PEMBAHASAN PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
Kohler, 2007 yang mengatakan bahwa penderita MG mengalami kesulitan di aktivitas sekolah atau bekerja. Rohr 1991 juga menunjukkan
bahwa 30 dari pasien MG yang ia teliti bekerja dengan kondisi pekerjaan yang kurang ideal. Cara mengatasi para partisipan dalam tugas
utama mereka berbeda-beda. Partisipan satu mengatasi hambatan saat ia masih sekolah dengan cara memaksakan kondisi dirinya untuk mengikuti
les walaupun ia sudah diberitahu oleh dokter untuk menjaga kondisi dirinya denial. Saat sudah duduk di bangku kuliah partisipan satu
menghadapi hambatan aktivitas kuliahnya dengan cara mengurangi aktivitas di luar rumah agar ia tidak mudah lelah sehingga dapat produktif
dalam pengerjaan tugas suppresion of competing activies. Partisipan dua menghadapi hambatan sebagai mahasiswa dengan cara memikirkan
langkah-langkah untuk menjaga kondisi agar tidak cepat lelah dan stress saat kuliah dan magang planning. Partisipan tiga yang memiliki
perbedaan tugas utama yaitu menjadi kepala keluarga dan seorang ayah menghadapi hambatannya dengan cara usaha penerimaan keterbatasannya
itu acceptance. MG juga menyebabkan hambatan pada aktivitas keseharian dan
relasi para partisipan. Hal ini sesuai seperti yang tertulis pada penelitian mengenai Psychosocial Aspects in Patients with Myasthenia Gravis
Kohler, 2007 yang mengatakan bahwa selain mengalami kesulitan di aktivitas sekolah atau bekerja, penderita MG juga mengalami masalah
dalam kehidupan sehari-hari mereka. Untuk menghadapinya para PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
partisipan berusaha untuk menerima perubahan-perubahan aktivitas. Cara menghadapi partisipan ini disebut dengan acceptance yang masuk dalam
kategori emotion focused coping. Hambatan dalam berelasi paling dirasakan oleh partisipan ketiga. Hambatan relasi yang dihadapi adalah
relasi dengan keluarga dan teman dekat. Keluarga dan teman partisipan tiga memberikan respon yang kurang baik terhadap kondisi partisipan tiga
dan untuk menghadapinya ia mencoba menerima hal tersebut acceptance. Dalam menghadapi respon buruk keluarga, partisipan tiga
juga melakukan meditasi nafas yang menyebabkan ia bisa melepaskan energi-energi negatif dalam dirinya sehingga ia lebih tenang dalam
menghadapi respon buruk. Meditasi nafas ini merupakan bentuk dari focusing on and venting emotion, yang merupakan kecenderungan untuk
fokus pada tekanan apapun upaya individu untuk melepas atau menyalurkan perasaan ditandai dengan usaha meningkatkan kesadaran
akan adanya tekanan emosional Carver, Scheier, dan Weintraub, 1989. Cara-cara partisipan dalam menghadapi hambatan aktivitas dan relasi
masuk dalam kategori emotion focused coping. Partisipan satu dan dua memiliki ketakutan akan masa depan.
Ketakutan mereka adalah jika penyakitnya semakin parah dan kematian. Cara menghadapi ketakutan mereka adalah dengan active coping. Mereka
mencoba menjaga kondisi dirinya agar kondisinya tidak semakin parah active coping.
Para partisipan juga memiliki strategi coping yang lain dalam menghadapi kondisi dirinya. Partisipan satu dan tiga membutuhkan orang
lain untuk mengontrol dirinya dan memberikan nasihat serta informasi terkait kondisinya. Hal ini disebut dengan seeking social support for
instrumental reasons, yaitu usaha individu mencari dukungan sosial seperti nasihat, bantuan atau informasi untuk menyelesaikan masalah
Carver, Scheier, dan Weintraub, 1989. Bentuk bantuan orang lain yang dibutuhkan partisipan satu dan tiga berbeda. Partisipan satu membutuhkan
bantuan orang lain dalam hal mengontrol dirinya, partisipan tiga membutuhkan orang lain untuk mendapat nasihat dan belajar bionergi
reiki. Partisipan satu juga melakukan proyeksi berupa menulis puisi yang ia tujukan untuk orang lain akan tetapi sebenarnya untuk memotivasi
dirinya. Partisipan dua juga juga membutuhkan orang lain dengan kebutuhan yang berbeda yaitu untuk memberikan dukungan moral ketika
menghadapi penyakitnya. Hal ini disebut sebagai seeking social support for emotional reasons, yaitu upaya individu untuk mencari dukungan
sosial melalui dukungan moral, simpati atau pengertian Carver, Scheier, dan Weintraub, 1989 yang masuk dalam kategori emotion focused coping.
Para partisipan menghadapi permasalahan-permasalahan akibat penyakit MG ini dengan kombinasi problem focused coping dan emotion
focused coping. Akan tetapi, secara keseluruhan mereka lebih banyak menggunakan emotion focused coping berupa turning to religion,
acceptance, positive reinterpretation, denial, proyeksi, seeking social PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
support for emotional reasons, focusing on and venting emotion, dan behavioral diseangement.
Pemilihan strategi coping ini tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Menurut Lazarus dan Folkman 1984, dalam Huffman,
Verno, Vernoy, 2000 pemilihan strategi coping dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu health and energy, positive beliefs, problem-solving
skills, an internal locus of control, social skills, social support, and material resources. Dukungan sosial memiliki peran yang besar dalam
pemilihan strategi coping para partisipan. Dukungan sosial ini bersumber terutama dari keluarga, kemudian teman-teman dekat, komunitas,
pasangan, dan lingkungan sekitar. Akibat adanya dukungan sosial para partisipan dapat menerima kondisi dirinya acceptance. Hal ini sesuai
dengan penelitian Winnubst, Buunk, dan Marcelissen 1988 bahwa dukungan sosial dapat mendukung pada saat kejadian yang menekan
seperti perceraian, kehilangan orang yang dicintai, penyakit kronis, kehamilan, kehilangan pekerjaan, dan sedang banyak pekerjaan.
Selain itu, mereka memiliki internal locus of control yang tinggi. Mereka memiliki keinginan dalam diri untuk sembuh sehingga mereka
mau berjuang melawan penyakitnya dan melakukan pengobatan active coping apapun agar kondisinya bisa lebih baik. Menurut Strickland
1978 orang yang merasa memiliki internal locus of control sepanjang hidupnya, lebih berhasil dalam melakukan coping dibanding orang yang
merasa tidak memiliki kontrol sepanjang kejadian dihidupnya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kemudian para partisipan memiliki positive beliefs yang baik terhadap Tuhan, dokter, dan juga memiliki citra diri positif sehingga
para partisipan melakukan upaya untuk menenangkan diri dengan berdoa turning to religion, kemudian partisipan pergi ke dokter dan
minum obat dari dokter active coping, dan dapat memaknai hidup serta berpikir secara positif positive reinterpretation. Penelitian
Greenberg et al, 1989 menunjukkan bahwa meningkatnya harga diri seseorang dapat mengurangi sejumlah kecemasan yang disebabkan
kejadian yang menekan. Menurut Lazarus dan Folkman Huffman, Verno, Vernoy, 2000, harapan dapat berasal dari kepercayaan diri,
yang dapat memungkinkan seseorang untuk merancang strategi koping sendiri; kepercayaan pada orang lain, seperti dokter yang dirasa bisa
mempengaruhi hasil positif; atau kepercayaan terhadap Tuhan. Para partisipan juga memiliki problem solving skills sehingga
mereka dapat memecahkan masalah dengan cara memikirkan langkah- langkah alternatif untuk menjaga kondisi mereka planning.
Partisipan dua dan tiga juga memiliki faktor yang berbeda dengan partisipan satu yaitu social skills. Mereka tetap memiliki
teman-teman lain walaupun mereka memiliki hambatan berelasi dengan teman-teman yang dulu sering bersama walaupun dalam
lingkup yang lebih kecil. Selain itu pada partisipan tiga, social skills membantunya untuk dapat berbagi dengan penderita penyakit
autoimun yang lain. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari penelitian ini juga ditemukan bahwa selain faktor-faktor di atas, ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemilihan strategi
coping penderita MG yaitu pengalaman, jenis kelamin dan tingkat pendidikan partisipan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan McCrae
1984, dalam Miranda, 2013 bahwa ada faktor-faktor personal lain yang mempengaruhi pemilihan strategi coping terdiri dari kepribadian,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi. Proses coping juga melibatkan pengalaman atau proses berpikir seseorang
Herber, 2003 dalam Hasan, 2013 serta pengalaman sosialnya Pearlin dan Scroler dalam Hasan, 2013.
Hasan 2013 juga mengatakan bahwa strategi coping juga dipengaruhi oleh faktor kepribadian,
lingkungan, jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, dan status ekonominya.
128