Kesejahteraan psikologis (psychological well-being) pada remaja piatu.

(1)

KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL-BEING) PADA REMAJA PIATU

Diyah Septiningtyas ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara lebih mendalam mengenai kesejahteraan psikologis pada remaja piatu. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana kesejahteraan psikologis pada remaja piatu. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang fokus pada sebuah fenomena, yakni kematian ibu. Subjek dalam penelitian ini merupakan remaja piatu yang berjumlah 3 orang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan wawancara semi terstruktur dengan masing-masing subjek. Verifikasi hasil penelitian didapatkan dengan melakukan member checking dan triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek menunjukkan sikap yang berbeda pada dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Dari ketiga subjek, hanya satu subjek yang mampu menunjukkan sikap positif pada seluruh dimensi kesejahteraan psikologis.

Kata Kunci: Remaja Piatu, Kesejahteraan Psikologis


(2)

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING IN ADOLESCENTS OF MOTHERLESS

Diyah Septiningtyas ABSTRACT

The aim of this research is to give more description about psychological well-being in adolescents of motherless. The questions in this research is how the psychological well-being in adolescents of motherless. The kind of this research is a qualitative descriptive and focus on a phenomenon (motherless). Subject in this research are 3 adolescents of motherless. Method of collection data by semi-structured interview with each subject. Verification of the results obtained by performing member checking and triangulation. The results showed that all three subjects showed a different attitude on the dimensions of psychological well-being. Of the three subjects, only one subject that is able to show a positive attitude in all dimensions of psychological well-being.


(3)

KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (

PSYCHOLOGICAL

WELL-BEING

) PADA REMAJA PIATU

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Diyah Septiningtyas

109114092

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

HALAMAN MOTTO

“TETAPI KAMU INI, KUATKANLAH HATIMU, JANGAN LEMAH SEMANGATMU, KARENA ADA UPAH BAGI USAHAMU!”

(2 TAWARIKH 15:7)

“JANGANLAH HENDAKNYA KAMU KUATIR TENTANG APAPUN JUGA, TETAPI NYATAKANLAH DALAM SEGALA HAL KEINGINANMU KEPADA ALLAH DALAM DOA DAN PERMOHONAN DENGAN UCAPAN SYUKUR”


(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Hasil karya ini kupersembahkan untuk: Tuhan Yesus Kristus,

Orangtua yang luar biasa, bapak dan ibu Kedua kakak tersayang,

Keluarga besar,

Teman setia dan para sahabat,

Terimakasih untuk segala bentuk cinta, perhatian, dukungan dan doa yang tiada henti kalian berikan


(8)

(9)

KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL-BEING) PADA REMAJA PIATU

Diyah Septiningtyas ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara lebih mendalam mengenai kesejahteraan psikologis pada remaja piatu. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana kesejahteraan psikologis pada remaja piatu. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang fokus pada sebuah fenomena, yakni kematian ibu. Subjek dalam penelitian ini merupakan remaja piatu yang berjumlah 3 orang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan wawancara semi terstruktur dengan masing-masing subjek. Verifikasi hasil penelitian didapatkan dengan melakukan member checking dan triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek menunjukkan sikap yang berbeda pada dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Dari ketiga subjek, hanya satu subjek yang mampu menunjukkan sikap positif pada seluruh dimensi kesejahteraan psikologis.


(10)

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING IN ADOLESCENTS OF MOTHERLESS

Diyah Septiningtyas ABSTRACT

The aim of this research is to give more description about psychological well-being in adolescents of motherless. The questions in this research is how the psychological well-being in adolescents of motherless. The kind of this research is a qualitative descriptive and focus on a phenomenon (motherless). Subject in this research are 3 adolescents of motherless. Method of collection data by semi-structured interview with each subject. Verification of the results obtained by performing member checking and triangulation. The results showed that all three subjects showed a different attitude on the dimensions of psychological well-being. Of the three subjects, only one subject that is able to show a positive attitude in all dimensions of psychological well-being.


(11)

(12)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, atas cinta dan kasihNya sehingga segala proses penelitian dapat dilewati sampai dengan peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Segala proses baik suka maupun duka selama proses penelitian berlangsung merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi peneliti. Sebagai pribadi yang masih belajar dalam melakukan penelitian, peneliti menyadari masih banyak kekurangan yang terjadi selama proses penelitian ini berlangsung. Oleh sebab itu, banyak pihak yang turut serta terlibat untuk membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Peneliti menerima banyak dukungan dan bimbingan dalam bentuk apapun. Oleh karena itu, dengan penuh hormat peneliti ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Tarsius Priyo Widiyanto, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan ijin kepada peneliti untuk mengikuti ujian skripsi dan selaku dosen pembimbing akademik yang selalu mendampingi peneliti selama proses studi.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari, selaku dosen pembimbing skripsi atas kesabaran dan perhatiannya dalam membimbing peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.


(13)

4. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si dan Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. Selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan sehingga penelitian ini memiliki kualitas yang lebih baik.

5. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas kebersamaannya selama peneliti studi, yang sudah memberikan pengalaman yang sangat berarti dan membantu peneliti untuk mengenal serta mendalami ilmu psikologi.

6. Kedua orang tua, bapak dan Ibu Sukamto tersayang yang tak pernah lelah memberikan berbagai macam dukungan, pendampingan, nasehat dan doa yang selalu menguatkan.

7. Kedua kakak tercinta, mas Wel dan mas Arif yang selalu mendukung dan mendoakan.

8. Keluarga besar, yang senantiasa menguatkan dan mendoakan selalu.

9. Ketiga subjek penelitian. Terimakasih sebesar-besarnya atas bantuan kalian dengan kesediaan dan keterbukaanya untuk berbagi cerita tentang pengalaman masing-masing, sehingga dapat membantu peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman-teman gereja, Youth of MTY yang tanpa lelah menanyakan proses penelitian dan selalu mendukung dalam doa di setiap persekutuan.

11. Sedulur-sedulur: Tina, Yosua, Agus, Kodok yang selalu setia menemani dan menghibur peneliti. Trimakasih untuk kebersamaan, cerita, canda-tawa, dan dukungan kalian. Spesial big thanks untuk sedulur Yosua atas dukungan dan bantuan yang sangat berarti dalam proses pengerjaan skripsi ini.


(14)

12. Teman setia, yang tak pernah lelah mendukung, bersabar dan setia menemani peneliti dalam berproses untuk menyelesaikan skripsi ini hingga bersedia memberikan waktu dan tenaganya.

13. Para sahabat seperjuangan road to S.Psi, cewek-cewek kesayangan Thumb-thumbers: Yohana, Mimi, Lena, Dewi trimakasih untuk kebersamaan, tawa-canda dan bantuan kalian yang tulus dalam berbagai bentuk selama perkuliahan, serta senantiasa menyediakan telinga untuk mendengarkan keluhan dari peneliti.

14. Para sahabat seperjuangan road to S.Psi yang tak kalah pentingnya: Mak Anin, Daning, Ntonk, Tista, Melati, Vita, Ika, Vivid, Christy, Yovie, Rinta yang tiada hentinya memberi motivasi dan meluangkan waktunya untuk diskusi dan tukar pikiran dalam proses penulisan skripsi

15. Teman-teman seperjuangan bimibingan di group Pendekar Scriptsweet. Trimakasih untuk kebersamaaanya dalam melewati setiap suka dan duka saat bimbingan dan dukungan di saat rasa letih dan bosan melanda.

16. Teman-teman seperjuangan bimbingan di group Pejuang yang Tertinggal,

trimakasih untuk hiburan yang selalu memotivasi. Terkhusus untuk Ester dan Riska yang banyak membantu peneliti di proses penyelesaian skripsi. Tetap semangat guys!!

17. Full Team of PSIBK, para SC dan semua cepries, baik yang seangkatan ataupun diatasnya. Trimakasih banyak untuk kebersamaanya selama kita berdinamika bersama di berbagai kegiatan. Kesibukan bersama cepries,


(15)

peneliti merasa jenuh mengerjakan skripsi. Trimakasih untuk kehadiran kalian yang tak pernah lelah membantu dan telinga yang tak henti mendengarkan. 18. Sahabat-sahabat SMA yang tak pernah lelah memberi candaan yang

memotivasi, Rambang, Dini, Astri, Debby, Tiwik, Usrok, Seni, Titin, Cut, Tacic, Fani. Trimakasih untuk setiap penghiburan, dukungan, doa dan harapan yang selalu kalian berikan untukku. Trimaksih untuk waktu dan tenaganya guys.

19. Trimakasih mak Monica, tergolong temen baru tapi selalu setia memberi masukan-masukan dan dukungan. Meskipun sekarang jauh, tapi selalu setia menanyakan proses skripsi.

20. Pimpinan Humas, karyawan dan seluruh staf Humas Universitas Sanata Dharma atas kebersamaan dan pengalaman selama peneliti studi.

21. Serta seluruh teman dan pihak yang turut membantu dan memberikan dukungan yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu. Trimakasih banyak.

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa skripsi yang dibuat masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti sangat menerima saran dan kritikan untuk kesempurnaan karya ini.

Yogyakarta, 11 Februari 2016 Peneliti,


(16)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x-xiii DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR SKEMA ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8


(17)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Remaja... 10

1. Pengertian Remaja ... 10

2. Karakteristik Perkembangan Remaja ... 11

B. Piatu ... 16

C. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) ... 17

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis ... 17

2. Dimensi – dimensi Kesejahteraan Psikologis ... 18

3. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis ... 24

D. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Remaja Piatu ... 26

E. Pertanyaan Penelitian/ Skema ... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 30

A. Jenis Penelitian ... 30

B. Fokus Penelitian ... 31

C. Subjek Penelitian ... 31

D. Metode Pengumpulan Data ... 31

E. Metode Analisis Data ... 34

F. Verifikasi Penelitian ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Pelaksanaan Penelitian Secara Keseluruhan ... 38


(18)

1. Subjek 1 ... 41

a. Deskripsi Subjek 1 ... 41

b. Deskripsi Kematian Ibu Subjek 1 ... 41

c. Pelaksanaan Wawancara Subjek 1 ... 42

d. Analisis Subjek 1 ... 42

2. Subjek 2 ... 57

a. Deskripsi Subjek 2 ... 57

b. Deskripsi Kematian Ibu Subjek 2 ... 58

c. Pelaksanaan Wawancara Subjek 2 ... 58

d. Analisis Subjek 2 ... 58

3. Subjek 3 ... 70

a. Deskripsi Subjek 3 ... 70

b. Deskripsi Kematian Ibu Subjek 3 ... 71

c. Pelaksanaan Wawancara Subjek 3 ... 71

d. Analisis Subjek 3 ... 71

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 94

BAB V PENUTUP ... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Kelemahan Penelitian... 103

C. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105


(19)

DAFTAR SKEMA


(20)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Panduan Wawancara ... 33

Tabel 2 Ringkasan Identitas dan Deskripsi Singkat Subjek Penelitian... 40

Tabel 3.1 Pelaksanaan Wawancara Subjek 1 ... 42

Tabel 3.2 Pelaksanaan Wawancara Subjek 2 ... 58

Tabel 3.3 Pelaksanaan Wawancara Subjek 3 ... 71


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Harapan untuk memiliki orangtua utuh merupakan dambaan bagi setiap anak. Kadang harapan hanya sebatas keinginan yang belum tentu dapat terwujud karena beberapa anak dihadapkan pada situasi harus berpisah dari orangtua karena kematian. Menurut Holmes & Rahe (dalam Weiten, 1997), ketiadaan orangtua karena kematian adalah suatu perubahan dalam hidup yang dapat menimbulkan stres. Perubahan struktur dalam keluarga karena kematian orangtua mengakibatkan anak menjadi yatim piatu. Penelitian yang dilakukan oleh Casares, dkk (2009) di Namibia Afrika Selatan, ditemukan bahwa lebih dari 19 anak dan remaja yatim piatu mengalami gangguan kesehatan mental, tekanan psikologis dan rentan terhadap depresi yang terjadi diantara satu dari enam anak dan remaja.

Kematian yang terjadi pada orangtua menimbulkan kesedihan dan menyebabkan banyak perubahan yang terjadi dalam keluarga. Situasi tersebut menuntut anak untuk dapat menyesuaikan diri terhadap perubahaan yang terjadi di dalam hidupnya. Menurut Lloyd (dalam Astuti, 2007), kedukaan karena kematian orangtua yang terjadi di masa anak-anak dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi sekitar 2 atau 3 kali lipat ketika dewasa. Hal ini


(22)

menunjukkan, bahwa kematian yang terjadi pada orangtua dapat memberikan dampak secara psikologis bagi anaknya. Peran orangtua sebagai pendamping perkembangan anak menjadi tidak dapat berfungsi dengan baik, ketika salah satu maupun kedua orangtua meninggal. Kematian yang terjadi pada orangtua membuat anak untuk menyusun kembali hidupnya dan belajar untuk hidup tanpa bantuan dan kehadiran orang tuanya (Andre dalam Aiken, 2001). Keadaan tersebut menjadikan anak harus melewati perkembangan dirinya dari masa ke masa tanpa pengasuhan dari orangtua.

Sementara itu, masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang disertai dengan berbagai perubahan baik secara fisik, kognitif maupun sosioemosi. Lesmana (dalam Sari & Basri, 2007), mengatakan bahwa perubahan fisik dan kognitif yang terjadi di masa remaja akan memberikan dampak yang besar pada perubahan emosionalnya. Remaja akan mengalami perubahan biologis secara dramatis pada tubuhnya, bertemu dengan pengalaman-pengalaman baru dan memiliki tugas perkembangan baru (Santrock, 2012). Menurut Erikson (dalam Papalia, Feldman & Martorell, 2014), tugas utama remaja adalah melawan krisis identitas versus kebingungan identitas atau identitas versus kebingungan peran. Sementara menurut Hall (dalam Santrock, 2012), masa remaja merupakan masa storm and stress (badai dan stress), yakni masa bergolak yang diwarnai dengan konflik dan perubahan suasana hati (mood). Terjadinya perubahan-perubahan dalam diri tersebut yang


(23)

kemudian menutut remaja untuk dapat menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam dirinya.

Proses penyesuaian diri remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya, khususnya peran dari keluarga. Keluarga memiliki peranan yang besar dalam kehidupan anak, terlebih peran seorang ibu. Menurut Santrock (2012), ibu cenderung memiliki peran lebih banyak sebagai manajer dalam pengasuhan daripada ayah. Pernyataan serupa juga ditemukan dalam studi yang dilakukan oleh Carloss (1995), remaja mengatakan jika ibu lebih banyak terlibat dalam pengasuhan dibandingkan ayah. Seorang ibu memiliki peran sangat besar dalam pendidikan anak sejak dini karena ibu adalah sosok pertama yang berinteraksi dengan anak, yang memberikan rasa aman, rasa percaya dan nasehat untuk dipatuhi (Hurlock, 2002). Ibu juga memiliki sifat yang tidak egois, bertanggung jawab, toleran dan penuh kehangatan (Matlin, 1993). Menurut Gunarsa (2004), seorang wanita sebagai ibu akan menjadi model tingkah laku, pendidik, konsultan dan sumber informasi bagi anak-anaknya, sehingga anak akan merasa lebih senang, bebas dan terbuka dalam menanyakan sesuatu apabila ibunya yang melakukan.

Hadirnya figur ibu sebagai pengasuh dapat menciptakan kelekatan antara anak dan ibu. Menurut Ainsworth dan Bowlby (dalam Papalia, 2009), kelekatan antara anak dan ibu menjadikan anak membuat “model kerja” mengenai apa yang diharapkan dari ibunya. Anak yang memiliki kelekatan aman dengan pengasuh akan memiliki rasa percaya dengan pengasuhnya dan dengan


(24)

kemampuan diri sendiri. Adanya perasaan aman dan percaya terhadap pengasuh, menjadikan anak cukup percaya diri untuk terlibat di lingkungan (Jacobsen & Hoffman dalam Papalia, 2013). Dengan demikian, adanya kelekatan antara anak dengan ibu juga dapat berpengaruh terhadap kemampuan anak dalam menjalin relasi dengan orang lain.

Akan tetapi, hal tersebut tentunya tidak berlaku pada remaja piatu atau remaja yang tidak memiliki ibu karena kematian. Hasil penelitian Astuti dan Gusniarti (2009) menyebutkan bahwa kematian ibu memberikan dampak psikologis bagi individu dalam ketidakmampuan menyelesaikan masalah, kecemasan untuk menjalani hidup, kehilangan sosok yang memberi support dan nasehat, perubahan prestasi akademis dan kekhawatiran jika sudah menikah. Hilangnya peran dan fungsi ibu dalam proses tumbuh kembang remaja menimbulkan perasaan kehilangan akan pembinaan, bimbingan, kasih sayang dan perhatian. Hal inilah yang mendorong remaja piatu untuk dapat melewati masa remajanya secara mandiri tanpa pendampingan dari seorang ibu.

Menurut Dercon (2004), kematian ibu memberikan dampak yang lebih besar pada anak bila dibandingkan dengan kematian ayah dan jauh lebih merusak ketika terjadi saat anak lahir sampai usia remaja awal (Hurlock, 2002). Hope Edelman (2010) menyatakan bahwa perempuan mana pun yang kehilangan ibu akan mengalami perubahan besar pada dirinya. Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kematian ibu dapat


(25)

memunculkan perasaan kehilangan suatu hal yang sangat berarti bagi kehidupan seorang anak.

Sementara Allen dan Dally (2007) menjelaskan bahwa remaja yang hidup tanpa ayah lebih cenderung memiliki masalah di sekolah, misal memiliki skor rendah pada tes prestasi, kemampuan intelektual dan kecerdasan, dan masalah perilaku seperti ketidakpatuhan dan tingkat kehadiran yang buruk bahkan cenderung putus sekolah. Selain itu, remaja yang hidup tanpa ayah lebih cenderung memilih teman yang menyimpang, mengalami kesulitan bergaul dan memiliki masalah dengan teman sebaya, menjadi lebih agresif, terlibat dalam perilaku kriminal, memiliki, menggunakan, atau mendistribusikan alkohol atau obat-obatan serta terlibat dalam seks bebas (Crouter, Davis, Updegraff, Delgado & Fortner, 2006).

Menurut Hasan, Yusuf dan Alan (2012), keluarga memiliki peran dan fungsi yang besar untuk kesejahteraan psikologis anak dan orangtua dalam menerima kebahagiaan sepanjang waktu (Hasan, Yusuf dan Alan, 2012). Sebaliknya, peran dan fungsi keluarga tidak dapat berjalan secara optimal ketika figur ibu tidak hadir dalam keluarga. Perubahan kondisi karena kehilangan ibu memberikan dampak pada perasaan ketidaknyamanan secara psikis dalam diri anak. Hal tersebut dapat mempengaruhi kesehatan mentalnya dan kemudian akan berdampak pada kesejahteraan psikologisnya. Menurut Ryff & Singer (dalam Papalia, 2002) mengenai kesehatan mental, bahwa orang yang sehat secara mental bukan karena ketiadaan sakit secara mental,


(26)

melainkan memiliki respon positif terhadap dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis, yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Individu yang dapat memberikan respon positif terhadap 6 dimensi kesejahteraan psikologis adalah individu yang memiliki kesejahteraan psikologis positif.

Dimensi penerimaan diri merupakan tingkat kemampuan individu dalam bersikap dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri, berani mengakui kesalahan dan mampu mengintrospeksi diri. Dimensi hubungan positif dengan orang lain yang berarti kemampuan individu untuk memiliki hubungan yang berkualitas dengan orang lain. Individu juga dituntut untuk dapat mengatur dan mengendalikan dirinya sendiri serta mengatur nasibnya, yang merupakan pengertian dari dimensi otonomi. Pada dimensi penguasaan lingkungan, individu harus memiliki kemampuan untuk mengatur hidup dan lingkungannya. Dimensi tujuan hidup yang berarti individu harus memiliki pemahaman dan memiliki rencana dalam tujuan hidupnya. Selain itu, individu harus memiliki kemampuan untuk terus berjuang mengembangkan dirinya dan mampu melawan berbagai rintangan yang merupakan pengertian dari dimensi pertumbuhan pribadi.

Salah satu dampak dari kematian ibu adalah ketidakmampuan anak dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya ketika ibu sudah meninggal. Hal tersebut bisa muncul karena anak kehilangan sosok yang selalu memberi


(27)

yang menimbulkan kecemasan pada diri anak dalam menjalani kehidupannya tanpa ada pendampingan dari ibu. Keadaan tersebut yang sebenarnya mendorong remaja untuk dapat bersikap mandiri dalam menjalani hidupnya. Dampak dari kematian ibu ini yang dapat berpengaruh pada kesejahteraan psikologis remaja secara otonomi, penerimaan diri, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi.

Dampak lain yang timbul dari kematian ibu juga dapat memberikan pengaruh terhadap penurunan nilai akademis anak. Hal ini dikarenakan tidak adanya figur ibu yang biasanya selalu mendampingi dan memberikan dukungan saat anak belajar. Dampak kematian ibu ini yang dapat berpengaruh pada kesejahteraan psikologis aspek otonomi dan penguasaan lingkungan.

Dengan demikian, keluarga memiliki peran dalam membantu remaja untuk mencapai kesejahteraan psikologisnya, terutama sosok ibu yang memiliki pengaruh besar terhadap anak. Situasi akan berbeda pada anak yang kehilangan ibu karena kematian. Ketidakhadiran figur ibu menyebabkan remaja mengalami kerentanan dalam memandang dirinya, yang kemudian dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologisnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana kesejahteraan psikologis pada remaja yang tidak memiliki ibu (piatu).


(28)

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang permasalahan yang telah peneliti sampaikan di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana kesejahteraan psikologis pada remaja piatu?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran secara lebih mendalam mengenai kesejahteraan psikologis pada remaja piatu.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan dan kesehatan mental dalam kaitannya dengan kesejahteraan psikologis (psychological well-being) pada remaja piatu.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Remaja Piatu

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk mengetahui kesejahteraan psikologis pada remaja piatu. Dengan demikian dapat menjadi bahan untuk mengintrospeksi dirinya sehingga tetap dapat mencapai kesejahteraan psikologisnya.


(29)

b. Bagi Keluarga dan Orang-orang Terdekat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada ayah dan keluarga-keluarga yang lain maupun orang-orang terdekat mengenai kondisi psikologis remaja piatu dilihat dari tingkat kesejahteraannya. Dengan demikian, kiranya dapat bermanfaat bagi semua pihak dalam membantu mendampingi anak piatu untuk memandang kehidupannya. Oleh sebab itu, remaja piatu tetap dapat mencapai kesejahteraan psikologisnya meskipun tanpa kehadiran seorang ibu di hidupnya.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Pengertian Remaja

Kata remaja atau adolescence berasal dari bahasa Latin adolescere

yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja merupakan salah satu fase dalam perkembangan hidup manusia. Menurut Santrock (1995), masa remaja ialah periode transisi dari masa anak-anak hingga masa dewasa awal, yang berlangsung pada usia kira-kira 12 atau 13 tahun sampai dengan 21 tahun dan dibagi menjadi masa remaja awal, tengah dan akhir. Masa remaja awal berlangsung pada usia 12 atau 13 tahun hingga 15 tahun, masa remaja tengah dimulai pada usia 15 tahun hingga 18 tahun dan masa remaja akhir berlangsung pada usia 18 atau 19 tahun sampai dengan usia 21 tahun. Menurut Papalia, Feldman dan Martorell (2014), masa remaja merupakan masa perkembangan transisi yang melibatkan perubahan fisik, kognitif, emosional dan sosial dengan beragam latar belakang sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda dan terjadi pada usia 11 tahun hingga usia 19 atau 20 tahun.

Berdasarkan beberapa definisi mengenai remaja, maka dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan salah satu fase dalam


(31)

perkembangan manusia yang terjadi pada usia 11 hingga 21 tahun, dimana pada rentan usia terebut merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang melibatkan perubahan fisik, kognitif dan psikososial.

2. Karakteristik Perkembangan Remaja a. Perkembangan Fisik Remaja

Perubahan fisik pada remaja ditandai dengan masa pubertas, yang dimulai dengan adanya perubahan hormon pada usia 8 tahun untuk perempuan dan 9 tahun pada laki-laki (Susman & Rogol dalam Papalia, 2014). Menurut Papalia, Feldman & Martorell (2014), pubertas ditandai dalam dua tahap dimana pada tahap pertama terjadi pengaktifan kelenjar adrenal yang meningkatkan hormon androgen dan kemudian mempengaruhi pertumbuhan rambut pupis, rambut ketiak, rambut-rambut halus di wajah, pertumbuhan badan, kulit berminyak dan bau badan. Pada tahap kedua terjadi kematangan organ seks, dimana sel telur perempuan mengeluarkan estrogen yang merangsang pertumbuhan alat kelamin, membentuk payudara serta pubis dan rambut ketiak. Sedangkan pada laki-laki terjadi peningkatan testis dalam memproduksi androgen, khususnya testosteron yang merangsang pertumbuhan alat kelamin, pertumbuhan otot dan rambut di badan.


(32)

Kematangan organ reproduksi pada perempuan ditandai dengan dimulainya menstruasi atau menarche , yang biasanya terjadi di usia 10 tahun hingga 16,5 tahun. Sedangkan pada laki-laki ditandai dengan peningkatan produksi sperma yang mendorong terjadinya ejakulasi pertama atau spermache, yang terjadi di usia sekitar 13 tahun.

Secara fisik, perempuan menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat 2 tahun daripada laki-laki, dimana di usia 11 hingga 13 tahun cenderung lebih tinggi, lebih berat dan kuat jika dibandingkan dengan laki-laki seusianya. Remaja akan mencapai tinggi yang sepenuhnya di usia kurang lebih 15 tahun pada perempuan dan sekitar usia 17 tahun untuk laki-laki. Perempuan akan memiliki pinggul yang yang lebih besar dan terjadi penumpukan lemak. Sedangkan laki-laki akan tampak besar, bahu melebar, kaki tampak lebih panjang dari badan dan pundak cenderung lebih panjang dari lengan atas dan tingginya.

Adanya perubahan dan pertumbuhan fisik yang cepat pada masa remaja menjadikan beberapa bagian tubuh tampak tidak proposional untuk sementara waktu. Remaja memiliki perhatian yang cukup besar untuk citra tubuhnya. Hal tersebut yang kemudian mendorong remaja untuk melakukan berbagai usaha guna mengontrol badannya supaya terlihat tetap ideal.


(33)

b. Perkembangan Kognitif Remaja

Remaja cenderung berpikir lebih abstrak daripada anak-anak yang lebih muda, dimana remaja mulai dapat membahas hal-hal yang sifatnya abstrak seperti cinta, keadilan dan kebebasan. Remaja dapat memahami kata-kata sebagai simbol yang dapat memiliki beragam makna, senang menggunakan ironi, metafora dan permainan kata (Owens dalam Papalia, 2014). Remaja mulai mampu untuk memahami sudut pandang dan tingkat pengetahuan orang lain sehingga mulai trampil untuk berbicara dengan sudut pandang orang lain.

Menurut tahap perkembangan Piaget, masa remaja masuk dalam tahap operasional formal (formal operation) yang terjadi pada usia sekitar 11 tahun, dimana remaja menggunakan penalaran hipotesis-deduktif dan pemikiran proposisional. Remaja akan melakukan penalaran hipotesis-deduktif dengan membuat hipotesis atau memprediksi variabel-variabel yang mungkin dapat mempengaruhi hasil, yang kemudian dijadikan dasar untuk membuat kesimpulan yang logis dan teruji. Kemudian secara sistematis, remaja akan melakukan pemisahan dan penggabungan variabel-variabel untuk melihat kesimpulan yang benar dalam kehidupan nyata. Sedangkan pemikiran proposisional merupakan


(34)

kemampuan remaja untuk melakukan evaluasi logika proposisi (pernyataan verbal) tanpa mengacu pada keadaan dunia nyata.

Menurut Kohlberg (dalam Papalia Olds Feldman, 2009), remaja akan mengalami masa penalaran moral yaitu kemampuan melakukan penalaran yang lebih kompleks tentang isu-isu moral ketika mencapai tingkat kognitif yang lebih tinggi. Remaja juga menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam memecahkan masalah, menerima sudut pandang orang lain, mengatasi hubungan interpersonal dan kemampuan dalam melihat kondisi sosial diri sendiri. Remaja berada pada tingkatan penalaran moral di tahap moralitas konvensional atau moralitas dari peran konformitas konvensional, yang biasanya dicapai setelah usia 10 tahun dimana remaja akan mulai menginternalisasi standar figur otoritas. Remaja mulai berusaha untuk menjadi baik, menyenangkan orang lain dan memelihara keteraturan sosial.

c. Perkembangan Psikososial Remaja

Menurut Erikson (dalam Papalia, 2014), remaja dikenal sebagai masa pencarian identitas, yakni konsepsi koheren tentang diri, membuat tujuan-tujuan, nilai-nilai dan keyakinan kuat saat individu berkomitmen kuat. Tugas utama remaja adalah melawan krisis identitas versus kebingungan identitas. Di tahap ini, remaja mengalami masa peralihan dimana akan dihadapkan dengan


(35)

keraguan atas peran yang akan dilakukan. Kebingungan akan peran tersebut memberi pengaruh terhadap tingkat emosi yang cenderung tinggi, perubahan minat dan peran serta memunculkan keinginan akan kebebasan. Akan tetapi, perasaan ingin bebas dalam diri remaja cenderung mendapatkan intervensi dari orangtua terutama dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Menurut Papalia, Feldman & Martorell (2014), pencapaian identitas seksual sebagai bagian dari kesadaran seksual juga merupakan aspek penting dari pembentukan identitas yang selebihnya dapat memberikan dampak pada citra diri dan hubungan. Pada diri remaja mulai muncul orientasi seksual yang mengarah pada romantisme dan afeksi yang bisa terjadi kepada lawan jenis (heteroseksual), sesama jenis (homoseksual) atau keduanya (biseksual)

Dalam kehidupannya di keluarga, remaja banyak melakukan pemberontakan terhadap orangtua. Hubungan remaja dengan saudara kandung juga menunjukkan adanya jarak dan keseimbangan kekuatan antara saudara tua dengan saudara muda menjadi lebih setara. Remaja lebih memiliki ketertarikan di dunia luar daripada di dalam keluarga. Oleh sebab itu, remaja akan menghabiskan banyak waktu dengan teman sebayanya. Remaja


(36)

akan ikut bergabung atau membentuk persahabatan, geng dan kerumunan.

B. Piatu

Yatim piatu adalah istilah yang dipakai untuk menyebutkan seseorang yang tidak memiliki ayah dan ibu lagi. Yatim merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti seseorang yang tidak memiliki ayah, sedangkan piatu yang berarti seseorang yang tidak memiliki ibu. Anak piatu pada sebagian daerah diartikan sebagai anak yang tidak memiliki ibu saja (www.organisasi.org).

Sumber lain mengartikan anak piatu sebagai seseorang yang tidak memiliki ibu lagi karena telah meninggal dunia, ketika anak belum menginjak usia baligh atau dewasa, baik itu laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin dan beragama apa pun (file.upi.edu).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak piatu adalah anak yang ibunya sudah meningal atau anak yang sudah tidak beribu lagi. Sedangkan dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan kata motherless, yang berarti kehilangan seorang ibu, tidak memiliki kasih sayang dan tidak kenal dengan ibunya (www.artikata.com).

Berdasarkan beberapa definisi mengenai anak piatu, maka dapat disimpulkan bahwa anak piatu adalah anak yang terpisah dengan ibu


(37)

kandungnya sebelum anak dewasa karena ibu meninggal, sehingga seorang anak tidak lagi memiliki sosok ibu kandung dalam hidupnya.

C. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being)

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Kesejahteraan psikologis (Psychological Well-Being) adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima diri apa adanya, menciptakan hubungan hangat dengan orang lain, mandiri terhadap tekanan sosial, mengendalikan lingkungan eksternal, mempunyai arti dalam hidup dan merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu (Ryff & Keyes, 1995). Menurut Bartram & Boniwell (2007), kesejahteraan psikologis berhubungan dengan kepuasan pribadi, keterikatan, harapan, rasa syukur, stabilitas suasana hati, pemaknaan terhadap diri sendiri, harga diri, kegembiraan, kepuasan dan optimisme termasuk juga mengenali kekuatan dan mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki. Sementara menurut Lopea (dalam Phronesis, 2008), kesejahteraan psikologis bukan hanya ketiadaan penderitaan, tapi lebih dari itu kesejahteraan psikologis merupakan keterikatan aktif di dalam dunia, memahami arti dan tujuan hidup serta menciptakan hubungan dengan objek maupun orang lain.

Menurut Ryff (1995), kesejahteraan psikologis merupakan penggambaran kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan enam dimensi kesejahteraan psikologis. Dimensi-dimensi tersebut adalah


(38)

penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah gambaran dari kesejahteraan psikologis individu berdasarkan pemenuhan dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis yang terdiri dari penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi.

2. Dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis

Individu yang memiliki kesejahteraan psikologis yang positif adalah individu yang memiliki respon positif terhadap dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis (Ryff dalam Papalia, 2008). Ryff membuat enam dimensi pada kesejahteraan psikologis (Ryff, 1989; Ryff dan Keyes, 1995), yaitu:

a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)

Penerimaan diri merupakan bagian utama dari kesehatan mental, seperti karakteristik dari aktualisasi diri, fungsi optimal dan kedewasaan. Teori rentang kehidupan juga menekankan pada individu untuk dapat menerima diri sendiri dan dan masa lalunya. Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri merupakan karakteristik utama dari fungsi-fungsi psikologis.


(39)

Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi penerimaan diri memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek dalam diri yakni kualitas baik maupun buruk dan mampu bersikap positif terhadap kehidupan masa lalu. Sementara individu yang memiliki skor rendah pada dimensi ini memiliki perasaan tidak puas dengan diri sendiri, kecewa dengan apa yang sudah terjadi di masa lalu, bermasalah dengan kualitas pribadi tertentu dan ingin menjadi berbeda dari yang sekarang. b. Relasi Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)

Hubungan positif dengan orang lain sangat penting dalam konsep kesejahteraan psikologis, yang mempunyai makna memiliki hubungan yang berkualitas dengan orang lain. Dimensi ini menekankan pada pentingnya memiliki hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang lain, individu yang mampu mengaktualisasi diri dengan baik, memiliki empati dan afeksi yang kuat terhadap orang lain dan mampu mengidentifikasi dirinya secara lengkap terhadap orang lain.

Individu dengan skor tinggi pada dimensi ini memiliki hubungan yang hangat, puas dan saling percaya dengan orang lain, peduli dengan kesejahteraan orang lain, mampu menunjukkan sikap empati, afeksi dan keintiman yang kuat, serta mampu memahami hubungan timbal balik manusia yang saling memberi dan


(40)

menerima. Sementara skor rendah ditunjukkan oleh individu yang sedikit tertutup dan tidak percaya dalam menjalin relasi dengan orang lain, mengalami kesulitan dalam menciptakan hubungan yang hangat, tidak terbuka dan tidak peduli dengan orang lain, merasa terasing dan frustasi dalam berelasi dan tidak bersedia membuat kompromi untuk memelihara ikatan yang penting dengan orang lain.

c. Otonomi (Autonomy)

Otonomi, yaitu tingkat kemampuan individu dalam menentukan nasib sendiri, kebebasan, pengendalian internal, individual dan pengaturan perilaku internal. Dasar kepercayaannya adalah bahwa pikiran dan tindakan seseorang berasal dari dirinya sendiri dan seharusnya tidak ditentukan oleh kendali orang lain. Individu yang dapat mengaktualisasikan dirinya dengan baik adalah individu yang memiliki keberfungsian yang otonom dan memiliki ketahanan yang baik dari pengaruh lingkungan. Individu yang berfungsi secara utuh adalah individu yang memiliki evaluasi internal. Individu tidak mencari-cari pengakuan dari orang lain namun melakukan evalusi diri, tidak tergantung pada ketakutan kolektif, kepercayaan dan aturan lingkungan. Individu memiliki kebebasan atas norma yang mengatur kehidupan sehari-hari.


(41)

Skor tinggi pada dimensi otonomi ditunjukkan dengan kemampuan individu dalam mengarahkan diri dan bersikap mandiri, mampu menghadapi tekanan sosial serta mampu mengatur perilaku diri sendiri dan mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Sedangkan skor rendah tampak apabila individu memperhatikan pengharapan dan evaluasi orang lain, bergantung pada penilaian orang lain dalam membuat keputusan penting dan individu yang menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial dalam berpikir dan bertingkah laku tertentu.

d. Penguasaan Lingkungan (Enviromental Mastery)

Penguasaan lingkungan ini diartikan sebagai kepemilikan kompetensi dalam mengatur hidup dan lingkungannya. Dimensi ini menekankan pada kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikologisnya. Kemampuan ini dipengaruhi oleh kedewasaan seseorang, khususnya kemampuan seseorang untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungan yang kompleks melalui aktivitas mental dan fisik. Penguasaan lingkungan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni merubah lingkungan agar sesuai dengan kondisi individu (yang diubah adalah lingkungannya) dan individu beradaptasi dengan lingkungan yang ada tanpa merubah lingkungan tersebut (yang berubah adalah individunya).


(42)

Individu memiliki skor tinggi pada dimensi ini apabila memiliki rasa memiliki dan mampu mengelola lingkungan, mengontrol berbagai kegiatan eksternal yang kompleks, menggunakan berbagai kesempatan yang ada di lingkungan dengan efektif serta mampu memilih atau menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi. Sedangkan inividu dengan skor rendah pada dimensi ini mengalami kesulitan dalam mengatur aktifitas sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau memperbaiki lingkungan, tidak menyadari dengan kesempatan yang ada di lingkungan dan kurang memiliki kontrol terhadap dunia luar. e. Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Dimensi ini menekankan pada adanya tujuan dan makna dalam kehidupan. Tujuan hidup diartikan sebagai pemahaman mengenai tujuan hidup, perasaan terarah dan makna hidup. Individu yang memiliki tujuan hidup adalah individu yang kreatif atau dapat melakukan penyatuan emosional dalam akhir hidup.

Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini memiliki tujuan dan arah untuk hidupnya, merasakan adanya arti dalam hidup di masa kini dan masa lalu, memegang keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran untuk hidup. Sedangkan skor rendah tampak apabila individu kurang mempunyai


(43)

arti hidup, tujuan, arah hidup, dan tidak memiliki sikap atau keyakinan yang memberikan makna hidup.

f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Pertumbuhan pribadi merupakan kemampuan individu dalam mengembangkan potensinya secara terus menerus, menumbuhkan dan memperluas diri sebagai seorang individu. Dalam dimensi ini, individu memiliki kekuatan untuk terus berjuang menyatakan diri dan melawan rintangan eksternal,

Skor yang tinggi pada dimensi pertumbuhan pribadi menunjukkan bahwa individu merasakan pengembangan potensi diri yang berkelanjutan, melihat diri sebagai sebagai sesuatu yang tumbuh dan berkembang, terbuka pada pengalaman baru, menyadari potensi diri, melihat adanya peningkatan pada diri dan perilaku dari waktu ke waktu serta mau berubah untuk mencerminkan lebih banyak pengetahuan diri dan keefektifan. Sedangkan skor yang rendah menunjukkan bahwa individu tidak merasakan adanya kemajuan dan pengembangan potensi dalam dirinyai dari waktu ke waktu, merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan serta tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku baru.


(44)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Menurut Ryff (1989), kesejahteraan psikologis seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

a. Usia

Perubahan usia memberikan pengaruh pada beberapa dimensi dari kesejahteraan psikologis, yakni dimensi penguasaan lingkungan, dimensi relasi positif dengan orang lain dan dimensi otonomi. Dimensi penguasaan lingkungan dan relasi positif dengan orang lain cenderung tinggi pada usia lansia. Sementara dimensi otonomi cenderung meningkat pada usia dewasa awal dan madya (Ryff & Keyes, 1995)

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin menunjukkan adanya perbedaan pada dimensi relasi positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Wanita menunjukkan angka yang lebih tinggi pada kedua dimensi tersebut dibandingan dengan pria. Sedangkan untuk keempat dimensi yang lain tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan.

c. Status Pernikahan, Keuangan, Kesehatan dan Tingkat Pendidikan Status pernikahan memberikan pengaruh pada dimensi penerimaan diri dan tujuan hidup. Sedangkan kondisi keuangan dan kesehatan dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada


(45)

dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan tujuan hidup. Selain itu, tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang (Ryff, Keyes & Shmotkin, 2002).

d. Budaya

Faktor budaya memberikan pengaruh terhadap konsep diri dan relasi positif dengan orang lain. Budaya individualistic

cenderung memiliki nilai self oriented menunjukkan tingkat otonomi yang tinggi dan relasi positif dengan orang lain yang rendah. Sedangkan other-oriented memiliki tingkat otonomi yang rendah dan tingkat relasi positif dengan orang lain yang tinggi. e. Kepribadian

Penelitian yang dilakukan oleh Schmutte & Ryff (1997) menunjukkan adanya hubungan antara trait kepribadian Big Five

(Extraversion, Neuroticism, Opennes, Agreeableness, Conscientiousness) dengan kesejahteraan psikologis. Dimensi penerimaan diri, penguasaan ligkungan, tujuan hidup dan otonomi memiliki hubungan yang kuat pada trait Neuroticsm, Conscientiousness, Extraversion dan Agreeableness. Dimensi relasi positif dengan orang lain memeiliki kecenderungan berhubungan dengan trait Agreeableness. Sementara dimensi pertumbuhan pribadi menjadi prediktor pada kepribadian Opennes.


(46)

f. Coping

Coping stress yang dilakukan seseorang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologisnya. Penelitian yang dilakukan oleh Kling, Seltzer dan Ruff (1997) menyatakan bahwa individu yang menggunakan problem focused coping secara signifikan memberikan pengaruh pada kesejahteraan psikologis di dimensi penguasaan lingkungan dan tujuan hidup. Sedangkan yang menggunakan emotional focused coping menunjukan kesejahteraan psikologis yang cenderung rendah pada dimensi penguasaan lingkungan dan penerimaan diri.

D. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Remaja Piatu

Kehilangan orangtua karena kematian merupakan hal yang dapat menimbulkan kedukaan mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Bukan hanya karena kesedihan tidak dapat menjumpai secara fisik, melainkan juga karena adanya berbagai perubahan yang terjadi di dalam dirinya. Begitu pun perubahan status yang akan dialami oleh orang-orang yang ditinggalkannya. Pasangan hidup yang ditingalkan akan menjadi duda atau janda, sementara anak akan menjadi anak yatim piatu apabila kedua orangtuanya sudah meninggal. Sedangkan anak yang kehilangan bapak akan menjadi anak yatim dan anak yang kehilangan ibu akan menjadi anak piatu.


(47)

Keluarga memiliki peranan yang sangat besar dalam perkembangan anak sejak kecil hingga dewasa. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Carloss (1995), remaja mengatakan bahwa ibu lebih terlibat dalam pengasuhan mereka dibandingkan dengan ayah. Hal ini dikarenakan seorang ibu memiliki peranan yang paling penting dalam mengasuh anak sejak kecil hingga dewasa. Seorang ibu mampu memberikan sikap-sikap positif seperti kehangatan, kasih sayang dan perhatian. Oleh sebab itu, anak selalu merasakan kenyamanan ketika bersama ibu. Hal tersebut yang kemudian dapat memunculkan kelekatan antara ibu dan anak. Menurut Lazarus (1991), kelekatan antara ibu dan anak terbentuk sejak awal kehidupan anak atau sejak kelahiran. Masa tersebut dianggap sebagai peletak dasar emosi yang berkelanjutan sepanjang hidup. Seorang anak yang memiliki kelekatan dengan ibu akan memiliki sikap percaya dengan orang lain, sehingga dalam dirinya muncul perasaan aman terhadap lingkungan. Hal tersebut yang menjadikan anak memiliki sikap positif dalam memandang dan menyikapi lingkungannya. Sebaliknya anak yang tidak memiliki kelekatan dengan ibu, tidak memiliki kepercayaan dengan orang lain sehingga dirinya merasa tidak aman dengan lingkungannya. Dengan demikian, anak akan memandang negatif lingkunganya.

Menurut Santrock (1995), masa remaja ialah periode transisi dari masa anak-anak hingga masa dewasa awal, yang berlangsung pada usia kira-kira 12 atau 13 tahun sampai dengan 21 tahun. Pada masa ini, individu tidak lagi disebut sebagai anak kecil, namun juga tidak dapat disebut sebagai orang


(48)

dewasa. Masa ini sering disebut sebagai masa peralihan dari kanak-kanak menuju ke arah kedewasaan yang diikuti dengan berbagai perubahan perkembangan yakni perubahan secara fisik, kognitif dan psikososial. Dengan demikian, remaja akan melakukan penyesuaian diri terhadap berbagai tahapan perkembangan yang terjadi di dalam dirinya beserta tugas-tugas di setiap tahap perkembangannya.

Kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1995) adalah kondisi seseorang yang bukan hanya terbebas dari tekanan atau masalah-masalah mental saja, melainkan lebih dari itu yaitu individu yang mampu menerima diri sendiri saat ini maupun masa lalu (self acceptance), pengembangan atau pertumbuhan diri

(personal growth), keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan

(purpose in life), memiliki kualitas hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with other), kapasitas untuk mengukur kehidupan dan lingkungannya secara efektif (enviromental mastery) dan kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri (autonomy).

Seorang remaja piatu harus menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam hidupnya tanpa didampingi oleh ibu. Sementara itu, ibu merupakan sosok yang memberikan kehangatan, kasih sayang, perhatian dan rasa aman kepada anak-anaknya. Ibu memiliki peranan yang sangat penting dalam mengasuh anak sejak kecil hingga dewasa. Dengan demikian, situasi tersebut mempengaruhi seorang anak dalam memandang dirinya dan lingkungan yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologisnya.


(49)

E. Pertanyaan Penelitian/ Skema

Pertanyaan yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kesejahteraan psikologis pada remaja piatu.

Skema 1. Kesejahteraan Psikologis Remaja Piatu Remaja Piatu

Ketidakhadiran ibu mengakibatkan fungsi dan peran keluarga tidak dapat berjalan optimal

Ketidaknyamanan secara psikologis

Kesejahteraan Psikologis Penerimaan Diri

Otonomi

Penguasaan Lingkungan

Tujuan Hidup

Pertumbuhan Pribadi Hubungan Positif dengan Orang Lain


(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menghasilkan dan mengolah data yang bersifat deskriptif (Poerwandari, 1998). Menurut Creswell (2012), penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna masalah sosial atau kemanusiaan dari sejumlah individu atau sekelompok orang. Peneliti akan mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasi data yang berbentuk narasi dan visual (bukan angka), untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam dari sebuah fenomena (Leo, 2013).

Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif, dimana peneliti akan fokus pada fenomena tertentu (penelitian fenomenologis). Peneliti akan memahami berbagai fenomena yang dialami oleh subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan sebagainya secara holistik dengan cara mendeskripsikannya dalam kata-kata dan bahasa, pada konteks khusus yang alamiah dan menggunakan berbagai metode yang alamiah pula (Moleong, 2006).


(51)

B. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini adalah kesejahteraan psikologis pada remaja piatu. Peneliti akan melihat kehidupan remaja piatu dan bagaimana situasi tersebut berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologisnya.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik purpose sampling, dimana peneliti memilih subjek penelitian berdasarkan pada ciri-ciri subjek yang disesuaikan dengan tujuan penelitian (Moleong, 2006). Kriteria-kriteria yang digunakan peneliti dalam memilih subjek penelitian adalah sebagai berikut:

1. Subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki atau perempuan

2. Subjek penelitian adalah individu yang termasuk dalam kategori remaja, yakni berusia antara 11 hingga 21 tahun

3. Subjek penelitian merupakan remaja piatu, yaitu remaja yang tidak memiliki ibu karena kematian

4. Subjek penelitian adalah remaja yang menjadi piatu sejak masih kecil

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstrukur. Wawancara adalah diskusi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan tujuan tertentu (Kahn & Cannel dalam Sarosa, 2012).


(52)

Wawancara digunakan untuk mendapatkan data mengenai sikap dan pendapat partisipan (Basuki, 2006). Dengan wawancara, peneliti akan menggali data yang “kaya” dan multi dimensi dari partisipan tentang suatu hal (Myers dalam Sarosa, 2012).

Teknik wawancara semi terstruktur melibatkan peneliti dan partisipan dalam sebuah dialog, dimana peneliti bisa memodifikasi pertanyaan-pertanyaan sesuai jawaban partisipan dan dapat menggali lebih dalam pada wilayah-wilayah yang menarik dan penting (Smith, 2013). Sebelum proses wawancara berlangsung, peneliti membuat topik dan daftar pertanyaan pemandu wawancara terlebih dahulu yang biasanya dipakai untuk memulai wawancara dan untuk menjaga alur pembicaraan supaya tetap berada dalam tema yang diteliti. Topik dan daftar pertanyaan wawancara akan diikuti dengan pertanyaan tambahan untuk menggali lebih jauh dari jawaban yang diberikan subjek (Sarosa, 2012). Panduan wawancara hanya berisi topik-topik pembicaraan yang mengacu pada satu tema sentral dan disesuaikan dengan tujuan wawancara (Herdiansyah, 2015). Basuki (2006) menyatakan bahwa panduan pertanyaan yang sudah dibuat, tidak harus diajukan dalam urutan yang ketat ketika wawancara berlangsung.


(53)

Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara Kematian Ibu • Kapan ibu Anda meninggal?

• Ceritakan pengalaman Anda bersama dengan almarhum ibu?

• Bagaimana pengaruh kematian ibu terhadap hidup Anda?

Penerimaan Diri • Bagaimana Anda memandang diri sendiri? (kelebihan dan kekurangan)

• Bagaimana sikap Anda terhadap kelebihan dan kekurangan yang Anda miliki?

• Bagaimana sikap Anda terhadap kematian ibu? • Bagaimana Anda memandang hidup Anda saat ini? Relasi Positif dengan

Orang Lain

• Bagaimana relasi Anda dengan keluarga? • Bagaimana relasi Anda dengan teman-teman?

• Bagaimana relasi Anda dengan lingkungan tempat tinggal?

• Bagaimana cara Anda menjaga relasi dengan orang lain? • Bagaimana cara Anda untuk membangun relasi dengan

orang lain?


(54)

• Bagaimana cara Anda untuk menyelesaikan masalah? Penguasaan

Lingkungan

• Apa saja kegiatan Anda saat ini?

• Bagaimana peran Anda di kegiatan yang Anda ikuti? • Bagaimana peran Anda di lingkungan?

• Bagaimana sikap Anda ketika berada di lingkungan baru?

Tujuan Hidup • Bagaimana pandangan Anda terhadap masa depan? • Apa tujuan hidup Anda?

• Bagaimana sikap Anda untuk masa depan?

Pertumbuhan Pribadi • Bagaimana pandangan Anda terhadap kemampuan yang Anda miliki?

• Bagaimana sikap Anda terhadap kemampuan yang Anda miliki?

• Bagaimana sikap Anda terhadap hal baru yang Anda temui?

E. Metode Analisis Data

Proses analisis data merupakan proses secara keseluruhan melibatkan usaha untuk memaknai data yang berupa teks atau gambar. Peneliti mempersiapkan keseluruhan data yang akan dianalisis, melakukan analisis-analisis yang berbeda, memahami data secara mendalam, menyajikan data dan


(55)

melakukan intepretasi makna yang lebih luas mengenai data tersebut (Creswell, 2012).

Creswell (2012) menyampaikan beberapa langkah dalam melakukan analisis data yakni:

1. Mengolah dan mempersiapkan data

Mengolah dan mempersiapkan data yang berarti peneliti melakukan transkripsi wawancara, menscanning, mengetik data lapangan, memilah dan menyusun data.

2. Membaca keseluruhan data

Peneliti menciptakan general sense dari informasi yang didapat dan merefleksikan maknanya secara mendalam.

3. Menganalisis lebih detail dengan melakukan coding data

Melakukan coding berarti mengolah data ke dalam segmentasi-segmentasi tulisan sebelum memaknainya (Rossman&Rallis dalam Creswell, 2010). Proses coding data diawali dengan menyiapkan semua data yang diperoleh selama proses proses pengumpulan data dilanjutkan dengan mensegmentasi data ke dalam kategori-kategori, kemudian memberi label pada kategori-kategori tersebut dengan istilah-istilah khusus.

4. Menerapkan proses coding untuk mendeskripsikan setting, orang-orang, kategori-kategori dan tema-tema yang akan dianalisis


(56)

6. Mengintepretasi atau memaknai data

F. Verifikasi Penelitian

Menurut Creswell (2012), ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk memeriksa akurasi hasil penelitian. Strategi pemeriksaan hasil penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Member checking

Strategi member checking adalah strategi konfirmasi kepada partisipan mengenai keakuratan dan analisis data. Peneliti akan membawa kembali hasil penelitian kepada partisipan dengan tujuan untuk memeriksa apakah laporan atau deskripsi atau tema yang dibuat sudah akurat atau belum. Peneliti dapat melakukan wawancara lebih lanjut dengan partisipan dan memberikan kesempatan bagi partisipan untuk memberikan komentar mengenai hasil penelitian.

2. Triangulate (triangulasi)

Triangulasi yang berarti mentriangulasi dari sumber-sumber data yang berbeda, dengan cara memeriksa bukti-bukti dari sumber-sumber tersebut yang kemudian digunakan untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren. Dengan kata lain, teknik triangulasi merupakan teknik untuk memeriksa keabsahan data, dengan cara memanfaatkan hal lain di luar data yang sudah didapat


(57)

untuk melakukan pengecekan atau pembanding terhadap data tersebut.


(58)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian Secara Keseluruhan 1) Pencarian dan Seleksi Subjek Penelitian

Penelitian ini menggunakan teknik purpose sumpling untuk mendapatkan subjek yang sesuai dengan kriteria tertentu berdasarkan pada tujuan penelitian. Peneliti menempuh beberapa cara untuk mendapatkan subjek yang sesuai dengan kriteria. Pencarian dimulai dengan mencoba untuk mencari sendiri di lingkungan sekitar peneliti. Selain itu, peneliti juga meminta bantuan kepada teman-teman untuk mencari subjek yang sesuai dengan kriteria. Berdasarkan proses seleksi, peneliti menentukan 3 subjek yang akan digunakan untuk penelitian ini.

Pada tahap persiapan sebelum pengambilan data, peneliti menghubungi setiap subjek melalui telepon dan SMS. Hal ini dilakukan karena peneliti belum mengenal ketiga subjek tersebut. Peneliti memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud serta tujuan penelitian secara singkat. Selain itu, peneliti juga menanyakan kesediaan subjek untuk terlibat dalam penelitian. Setelah mendapatkan kesediaan dari masing- masing subjek, kemudian antara peneliti dan setiap subjek membuat kesepakatan waktu untuk bertemu guna melakukan wawancara.


(59)

2). Pengambilan Data

Wawancara dengan para subjek berlangsung sejak tanggal 18 Mei 2015 sampai dengan 30 Agustus 2015. Proses wawancara melibatkan 3 subjek dengan waktu yang berbeda-beda, tergantung kesepakatan dengan masing-masing subjek. Proses wawancara dilakukan sebanyak 2 kali di setiap subjek untuk mendapatkan data yang kaya dan mendalam.

Ketiga subjek yang terlibat dalam penelitian ini merupakan orang yang belum dikenal oleh peneliti sebelumnya. Oleh sebab itu, peneliti berusaha untuk menciptakan kondisi yang nyaman supaya proses wawancara dapat berlangsung dengan lancar. Di pertemuan pertama dengan setiap subjek, peneliti melakukan perkenalan terlebih dahulu, kemudian melakukan

rapport (pendekatan) kepada subjek dan menyampaikan maksud serta tujuan dari wawancara. Setelah proses rapport dirasa sudah cukup, peneliti menanyakan kepada subjek untuk waktu pelaksanaan wawancara. Selama proses wawancara berlangsung, peneliti memberi kesempatan untuk subjek bertanya apabila ada hal yang tidak dimengerti. Berdasarkan kesepakatan bersama antara peneliti dengan setiap subjek, waktu untuk pelaksanaan wawancara langsung dilakukan di pertemuan pertama.

Pada wawancara kedua, peneliti melakukan wawancara tambahan untuk mendapatkan beberapa informasi baru dari subjek, yang dirasa kurang atau belum didapatkan pada wawancara pertama. Selain itu, peneliti juga


(60)

menanyakan beberapa data dari hasil wawancara sebelumnya yang bersifat ambigu atau kurang jelas dan kurang mendalam.

Setelah data wawancara sudah didapatkan, langkah berikutnya yang dilakukan peneliti adalah melakukan analisis terhadap seluruh data. Seusai melakukan analisis data, peneliti melakukan proses member checking

kepada setiap subjek untuk mendapatkan validitas hasil penelitian. Peneliti menemui masing-masing subjek dan menyerahkan data hasil wawancara yang sudah diolah kepada setiap subjek. Selain dengan proses member checking, validitas penelitian juga didapatkan dengan melakukan wawancara kepada significant others, yaitu teman atau ayah subjek.

B. Profil Subjek Penelitian

Tabel 2. Ringkasan Identitas dan Deskripsi Singkat Subjek Penelitian Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3

Inisial C M A

Jenis Kelamin P P P

Usia 16 tahun` 19 tahun 19 tahun


(61)

1. Subjek 1

a. Deskripsi Subjek 1

Subjek penelitian merupakan remaja putri yang berusia 16 tahun, seorang pelajar kelas 1 SMA swasta di Magelang. Subjek aktif mengikuti beberapa kegiatan di sekolahnya, antara lain kepengurusan OSIS, PSK (Persatuan Siswa Kristen) dan kelas vokal. Selain aktif di kegiatan sekolah, subjek juga aktif mengikuti kegiatan pelayanan di gereja.

Berdasarkan wawancara, diketahui bahwa subjek merupakan anak terakhir dari dua bersaudara. Subjek memiliki satu orang kakak perempuan, yang saat ini sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak laki-laki. Bapak subjek merupakan seorang karyawan di sebuah hotel. Saat ini subjek tinggal bersama bapak dan neneknya yang sudah lansia, sementara kakaknya tinggal di Semarang bersama suami dan anaknya. b. Deskripsi Singkat Terkait Kematian Ibu dari Subjek 1

Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa ibu subjek meninggal di usia 48 tahun ketika subjek duduk di bangku SD. Almarhum ibu meninggal dikarenakan sakit darah tinggi, hingga menyebabkan pembuluh darah pecah dan masuk ke otak. Hal tersebut mengakibatkan almarhum koma selama 2 hari kemudian meninggal.


(62)

c. Pelaksanaan Wawancara Subjek 1

Tabel 3.1. Pelaksanaan Wawancara Subjek 1

Hari, tanggal Tempat Waktu

Senin, 18 Mei 2015 Rumah C Pukul 16.15-17.30 WIB Kamis, 30 Juli 2015 Rumah C Pukul 15.30-16.10 WIB

d. Analisis Subjek 1 1). Penerimaan Diri

Berdasarkan hasil wawancara, subjek merupakan pribadi yang pemalas di sekolah dan kemampuannya di pelajaran tergolong biasa saja. Selain itu, subjek juga menyadari bahwa dirinya merupakan pribadi yang aktif, yang harus melakukan kegiatan. Ketika wawancara, subjek berkata demikian:

“Emm…aku tu males kalau di sekolah. Ya biasa aja sih kemampuanku . Aku tipe orangnya yang gak bisa diem, harus ada yang bisa dilakukan.

(Subjek 1, 403-404, 437 dan 934-936) Di saat ibu meninggal, awalnya subjek menunjukan reaksi marah terhadap bapak sebagai bentuk protes atas kenyataan yang harus dihadapi.Namun beberapa hari setelah kematian ibu, subjek mulai bisa menerima keadaan bahwa kematian yang terjadi pada ibunya merupakan yang terbaik. Pada saat wawancara, subjek berkata demikian:


(63)

“Kayak dulu kan sempet marah sama bapak…Tapi ya trus hari-hari setelah ibu meninggal malah, biasane kan kalau orang-orang tu pada sedih. Kalau aku tu malah lebih seneng, lebih plong. Oh ibu udah nggak sakit. Soale pas sakit tu, sini selang sini selang. Banyak selang. Trus kalau pas aku kesana, aku nyanyi berdoa gitu tu ibu bisa nangis. Nah trus aku mikirnya, kok kayak gini to ya di Rumah Sakit tapi mbok melek to. Tapi, ya nggak bisa to wong disini selang (hidung), disini selang (mulut). Padahal ibu tu seumur-umur belum pernah masuk Rumah Sakit njuk mondok gitu tu belum pernah. Njuk pas lihat seperti itu tu kasian. Njuk ibu meninggal tu njuk, yo

wis lah.”

(Subjek 1, 1201-1216 dan 1218-1237) Beberapa waktu kemudian, subjek menunjukkan perubahan perilaku dalam dirinya. Subjek yang dulu sering datang ke makam untuk curhat dengan ibu, kini mencoba untuk cerita ke kakak karena menyadari bahwa perilakunya tersebut tidak tepat. Subjek menyatakan demikan:

“Tapi dulu pertama-tama sebelum nyoba sama mbak, ke itu ke makam. Trus curhat ma ibu. Ya kayak orang ngomong sendiri, kayak gitu. “Buk, aku tu suka sama dia.” Kayak gitu. Tapi,lama-lama njuk wah cerita sama ibu kok ya disitu (=makam). Trus yaitu pelan-pelan mulai cerita sama mbak.”

(Subjek 1, 1360-1369)

Sementara itu, saat ini subjek merasa sedih dan seolah-olah menyalahkan keadaan ketika teman-teman di sekolah saling menceritakan ibunya masing-masing sementara hanya subjek yang tidak memiliki ibu. Hal tersebut dapat dilihat dalam pernyataan berikut ini:

“Kayak apa ya, ah kok aku tok ya yang kayak gini. Temen di sekolah tu nggak ada yang kayak aku. Trus kayak misal apa


(64)

gitu kan trus kayak nyrempet-nyrempet tentang mamahe mereka. Trus kayak, ah males banget kok yang dibahas itu lo. Njuk rasanya tu trus kayak, nggak mau inget. Nggak mau trus sedih gitu to. Tapi, kan ya kebawa juga to. Tapi trus mereka cerita-cerita gitu to. Njukmaku, kok ya tinggal aku yang nggak punya gitu lo, sedangkan yang lain masih punya gitu lo.”

(Subjek 1, 1301-1315) Subjek merasa sedih karena belum sempat merasakan kenyamanan ketika bisa cerita dengan ibu, seperti yang dikatakan kakaknya. Saat ini ketika subjek sudah SMA tetapi ibu sudah tak ada lagi, sehingga subjek tidak bisa merasakan hal tersebut. Subjek mengatakan demikian:

“Emm..pernah kan mbak tu bilang waktu ibu masih ada, “Kamu to nek cerita apa-apa, nek misal kamu suka sama orang atau ada apa-apa tu cerita sama ibu. Enak wis to pokoke. Enak pokoke. Ya besuk nek kamu udah SMA nek cerita-cerita ma ibu kan enak.” Ya tapi sekarang ibu udah nggak ada, jadi nggak bisa tahu rasane. Ya agak sedih sih kenapa belum sempet merasakan malah ibu udah nggak ada. Ya pengene cerita-cerita ma ibu.”

(Subjek 1, 1345-1358) Subjek pernah ada masalah dengan nenek, karena nenek mengaitkan almarhum ibu ketika memarahinya. Subjek mengatakan demikian:

“Kayak dulu juga pernah ada konflik. Soale sampai embah bawa-bawa ibu. Embah bilang, “Lha yo kamu tu sithik-sithik ibu, sithik-sithik ibu. Wong udah nggak ada, mbok ya udah.” Trus aku kan bilang, “Lha yo wong kan inget to. Gitu sih, pasti jengkel kalau nyangkut pautin ibu.”


(65)

Selain itu, terkadang subjek ingat dengan almarhum ibu ketika belajar yang kemudian membuat semangat belajarnya menurun. Subjek merasa kehilangan semangat untuk menjalani hari-harinya ketika ia ingat dengan almarhum ibu. Oleh sebab itu, subjek selalu berusaha untuk menyibukkan diri. Subjek mengatakan demikian:

“Kadang ya pas belajar gitu jadi sok inget ibu, nanti kalau udah pikirane kesana trus jadi agak males-malesan le belajar wong trus jadi inget.…Soalnya nanti nek keinget tu trus jadi kayak apa-apa males. Emoh ah. Nggarap ini nggo opo. Buat besuk yo ngge apa. Njuk kayak, eh emoh. Ya itu tadi suka menyibukkan diri”

(Subjek 1, 541-545 dan 1416-1426) Di sisi lain, subjek bisa mensyukuri hidupnya saat ini yang tinggal memiliki bapak. Subjek merasa bangga memiliki bapak yang bisa berperan sebagai bapak dan juga ibu. Subjek mengatakan demikian:

“Terus ibu nggak ada tu, wah tinggal bapak. Njuk kayak, wah ho’o ya bapak tu nggak kayak bapak yang lain. Bisa jadi kayak ibu juga.Bangga.Bisa kek deket sama bapak tu juga habis ibu meninggal. Kalau dulu cuma sekedar ada bapak, ya. Kayak bapak-bapak yang biasa, gitu lo.”

(Subjek 1, 1148-1156) 2). Relasi Positif dengan Orang Lain

Subjek merupakan pribadi yang senang bekerja di organisasi karena bisa untuk menambah relasi pertemanan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan subjek ketika wawancara:


(66)

“Bisa nambah temen. Kayak cepet gitu lo. Aku liat anak-anak yang nggak ikut, pasti dia tu kayak yang kenal kakak kelas ya cuma yang itu-itu. Terus, cepet gitu lo. Baru berapa bulan di SMA udah aku tahu dia, tahu dia, tahu dia kayak gitu.”

(Subjek 1, 235-242) Selain itu, subjek juga memiliki hubungan yang baik dengan guru-guru di sekolahnya. Subjek suka bercanda dengan beberapa gurunya karena merasa nyambung dan nyaman. Akan tetapi, subjek memiliki hubungan yang biasa saja dengan guru-guru yang tidak disenangi, bahkan subjek merasa malas untuk bertanya. Hal ini tampak dari perkataan subjek saat wawancara yang demikian:

“Ya suka guyon-guyon sih, beberapa tapi. Pernah bilang apa trus kayak, eh kok aku bilang gitu. Hahaha. Gurunya tu malah ketawa malah, “Napa C?” “Nggak papa kok pak. Hahaha,” kayak gitu. Cuman trus yaudah nggak papa. Karena udah nyaman, udah klop (=cocok). Terus kayak, “Eh keceplosan”. Ya itu kalau sama guru-guru yang nggak suka, ya nggak deket lah. Kepengen tanya pun males.”

(Subjek 1, 610-619 dan 570-573) Subjek menganggap kedekatannya dengan semua teman-temannya sama, seperti yang dikatakan saat wawancara:

“Deket, banyak sih. Nggak ada yang terus aku paling deket sama ini. Aku tu dari dulu nggak pernah yang terus paling deket tu sama ini. Apa-apa cerita sama dia, terus dia cerita sama aku tu nggak pernah.

(Subjek 1, 687-716) Subjek sering menjadi tempat curhat oleh teman-temannya. Ketika teman-teman curhat dengannya, subjek akan berusaha untuk menjadi pendengar yang baik dan akan memberi pendapat jika


(67)

diminta. Selain itu, subjek juga akan berusaha untuk menjaga kepercayaan yang teman-teman berikan untuknya. Ketika wawancara, subjek mengatakan demikian:

“Ho’o sering pada curhat gitu. Ya, aku tu orangnya gampangan tu lo mbak. Jadi kalau temen-temen cerita, ya aku ya, ya, ya gitu aja. Kan ada tu kalau diceritain malah banyak komentar lah, males lah apa marah gitu-gitu kan. Nah kalau aku tu ya teko ya gitu aja. Kalau lagi ada temen cerita ya tak dengerin. Nanti kalau ditanyain pendapat, ya aku baru ngomong, gini, gini, gini. Kayak gitu sih. Jadi mungkin pada mikirnya aku tu gampangan. Diajak cerita ya cukup ya, ya, ya gitu doang. Jadi mungkin pada nilainya aku enak buat jadi tempat cerita. Cuma mereka, ya rahasia mereka aku tahu njuk mereka bilang aku jangan bilang sapa-sapa. Ya nggak tak bilangin sapa-sapa wong aku emang sama mereka semua tak anggep ya deket gitu lah”

(Subjek 1, 724, 653-668, 734-740) Di sisi lain, subjek justru tidak pernah curhat ke teman-temannya. Subjek lebih memilih kakak sebagai tempat bercerita. Hal ini tampak dari pernyataan subjek ketika wawancara yang demikian:

“Padahal kalau aku ada apa gitu, pasti tu ceritanya sama mbak. Cerita apa pun sama mbak. Kayak aku tu punya apa pun di sini, tu tak certain ke mbak. Nggak yang terus ke satu orang yang menurutku deket gitu tu nggak..Cuma mereka, ya rahasia mereka aku tahu njuk mereka bilang aku jangan bilang sapa-sapa. Ya nggak tak bilangin sapa-sapa wong aku emang sama mereka semua tak anggep ya deket gitu lah. Ya aku sering jadi tempat curhat, tapi aku nggak pernah curhat ke mereka. Lebih nyaman ke mbak. Ya itu deket. Malah banyak cerita ke kakak, kalau sama temen malah nggak pernah cerita apa-apa.Ya cerita, misalnya di sekolah “Mbak aku kok gini-gini.”


(68)

Ketika bertemu dengan orang baru, subjek akan mendahului untuk bertanya terlebih dahulu untuk membuka percakapan seperti yang dikatakan saat wawancara demikian:

“Aku tu orangnya tu kalau, emm.. sebenere biasanya tak tanya dulu sih kalau mereka yang nanya dulu tu jarang. Kadang tu nggak ada yang njuk. Kayak kemarin tu MOS (=Masa Orientasi Siswa) aku nyoba, diem aja gitu to. Terus juga ada yang nanya tapi mungkin belum deket gitu tu. Terus aku yang nanya, dari sekolah mana?. Setelah itu baru mau cerita, baru mau apa.”

(Subjek 1, 775-786) Sementara itu, subjek tidak terlalu dengat dengan tetangga-tetangga di sekitar rumahnya. Hanya ada komunikasi di saat-saat tertentu saja. Akan tetapi, subjek memiliki kedekatan yang lebih dengan tetangga yang tinggal di depan rumah, karena sejak kecil subjek sering dititipkan dengan tetangga depan rumahnya tersebut. Ketika wawancara, subjek mengatakan demikian:

“Lumayan sih. Kadang itu ibu-ibu PKK suka, “Ayo mbak Cristin besuk 17 Agustus nyanyi.” Kayak gitu. Ya cuma gitu-gitu tok. Omong-omongan ya cuma kalau misal di warung, “Beli apa, beli apa? terus, pulang sore mbak?” “Iya buk”. Gitu tok. Jadi ya cuma seperlunya aja. Kalau yang depan rumah ini nggak saudara tapi deket. Soale dulu bapak ibu misal pulang kerja jam 10, aku masih SD kan nggak berani di rumah sendiri. Njuk Mbah masih di rumah, masih punya rumah sendiri. Nah aku kan sendiri. Mbak itu di Semarang. Nah aku kan masih kecil gitu. Aku tu pasti suruh kesana soale malem daripada sendiri. Terus disana sampai malem, sampai bapak ibu pulang kerja baru nanti dijemput. Jadi hubungannya ya deket. Pagi-pagi masak apa gitu, kadang diantar kesini.”


(69)

Sebelum ibu meninggal, subjek merupakan anak yang sangat dekat dengan almarhum ibunya. Ibu merupakan tempat untuk subjek menceritakan banyak hal. Sebaliknya, subjek justru memiliki hubungan yang biasa saja dengan kakak dan bapaknya. Subjek merupakan pribadi yang sangat tertutup dengan kakaknya. Kedekatan dengan kakak mulai terjalin setelah kematian ibu. Subjek mulai bisa terbuka dengan kakaknya karena menyadari sudah tidak ada ibu yang biasanya menjadi tempat untuk bercerita. Meskipun saat ini kakaknya telah menikah, akan tetapi situasi tersebut tidak merubah kedekatan subjek dengan kakaknya. Bahkan subjek juga dekat dengan kakak iparnya. Hal ini tampak pada pernyataan yang subjek utarakan saat wawancara:

Njuk ibu nggak ada, wah njuk cerita sama siapa nggak ada ibu to. Njuk cerita sama sapa ini. Njuk coba ngomong mbak. Nggak sih dari dulu sebelum mbak nikah sampai sekarang tetep aja deket. Soalnya sama suaminya mbak juga deket.” (Subjek 1, 954-958 dan 1026-1029)

Relasi positif dengan orang lain juga tampak dari kedekatan subjek dengan bapak, yang juga baru mulai terbangun setelah ibu meninggal. Awalnya, subjek membutuhkan penyesuaian untuk beraktifitas sehari-hari dengan bapak. Subjek merasa aneh karena sebelumnya subjek banyak melakukan aktifitas bersama almarhum ibunya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu subjek mulai


(70)

terbiasa untuk beraktiftas bersama dengan bapak. Subjek berangkat dan pulang sekolah pun bersama bapak, bahkan subjek juga sering tidur bersama bapaknya. Hal ini tampak dari hasil wawancara dengan subjek:

“Akhire yo trus nggak papa sih, njuk sama bapak. Soale dulu apa-apa sama ibu, kemana-mana nganter apa-apa sama ibu. Nggak ada ibu, terus kan sama bapak kan piye gitu kan kalau sama bapak. Terus sama mbak juga nggak bisa, terus berjalannya waktu sama bapak njuk bisa. Terus apa-apa sama bapak gitu. Ya, kadang juga kalau lagi males bobok di kamar ya bobok sama bapak, ndeketi bapak. Dianter kemana-mana juga ma bapak. Berangkat sekolah, pulang sekolah juga ma bapak.”

(Subjek 1, 1044-1054 dan 1159-1164) Ketika menghadapi masalah, subjek lebih terbuka untuk bercerita dengan kakak bukan ke bapak. Dengan bapak, subjek hanya terbuka untuk menceritakan tentang kegiatan sekolah. Subjek mengatakan demikian:

“Menceritakan hal yang memang subjek tidak dapat menyelesaikan sendiri ke mbak, tidak pernah ke bapak (1061-1068). Kalau sama bapak paling cerita apa gitu sing cuma di sekolah gitu tak certain. Cuma nggak kayak cerita sama mbak gitu. Kayak masih kayak anak kecil yang sering cerita ke bapak ibu gitu itu. Di sekolah gini-gini tu masih tak certain ke bapak. Tiap hari itu. “Mosok to, tadi gini-gini.”

(Subjek 1, 1061-1068 dan 1086-1094) Selain itu, subjek juga sangat dekat dengan keponakannya yang berusia 2,5 tahun. Berikut pernyataan subjek:

“Emm, keponakan usia 2,5 tahun, cowok. Deket banget. Telepon-teleponan juga dia tahu suaraku. Manggil aku tu


(71)

nggak mau tante, tapi “Crist” gitu. Belum bisa ‘r’, jadi terus “Cis’. Nek kesini juga kayak udah lupa kalau punya mamah gitu. Mesti apa-apa sama aku.”

(Subjek 1, 1071-1079)

Subjek sering menjdi tempat bercerita neneknya tentang anak-anaknya yang tinggal di luar kota. Subjek sering membantu neneknya untuk menghubungi saudara-sudaranya yang tinggal jauh. Berikut pernyataan subjek ketika wawancara:

“Sama mbah ya cuma biasa aja, cuma ngomong-ngomong biasa. Cuma mbah suka, “Om yang di surabaya tu gini, gini, gini. Om yang di Jakarta tu gini, gini, gini. Kok nggak pernah telepon ya?”. Kayak gitu. Embah yang lebih banyak cerita. Kalau sama mbah nggak pernah yang cerita-cerita. Kalau sama embah ya itu cuma nyeritake saudara-saudara yang di luar. Suka tak teleponin, “Ni mbah nek meh ngomong sama tante yang di Surabaya.” Nek misal mbah diceritain sama tante yang di Surabaya atau apa, misal apa gitu nanti ceritain ke aku.”

(Subjek 1, 1116-1132) 3). Otonomi

Berdasarkan hasil wawancara, dimensi otonomi tampak dari sikap subjek dalam mengatasi kesulitan mengatur waktudi kegiatan-kegiatan yang diikuti. Beberapa kegiatan-kegiatan yang subjek ikuti, waktunya sering bersamaan. Oleh sebab itu, subjek selalu mendahulukan kegiatan yang waktunya lebih mendesak. Subjek mengatakan demikian:

“Hambatan-hambatan tu kalau tabrakan sama acara gereja. Kan aku juga seksi apresiasi seni, paling banyak acara sih. Ada pentas seni, ada apa gitu. Nanti terus, “Kok kamu ini kan tin ketua apresiasi seni kok malah nggak datang?”. Aku juga mentingin yang lebih dulu, soale misal besuk minggu tampil


(72)

vocal grup. Terus itu hari Jumat. Sedangkan acara buat di OSIS tu masih kamis, atau apa. Kan aku ndahuluin yang lebih dulu gitu lo. Aku juga dah ijin. Cuma nanti biasa, “Kok nggak dateng to kamu ki”. Jadi, aku mendahulukan yang lebih mendekati dulu.”

(Subjek 1, 135-152)

Ketika merasa bingung dengan banyaknya kegiatan yang diikuti, subjek mencoba untuk bercerita dengan orang lain. Meskipun subjek mendapatkan masukan-masukan, namun pada akhirnya subjek tetap memutuskan keputusannya sendiri. Subjek mengatakan demikian:

“Aku pernah cerita aku tu kok gini-gini ya. Udah di gereja jadi koordinator, terus vocal grup, di sekolah masih OSIS gini, gini, gini. Aku tu pulang juga kadang jam 5 terus masih ke gereja, masih apa-apa. Terus ini piye gitu. Terus pernah tanya juga sama yang lain kok aku, po aku keluar ya dari OSIS. Soalnya, kalau keluar dari gereja kan udah dilantik sama yang Gembala paling tinggi to. Udah panggilan, di gereja. Wong ya udah pelayanan juga. Po keluar dari OSIS ya. Terus malah dibilangi, kalau kita udah dikasih kayak gitu, itu tu bukan karena gimana-gimana. Itu tu karna kita bisa. Terus aku kayak mikir-mikir gitu lo. Oh berarti bukan karna apa-apa tapi karna aku bisa. Oh berarti aku bisa ya. Oh berarti mbok mau sekayak apa pun tu aku bisa. Ya wis trus aku memutuskan lanjut semua”

(Subjek 1, 174-199) 4). Penguasaan Lingkungan

Subjek merupakan siswa yang aktif mengikuti kegiatan di sekolah. Selain tanggung jawabnya sebagai pelajar untuk belajar, subjek juga aktif dalam mengikuti beberapa kegiatan, yakni di OSIS, PSK dan grup vokal. Subjek memiliki peran untuk mengelola


(73)

setiap organisasi yang diikuti. Hal ini tampak dari keaktifan subjek dalam menjalankan tanggung jawabnya di organisasi, seperti yang dikatakannya ketika wawancara seperti ini:

“Kegiatan di sekolah sih apa ya, belajar biasa, belajar kayak biasa gitu. Terus OSIS aktif juga. Terus biasanya kalau nanti OSIS ada deadline event yang udah H- berapa gitu, pasti kita pulang sampai jam 4 jam 5. Terus kalau biasanya ada kelas vocal, biasanya jam 4 baru selesai. OSIS, terus pengurus PSK (=Persekutuan Siswa Kristen) juga, terus itu kelas vocal. Tapi kelas vocal juga kadang kalau pas ada, kalau nggak ya nggak.

(Subjek 1, 4-19)

Subjek senang terlibat di organisasi karena bisa ikut berperan untuk memperbaiki kekurangan, seperti yang dikatakannya demikian:

“Itu sih kayak misal, kita liat terus kok kayak gini to. Nanti kalau nggak bisa ikut, nggak bisa benerin. Misal liat apa gitu, terus cuma liat. Ah, kok gitu to. Nah, sedangkan kalau kita ikut, terus didalemnya kita bisa ngasih mbok gini, mbok gini, mbok gini. Jadi, nanti tampilane kayak yang kita pengen. Kayak

gitu”

(Subjek 1, 220-229)

Di OSIS, subjek berani menegur ketua ketika bersikap tidak benar. Subjek mengatakan demikian:

“Kan ketuanya cowok. Suaranya bagus, dia juga dari SMP tu emang dia udah seni banget lah hidupnya. Terus, dia ngambekan kadang. Emang tertib, dia suka ngasih tau, “Kamu tu mbok kerja, kamu tu udah dipilih guru, mbok ayo!. Nah dia itu, kalau udah nggak suka, yo wis nggak suka gitu lo kak. Makanya aku to, “Mbok ayo itu diajak!” Aku bilang gitu sama ketua. Terus nanti, “Emoh dia nggak mau kerja kok.” Ya kan kamu ketua, Ayo diajak!”


(1)

1183 1184 1185 1186 1187 1188 1189 1190 1191 1192 1193 1194 1195 1196 1197 1198 1199 1200 1201

dengan baik sih. Untuk ke depannya sih kayak yang pengen, aku di perkuliahan juga tinggi. Maksutnya di perkuliahan juga wow. Dan itu kayak bisa membawa nama keluarga gitu lo.

Terus, apa yang uda kamu lakukanan?

Udah sih. Aku kan pengen IPnya naik. Trus pengen. Ya, aku berusaha untuk mengoptimalkan diriku sendiri. Misal, kamu pengennya apa. Pengennya IPnya naik kan. Nah IPnya naik itu caranya tu belajar yang ini lah. Gak papalah begadang-begadang, ngerjain tugas juga biar. Ya itu sih cara-caranya biar kayak cita-citaku terkabul, gitu lo. Kalau misal di

Subjek rajin belajar supaya IP naik dan rajin di organisasi agar bisa naik jabatan (1191-1205)


(2)

1202 1203 1204 1205 1206 1207 1208 1209 1210 1211 1212 1213 1214 1215 1216 1217 1218 1219 1220

organisasi pengen ininya naik, ya udah lah rapat datang lah, ya udah lah ngerjain yang bener kayak gitu, kayak gitu.

E itu di kampus ya. Kalau, di luar kampus, kalau di keluarga gimana?

Di keluarga pengennya, pengennya tu aku nggak ngrepotin gitu lo. Maksutnya nggak memberikan beban kepada orangtua maupun saudara-saudara yang lain. Makanya itu, sekarang itu tu kayak lebih jangan terlalu menampakkan apa yang kurangnya kamu gitu lo. Misal, aku butuh ini, butuh ini. Sebisa mungkin aku bisa mememenuhi itu sendiri tu dari aku. Jangan

Subjek tidak ingin

merepotkan orangtua dan saudara-saudara, sebisa mungkin memenuhi kebutuhan sendiri (1209-1224)


(3)

1221 1222 1223 1224 1225 1226 1227 1228 1229 1230 1231 1232 1233 1234 1235 1236 1237 1238 1239

minta-minta dulu lah. Makanya, aku tu pengen cari ngeles dulu. Biar dapet duit dulu. Biar nggak ngrepoti. Trus, pengennya sih gini, sekarang itu kayak lebih apa ya mempercayakan diri lah. Meskipun nggak ada ibu, kamu tu harus bisa, jangan sampai apa yang sudah terplanningkan dulu sekarang malah jadi hancur cuma gara-gara nggak ada ibu, kayak gitu. Pengennya sih sekarang kayak buktiin ke ibu juga. Aku bisa kok kayak gini, kayak gini. Aku bisa kok besok kayak bisa sukses, besok bisa kayak ngebahagiain orangtua, kayak gini, gini tanpa adanya ibu. Ibu mungkin, ya gitu aja sih. Aku

Subjek meyakinkan diri, meskipun tanpa ibu tetap harus bisa menjalani hidup, bisa sukses,bisa membahagiakan orang tua. Subjek percaya bahwa dirinya mampu (1225-1248)

Memiliki sikap positif untuk diri Punya rasa

mengembangkan diri

Penerimaan diri (+)

Pertumbuhan pribadi (+)


(4)

1240 1241 1242 1243 1244 1245 1246 1247 1248 1249 1250 1251 1252 1253 1254 1255 1256 1257 1258

cuma bisa ngedoain. Cuma bisa action. Aku cuma bisa ngebuktiin aja. Ya sih, tetep yang bisa diambil cuma dulu kayak apa nasehat-nasehatnya aja. Sekarang sih mencoba untuk bisa mempercayakan diri, kalau kamu bisa nglakuin, kayak gitu sih..

Lalu, kalau harapanmu dengan saudara-saudara bagaimana?

Ya kalau sama adik sama saudara-saudara yang lain sih kayak pengen, aku bisa nuntun kalian gitu lo. Toh, sekarang aku tu udah gedhe. Dan aku ngerasa banyak kok yang maksutnya banyak yang mereka bantu ke aku gitu lo. Mereka kayak misalnya mereka ngasih ini lah, ngasih ini. Dan aku

Subjek belum bisa membalas kebaikan kakak-kakaknya dan berharap bisa

membalasnya besuk lewat anak-anaknya kelak. Selain itu, subjek ingin sukses jadi bisa

Harapan hidup untuk menyenangkan orang lain


(5)

1259 1260 1261 1262 1263 1264 1265 1266 1267 1268 1269 1270 1271 1272 1273 1274 1275 1276 1277

tu kayak belum bisa membalas. Besok lah, besok. Ada waktunya dimana kayak, mungkin aku nggak bisa bantu kakak, adikku secara langsung. Tapi mungkin ke anak-anak mereka atau apa kayak gitu. Besok sih pengennya kayak gitu. Kalau untuk adik sih ya besok, bisa lah gimana lah. Maksutnya, aku bisa sukses dan aku bisa bantu kalian kayak gitu. Amin.

Kalau sama keponakan-keponakan, semua ada berapa ya?

5 pa ya, 6 ding 6.

Itu hubungannya gimana tu sama keponakan-keponakan?

Masih kecil-kecil juga sih. Nah mereka kayak yang suka masih,

membantu adik-adiknnya (1250-1270)


(6)

1278 1279 1280 1281 1282 1283 1284 1285 1286

masih kayak SMS. Gimana bulek. Kayak tiba-tiba telepon, tiba-tiba apa. Ya kayak gitu-gitu sih. Ya lebih yang komunikasi-komunikasi kayak gitu.

Oke-oke. Kayaknya udah cukup sih pertanyaannya. Makasih ya buat pertemuan kali ini.

Ya, sama-sama.

komunikasi yang baik dengan keponakan-keponakannya (1267-1282)

dengan orang lain (keponakan)