Pertumbuhan Pribadi Penerimaan Diri

74 kakak dan keponakan. Ketika wawancara, subjek mengatakan demikian: “Kalau sama mas-mas sih, kayak aku tu lebih manut gitu lo. Soalnya kan, mas-masnya kan jaraknya juga udah jauh-jauh juga dan dia udah yang berkeluarga. Udah yang kayak misal ngasih tau, ngasih tau kayak gitu. Tapi kan untuk mas yang nomer 4 kan jaraknya nggak jauh juga, cuma 3 tahun. Kalau aku sih masih, masih mendingan gimana to mas. Kayak masih yang merengek-rengek, minta-minta gitu lo. Kalau sama mbak sih, ohya, ya tinggal manut-manut aja. Kalau caranya sih, sekarang sih lebih ke anak-anaknya gitu lo. Anak-anaknya mbak-mbakku gitu lo. Kan kayak akunya kayak pendekatan. Sebenernya pendekatan-pendekatannya tu lebih ke ponakan- ponakan gitu lo. Mungkin ini, lebih tanya ke misalnya bapak lagi ngapain, ibu lagi ngapain. Kayak gitu, kayak gitu. Oh ini, ini lo ditanyain sama bulek, misalnya kayak gitu. Nah lebih kayak gitu sih, lebih deketin ke anak-anaknya kalau enggak ya mungkin kalau sama mas mbaknya cuma kayak cerita. Lagian kan kayak jauh juga kan dari sini. Kayak gimana kabar sana, gimana kabar sini. Tapi tiap hari sih tetep SMS atau telepon, kayak gitu” Subjek 3, 501-514 dan 523-542 Setelah ibu meninggal, subjek sering curhat dengan kakak perempuannya ketika menghadapi masalah. Subjek tidak ingin menceritakannya ke bapak. Akan tetapi, kedekatan subjek dengan kakak mulai berbeda ketika kakaknya menikah. Subjek dapat memahami kondisi kakak yang harus lebih memperhatikan keluarganya. Subjek mengatakan demikian: “Dan sekarang ibu udah nggak ada, ya jadi jarang cerita ke bapak. Lebih ke mbak. Biasanya e sama embak juga kadang curhat. Sama embak, misal duh kalau misalnya sekiranya permasalahan yang maksutnya kayak yang nggak sampai aku cerita ke orangtua, ya aku ceritanya sama mbak, gitu. Mbak gimana nih, aku di kampus kayak gini, hidupku kayak gini. 75 Misal kayak gitu, aku juga kayak sering cerita sih. Dan misalnya feedbacknya dari dia juga, ya kamu tu harusnya kayak gini, kayak gini. Jangan terlalu membuat, misalnya jangan terlalu membebankan orangtua. Misal kalau lagi ada masalah atau apa, kayak gitu sih. Seperti itu sih. Ya sering dikasih nasehat-nasehat gitu aja. Sebenarnya ada perbedaan juga iya sih. Kayak dulu sebelum berkeluarga itu, kayak kita tu kayak deket gitu lo. Masih, mbak aku ini ini ni, gimana ni, gimana. Sekarang kalau pun sekarang kan, ya aku udah tau dia kan udah berkeluarga. Jadi kayak mau ngomong yang terlalu ini sensi gitu juga nggak berani. Toh dia juga udah kayak punya keluarga sendiri yang harus diutamakan. Jadi kayak aku, aku ceritanya kayak yang masalah-masalah biasa aja yang nggak terlalu seintim dulu gitu lo. Gitu.” Subjek 3,648-650, 543-562, 568-583 Subjek memiliki hubungan yang dekat dengan teman- temannya. Terlebih saat ini subjek jauh dari keluarga, subjek lebih mengutamakan teman sebagai tempat untuk berbagi cerita. Subjek selalu berusaha untuk dapat menjadi pendengar yang baik untuk teman-temannya. Selain itu, subjek juga berusaha untuk dapat mengenali karakter masing-masing temannya. Demikian pernyataan subjek saat wawancara: “E kalau sekarang sih, e apa ya aku kayak lebih mengutamakan temen gitu lo. Kayak lebih, disaat aku jauh dari keluarga sekarang ini, yang aku punya kan cuma temen. Yaudah, aku kayak share problematikku tu sama temen- temen. Tapi, kayak aku juga punya batesan-batesan sih. Dimana yang aku bisa share ke temen dan dimana aku harus menyimpannya sendiri yang itu kayak masalah pribadi. Tapi, toh disini aku juga kayak apa ya, kan deket sama temen- temen juga. Kayak misal aku bersama temen-temenku, aku selalu berusaha menjadi pendengar yang baik tapi aku juga meminta ke temen-temenku. Tolong dong aku punya kayak gini, kayak gini. Semua temen, aku berusaha buat ngenali semua temenku, satu-satu gitu lah. Kamu itu tipenya orang 76 kayak gimana, gimana gitu lah.” Subjek 3, 889-908 dan 952-955 Subjek merupakan pribadi yang ingin memiliki banyak teman. Salah satu tujuan subjek mengikuti organisasi adalah untuk menambah pertemanan, seperti yang dikatakannya: “Kalau relasi, aku adalah typical orang yang pengennya banyak temen, kayak gitu lo. Jadi, salah satu tujuannya kayak organisasi atau apa itu kan nambah temen. Aku sih e temennya ya gimana ya, temennya banyak, aku kesana kesini.” Subjek 3, 943-950 Untuk menjaga hubungan dengan teman-temannya, subjek selalu meminta maaf ketika ada salah. Subjek dapat memahami dan menghargai kesibukan dari masing-masing teman-temannya. Selain itu, subjek memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk menjaga komunikasi dengan teman-temannya. Saat wawancara, subjek mengatakan demikian: “Ya paling minta maaf, minta maaf kayak gitu, udah nyambung lagi. Besok kalau ada cekcok-cekcok lagi, marah-marah lagi, ya kayak gitu sih. Kalau untuk yang kayak nyatuin jadwal misal buat ketemuan gitu, kita sekarang harus lebih yang kita udah gedhe udah tau. Dia punya kegiatan sendiri. Kayak kita tu harus ngalah dulu lah. Biarkan dia sendiri yang mendahulukan yang mana. Ya lebih menghargai gitu lah ya. Kalau menjaga hubungan sih sekarang tetep kayak kontak-kontakan gitu sih. Tetep masih kontak-kontakan meskipun kayak kita beda kota, beda univ kayak gitu. Sekarang sih masih yang kontak- kontakan, tapi yang frekuensi untuk kayak ketemu ngumpul- ngumpul bareng gitu kan otomatis kurang. Tapi, toh lebih mengoptimalkan kayak di sosial media, atau apalah kayak gitu sih. Subjek 3, 997-1010, 1014-1025 77 Sementara itu, subjek memiliki hubungan yang biasa saja dengan para tetangga di sekitar rumahnya. Subjek merasa tidak nyaman dengan lingkungan rumah karena adanya perbedaan cara pandang antara subjek dengan tetangga-tetangganya. Teman-teman seusianya di rumah sudah bekerja, menikah dan punya anak. Sedangkan subjek masih kuliah dan masih ingin belajar. Ketika ada waktu luang, subjek lebih memilih untuk pergi dengan teman- temannya daripada di sekitar rumah. Hal tersebut sesuai dengann pernyataannya ketika wawancara: “Kalau di rumah, itu tu sebenarnya ya itu sebenarnya kalau aku di sekolah di kampus tu yang lebih cerewet. Tapi kalau, kalau aku rasa sih kalau di rumah itu biasa-biasa aja. Sama tetangga-tetangga juga yang biasa-biasa aja. Enggak yang terus say hai, gimana buk ada apa,ada apa. Kayak gitu tu enggak. Aku typical orang yang kalau misalnya ada waktu pun, enggak yang main di tetangga-tetangga gitu. Enggak yang menyambangi temen-temen sepantaran gitu enggak sih. Soalnya aku kayak ngerasa, beda sih feel ku di rumah sama di sekolah. Lagian temen-temen sepantaranku tu beda juga tu lo orientasinya. Kalau aku tu, ya gimana ya kayak mikir inilah gimana gimana gitu. Kalau sini kan kayak, ya bukannya gimana-gimana. Cuma menurutku lingkungannya tu beda sama kayak aku di sekolah gitu lo. Misalpun ada waktu luang, aku lebih milih main ke luar sama temen-temen gitu. Kalau di rumah malah jarang.” Subjek 3, 1113-1116

3. Otonomi

Berdasarkan hasil wawancara, subjek sering merasa kesulitan untuk membagi waktu di kegiatan-kegiatan yang diikutinya. Untuk mengatasi kesulitannya tersebut, subjek mencoba membuat jadwal