13 6.
Recovery kerusakan tata guna lahan dan tata air yang terjadi umumnya akan sulit mengembalikan sampai sama seperti semula.
Beberapa masalah yang berkaitan dengan rendahnya pengelolaan sumberdaya air di Indonesia dalam Sanim 2011, antara lain:
1. Adanya fragmentasi pengelolaan antar instansi Pemerintah Republik
Indonesia dan sulitnya koordinasi antar berbagai instansi dalam mengelola sumberdaya air.
2. Pengelolaan sumberdaya air yang masih terbatas dan berorientasi hanya pada
sisi penyediaan semata bukan pada sisi kebutuhan. 3.
Borosnya pemakaian air untuk pertanian karena rendahnya efisiensi pemakaian air untuk sektor pertanian. Sebagai pengguna 80-90 persen dari
seluruh pemanfaat air, sektor pertanian diperkirakan memakai air efektif untuk pertumbuhan tanaman hanya 50-60 persen, selebihnya hilang saat pengaliran
di saluran atau menggenang tidak optimal di area persawahan. Apabila saat ini air yang dialokasikan untuk irigasi sekitar 4 000 meter kubik per detik, maka
peningkatan efisiensi sekitar 10 persen saja akan menghemat air 400 meter kubik per detik.
4. Organisasi pengelolan sumberdaya air masih tersentralisasi di pusat belum
terdesedentralisasi walaupun otonomi daerah telah dicanangkan sejak tahun 2000.
5. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya air disatu sisi
dan disisi lain masih belum banyak melibatkan partisipasi masyarakat lokal dalam organisasi pengelolaan sumberdaya air.
6. Distribusi pelayanan air tidak merata. Distribusi lebih banyak difokuskan
untuk melayani kegiatan komersial yang mendukung pembangunan ekonomi. Hanya konsumen yang mampu membayar yang dapat memiliki akses terhadap
air bersih. 7.
Polusi air yang menyebabkan air di Jakarta dan kota besar lainnya tidak layak dijadikan sebagai air minum karena sumberdaya air yang telah tercemar,
seperti adanya kandungan bakteri coli dalam air tanah. 8.
Ketidakmampuan Pemerintah Indonesia untuk memperluas jaringan irigasi bagi keperluan pertanian, sehingga terjadi penurunan produksi padi.
14 9.
Berkurangnya sediaan supply air, baik bagi air bersih maupun air minum yang disebabkan berkurangnya daerah tangkapan air akibat alih fungsi lahan.
2.5 Nilai Ekonomi Sumberdaya Air
Sumberdaya air merupakan sumberdaya penting yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia. Air selain merupakan kebutuhan dasar manusia, tapi juga
sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama global commons atau sebagai common resources,
sumberdaya alam yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna memperoleh keuntungan. Dengan adanya UU No.7 Tahun
2004 tentang Sumberdaya Air dan Konvenan Internasional
4
, pandangan tradisional tersebut sudah berubah dan ditinggalkan, karena air tidak sekedar
hanya barang publik tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi. Paradigma tradisional ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan air modern yang
berdasarkan pada nilai ekonomi intrinsik intrinsic value dari air, yang didasarkan pada asumsi adanya keterbatasan dan kelangkaan air limited and
scarcity water serta dibutuhkannya investasi atau penyediaan air bersih, sebagai pemenuhan hak atas setiap warga negara Sanim, 2011.
Air sebagai komoditas ekonomi diperlukan untuk berbagai kebutuhan seperti untuk kebutuhan air domestik rumah tangga, industri, pertanian, dan
pembangkit listrik. Seperti yang dinyatakan dalam Prinsip Dublin pada KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 yaitu:
1. Air tawar adalah sumberdaya terbatas dan rentan, penting untuk
mempertahankan kehidupan, pembangunan, dan lingkungan hidup. 2.
Pengembangan dan manajemen air harus didasarkan pada pendekatan partisipatif melibatkan pengguna, perencana, dan pembuat kebijakan pada
semua tingkatan. 3.
Perempuan memainkan peran sentral dalam penyediaan, manajemen, dan pengamanan air.
4
Konvenan Internasional yang diimplementasikan pada Pasal 4 UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, yang menyatakan bahwa “Sumberdaya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan
hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras”.
15 4.
Air memiliki nilai ekonomi dalam seluruh penggunaan bersaing dan harus diakui sebagai barang ekonomi.
Prinsip keempat Dublin menyatakan bahwa air sebagai komoditas ekonomi, sehingga sangat penting untuk mengenali hak dasar manusia untuk
memiliki akses ke air bersih dan sanitasi dengan harga yang terjangkau. Mengelola air sebagai barang ekonomi merupakan cara penting untuk mencapai
efisiensi penggunaan yang adil dan merata, serta mendorong pelestarian dan perlindungan sumberdaya air. Menyadari air sebagai barang ekonomi merupakan
alat untuk pengambilan keputusan dalam mendistribusikan air antar sektor ekonomi yang berbeda dan pengguna yang berbeda dalam sektor. Hal ini sangat
penting ketika pasokan air tidak dapat ditingkatkan GWP, 2010. Mangkoesoebroto 1987, mengatakan bahwa air harus digunakan sebagai
barang ekonomis dan penggunaannya harus diatur agar tercapai kesejahteraan masyarakat yang optimal. Apalagi dengan perkembangan jumlah penduduk dan
kemajuan teknologi, akan menyebabkan permintaan air menjadi semakin besar sedangkan penawarannya semakin sedikit. Oleh karena itu perlu ditentukan suatu
kebijaksanaan agar air yang tersedia dapat digunakan secara efisien dengan menetapkan suatu harga, tidak hanya pada air bersih yang dihasilkan oleh
perusahaan air minum, tetapi juga seluruh air yang tersedia. Nilai ekonomi secara umum didefinisikan sebagai pengukuran jumlah
maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar
willingness to pay seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan Fauzi, 2006. Nilai air bagi penggunanya
adalah jumlah maksimum konsumen mau membayar willingness to pay penggunaan air.
2.6 Konsep Contingent Valuation Method CVM
Metode Valuasi
Kontingensi Contingent
Valuation Method
memungkinkan semua komoditas yang tidak diperdagangkan di pasar dapat diestimasi nilai ekonominya. CVM adalah cara perhitungan secara langsung,
dalam hal ini langsung menanyakan kesediaan untuk membayar willingness to
16 pay kepada masyarakat dengan titik berat preferensi individu menilai benda
publik yang penekanannya pada standar nilai uangmoneter Hanley dan Spash, 1993.
Pendekatan yang tepat untuk memperkirakan kebersediaan membayar adalah dengan Contingent Valuation Method. Ide yang mendasari metode ini
adalah bahwa sesungguhnya orang-orang memiliki preferensi yang tersembunyi untuk semua komoditas lingkungan. Diasumsikan bahwa orang-orang memiliki
kemampuan untuk mentransformasikan preferensi-preferensi ini ke dalam satuan moneter d’Arge, 1985 dalam Tresnadi, 2000. Berdasarkan asumsi ini, CVM
menilai barang lingkungan dengan menanyakan pada responden salah satu dari pertanyaan berikut:
a. Berapa jumlah maksimum uang yang akan dibelanjakan oleh anda atau rumah
tangga anda Willingness to Pay setiap bulan atau tahun untuk memperoleh perbaikan kualitas lingkungan environment improvement
b. Berapa jumlah uang minimum yang anda atau rumah tangga anda dapat terima
Willingness to Accept setiap bulan atau tahun untuk menerima kerusakan atau penurunan kualitas lingkungan environment deterioration
Kedua pertanyaan diatas penting dalam membentuk pasar hipotesis perubahan lingkungan, yaitu pasar yang terbentuk dimana responden mau
membeli WTP dan menerima WTA barang-barang lingkungan pada kondisi kualitas yang lebih baik atau lebih buruk. Penelitian ini akan meneliti nilai
kesediaan membayar masyarakat WTP untuk perbaikan kualitas lingkungan yaitu perbaikan sumberdaya air.
2.7 Kesediaan untuk Membayar Willingness to Pay
Willingness to pay dapat diartikan sebagai jumlah maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari terjadinya penurunan terhadap sesuatu Fauzi,
2006. Menurut Hanley dan Spash 1993, Willingness to Pay atau kesediaan untuk membayar terhadap suatu kondisi lingkungan atau penilaian terhadap
sumberdaya alam dan jasa alami dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan. Dalam WTP dihitung seberapa jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat
secara agregat untuk membayar atau mengeluarkan uang dalam rangka