelai. 9. Bila campuran bahan fermentasi kedelai sudah rata, campuran tersebut dicetak pada loyang atau cetakan kayu dengan lapisan plastik atau daun yang akhirnya dipakai sebagai pembungkus. Sebelumnya, plastik dilubangi atau ditusuk-tusuk. Maksudnya adalah untuk memberi udara supaya jamur yang tumbuh berwarna putih. Proses percetakan dan pembungkusan memakan waktu tiga jam. Daun yang biasanya buat pembungkus adalah daun pisang atau daun jati. Ada yang berpendapat bahwa rasa tempe yang dibungkus plastik menjadi aneh dan tempe lebih mudah busuk dibandingkan dengan tempe yang dibungkus daun. 10. Campuran kedelai yang telah dicetak dan diratakan permukaannya lalu diletakan di atas rak dan kemudian ditutup selama 24 jam. 11. Setelah 24 jam, tutup dibuka dan campuran kedelai didinginkandiangin- anginkan selama 24 jam lagi. Setelah itu, campuran kedelai telah menjadi tempe siap jual. 12. Supaya tahan lama, tempe yang misalnya akan menjadi produk ekspor dapat dibekukan dan dikirim ke luar negeri di dalam peti kemas pendingin. Proses membekukan tempe untuk ekspor adalah sebagai berikut, mula- mula tempe diiris-iris setebal 2-3 cm dan di-blanching, yaitu direndam dalam air mendidih selama lima menit untuk mengaktifkan kapang dan enzim. Kemudian, tempe dibungkus dengan plastik selofan dan dibekukan pada suhu 40 °C sekitar enam jam. Setelah beku, tempe dapat disimpan pada suhu beku sekitar 20 °C selama 100 hari tanpa mengalami perubahan sifat penampak warna, bau, maupun rasa. Sarwono, 2002.

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Widari 2006 mengenai dampak sosialisasi flu burung terhadap pola konsumsi daging dan telur ayam konsumen rumah tangga di Kota Bogor dengan menggunakan regresi linear berganda menjelaskan bahwa sosialisai flu burung berdampak positif terhadap pola konsumsi daging dan telur ayam konsumen rumah tangga. Sesudah sosialisasi, tidak ada konsumen rumah tangga yang berhenti mengonsumsi daging dan telur ayam. Pola konsumsi mengalami perubahan yang meliputi frekuensi pembelian, jumlah pembelian dan tempat pembelian. Besarnya permintaan daging ayam dan telur untuk konsumen kelas atas dipengaruhi oleh pendapatan, jumlah anggota keluarga, etnis responden, pendidikan terakhir, pekerjaan kepala keluarga, dan pekerjaan responden. Untuk konsumen kelas menengah permintaan daging ayam dan telur dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, pengaruh anggota keluarga, dan pekerjaan responden. Sedangkan untuk konsumen kelas bawah dipengaruhi oleh pendapatan, pertimbangan harga, dan pengaruh anggota keluarga.