TAFSIR AYAT-AYAT EKONOMI AL-QUR’AN Rafiq Yunus menyatakan, mengapa kata yang dipakai amwalukum

56 TAFSIR AYAT-AYAT EKONOMI AL-QUR’AN Rafiq Yunus menyatakan, mengapa kata yang dipakai amwalukum

  bukan amwaluhum ? menurutnya ada beberapa pendapat tentang hal ini. Pertama, bahwasanya orang yang dikhitab (wali) adalah qawwamuha wa mudabbiruha. Bukankah harta tersebut berada di tanganmu dan engkau pula yang mentasarrufkannya. Dan itu tidak dalam arti malikuha (sebagai pemiliknya). Pendapat lainnya mengatakan, harta mereka (anak yatim) seolah-olah menjadi hartamu. Bagaimana engkau memelihara hartamu begitu pulalah engkau memelihara hartanya. 5

  Tegasnya agar harta anak yatim itu tidak habis dipakai untuk kepentingan konsumtif, menjadi keniscayaan jika setiap wali berupaya untuk memberdayakan dan memproduktifkan harta yang dipeliharanya tersebut. Dari keuntungan harta itu, wali bisa menutupi kebutuhan keseharian keluarganya, memberi makan anak yatim dan juga memberinya pakaian. Sampai di sini, wali telah melakukan tugasnya untuk memenuhi kebutuhan material anak yatim. Namun hal ini tidaklah cukup. Al- Qur’an menganjurkan untuk tidak mengatakan mewajibkan kepada wali, untuk memperhatikan perkembangan jiwanya. Bahkan pemenuhan kebutuhan materialnya sama pentingnya dengan kebutuhan jiwanya. Oleh karena itulah, Al-Qur’an memerintahkan kepada semua umat manusia untuk mengucapkan kepada mereka kata-kata yang baik.

  Sampai di mana sesungguhnya batasan (waktu) kita dalam memelihara anak yatim ? Dengan kata lain, kapan masanya harta anak yatim harus dikembalikan kepada pemiliknya ? Ayat di bawah ini yang merupakan kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya, akan memberi tuntutan tentang persoalan ini:Q.S. Al-Nisa’:6

  öΝÍκös9Î) (þθãèsù÷Šsù Y‰ô©â‘ öΝåκ÷]ÏiΒ Λä⎢ó¡nΣu™ ÷βÎsù yys3ÏiΖ9 (θäón=t sŒÎ) ©¨Lym 4’yϑ≈tGuŠø9 (θè=tGöuρ ⎯tΒuρ ( ôÏ÷ètGó¡uŠù=sù |‹ÏΨxî tβx. ⎯tΒuρ 4 (ρçy9õ3tƒ βr ·‘y‰Îuρ ]ùuó Î) !yδθè=ä.ù's? Ÿωuρ ( öΝçλm;≡uθøΒr 4‘xx.uρ 4 öΝÍκön=tæ (ρ߉Íκô−r'sù öΝçλm;≡uθøΒr öΝÍκös9Î) öΝçF÷èsùyŠ sŒÎsù 4 Å∃ρá÷èyϑø9Î ö≅ä.ù'uŠù=sù ZÉ)sù tβx. ∩∉∪ Y7ŠÅ¡ym «!Î

  5 Rafiq Yunus, Al-I’jaz al-Iqtishadi.., h. 42

  TAFSIR AYAT-AYAT EKONOMI AL-QUR’AN

  Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

  Pada ayat di atas diceritakan bahwa para wali tidak saja memelihara anak yatim tetapi juga menjaga hartanya. Lebih jauh dari itu, menjaga harta harus dimaknai dengan memproduktifkan dan mengembangkan harta, apakah dengan jalan perdagangan ataupun investasi.

  Selanjutnya pada ayat di atas, Allah mengingatkan harta anak yatim tidak semestinya dikelola selamanya. Harta anak yatim harus dikembalikan kepada pemiliknya apabila mereka sudah dipandang layak untuk mengelolanya. Al-Qur’an mengajarkan, untuk memastikan apakah anak yatim tersebut sudah pantas untuk mengelola hartanya, ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, para wali dianjurkan untuk menguji (fit and proper test). Inilah makna yang dikandung kata al-ibtila’. Ayat tersebut seolah memberi petunjuk kepada para wali untuk memperhatikan kecerdasan emosi anak yatim tersebut apakah mereka telah memiliki kesiapan untuk menikah. Agaknya, kesiapan menikah dijadikan indikator bahwa anak yatim tersebut sudah dapat di lepas. Artinya, ia dipandang telah mandiri, berani mengambil sikap, membuat keputusan dan siap bertanggungjawab dengan keputusa yang telah diambil. Kedua, adalah menguji kecerdasan finansialnya. Apakah ia sudah mampu mengelola dan membelanjakan uang. Apakah ia memiliki kecerdasan untuk membedakan antara kebutuhan dan hasrat. Tegasnya, apakah ia memiliki skala prioritas dalam berbelanja.

  Dengan bahasa yang agak berbeda, kita bisa megatakan bahwa Al-Qur’an menggunakan dua kategori untuk memastikan al-yatama