Penerimaan Diri Berdasarkan hasil wawancara, subjek merupakan pribadi yang
46
“Bisa nambah temen. Kayak cepet gitu lo. Aku liat anak-anak yang nggak ikut, pasti dia tu kayak yang kenal kakak kelas ya
cuma yang itu-itu. Terus, cepet gitu lo. Baru berapa bulan di SMA udah aku tahu dia, tahu dia, tahu dia kayak gitu.”
Subjek 1, 235-242 Selain itu, subjek juga memiliki hubungan yang baik dengan
guru-guru di sekolahnya. Subjek suka bercanda dengan beberapa gurunya karena merasa nyambung dan nyaman. Akan tetapi, subjek
memiliki hubungan yang biasa saja dengan guru-guru yang tidak disenangi, bahkan subjek merasa malas untuk bertanya. Hal ini
tampak dari perkataan subjek saat wawancara yang demikian: “Ya suka guyon-guyon sih, beberapa tapi. Pernah bilang apa
trus kayak, eh kok aku bilang gitu. Hahaha. Gurunya tu malah ketawa malah, “Napa C?” “Nggak papa kok pak. Hahaha,”
kayak gitu. Cuman trus yaudah nggak papa. Karena udah nyaman, udah klop =cocok. Terus kayak, “Eh keceplosan”.
Ya itu kalau sama guru-guru yang nggak suka, ya nggak deket lah. Kepengen tanya pun males.”
Subjek 1, 610-619 dan 570-573 Subjek menganggap kedekatannya dengan semua teman-
temannya sama, seperti yang dikatakan saat wawancara: “Deket, banyak sih. Nggak ada yang terus aku paling deket
sama ini. Aku tu dari dulu nggak pernah yang terus paling deket tu sama ini. Apa-apa cerita sama dia, terus dia cerita
sama aku tu nggak pernah.
Subjek 1, 687-716 Subjek sering menjadi tempat curhat oleh teman-temannya.
Ketika teman-teman curhat dengannya, subjek akan berusaha untuk menjadi pendengar yang baik dan akan memberi pendapat jika
47
diminta. Selain itu, subjek juga akan berusaha untuk menjaga kepercayaan yang teman-teman berikan untuknya. Ketika
wawancara, subjek mengatakan demikian: “Ho’o sering pada curhat gitu. Ya, aku tu orangnya
gampangan tu lo mbak. Jadi kalau temen-temen cerita, ya aku ya, ya, ya gitu aja. Kan ada tu kalau diceritain malah banyak
komentar lah, males lah apa marah gitu-gitu kan. Nah kalau aku tu ya teko ya gitu aja. Kalau lagi ada temen cerita ya tak
dengerin. Nanti kalau ditanyain pendapat, ya aku baru ngomong, gini, gini, gini. Kayak gitu sih. Jadi mungkin pada
mikirnya aku tu gampangan. Diajak cerita ya cukup ya, ya, ya gitu doang. Jadi mungkin pada nilainya aku enak buat jadi
tempat cerita. Cuma mereka, ya rahasia mereka aku tahu njuk mereka bilang aku jangan bilang sapa-sapa. Ya nggak tak
bilangin sapa-sapa wong aku emang sama mereka semua tak anggep ya deket gitu lah”
Subjek 1, 724, 653-668, 734-740 Di sisi lain, subjek justru tidak pernah curhat ke teman-
temannya. Subjek lebih memilih kakak sebagai tempat bercerita. Hal ini tampak dari pernyataan subjek ketika wawancara yang
demikian: “Padahal kalau aku ada apa gitu, pasti tu ceritanya sama
mbak. Cerita apa pun sama mbak. Kayak aku tu punya apa pun di sini, tu tak certain ke mbak. Nggak yang terus ke satu
orang yang menurutku deket gitu tu nggak..Cuma mereka, ya rahasia mereka aku tahu njuk mereka bilang aku jangan
bilang sapa-sapa. Ya nggak tak bilangin sapa-sapa wong aku emang sama mereka semua tak anggep ya deket gitu lah. Ya
aku sering jadi tempat curhat, tapi aku nggak pernah curhat ke mereka. Lebih nyaman ke mbak. Ya itu deket. Malah banyak
cerita ke kakak, kalau sama temen malah nggak pernah cerita apa-apa.Ya cerita, misalnya di sekolah “Mbak aku kok gini-
gini.”
Subjek 1, 725-743 dan 904-916
48
Ketika bertemu dengan orang baru, subjek akan mendahului untuk bertanya terlebih dahulu untuk membuka percakapan seperti
yang dikatakan saat wawancara demikian: “Aku tu orangnya tu kalau, emm.. sebenere biasanya tak tanya
dulu sih kalau mereka yang nanya dulu tu jarang. Kadang tu nggak ada yang njuk. Kayak kemarin tu MOS =Masa
Orientasi Siswa aku nyoba, diem aja gitu to. Terus juga ada yang nanya tapi mungkin belum deket gitu tu. Terus aku yang
nanya, dari sekolah mana?. Setelah itu baru mau cerita, baru mau apa.”
Subjek 1, 775-786 Sementara itu, subjek tidak terlalu dengat dengan tetangga-
tetangga di sekitar rumahnya. Hanya ada komunikasi di saat-saat tertentu saja. Akan tetapi, subjek memiliki kedekatan yang lebih
dengan tetangga yang tinggal di depan rumah, karena sejak kecil subjek sering dititipkan dengan tetangga depan rumahnya tersebut.
Ketika wawancara, subjek mengatakan demikian: “Lumayan sih. Kadang itu ibu-ibu PKK suka, “Ayo mbak
Cristin besuk 17 Agustus nyanyi.” Kayak gitu. Ya cuma gitu- gitu tok. Omong-omongan ya cuma kalau misal di warung,
“Beli apa, beli apa? terus, pulang sore mbak?” “Iya buk”. Gitu tok. Jadi ya cuma seperlunya aja. Kalau yang depan
rumah ini nggak saudara tapi deket. Soale dulu bapak ibu misal pulang kerja jam 10, aku masih SD kan nggak berani di
rumah sendiri. Njuk Mbah masih di rumah, masih punya rumah sendiri. Nah aku kan sendiri. Mbak itu di Semarang. Nah aku
kan masih kecil gitu. Aku tu pasti suruh kesana soale malem daripada sendiri. Terus disana sampai malem, sampai bapak
ibu pulang kerja baru nanti dijemput. Jadi hubungannya ya deket. Pagi-pagi masak apa gitu, kadang diantar kesini.”
Subjek 1, 867-891
49
Sebelum ibu meninggal, subjek merupakan anak yang sangat dekat dengan almarhum ibunya. Ibu merupakan tempat untuk
subjek menceritakan banyak hal. Sebaliknya, subjek justru memiliki
hubungan yang biasa saja dengan kakak dan bapaknya. Subjek
merupakan pribadi yang sangat tertutup dengan kakaknya. Kedekatan dengan kakak mulai terjalin setelah kematian ibu.
Subjek mulai bisa terbuka dengan kakaknya karena menyadari sudah tidak ada ibu yang biasanya menjadi tempat untuk bercerita.
Meskipun saat ini kakaknya telah menikah, akan tetapi situasi tersebut tidak merubah kedekatan subjek dengan kakaknya. Bahkan
subjek juga dekat dengan kakak iparnya. Hal ini tampak pada pernyataan yang subjek utarakan saat wawancara:
“Njuk ibu nggak ada, wah njuk cerita sama siapa nggak ada ibu to. Njuk cerita sama sapa ini. Njuk coba ngomong mbak.
Nggak sih dari dulu sebelum mbak nikah sampai sekarang tetep aja deket. Soalnya sama suaminya mbak juga deket.”
Subjek 1, 954-958 dan 1026-1029 Relasi positif dengan orang lain juga tampak dari kedekatan
subjek dengan bapak, yang juga baru mulai terbangun setelah ibu meninggal. Awalnya, subjek membutuhkan penyesuaian untuk
beraktifitas sehari-hari dengan bapak. Subjek merasa aneh karena sebelumnya subjek banyak melakukan aktifitas bersama almarhum
ibunya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu subjek mulai