Gambar 3. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan
untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak 90:10, jarak pengembangan 15 cm.
Keterangan : Fase diam : silika gel GF
254
Fase gerak : toluen : etil asetat 90:10 vv Deteksi : Sinar UV 365 nm
Modifikasi selanjutnya dirubah pada perbandingan toluen 85 : etil asetat 15, indeks polaritas campuran fase gerak 2,7 P’. Pemisahan becak sudah
baik karena bercak sudah tidak menumpuk dan diperoleh kerapatan jarak antar
bercak yang hampir merataGambar 4.
Gambar 4. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan
untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak 85:15, jarak pengembangan 15 cm..
Keterangan : Fase diam : silika gel GF
254
Fase gerak : toluen : etil asetat 85:15 vv Deteksi : Sinar UV 365 nm
Hasil dengan perbandingan 85:15 sudah baik, namun dirasa masih perlu dilakukan modifikasi lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.
Perbandingan selanjutnya yang digunakan adalah toluen 80 banding etil asetat 20. indeks polaritas campuran fase gerak 2,8 P’. Hasilnya kerapatan jarak antar
bercak sudah merata dan namun terdapat bercak yang menumpuk pada posisi akhir jarak pengeluasianGambar 5.
Gambar 5. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan
untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak 80:20, jarak pengembangan 15 cm.
Keterangan : Fase diam : silika gel GF
254
Fase gerak : toluen : etil asetat 80:20 vv Deteksi : Sinar UV 365 nm
Melihat profil dari ke empat KLT orientasi di atas maka diputuskan untuk memakai fase gerak toluen-etil asetat dengan perbandingan 85:15 vv.
Setelah diperoleh sistem pemisahan dari KLT orientasi, kemudian diaplikasikan ke metode Vaccum Coloumn Chromatography VCC atau disebut
juga Kromatografi Kolom Vakum. Volume fase gerak yang digunakan untuk setiap kali fraksinasi sebanyak 50 ml karena diharapkan dapat mengeluasi bercak
berdasarkan urutan kepolarannya. Pada perbandingan fase gerak 85:15, indeks polaritas campuran dari kedua senyawa tersebut adalah 2,7 P’ yang masuk dalam
kategori fase gerak yang relatif non-polar. Bercaksenyawa yang bersifat non polar akan terfraksinasi terlebih dahulu. Berturut-turut selanjutnya akan
didapatkan bercaksenyawa yang cenderung lebih polar. Senyawa-senyawa yang non-polar akan berinteraksi dengan fase gerak yang non-polar sehingga lebih
cepat tereluasi sedangkan senyawa yang relatif lebih polar akan berinteraksi dengan fase diam sehingga waktu eluasinya lebih lama.
Fase diam yang digunakan adalah silika gel yang dibuat menjadi bubur dengan pelarut fase gerak yang akan digunakan. Pembuatan bubur ini bertujuan
untuk memudahkan dalam pemasukan ke dalam kolom serta untuk menghindari terjadinya rongga udara pada kolom yang dapat mengganggu dalam proses
fraksinasi. Penghisapan pelarut bubur dalam kolom dimaksudkan untuk lebih memampatkan fase diam sehingga diperoleh kerapatan fase diam yang kompak
dan merata. Fraksinasi dengan menggunakan kromatografi vakum-cair didapatkan 12
fraksi hasil Gambar 6. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 6. Kromatogram 12 fraksi ekstrak etanol daun tumbuhan
tembelekan hasil fraksinasi dengan jarak pengembangan 15 cm.
Keterangan : Fase diam : silika gel GF
254
Fase gerak : toluen : etil asetat 85:15 vv Deteksi : Sinar UV 365 nm
Proses fraksinasi dapat dihentikan karena sudah didapatkan profil bercak yang sesuai dengan KLT orientasi. Pada fraksi no 1 didapatkan profil bercak yang
berwarna hijau pada UV 365 nm. Profil bercak ini sudah sesuai dengan profil bercak pada KLT orientasi yang tereluasi pertama kali yang juga memberikan
warna hijau pada UV 365 nm. Akhir pengeluasian pada profil bercak KLT orientasi juga ditandai dengan bercak yang berwarna hijau pada UV 365 nm dan
bercak ini sudah diperoleh profil bercaknya mulai dari fraksi no 8. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Fraksi-fraksi yang mempunyai kesamaan bercak kemudian digabung. Selain itu penggabungan bercak juga didasarkan pada bercak yang dominan pada
fraksi. Bercak dominan adalah bercak yang mempunyai area relatif lebih lebar dan terlihat lebih tebal. Fraksi yang mempunyai kesamaan bercak yaitu pada fraksi no
8 sampai 12 yang kemudian digabung menjadi satu. Profil bercak pada fraksi no 3 sampai 7 mempunyai profil yang hampir sama dalam rentang panjang bercak
pengeluasiannya. Namun, profil bercak pada fraksi no 4 sampai 7 lebih dominan pada bercak bagian bawah pengeluasian polar sehingga fraksi no 4 sampai 7
digabung menjadi satu. Fraksi no 1 sampai 3 tidak digabung karena mempunyai karakteristik bercak dominan yang berbeda. Penggabungan ini bertujuan untuk
mendapatkan profil fraksi dari yang nonpolar sampai ke fraksi yang polar. Selain itu untuk mendapatkan profil dari fraksi yang memiliki efek toksik pada larva
artemia.
Tabel II. Penggabungan hasil fraksinasi menjadi 5 fraksi berdasarkan data gambar 6
Penggabungan Fraksi no
nama dan berat fraksi gabungan 1 F
1
berat 40 mg 2 F
2
berat 150 mg 3 F
3
berat 60 mg 4 sampai 7
F
4
berat 150 mg 8 sampai 12
F
5
berat 20 mg
Hasil penggabungan didapatkan lima fraksi yaitu F
1,
F
2
, F
3
, F
4
, F
5.
Tabel penggabungan fraksi menunjukkan berat dari fraksi gabungan. Berat fraksi yang
besar ditunjukkan pada F
2
dan F
4
. Lima fraksi gabungan tersebut, tiga fraksi yang diujikan dengan metode BST yaitu F
2
, F
3
, F
4
. Pengujian dengan metode BST tidak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
melibatkan F
1
karena profil bercak KLT pada F
1
sudah terwakili pada F
2
. Pada F
5
tidak diuji karena profil nya sudah terwakili pada F
4
.
E. Pembuatan Air Laut Buatan ALB
Komposisi bahan pembuat ALB terdiri dari natrium klorida, magnesium sulfat, magnesium klorida, kalsium klorida, kalium klorida, natrium
hidrokarbonat, dan aquadest. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan air laut alami sehingga lingkungan hidupnya hampir sama. Natrium hidrokarbonat
dilarutkan dengan menggunakan air bebas karbondioksida untuk mempertahankan sifat kebasaan atau agar pH tetap dipertahankan. Pemecahan cangkang siste
dibantu oleh kegiatan enzim penetasan yang membutuhkan pH lebih dari 8 antara 8-9, sehingga pH sangat berpengaruh terhadap penetasan siste.
ALB memiliki kadar garam 5 permil yang artinya dalam 1 ml aquadest mengandung 5 mg Natrium klorida. Menurut Mudjiman 1989, peningkatan
kadar garam yang mendadak dari 5 permil menjadi 35 permil tidak akan mempengaruhi kehidupan artemia, sebab mereka mempunyai toleransi yang tinggi
terhadap perubahan kadar garam. Bahkan lebih dari 35 permil, misalnya sampai 140 permil. Hal ini disebabkan artemia mempunyai kelenjar garam, yang dapat
mengatur penyesuaian diri terhadap perubahan kadar garam.
F. Penetasan Telur Artemia
Siste yang kering memiliki kadar air kurang dari 10 berisi embrio
dalam keadaan diapauze metabolisme terhenti sementara. Perendaman PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dilakukan agar siste menyerap sejumlah air yang digunakan untuk mengaktifkan metabolismenya. Air tawar digunakan dalam merendam siste karena proses
penyerapan air ke dalam siste berlangsung secara hiperosmotik tekanan osmose di dalam siste lebih tinggi dibandingkan tekanan osmose diluar siste.
Siste dimasukkan pada media ALB berkadar 5 per mil dengan pH 8.
Untuk pertumbuhan siste diperlukan ALB dengan kadar garam rendah, karena jika kadar garam terlalu tinggi maka siste tidak akan menetas karena tekanan osmose
di luar siste lebih tinggi sehingga siste tidak dapat menyerap air yang cukup untuk proses metabolismenya. Suhu juga berpengaruh untuk pertumbuhan artemia yang
baik. Suhu yang baik berkisar antara 25
o
C – 30
o
C sehingga penelitian dilakukan dalam suhu kamar. Selain kadar garam dan pengaruh suhu, kadar oksigen juga
sangat menentukan proses penetasan siste. Untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen terlarut sekitar 3mgl maka selama penetasan media diberi udara aerasi
dengan menggunakan aerator, gelembung udara juga berfungsi untuk mengaduk siste
secara merata agar siste tidak mengendap di dasar. Siste yang mengendap akan kekurangan oksigen dan tidak menetas. Untuk merangsang penetasan, media
penetasan perlu disinari dengan lampu 5 watt yang diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu panas. Pemisahan cangkang telur dan larva dapat dipercepat
dengan memanfaatkan sifat artemia yang tertarik pada cahaya fototaksis positif. Wadah penetasan dibagi dalam dua kompartemen yaitu kompartemen gelap
dengan cara ditutup kaca hitam dan kompartemen terang dengan cahaya lampu. Larva terseleksi akan bergerak dari kompartemen gelap ke kompartemen terang
melalui celah, sedangkan larva yang tidak cukup kuat dan aktivitasnya kurang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
baik tidak dapat menuju kompartemen terang. Antara kedua kompartemen tersebut diberi sekat dengan lebar celah kira-kira 1 cm.
Setelah larva menetas, maka larva dipindahkan ke dalam wadah penetasan yang berisi ALB yang berkadar garam 5 permil dengan kondisi sama.
Pengambilan larva dilakukan dengan menggunakan pipet tetes. Pemindahan larva ke dalam satu tempat tersebut bertujuan agar umur larva yang akan digunakan
pada saat penelitian sama. Umur larva yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda. Larva artemia yang digunakan untuk uji yaitu larva yang berumur 48 jam
setelah menetas. Larva yang berumur 48 jam dalam keadaan paling peka karena dinding selnya masih lunak sehingga hanya diperlukan konsentrasi sampel yang
kecil untuk menimbulkan efek yang diamati.
G. Uji Toksisitas dengan Metode BST
Uji toksisitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode BST Brine Shrimp Lethality Test. Metode BST merupakan skrining awal untuk
mengetahui toksisitas suatu senyawa. Karena itu uji toksisitas akut yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek toksik fraksi ekstrak etanol
daun tumbuhan tembelekan. Uji toksistas akut dengan metode BST ini menggunakan larva artemia sebagai organisme uji. Toksisitas akut dapat
ditentukan dengan melihat nilai LC
50
nya, jika harga LC
50
lebih kecil dari 1000 μgml dikatakan toksik, sebaliknya jika harga LC
50
lebih besar dari 1000 μgml
dikatakan tidak toksik. Tingkat ketoksikan tersebut akan memberikan makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor Meyer et al., 982. Larva artemia
sangat mungkin digunakan untuk mendeteksi senyawa yang memiliki aktivitas biologis terhadap mamalia misalnya senyawa yang memiliki aktivitas
sitotoksisitas karena memiliki kesamaan dengan sistem enzim pada mamalia. Beberapa sistem tersebut antara lain tipe DNA-dependent RNA polimerase, dan
ouabaine sensitive Na
+
and K
+
dependent ATPase Solis et al., 1993, sehingga jika suatu senyawa antikanker berefek toksik terhadap larva artemia maka
senyawa antikanker tersebut dapat digunakan pada mamalia. Penelitian ini menggunakan larva artemia yang berumur 48 jam. Tzong
Jiann 1987 mengungkapkan bahwa pada umur ini sifat selnya masih lunak dan peka sehingga hanya dibutuhkan konsentrasi sampel yang kecil untuk
menimbulkan efek toksik yang diinginkan pada percobaan. Sifat sel yang masih lunak pada kulit artemia diasumsikan sebagai membran semipermiabel pada sel
mamalia. Sampel yang diujikan diharapkan masuk ke dalam tubuh artemia melalui difusi pasif karena perbedaan gradien kadar yang kemudian diharapkan
sampel tersebut memberikan efek toksik pada artemia. Membran semi permiabel terdiri atas lapisan lipid-air-lipid maka senyawa yang bersifat nonpolar terpenoid
akan lebih mudah masuk ke dalam sel. Sampel tiap fraksi dilarutkan dalam etanol, dengan mikropipet larutan
sampel diambil dan dimasukkan ke dalam flakon sesuai konsentrasi yang digunakan. Sebelum dibuat seri konsentrasi, masing-masing sampel fraksi
dilakukan orientasi kadar terlebih dahulu yaitu 10, 100, 1000 μgml Meyer et al.,
1982. Dalam pembuatan seri konsentrasi, dibuat konsentrasi tinggi yang dapat membunuh semua atau hampir semua hewan uji, dan konsentrasi rendah yang