Kondisi Demografis Kota Bogor Analisis Faktor yang Mempengaruhi Konsumi Tempe

5.2 Wilayah Administrasi Kota Bogor

Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118,50 km 2 dan mengalir beberapa sungai yang permukaan airnya jauh dari permukaan, yaitu Sungai Ciliwung, Cisadane, Cipakancilan, Cidepit, Ciparigi, dan Cibalok. Oleh karena adanya kondisi sedemikian rupa, maka Kota Bogor relatif aman dari bahaya banjir. Secara administratif Kota Bogor terdiri dari enam wilayah kecamatan, 31 Kelurahan dan 37 Desa lima diantaranya merupakan desa tertinggal, yaitu desa Pamoyanan, Genteng, Balungbangjaya, Mekarwangi, dan Sindangrasa, 210 dusun, 623 RW, 2712 RT dan dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Bogor dengan batas-batas sebagai berikut: Selatan : Berbatasan dengan kecamatan Cijeruk dan kecamatan Caringin Kabupaten Bogor Timur : Berbatasan dengan kecamatan Sukaraja dan kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor. Utara : Berbatasan dengan kecamatan Sukaraja, kecamatan Bojong Gede, dan kecamatan Kemang Kabupaten Bogor. Barat : Berbatasan dengan kecamatan Kemang dan kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.

5.3 Kondisi Demografis Kota Bogor

Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2007 mencapai 905.132 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 457.717 jiwa dan perempuan 447.415 jiwa. Kota Bogor memiliki laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6,02 persen. Tabel 5. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah pada Masing-Masing Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2007 Nama Kecamatan Jumlah Penduduk Luas Wilayah jiwa jiwakm 2 Bogor Tengah 109.039 8,11 Bogor Timur 91.609 10,15 Bogor Barat 198.296 31,33 Bogor Selatan 176.094 29,26 Bogor Utara 161.562 17,69 Tanah Sareal 168.532 20,31 Sumber: BPS Kota Bogor, 2008 Pada tabel diatas jumlah penduduk di Kecamatan Bogor Barat lebih banyak dibandingkan dengan kecamatan lainnya yaitu 198.296 jiwa dengan luas wilayahnya 31,33 km 2 , sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil ada di Kecamatan Bogor Timur dengan jumlah penduduk sebesar 91.609 jiwa dengan luas wilayah 10,15 km 2 .

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Karakteritik Responde n

Karakteristik responden merupakan sifat atau ciri konsumen yang sudah diberikan pertanyaan melalui kuesioner yang disajikan dari hasil survei. Karakteristik responden dibagi menjadi tiga kelompok rumah tangga berdasarkan tingkat pendapatannya, yaitu kelas ekonomi bawah, menengah, dan atas, dimana pada penelitian ini yang menjadi reponden mayoritas adalah ibu rumah tangga. Karakteristik responden yang dijelaskan dan dibahas dalam penelitian ini meliputi variabel usia, jenis kelamin, pekerjaan, pekerjaan, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, pengeluaran keluarga, pengeluaran untuk pangan, pengeluaran untuk tempe, lokasi pembelian tempe, alasan mengonsumsi tempe dan kapan pembelian tempe.

6.1.1 Usia

Usia sebagai karakteristik demografi yang dapat mempengaruhi preferensi seseorang dalam melakukan keputusan pembelian Rata-rata usia responden pada kelas ekonomi atas adalah 45.5 tahun, untuk kelas ekonomi menengah rata-rata usia responden adalah 43.3 tahun, dan kelas ekonomi bawah adalah 42.8 tahun. Sebagian besar reponden pada kelas ekonomi atas, menengah, dan bawah yang umurnya di atas antara 36-50 tahun tahun sebesar 76 persen, 72 persen, dan 68 persen. Sebaran reponden menurut usia dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Sebaran Responden Berdasarkan Usia Umur Tahun Kelas Ekonomi Atas Kelas Ekonomi Menengah Kelas Ekonomi Bawah n n n 21-35 6 12 6 12 12 24 36-50 38 76 36 72 34 68 50 6 12 8 16 4 8 Jumlah 50 100 50 100 50 100

6.1.2 Jenis Kelamin

Mayoritas responden kelas ekonomi atas, menengah, maupun bawah adalah perempuan yang umumnya adalah ibu rumah tangga, baik yang memiliki pekerjaan maupun tidak memiliki pekerjaan. Hal ini diambil karena biasanya ibu rumah tangga sebagai pengambil keputusan dalam keluarga untuk hal yang berkaitan dengan urusan konsumsi keluarga. Selain itu, jenis kelamin telah menjadi dasar segmentasi pasar yang digunakan dalam menentukan produk yang khusus dihubungkan dengan jenis kelamin tersebut. Untuk sebaran reponden menurut jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 7 berikut. Tabel 7. Sebaran Responden Menurut Jenis Kelamin Jenis Kelamin Kelas Ekonomi Atas Kelas Ekonomi Menengah Kelas Ekonomi Bawah n n n Laki-laki 6 12 8 16 Perempuan 44 88 42 84 50 100 Jumlah 50 100 50 100 50 100

6.1.3 Pekerjaan

Bekerja adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara teratur dan berkesinambungan dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan yang jelas, yaitu untuk menghasilkan atau mendapatkan sesuatu dalam bentuk uang, benda, jasa, maupun ide. Secara umum jenis pekerjaan akan membedakan tingkat pendapatan. Dalam penelitian ini pekerjaan yang diamati adalah pekerjaan dari responden, sementara tingkat pendapatan yang diamati adalah tingkat pendapatan dari rumah tangga. Responden rumah tangga kelas ekonomi atas persentase terbesar untuk jenis pekerjaan adalah ibu rumah tangga yaitu sebesar 70 persen, pegawai negeri sebesar 14 persen, pegawai swasta sebesar 10 persen, dan sisanya enam persen adalah wiraswasta. Untuk reponden kelas ekonomi menengah persentase terbesar untuk jenis pekerjaan adalah ibu rumah tangga sebesar 66 persen, pegawai negeri sebesar 22 persen, pegawai swasta sebesar 12 persen. Sedangkan untuk responden untuk kelas ekonomi bawah persentase terbesar untuk jenis pekerjaan adalah ibu rumah tangga sebesar 90 persen dan wiraswasta sebesar 10 persen. Besarnya proporsi responden yang bekerja untuk semua kelas sosial, baik pegawai negeri, pegawai swasta maupun berwiraswasta merupakan salah satu upaya untuk menambah pendapatan keluarga. Sebaran responden menurut jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 8 sebagai berikut. Tabel 8. Sebaran Responden Menurut Jenis Pekerjaan Jenis Pekerjaan Kelas Ekonomi Atas Kelas Ekonomi Menengah Kelas Ekonomi Bawah n n n Ibu Rumah Tangga 35 70 33 66 45 90 Pegawai Negeri 7 14 11 22 Pegawai Swasta 5 10 6 12 Wiraswasta 3 6 5 10 Jumlah 50 100 50 100 50 100

6.1.4 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan dari responden rumah tangga berbeda satu dengan lainnya dari tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP sampai dengan Sarjana. Selain itu pendidikan dan pekerjaan adalah dua hal yang saling berhubungan, dimana pendidikan akan mampu menentukan jenis pekerjaan konsumen, dan akan berimplikasi pada pendapatan yang akan diterimanya. Persentase terbesar responden rumah tangga kelas ekonomi atas adalah yang memiliki tingkat pendidikan SLTA yaitu sebanyak 34 responden atau 68 persen dari total responden kelas atas. Kelas ekonomi menengah persentase terbesar responden rumah tangga untuk tingkat pendidikan adalah yang memiliki tingkat pendidikan SLTA, yaitu sebanyak 33 responden atau 66 persen dari total responden kelas menengah. Sedangkan untuk kelas ekomoni bawah persentase terbesar responden rumah tangga untuk tingkat pendidikan adalah yang memiliki tingkat pendidikan SLTP yaitu sebanyak 29 responden atau sebesar 58 persen dari total responden kelas ekonomi bawah. Sebaran responden menurut tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Kelas Ekonomi Atas Kelas Ekonomi Menengah Kelas Ekonomi Bawah n n n SD SLTP 29 58 SLTA 34 68 33 66 21 42 Diploma 3 9 18 17 34 Sarjana 7 14 Jumlah 50 100 50 100 50 100

6.1.5 Jumlah Anggota Keluarga J

umlah anggota keluarga kelas ekonomi atas, menengah dan bawah antara 5-6 orang merupakan persentase terbesar dari responden yaitu 68 persen, 60 persen dan 66 persen. Jumlah anggota keluarga akan menentukan distribusi pangan antar anggota keluarga. Keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih kecil tentunya akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan pangannya, terutama bagi keluarga yang termasuk kedalam kelas ekonomi menengah ke bawah, karena kesenjangan distribusi pangan dapat berakibat buruk pada anggota keluarga yang rawan gizi meskipun ketersediaan pangan tercukupi. Tabel 10. Sebaran Responden Menurut Jumlah Anggota Keluarga Jumlah Anggota Keluarga Kelas Ekonomi Atas Kelas Ekonomi Menengah Kelas Ekonomi Bawah n n n Keci l ≤ 4 Orang 11 22 20 40 17 34 Sedang 5-6 Orang 34 68 30 60 33 66 Besar 6Orang 5 10 Jumlah 50 100 50 100 50 100

6.1.6 Pendapatan Keluarga

Tingkat pendapatan rumah tangga tergantung pada kemampuan anggota keluarga untuk memperoleh kesempatan kerja dan penghasilan yang cukup sesuai dengan kemampuan seseorang. Pendapatan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas konsumsi pangan. Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka akan mempengaruhi individu untuk meningkatkan konsumsinya. Sebaran responden menurut jumlah pendapatan keluarga dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Sebaran Responden Menurut Jumlah Pendapatan Keluarga Rpbulan Jumlah Total Pendapatan Keluarga Rpbulan Kelas Ekonomi Atas Kelas Ekonomi Menengah Kelas Ekonomi Bawah n n n Rp 2.000.000 50 100 Rp 2.000.000-Rp 4.900.000 50 100 ≥ Rp 5.000.000 50 100 Jumlah 50 100 50 100 50 100

6.1.7 Pengeluaran

Dalam penelitian ini pengeluaran rumah tangga adalah pengeluaran total yang dikeluarkan suatu rumah tangga selama satu bulan. Pengeluaran total rumah tangga dapat diketahui dengan menghitung jumlah rupiah yang dikeluarkan oleh suatu runmah tangga selama sebulan, baik itu untuk keperluan sehari-hari maupun untuk keperluan rumah tangga lainnya. Responden memiliki jumlah pengeluaran per bulan yang berbeda dengan kisaran berbeda pula untuk setiap kelas sosial. Untuk kelas ekonomi atas, variasi pengeluaran total memiliki kisaran antara Rp 1.000.000- 3.000.000 dengan rata-rata pengeluaran Rp 2.760.000. Untuk kelas ekonomi menengah variasi pengeluaran total perbulan berkisar antara Rp 1.000.000- 2.500.000 dengan rata-rata pengeluaran Rp 1.782.000. untuk kelas ekonomi bawah variasi pengeluaran total perbulan berkisar antara Rp 500.000- 1.500.000 dengan rata-rata pengeluaran Rp 1.035.000. Sebaran responden menurut total pengeluaran keluarga per bulan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran Responden Menurut Jumlah Total Pengeluaran Keluarga Rpbulan Jumlah Total Pengeluaran Keluarga Rpbulan Kelas Ekonomi Atas Kelas Ekonomi Menengah Kelas Ekonomi Bawah n n n Rp 1.000.000 6 12 Rp 1.000.000 - Rp 2.000.000 5 10 31 62 44 88 Rp 2.000.000 45 90 19 38 Jumlah 50 100 50 100 50 100

6.1.8 Pengeluaran untuk Pangan

Pengeluaran keluarga khusus untuk konsumsi pangan dapat diketahui dengan menghitung jumlah rupiah yang dikeluarkan oleh suatu rumah tangga untuk membeli produk pangan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Responden memiliki pengeluaran khusus untuk pangan per bulan yang berbeda satu dengan lainnya dengan kisaran yang berbeda pula untuk setiap kelas sosial. Untuk kelas ekonomi atas, variasi pengeluaran khusus untuk pangan per bulan memiliki kisaran antara Rp 1.000.000- 2.000.000 dengan rata-rata pengeluaran Rp 1.562.000. Untuk kelas ekonomi menengah, variasi pengeluaran khusus untuk pangan per bulan memiliki kisaran antara Rp 500.000- 2.000.000 dengan rata-rata pengeluaran Rp 1.042.000. Sedangkan untuk kelas ekonomi bawah, variasi pengeluaran khusus untuk pangan per bulan memiliki kisaran antara Rp 400.000- 1.000.000 dengan rata-rata pengeluaran Rp 600.000. Tabel 13 menunjukkan bahwa sebanyak lima responden rumah tangga kelas ekonomi atas memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk pangan per bulan sebesar Rp 1.100.000-2.000.000, sedangkan 45 rumah tangga responden memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk pangan per bulan lebih dari 2.000.000. Responden kelas menengah memiliki 25 rumah tangga yang jumlah pengeluaran khusus untuk pangan per bulan sebesar Rp 500.000- 1.000.000, sisanya sebanyak 25 responden rumah tangga memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk pangan per bulan sebesar Rp 1.000.000- 2.000.000. Sedangkan untuk kelas ekonomi bawah, 13 rumah tangga memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk pangan sebesar kurang dari Rp 500.000 dan 37 rumah tangga lainnya memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk pangan per bulan sebesar Rp 500.000- 1.000.000. Tabel 13. Sebaran Responden Menurut Jumlah Total Pengeluaran untuk Pangan Rpbulan Jumlah Total Pengeluaran Untuk Pangan Rpbulan Kelas Ekonomi Atas Kelas Ekonomi Menengah Kelas Ekonomi Bawah n n n Rp 500.000 13 26 Rp 500.000 - Rp 1.000.000 25 50 37 74 Rp1.000.000 – Rp 2.000.000 5 10 25 50 Rp 2.000.000 45 90 Jumlah 50 100 50 100 50 100

6.1.9 Pengeluaran untuk Tempe

Pengeluaran keluarga khusus untuk tempe dapat diketahui dengan menghitung jumlah rupiah yang dikeluarkan oleh suatu rumah tangga untuk membeli produk tempe tersebut guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Responden memiliki pengeluaran khusus untuk tempe per bulan yang berbeda satu dengan lainnya dengan kisaran yang berbeda pula untuk setiap kelas sosial. Tabel 14. Sebaran Responden Menurut Jumlah Total Pengeluaran untuk Tempe Rpbulan Jumlah Total Pengeluaran Untuk Tempe Rpbulan Kelas Ekonomi Atas Kelas Ekonomi Menengah Kelas Ekonomi Bawah n n n Rp 40.000 9 18 6 12 40.000 – Rp 60.000 12 24 17 34 20 40 Rp 60.000 38 76 24 48 24 48 Jumlah 50 100 50 100 50 100 Tabel 14 menunjukkan bahwa sebanyak 12 responden rumah tangga kelas ekonomi atas memiliki jumlah pengeluaran sebesar Rp 40.000- 60.000, 38 responden rumah tangga jumlah pengeluaran untuk tempe per bulan lebih dari Rp 60.000. Untuk kelas ekonomi menengah sebanyak sembilan responden rumah tangga memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk tempe per bulan kyrang dari Rp. 40.000, sebanyak 17 responden memiliki jumlah pengeluaran Rp 40.000- 60.000, dan 24 responden rumah tangga jumlah pengeluaran untuk tempe per bulan lebih dari Rp 60.000. Untuk kelas ekonomi bawah, sebanyak enam responden rumah tangga memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk tempe per bulan kurang dari Rp 40.000, sebanyak 20 responden rumah tangga jumlah pengeluaran untuk tempe per bulan berkisar antara Rp 40.000- 60.000, sedangkan 24 responden rumah tangga memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk pangan per bulan lebih dari Rp 60.000.

6.1.10 Lokasi Pembelian Tempe

Lokasi pemebelian tempe merupakan tempat dimana konsumen dapat membeli tempe. Untuk ekonomi kelas atas lokasi pembelian tempe yang terbesar adalah di pasar yaitu sebesar 56 persen, pembelian di pedagang sayur keliling sebesar 38 persen dan sisanya 3 persen lokasi pembeliannya di warung. Untuk kelas ekonomi menengah lokasi pembelian tempe tebesar adalah di pedagang sayur keliling 38 persen, warung 34 persen, dan pasar 28 persen. Sedangkan kelas ekonomi bawah, lokasi pembelian tempe terbesar adalah di pedagang sayur keliling yaitu sebesar 50 persen, warung 38 persen, dan sisanya 12 persen di pasar. Sebaran lokasi pembelian tempe dapat dilihat pada Tabel 15 berikut. Tabel 15. Sebaran Responden Menurut Lokasi Pembelian Tempe Lokasi Pembelian Kelas Ekonomi Atas Kelas Ekonomi Menengah Kelas Ekonomi Bawah n n n Pasar 28 56 14 28 6 12 Warung 3 6 17 34 19 38 Supermarket Pedagang Sayur Keliling 19 38 19 38 25 50 Jumlah 50 100 50 100 50 100

6.1.11 Alasan Mengonsumsi Tempe

Alasan untuk mengonsumsi tempe adalah hal-hal yang mendasari seseorang untuk mengonsumsi tempe. Alasan seseorang untuk mengonsumsi tempe itu berbeda-beda untuk setiap kalangan, baik itu kalangan ekonomi atas, menengah, dan bawah. Untuk Kelas ekonomi atas, alasan mengonsumsi tempe terbesar yaitu karena tempe sudah menjadi kebutuhan yaitu sebesar 44 persen, variasi menu sebesar 28 persen, sisanya katena harganya murah dan untuk pemenuhan gizi yaitu sebesar 16 persen dan 12 persen. Alasan kelas ekonomi menengah mengonsumsi tempe terbesar karena sudah menjadi kebutuhan 46 persen, variasi menu 20 persen, pemenuhan gizi 18 persen dan harganya murah 16 persen. Sedangkan untuk kelas ekonomi bawah, alasan mengonsumsi tempe sebagian besar karena harganya yang murah 50 persen, dan sudah menjadi kebutuhan 44 persen serta untuk pemenuhan gizi 6 persen. Tabel 16. Sebaran Responden Menurut Alasan MengonsumsiTempe Alasan Mengonsumsi Tempe Kelas Ekonomi Atas Kelas Ekonomi Menengah Kelas Ekonomi Bawah n n n Harganya Murah 8 16 8 16 25 50 Variasi Menu 14 28 10 20 Pemenuhan Gizi 6 12 9 18 3 6 Sudah Menjadi Kebutuhan 22 44 23 46 22 44 Jumlah 50 100 50 100 50 100

6.1.12 Kapan Pembelian Tempe

Kelas ekonomi atas biasanya melakukan pembelian tempe secara mendadak, hal ini dapat dilihat pada tabel 16 yaitu sebesar 62 persen, jika pesediaan habis sebesar 22 persen, dan sisanya 16 persen secara terencana. Untuk kelas ekonomi menengah waktu pemebelian tempe adalah secara mendadak yaitu sebesar 50 persen, secara terencana 32 persen, dan jika persediaan habis sebesar 18 persen. Sedangkan untuk kelas ekonomi bawah, waktu pembelian tempe terbesar adalah secara mendadak yaitu 80 persen, secara terencana sebesar 14 persen dan sisanya 6 persen ketika pesediaan tempe telah habis. Tabel 17. Sebaran Responden Menurut Waktu Pembelian Tempe Kapan Pembelian Tempe Kelas Ekonomi Atas Kelas Ekonomi Menengah Kelas Ekonomi Bawah n n n Mendadak 31 62 25 50 40 80 Terencana 8 16 16 32 7 14 Jika Persedian Habis 11 22 9 18 3 6 Jumlah 50 100 50 100 50 100

6.2 Analisis Faktor yang Mempengaruhi Konsumi Tempe

Model atau bentuk persamaan yang digunakan untuk menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi konsumsi tempe adalah dengan menggunakan model persamaan regresi berganda. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap konsumsi tempe adalah harga tempe X 1 , harga tahu X 2 , harga telur X 3 , jumlah anggota keluarga X 4 , pendidikan terakhir X 5 , dan kelas ekonomi atas D1, kelas ekonomi menengah D2, dan kelas ekonomi atas D3 Hasil pendugaan yang diperoleh dengan menggunakan regresi linear berganda adalah sebagai berikut : C = - 32094 + 11.4 X1 + 10.2 X2 + 2.06 X3 + 1732 X4 + 726 X5 + 3892 D1 + 6864 D2 Keterangan : C = Konsumsi Tempe X 1 = Harga Tempe X 2 = Harga Tahu X 3 = Harga Telur X 4 = Jumlah anggota Keluarga X 5 = Pendidikan Terakhir D 1 = Kelas Ekonomi Bawah D 2 = Kelas Ekonomi Menengah D 3 = Kelas Ekonomi Atas Tabel 18. Hasil Analisis Ragam Source DF SS MS F hit P Regression 7 27205949362 3886564195 108.90 0.000 Residual Error 142 5067785638 35688631 Total 149 32273735000 Dari hasil pendugaan diperoleh koefisien determinasi R 2 sebesar 84.3 persen. Hal ini mengartikan bahwa model regresi yang digunakan dapat menerangkan variasi keragaman dari nilai konsumsi tempe beserta variabel independennya sebesar 84.3 persen, kemudian sisanya sebesar 15.7 persen diterangkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Dari tabel diketahui nilai F-hitung sebesar 108.90 yang lebih besar dari nilai F-tabel sebesar 2,01 pada selang kepercayaan 95 persen, sehingga dapat dihipotesiskan bahwa variabel independen yaitu harga tempe, harga tahu, harga telur, jumlah anggota keluarga, dan pendidikan terakhir secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan linear pada variabel itu sendiri yang terlambat beberapa periode dilakukan uji autokorelasi. Statistik uji Durbin-Watson digunakan untuk mengetahui apakah terdapat autokorelasi atau tidak. Nilai Durbin-Watson d yang didapatkan pada model ini adalah 0.43. Nilai ini menandakan bahwa terdapat autokorelasi pada model regresi. Untuk mengetahui apakah residual atau error sudah menyebar normal dilakukan uji normalitas dengan uji Komogorov-Smirnov. Nilai dengan uji uji Komogorov- Smirnov kurang dari 0,01, ini berarti residual atau error dalam model regresi linear berganda sudah tidak menyebar normal. Untuk melihat signifikansi dan koefisien masing-masing variabel independent yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Analisis Variabel Pada Model Regresi Linear Berganda Konsumsi Tempe Predictor Coef SE T hitung P hitung VIF Constant -32094 13940 -2.30 0.023 Harga Tempe X1 11.4281 0.5555 20.57 0.000 1.7 Harga Tahu X2 10.194 1.857 5.49 0.000 1.4 Harga Telur X3 2.0633 0.9035 2.28 0.024 1.7 Jumlah Anggota Keluarga X4 1732.4 696.4 2.49 0.014 1.2 Pendidikan Terakhir X5 726.3 316.0 2.30 0.023 2.1 Kelas Ekonomi Bawah D1 3892 1730 2.25 0.026 2.8 Kelas Ekonomi Menengah D2 6864 1308 5.25 0.000 1.6 T tabel0,05;142 = 1,645 Interpretasi koefisien dan signifikansi setiap variabel independen dari hasil analisis secara detail dapat dilihat sebagai berikut : Harga Tempe X 1 Koefisien harga tempe bernilai positif yaitu sebesar 11.4281 Angka ini mengartikan bahwa jika terjadi kenaikan harga tempe sebesar satu rupiah, maka rata-rata konsumsi tempe akan meningkat 11.4281. Pernyataan ini tidak sejalan dengan hipotesis awal, yaitu semakin tinggi harga tempe maka konsumsi tempe akan turun, dimana harga tempe mempunyai hubungan negatif dengan konsumsi tempe. Ketidaksesuaian ini mungkin terjadi karena konsumen sudah mengetahui kandungan gizi yang terdapat dalam tempe, sehingga walaupun harga tempe naik mereka tetap tidak mengurangi untuk mengonsumsi tempe. Kemudian untuk mengetahui apakah variabel harga tempe secara parsial berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe, dapat dilihat dari nilai T hitung . Untuk variabel harga tempe nilai T hitung nya lebih besar jika dibandingkan dengan T tabel 1,645 pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata secara parsial terhadap konsumsi tempe. Kemudian nilai Variance Inflation Factor VIF yang didapatkan untuk variabel harga tempe lebih kecil dari lima yaitu sebesar 1,7. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat multikolinear antar variabel harga tempe dengan variabel independen lainnya. Harga Tahu X 2 Koefisien harga tahu bernilai positif yaitu sebesar 10.194. Angka ini mengartikan bahwa jika terjadi kenaikan harga tahu sebesar satu rupiah, maka rata-rata konsumsi tempe akan meningkat 10.194. Pernyataan ini sejalan dengan hipotesis awal, yaitu semakin tinggi harga tahu maka konsumsi tempe akan naik, dimana harga tahu mempunyai hubungan positif dengan konsumsi tempe. Kemudian untuk mengetahui apakah variabel harga tahu secara parsial berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe, dapat dilihat dari nilai T hitung . Untuk variabel harga tahu nilai T hitung nya lebih besar jika dibandingkan dengan T tabe l 1,645 pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata secara parsial terhadap konsumsi tempe. Kemudian nilai Variance Inflation Factor VIF yang didapatkan untuk variabel harga tahu lebih kecil dari lima yaitu sebesar 1,4. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat multikolinear antar variabel harga tahu deng an variabel independen lainnya Harga Telur X 3 Koefisien harga telur bernilai positif yaitu sebesar 2.0633. Angka ini mengartikan bahwa jika terjadi kenaikan harga telur sebesar satu rupiah, maka rata-rata konsumsi tempe akan meningkat 2.0633. Pernyataan ini sejalan dengan hipotesis awal, yaitu semakin tinggi harga telur maka konsumsi tempe akan naik, dimana harga telur mempunyai hubungan positif dengan konsumsi tempe Untuk mengetahui apakah variabel harga telur secara parsial berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe, dapat dilihat dari nilai T hitung . Untuk variabel harga telur nilai T hitung nya lebih besar jika dibandingkan dengan T tabe l 1,645 pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata secara parsial dan dapat menjelaskan konsumsi tempe. Kemudian nilai Variance Inflation Factor VIF yang didapatkan untuk variabel harga telur lebih kecil dari lima yaitu sebesar 1,7. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat multikolinear antar variabel harga telur dengan variabel independent lainnya. Jumlah Anggota Keluarga X 4 Koefisien pendapatan bernilai positif yaitu sebesar 1732.4. Angka ini mengartikan bahwa jika jumlah anggota betambah sebesar satu orang, maka rata- rata konsumsi tempe akan meningkat 1732.4. Pernyataan ini sejalan dengan hipotesis awal, yaitu semakin banyak anggota keluarga maka konsumsi tempe akan naik, dimana jumlah anggota keluarga mempunyai hubungan positif dengan konsumsi tempe. Kemudian untuk mengetahui apakah variabel jumlah anggota keluarga secara parsial berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe, dapat dilihat dari nilai T hitung . Untuk variabel jumlah anggota keluarga nilai T hitung nya lebih besar jika dibandingkan dengan T tabel 1,645 pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata secara parsial terhadap konsumsi tempe. Kemudian nilai Variance Inflation Factor VIF yang didapatkan untuk variabel pendapatan lebih kecil dari lima yaitu sebesar 1,2. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat multikolinear antar variabel jumlah anggota keluarga dengan variabel independent lainnya. Pendidikan Terakhir X 5 Koefisien pendidikan terakhir bernilai positif yaitu sebesar 726.3. Angka ini mengartikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka rata-rata konsumsi tempe akan meningkat 726.3. Pernyataan ini sejalan sejalan dengan hipotesis awal, yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan maka konsumsi tempe akan naik, dimana tingkat pendidikan mempunyai hubungan positif dengan konsumsi tempe. Kemudian untuk mengetahui apakah variabel tingkat pendidikan secara parsial berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe, dapat dilihat dari nilai T hitung . Untuk variabel tingkat pendidikan nilai T hitung nya lebih besar jika dibandingkan dengan T tabel 1,645 pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata secara parsial terhadap konsumsi tempe. Kemudian nilai Variance Inflation Factor VIF yang didapatkan untuk variabel pendapatan lebih kecil dari lima yaitu sebesar 2.1. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat multikolinear antar variabel tingkat pendidikan dengan variabel independent lainnya. Kelas Ekonomi Bawah D 1 Koefisien pendidikan terakhir bernilai positif yaitu sebesar 3892. Angka ini mengartikan bahwa semakin tinggi kelas ekonomi bawah, maka rata-rata konsumsi tempe akan meningkat 3892. Pernyataan ini sejalan sejalan dengan hipotesis awal, yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan maka konsumsi tempe akan naik, dimana kelas ekonomi bawah mempunyai hubungan positif dengan konsumsi tempe. Kemudian untuk mengetahui apakah variabel kelas ekonomi bawah secara parsial berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe, dapat dilihat dari nilai T hitung . Untuk variabel kelas ekonomi bawah nilai T hitung nya lebih besar jika dibandingkan dengan T tabel 1,645 pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata secara parsial terhadap konsumsi tempe. Kemudian nilai Variance Inflation Factor VIF yang didapatkan untuk variabel kelas ekonomi bawah lebih kecil dari lima yaitu sebesar 2.8. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat multikolinear antar variabel tingkat pendidikan dengan variabel independent lainnya Kelas Ekonomi Menengah D 2 Koefisien pendidikan terakhir bernilai positif yaitu sebesar 6864. Angka ini mengartikan bahwa semakin tinggi kelas ekonomi menengah, maka rata-rata konsumsi tempe akan meningkat 6864. Pernyataan ini sejalan sejalan dengan hipotesis awal, yaitu semakin tinggi kelas ekonomi menengah maka konsumsi tempe akan naik, dimana kelas ekonomi menengah mempunyai hubungan positif dengan konsumsi tempe. Kemudian untuk mengetahui apakah variabel kelas ekonomi menengah secara parsial berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe, dapat dilihat dari nilai T hitung . Untuk variabel kelas ekonomi menengah nilai T hitung nya lebih besar jika dibandingkan dengan T tabel 1,645 pada taraf nyata lima persen. Hal ini mengartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata secara parsial terhadap konsumsi tempe. Kemudian nilai Variance Inflation Factor VIF yang didapatkan untuk variabel kelas ekonomi menengah lebih kecil dari lima yaitu sebesar 1.6. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat multikolinear antar variabel kelas ekonomi menengah dengan variabel independent lainnya Faktor-faktor yang berpengaruh nyata dalam mengonsumsi tempe adalah harga tempe itu sendiri, harga tahu, harga telur, jumlah anggota keluarga, pendidikan terakhir dari responden, kelas ekonomi bawah, dan kelas ekonomi menengah. Harga tempe berpengaruh nyata karena konsumen melihat harga dari barang yang akan dibelinya atau dikonsumsinya. Harga tahu berpengaruh nyata karena, apabila harga tahu naik maka konsumen akan beralih pada makanan yang bahan dasarnya sama dari kedelai dan salah satunya tempe. Harga telur berpengaruh nyata karena apabila harga telur naik, maka konsumen akan mengurangi untuk mengonsumsi telur dan beralih pada makanan lain yang harganya lebih murah. Jumlah anggota keluarga berpengaruh nyata karena, semakin banyak anggota keluarga maka konsumsi suatu barangpun akan semakin meningkat. Sedangkan pendidikan terakhir berpengaruh nyata karena konsumen akan mempertimbangkan produk mana yang lebih bermanfaat atau berguna sebelum membelinya. Kelas ekonomi bawah dan menengah berpengaruh nyata terhadap konsumsi tempe karena harganya yang murah dan bergizi, selain itu karena sudah menjadi kebiasaan untuk mengonsumsi tempe. Harga tempe merupakan variabel yang paling responsif diantara variabel- variabel lainnya, hal ini di karenakan konsumen akan mengonsumsi suatu barang dilihat dari harga barang itu sendiri Apabila harga barang itu murah maka konsumen akan mengonsumsinya, apabila harganya tinggi, maka konsumen akan mempertimbangkan untuk mengonsumsi barang tersebut.

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan