Brine shrimp lethality test fraksi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan [Lantana camara L.] beserta profil kromatografi lapis tipisnya.

(1)

INTISARI

Daun tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.) sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat tradisional, salah satunya untuk mengobati pembengkakan/tumor, sebagai antiseptik dan antitoksik. Telah diketahui bahwa ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan memiliki efek toksik terhadap larva artemia akan tetapi belum ada laporan ilmiah mengenai efek paling toksik dari fraksi ekstrak etanol. Untuk mengetahui fraksi paling toksik tersebut dilakukan penelitian dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST), yang dinyatakan dengan nilai Lethal Concentration 50 (LC50).

Penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan rancangan posttest only control group design. Penelitian dilakukan dengan menggunakan ekstrak etanol dari daun tumbuhan tembelekan yang dibuat fraksi. Fraksi diperoleh dengan metode Vaccum Coloumn Chromatography (VCC). Hasil fraksinasi diperoleh 3 fraksi yaitu F2, F3, dan F4 yang kemudian diuji dengan metode BST. Sampel uji dan kontrol dibuat seri konsentrasi yaitu F2 (100; 178; 316,84; 563,97; 1003,87) μg/ml, F3 (5; 10,5; 22,05; 43,3; 97,2) μg/ml, dan F4 (10; 32; 102,4; 327,7; 1048,6) μg/ml. Kontrol menggunakan air laut buatan, replikasi sebanyak 5 kali. Jumlah larva Artemia salina Leach yang mati pada tiap konsentrasi dihitung setelah 24 jam perlakuan. Nilai LC50 dihitung dengan analisis probit. Fraksi dikatakan toksik apabila harga LC50 ≤ 1000 μg/ml. Dari fraksi yang paling toksik dilakukan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) untuk mengetahui profil bercak yang terkandung di dalamnya.

Hasil penelitian menunjukkan nilai LC50 dari F2 sebesar 508 μg/ml, F3 sebesar 23 μg/ml, dan F4 sebesar 101 μg/ml sehingga dapat dinyatakan bahwa F3 bersifat paling toksik. Gambaran profil bercak dari fraksi yang paling toksik dengan KLT menunjukkan bahwa bercak yang diduga menyebabkan kematian larva artemia adalah golongan terpenoid dengan Rf sebesar 0,3.

Kata kunci : Daun tumbuhan tembelekan (Lantana camara L. ), Vaccum Coloumn Chromatography (VCC), Fraksi toksik, Brine Shrimp Lethality Test (BST), LC50.


(2)

ABSTRACT

People often use Tembelekan leaf (Lantana camara L) as the traditional medicine to cure tumor, as antiseptic and also as an antitoxin. It has been known that the ethanol extract and chloroform extract of Lantana camara L has toxin effect to artemia larva but there is no scientific report about the most toxicity of fraction etanol extract. To know the toxicibility of that fraction, the research using Brine Shrimp Lethality Test (BST) method which was determined with LC50.

This research was a pure experiment by applying the posttest only control group design and the etanol extract of tembelekan leaf -that was made into fraction- was used. To get the fraction, the Vaccum Coloumn Chromatography method that was applied. Three fractions to test by using BST method- those are F2, F3, F4 , were gotten. The test and control sample were formed as concentration series-those were F2 (100; 178; 316,84; 563,97; 1003,87) μg/ml, F3 (5; 10,5; 22,05; 43,3; 97,2) μg/ml and F4 (10; 32; 102,4; 327,7; 1048,6) μg/ml. The control used the water with 5 replicate. The number of the dead Artemia Salina Leach on every concentration was counted after 24 hours. The percentage of LC50 was counted by using the probit analysis. Fraction was determined as toxin if the percentage of LC50 was ≤ 1000

μg/ml. To know the contents of the spotted profile, a thin layer chromatography was done to the most toxic fraction.

The result of the research showed that the LC50 percentage of F2 was 508

μg/ml, F3 was 23 μg/ml, and F4 was 101 μg/ml. So it could be said that F3 was the most toxic fraction. The description of spotted profile of the most toxic fraction by using a Thin Layer Chromatography showed that the spot that was estimated as the causing the artemia dead is terpenoid and had Rf of 0,3

Key words: Lantana camara L, Vaccum Coloumn Chromatography (VCC), Brine Shrimp Lethality Test (BST), LC50, toxic fraction.


(3)

BRINE SHRIMP LETHALITY TEST FRAKSI EKSTRAK ETANOL DAUN TUMBUHAN TEMBELEKAN (Lantana camara L.) BESERTA PROFIL

KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

R. Hendra Krismawan NIM : 018114123

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

'NNE SHE]'IP LETITALIT| TA'I TRAKST E(SflIAK ETAIIOL DAUN TUMBUEAN TEMBELEKAN (Zzztdu eM, L. ) DESDRTA PROFIL

KROMAIOGRATI

LAPTS

IIPIsIryA

N M : 0 1 8 1 1 4 1 2 3

Vu.tbr Sri Eralitri MSi- Apl.

Vo[!tr-s DwirtDrk , M.Si


(5)

P.ng€.t! SkriFi

DX]NESITI]IMP

IEIIL&T!

TEST TRAI(SI AICIIFDAUN TT'MBI'SAN

TE|IIBELEKAX

{r8&a@fud

L }EES9RTA IROFIL

XROI&IIOORAFI LAI|S TTPI!|NYA

Oleh: R.EodEKnlfu$u

N I M : o l E l l 4 l 2 3

DiFrbr.nro! ilt ird.pu Prnt ir P.lsrji SlFildl Fddn!f.rutui

Udv.dlt ! S.td. DL.r. Fd.t lesi ! ?0 A8o.tu.2007

Yrlgiu &i qdiili, Msi, A![.

Yot,B [rsi!h*., nt Si,

P.rfth P.r4rji:

'&

,."-"1

,

t. Yusri@&i

t&nili M.si.,

Apt ---:./i.**

2. Yolsd llsilltu}r, I,t si.

nl I

3.cki'linePd@utt,lvtsi,Ad- ...9..1...


(6)

(7)

PERNYATAAN MASLIAN KARYA

sat€ notlt l(e ddgln sesuggulnya baltra shipsi yec saya tulis ini tidak ncmui k rya arau bagid karya orug lai4 ksuali yas telan disbu{(d dalm kltipd dd dand lurtal@ sebagrin@ laya,loya t{ya ilniaL


(8)

INTISARI

Daun tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.) sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat tradisional, salah satunya untuk mengobati pembengkakan/tumor, sebagai antiseptik dan antitoksik. Telah diketahui bahwa ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan memiliki efek toksik terhadap larva artemia akan tetapi belum ada laporan ilmiah mengenai efek paling toksik dari fraksi ekstrak etanol. Untuk mengetahui fraksi paling toksik tersebut dilakukan penelitian dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST), yang dinyatakan dengan nilai Lethal Concentration 50 (LC50).

Penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan rancangan posttest only control group design. Penelitian dilakukan dengan menggunakan ekstrak etanol dari daun tumbuhan tembelekan yang dibuat fraksi. Fraksi diperoleh dengan metode Vaccum Coloumn Chromatography (VCC). Hasil fraksinasi diperoleh 3 fraksi yaitu F2, F3, dan F4 yang kemudian diuji dengan metode BST. Sampel uji dan kontrol dibuat seri konsentrasi yaitu F2 (100; 178; 316,84; 563,97; 1003,87) μg/ml, F3 (5; 10,5; 22,05; 43,3; 97,2) μg/ml, dan F4 (10; 32; 102,4; 327,7; 1048,6) μg/ml. Kontrol menggunakan air laut buatan, replikasi sebanyak 5 kali. Jumlah larva Artemia salina Leach yang mati pada tiap konsentrasi dihitung setelah 24 jam perlakuan. Nilai LC50 dihitung dengan analisis probit. Fraksi dikatakan toksik apabila harga LC50 ≤ 1000 μg/ml. Dari fraksi yang paling toksik dilakukan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) untuk mengetahui profil bercak yang terkandung di dalamnya.

Hasil penelitian menunjukkan nilai LC50 dari F2 sebesar 508 μg/ml, F3 sebesar 23 μg/ml, dan F4 sebesar 101 μg/ml sehingga dapat dinyatakan bahwa F3 bersifat paling toksik. Gambaran profil bercak dari fraksi yang paling toksik dengan KLT menunjukkan bahwa bercak yang diduga menyebabkan kematian larva artemia adalah golongan terpenoid dengan Rf sebesar 0,3.

Kata kunci : Daun tumbuhan tembelekan (Lantana camara L. ), Vaccum Coloumn Chromatography (VCC), Fraksi toksik, Brine Shrimp Lethality Test (BST), LC50.


(9)

ABSTRACT

People often use Tembelekan leaf (Lantana camara L) as the traditional medicine to cure tumor, as antiseptic and also as an antitoxin. It has been known that the ethanol extract and chloroform extract of Lantana camara L has toxin effect to artemia larva but there is no scientific report about the most toxicity of fraction etanol extract. To know the toxicibility of that fraction, the research using Brine Shrimp Lethality Test (BST) method which was determined with LC50.

This research was a pure experiment by applying the posttest only control group design and the etanol extract of tembelekan leaf -that was made into fraction- was used. To get the fraction, the Vaccum Coloumn Chromatography method that was applied. Three fractions to test by using BST method- those are F2, F3, F4 , were gotten. The test and control sample were formed as concentration series-those were F2 (100; 178; 316,84; 563,97; 1003,87) μg/ml, F3 (5; 10,5; 22,05; 43,3; 97,2) μg/ml and F4 (10; 32; 102,4; 327,7; 1048,6) μg/ml. The control used the water with 5 replicate. The number of the dead Artemia Salina Leach on every concentration was counted after 24 hours. The percentage of LC50 was counted by using the probit analysis. Fraction was determined as toxin if the percentage of LC50 was ≤ 1000

μg/ml. To know the contents of the spotted profile, a thin layer chromatography was done to the most toxic fraction.

The result of the research showed that the LC50 percentage of F2 was 508

μg/ml, F3 was 23 μg/ml, and F4 was 101 μg/ml. So it could be said that F3 was the most toxic fraction. The description of spotted profile of the most toxic fraction by using a Thin Layer Chromatography showed that the spot that was estimated as the causing the artemia dead is terpenoid and had Rf of 0,3

Key words: Lantana camara L, Vaccum Coloumn Chromatography (VCC), Brine Shrimp Lethality Test (BST), LC50, toxic fraction.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas setiap anugerah Tuhan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Brine Shrimp Lethality Test Fraksi Ekstrak Etanol Daun Tumbuhan Tembelekan (Lantana camara L. ) Beserta Profil Kromatografi Lapis Tipisnya”. Selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Rita Suhadi M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt selaku pembimbing pertama yang selalu memberi dukungan, pengetahuan, kritik dan saran yang luar biasa dan selalu sabar pada penulis.

3. Bpk. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku Dosen Pembimbing kedua yang banyak memberi dukungan, pengetahuan, masukan dan saran yang berharga. 4. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku Dosen Penguji atas masukan-masukan

dan saran yang berharga.

5. Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt. selaku Dosen Penguji atas masukan-masukan dan saran yang berharga.

6. Bapak Ign. Y. Kristio Budiasmoro, M.Si. Terima kasih atas diskusi, masukan dan saran yang diberikan

7. Bapak, Ibu, juga Mas Andre dan adikku Siska terima kasih atas kepercayaan, dukungan serta doa yang diberikan.


(11)

ix

8. Mas Wagiran, Mas Sigit, Mas Sarwanto, Mas Andre selaku staf laboratorium. Terima kasih atas bantuan, “guyonan” dan saran yang diberikan..

9. Team Proyek Tembelekan : Lia KKT, Novi dan Apri. Terima kasih atas kerjasama dan bantuan serta semangat yang diberikan.

10.Rekan-rekan angkatan 2001 : Rudi Kembongce, Deny, Rima, Endah Sari, Mario Cahyo, Delila, Wiwin, Mirah, Ade, Theo, Freddy, Prastowo, Prasojo, Gita, Awan, Maya, Himawan, Lita, Lisa, Themy, Dio, Dewi, serta khususnya kelompok E. Terima kasih atas semuanya.

11.Wiwid Lecek serta teman-teman Kost : Andi, Tumbur, Dian, Koeprit, Pak Min, Tommy. Terima kasih atas kebersamaan, bantuan dan pinjaman printer. 12.Mas Bondan, Mbak Dama, Mita serta Mbak Mimin sekeluarga. Terimakasih

atas pinjaman camera juga support yang diberikan.

13.Martina Herliana Wati. Terima kasih untuk diskusi, support, bantuan, dan kasih sayang yang pernah diberikan. Terimakasih juga telah menyalakan kembali semangat yang hampir padam. Thank’s.

14.Rekan-rekan angkatan 2003 : Marga (thank’s), Rosa, Devi, Titin, Mitea, Vitea, Rani, Lintang, Yohana, Nella, Doni, Wati, Hengky, Vera, Ari, Eta, Galeh. Terima kasih atas diskusi, bantuan, dan kebersamaannya.

15.Rekan-rekan angkatan 2002 : Eddy (thank’s), Kobo, Heri, Nowo, Firman, Bowo, Peter, Elni, Vicky, TeGe, Puri. Terima kasih atas kebersamaan, canda tawa, “sindiran” dan diskusi yang diberikan.

16.Ibu Retno dan Bpk. Bagus Wahyuono atas pengertian dan dukungan yang diberikan.


(12)

x

17.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Dalam kesempatan ini, tak lupa penulis memohon maaf kepada semua pihak atas kekurangan dan kesalahan yang mungkin dilakukan penulis. Oleh karena itu dengan rendah hati penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik yang membangun.


(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN……….. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN……….……. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA….………. v

INTISARI……… vi

ABSTRACT ………. vii

KATA PENGANTAR ….…………...……… viii

DAFTAR ISI..………. xi

DAFTAR TABEL ……….. xv

DAFTAR GAMBAR...……….……….. xvi

DAFTAR LAMPIRAN……….…….. xviii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG………..… xx

BAB I. PENGANTAR………. 1

A. Latar Belakang ………. 1

1. Perumusan masalah... 3

2. Keaslian penelitian... 3

3. Manfaat penelitian... 4

B. Tujuan Penelitian………... 4

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA………. 5

A. Tembelekan... 5


(14)

xii

1. Keterangan botani ... 5

2. Nama daerah... 5

3. Deskripsi tanaman... 5

4. Kandungan kimia... 6

5. Kegunaan... 6

6. Penelitian dengan BST... 6

B. Terpenoid... 7

C. Artemia... 8

1. Lingkungan hidup artemia... 9

2. Penggunaan artemia pada metode BST... 10

D. Uji Toksisitas Akut... 13

E. Kanker... 14

F. Penyarian... 15

G. Kromatografi Vakum kolom... 16

H. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) 17 I. Keterangan Empiris... 19

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 20

A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 20

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 20

1. Variabel penelitian... 20

2. Definisi Operasional... 21

C. Bahan dan Alat Penelitian... 22


(15)

xiii

2. Alat penelitian... 23

D. Tata Cara Penelitian... 24

1. Determinasi tumbuhan Tembelekan (Lantana camara L.) ... 24

2. Pengumpulan bahan... 24

3. Penyiapan bahan... 24

4. Maserasi... 24

5. Fraksinasi... 25

6. Pembuatan air laut buatan... 27

7. Penetasan telur artemia... 27

8. Pembuatan larutan sampel... 28

9. Uji toksisitas akut dengan BST... 30

10.Uji KLT fraksi toksik daun tumbuhan tembelekan... 30

11.Analisis hasil... 31

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 32

A. Determinasi Tanaman... 32

B. Pengumpulan Bahan ... 32

C. Maserasi Daun Tumbuhan Tembelekan... 33

D. Fraksinasi Ekstrak etanol hasil maserasi……….…………... 35

E. Pembuatan Air Laut Buatan (ALB) ... 44

F. Penetasan Telur Artemia... 44

G. Uji Toksisitas dengan Metode BST... 46


(16)

xiv

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 65

A. Kesimpulan... 65

B. Saran... 65

C. Keterbatasan Penelitian... 65

DAFTAR PUSTAKA... 66

LAMPIRAN... 69


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel I Seri konsentrasi larutan sampel daun tumbuhan tembelekan... 29 Tabel II Penggabungan hasil fraksinasi menjadi 5 fraksi berdasarkan

data gambar 6……… 43

Tabel III Persentase kematian larva artemia akibat pemberian fraksi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan... 50 Tabel IV Data kromatogram tiga fraksi toksik... 57 Tabel V Data kromatogram gambar 15... 62


(18)

DAFTAR GAMBAR

Hal. Gambar 1. Struktur pentasiklik triterpenoid (Kaufman, Cseke,

Warbers, Duke, Brielmann, 1988)……… 7 Gambar 2. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak

93:7……… 36

Gambar 3. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak

90:10..……… 38

Gambar 4. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak

85:15..……… 39

Gambar 5. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak

80:20..……… 40

Gambar 6. Kromatogram 12 fraksi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan hasil fraksinasi dengan jarak pengembangan 15

cm……….. 42

Gambar 7. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi F2... 51 Gambar 8. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi F3…… 52


(19)

xvii

Gambar 9. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi F4... 52 Gambar 10. Kromatogram tiga fraksi toksik daun tumbuhan

tembelekan………. 56

Gambar 11. Potongan atas gambar 14, Kromatogram fraksi toksik daun tumbuhan tembelekan... 58 Gambar 12 Potongan bawah Gambar 14, Kromatogram fraksi toksik

daun tumbuhan tembelekan... 59 Gambar 13. Potongan tengah Gambar 14, Kromatogram fraksi toksik

daun tumbuhan tembelekan.……….. 60 Gambar 14. Foto kromatogram kontrol KLTP. (A) deteksi UV 365 nm,

(B) deteksi vanilin-asam sulfat... 61 Gambar 15. Foto kromatogram KLTP bercak Rf 0,3 dari fraksi


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat keterangan determinasi tumbuhan tembelekan... 69

Lampiran 2. Foto tumbuhan tembelekan... 70

Lampiran 3. Foto bunga tumbuhan tembelekan... 70

Lampiran 4. Foto buah tumbuhan tembelekan... 71

Lampiran 5. Foto aquarium untuk uji BST... 71

Lampiran 6. Foto rangkaian alat Vaccum Coloumn Chromatography (VCC)……… 72

Lampiran 7. Foto hasil fraksinasi Vaccum Coloumn Chromatography… 72 Lampiran 8. Data fraksinasi dan penggabungan fraksi………. 73

Lampiran 9. Data orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi yang akan digunakan dalam pengujian serta data kematian setelah perlakuan... 74 Lampiran 10. Perhitungan data statistik SPSS 10.00 dengan menggunakan analisis probit terhadap F2 daun tumbuhan tembelekan... 83 Lampiran 11. Perhitungan data statistik SPSS 10.00 dengan

menggunakan analisis probit terhadap F3 daun tumbuhan tembelekan...

86

Lampiran 12. Perhitungan data statistik SPSS 10.00 dengan menggunakan analisis probit terhadap F4 daun tumbuhan tembelekan...

89


(21)

xix

Lampiran 13. Data kromatogram dari 3 fraksi toksik... 92 Lampiran 14. Data kromatogram KLTPreparatif dari bercak Rf 0,3 pada

F3... 93


(22)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

1. ALB = Air Laut Buatan 2. CaCl2 = kalsium klorida 3. cm = centi meter 4. g = gram 5. KCl = kalium klorida

6. KLT = Kromatografi Lapis Tipis 7. LC50 = Median Lethal Concentration 8. m = meter

9. mg = miligram

10. MgCl2 = magnesium klorida 11. MgSO4 = magnesium sulfat 12. ml = mililiter

13. mm = milimeter 14. NaCl = natrium klorida 15. NaHCO3 = natrium hidrokarbonat 16. nm = nanometer

17. UV = ultraviolet 18. oC = derajat celcius 19. l = liter

20. % = prosen/persen

21. μg/ml = microgram per mililiter 22. μl = microliter

23. μg = microgram


(23)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Alam Indonesia memiliki berbagai jenis tumbuhan yang layak diteliti dan dikembangkan potensinya sebagai sumber obat. Salah satunya adalah tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.) yang secara luas sudah digunakan oleh masyarakat untuk menghilangkan pembengkakan/tumor, rematik, tetanus, malaria, sebagai antiseptik, antitoksik, dan perangsang muntah (Rana, Prasad, and Blazquez, 2005).

Daun tumbuhan tembelekan mengandung senyawa golongan terpenoid diantaranya 1-triacontanol, α-pinene, cadidene, cadinol, camerene,

-caryophyllen, cineole, citral, dipentene, eugenol, furfural, -terpinene, geraniol,

icterogenin, isocamarene, lantadene A, lantadene B, lantanic acid, lantanine,

lantanolic acid, linalool, methyl-3-oxo-ursolate, p-cymene, phellandral,

phellandrene, phellandrone, dan terpineol.(Duke, 2001).

Penelitian dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST) yang dilakukan oleh Sugianti (2007) menggunakan ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan bersifat toksik dengan nilai LC50 sebesar 60,4 μg/ml. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk fraksi dari ekstrak etanol tumbuhan tembelekan dengan harapan dapat diketahui suatu fraksi yang memberikan efek paling toksik sehingga dapat dilakukan penelitian yang mengarah ke pengisolasian suatu senyawa murni.


(24)

2

Metode fraksinasi yang digunakan adalah Vaccum Coloumn Chromatography

(VCC) karena dapat memisahkan suatu senyawa dengan cepat. Metode VCC termasuk pemisahan senyawa secara preparatif yang dilakukan dalam suatu kolom dan diaktifkan dengan vakum. Proses eluasi yang terjadi berdasarkan gradien kepolaran fase gerak (Coll & Bowden, 1986).

Metode BST adalah suatu metode yang cukup praktis, murah, sederhana, cepat tapi tidak mengesampingkan keakuratannya untuk skrining awal tanaman berpotensi antikanker dengan menggunakan hewan uji larva Artemia salina Leach. Prinsip metode ini adalah uji toksisitas akut terhadap artemia dengan penentuan nilai LC50 setelah perlakuan 24 jam (Meyer, Ferrigni, Putnam, Jacobsen, Nichols, and McLaughlin, 1982). Artemia digunakan sebagai hewan uji karena artemia memiliki kesamaan tanggapan dengan mammalia, misalnya tipe DNA-dependent

RNA polimerase artemia serupa dengan yang terdapat pada mammalia dan

organisme ini memiliki ouabaine-sensitive Na+ and K+ dependend ATPase, sehingga senyawa maupun ekstrak yang memiliki aktivitas pada sistem tersebut dapat terdeteksi (Solis, Wright, Anderson, Gupta, and Phillipson, 1993).

Metode BST tidak spesifik terhadap antikanker dan sebagian aksi fisiologis, namun metode ini dapat memonitor kemungkinan adanya efek sitotoksik tanpa perlu menghabiskan waktu dan biaya penelitian dibandingkan dengan pengujian sitotoksisitas umum, misalnya dengan menggunakan biakan sel kanker. Penelitian yang dilakukan Meyer et al., (1982) dan Solis et al., (1993) menunjukkan bahwa senyawa yang bersifat sitotoksik akan bersifat toksik bila diuji dengan metode BST. Namun senyawa yang bersifat toksik pada uji BST


(25)

3

belum tentu bersifat sitotoksik, sehingga perlu dilakukan uji tingkat lanjut dengan menggunakan biakan sel kanker. Suatu larutan memiliki nilai LC50 < 1000 μg/ml maka larutan tersebut memiliki efek toksik yang besar yang nantinya diharapkan memiliki efek sitotoksik, yang merupakan syarat utama untuk aktivitas antikanker. Dengan demikian, diharapkan metode BST dapat digunakan sebagai langkah awal untuk menemukan senyawa-senyawa yang memiliki efek sitotoksik.

1. Perumusan masalah

a. Fraksi manakah dari ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan yang paling toksik terhadap larva artemia yang ditunjukkan dengan nilai LC50 paling kecil?

b. Bagaimanakah profil KLT fraksi paling toksik ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan?

2. Keaslian penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan dengan menggunakan daun tumbuhan tembelekan antara lain isolasi dan identifikasi komponen kimia daun tembelekan asal Tamalanrea Ujung Pandang oleh Aida (1990); penelitian farmakognosi dan kandungan kimia dari daun Lantana camara oleh Soelastru (1986); pemeriksaan flavonoid dan verbaskosid daun Lantana camara L. oleh Asterina (1994); uji potensi antibakteri ekstrak etanol daun tembelekan terhadap Staphylococcus

aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 35218 oleh Asteria (2006).

Brine Shrimp Lethality test (BST) ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

(Lantana camara L.) beserta profil kromatografi lapis tipisnya oleh Sugiyanti


(26)

4

mengenai toksisitas akut fraksi dari ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan terhadap larva artemia.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna bagi ilmu pengetahuan terutama dalam bidang farmasi mengenai besarnya toksisitas fraksi dari ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan terhadap larva artemia sehingga dapat dilakukan isolasi untuk mendapatkan senyawa yang berpotensi untuk pengobatan kanker.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kemungkinan pengobatan alternatif penyakit kanker menggunakan daun tumbuhan tembelekan.

B. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui fraksi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan yang paling toksik terhadap larva artemia yang ditunjukkan dengan nilai LC50 paling kecil. 2. Mengetahui profil KLT dari fraksi paling toksik ekstrak etanol daun tumbuhan


(27)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Tembelekan 1. Keterangan botani

Tembelekan (Lantana camara L.) termasuk dalam familia Verbenaceae. Tembelekan mempunyai sinonim: L. aculeata L., L. antillana

Rafin, L. mutabilis Salisb., L. polyacanthus SCH., L. scabrida Soland, L.

viburnoides Blanco (Dalimartha, 2002)

2. Nama daerah

Sumatra : Bunga pagar, kayu singapore, tahi ayam (Melayu)

Sunda : Kembang satek, saliyara, saliyere, tahi ayam, t. Kotok, cente.

Jawa : Kembang telek, Oblo, puyengan, pucengan, tembelek, tembelekan, teterapan, waung, weliran.

Madura : Kamanco, mainco, tamanjho.

(Dalimartha, 2002). 3. Deskripsi tumbuhan

Tembelekan berupa perdu bercabang banyak, tinggi 0,5-5 m. Batang segi empat, batang muda penuh rambut, kelenjar kecil dan selalu dengan duri tempel. Daun bertangkai sangat panjang, bulat telur dengan pangkal tumpul, dan ujung runcing, bergigi, bergerigi, dari sisi atas berbulu kasar, dari sisi bawah berbulu jarang, (5-8) kali (3,5-5) cm. Bentuk bunga bulir pendek di ketiak, tunggal bertangkai. Daun pelindung bulat telur jorong, panjang ± 0,5 cm. Kelopak


(28)

6

berbentuk tabung lonceng, berlekuk tidak dalam, tinggi ± 2 mm. Tabung mahkota membengkok, panjang ± 1 cm, tepian bertaju 4-5, taju tidak sama besarnya, orange, merah muda, merah atau putih, sering bergantian warna. Benangsari empat, yang panjang dua. Buah batu saling berdekatan, bentuk bulat telur, berinti satu. Tumbuhan hias atau pagar, berasal dari Amerika Tropis, sebagian besar liar, tumbuh pada ketinggian 1-700 m di atas permukaan laut, tumbuh di daerah yang cerah matahari sampai cukup teduh. (Van Steenis, 1975).

4. Kandungan kimia

Daun tembelekan mengandung 1-triacontanol, aldehid, α-pinene,

amylase, cadidene, cadinol, camerene, -caryophyllen, katalase, cineole, citral,

dipentene, eugenol, furfural, -terpinene, geraniol, glukosidase, icterogenin,

invertase, isocamarene, lantadene A, lantadene B, lantanic acid, lantanine,

lantanolic acid, linalool, lipase, methyl-3-oxo-ursolate, oksidase, p-cymene,

phellandral, phellandrene, phellandrone, sodium, tannase, tannin, dan terpineol (Duke, 1999)

5. Khasiat dan kegunaan

Daun tembelekan berkhasiat untuk mengatasi sakit kulit, gatal-gatal, bisul, luka, batuk, dan perangsang muntah sedangkan akar tembelekan untuk mengatasi influenza, TBC kelenjar, rematik, keputihan, memar, bengkak, kencing nanah, gondongan, dan asma (Dalimartha, 2002).

6. Penelitian dengan BST

Penelitian dengan BST diketahui ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan bersifat toksik terhadap larva artemia. Ekstrak etanol daun tumbuhan


(29)

7

tembelekan mempunyai nilai LC50 sebesar 60,4 μg/ml terhadap larva artemia. Dugaan senyawa yang berperan dalam kematian larva artemia adalah pentasiklik triterpenoid dan flavonoid (Sugiyanti, 2007).

B. TERPENOID

Terpenoid berasal dari molekul isoprene CH2=C(CH3)-CH=CH2. Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa mulai dari komponen minyak atsiri yaitu monoterpenoid dan sesquiterpenoid yang mudah menguap sampai ke senyawa yang tidak mudah menguap yaitu triterpenoid dan sterol (C30) serta pigmen karotenoid (C40) (Harborne, 1984). Triterpen tersebar luas dalam damar gabus, dan kutin tumbuhan (Robinson, 1991). Triterpen di alam dapat berbentuk ester atau glikosida dan kemungkinan berstruktur alifatik, tetrasiklik atau pentasiklik. Triterpen saponin biasanya dalam bentuk pentasiklik (Evans and Trease, 2002). Triterpen alkohol terdapat bebas dan juga sebagai glikosida. (Robinson, 1999).

HO

Gambar 1. Struktur pentasiklik triterpenoid (Kaufman, Cseke , Warbers, Duke, Brielmann, 1988)


(30)

8

Pentasiklik triterpenoid dapat menghambat kerja enzim topoisomerase I dan II serta menghambat RNA polymerase sehingga mengakibatkan kematian sel (Lee, Fang, Wang, Li, Cook, 1991). Untuk mendeteksi adanya triterpenoid salah satunya dapat dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis. Metode ini dapat menggunakan fase diam silika gel dan dengan memakai pengembang seperti heksan, etil asetat (1:1); kloroform, metanol (10:1); atau toluene : etil asetat (93:7). Sebagai deteksi dapat digunakan penyemprotan dengan vanilin-asam sulfat pekat, diteruskan dengan pemanasan pada 100°C - 105°C sampai pembentukan warna sempurna (Harborne, 1984). Untuk senyawa terpenoid, akan menghasilkan warna abu-abu, merah violet , atau ungu (Wagner, Brady, and Zgainski, 1984).

C. Artemia

Artemia termasuk dalam familia Artemidae, genus Artemia, spesies

Artemia salina Leach (Mudjiman, 1989). Istilah untuk telur artemia yang benar

adalah siste, yaitu telur yang telah berkembang lebih lanjut menjadi embrio dan kemudian diselubungi oleh cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang ini berguna untuk melindungi embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras, sinar ultraviolet dan mempermudah pengapungan. Sehingga sangat tahan terhadap keadaan lingkungan yang buruk (Mudjiman, 1989).

Apabila telur artemia direndam dalam air laut bersuhu 25o C, maka akan menetas dalam waktu 24-36 jam. Setelah menetas, dari dalam cangkang keluarlah burayak atau larva/nauplius. Burayak yang baru saja menetas masih dalam tingkatan instar I. Warnanya kemerah-merahan karena masih banyak


(31)

9

mengandung makanan cadangan. Oleh karena itu mereka masih belum perlu makan.

Sekitar 24 jam setelah menetas, burayak akan berubah menjadi instar II. Pada tingkatan instar II, larva sudah mulai mempunyai mulut, saluran pencernaan dan dubur. Oleh karena itu mereka mulai mencari makanan. Bersamaan dengan itu, cadangan makanannya juga sudah mulai habis. Pengumpulan makanannya mereka lakukan dengan menggerak-gerakkan antena II nya. Selain untuk mengumpulkan makanan, antena II tersebut juga berguna untuk bergerak.

1. Lingkungan hidup artemia

Artemia tidak dapat bertahan hidup pada suhu kurang dari 6o C atau lebih dari 35o C, tetapi hal ini sangat tergantung pada ras dan kebiasaan tempat hidup. Dengan demikian pertumbuhan artemia yang baik berkisar pada suhu antara 25-30o C (Mudjiman, 1989).

Daya tahan artemia terhadap perubahan kandungan ion-ion kimia dalam air ternyata juga sangat tinggi. Apabila kandungan ion natrium dibandingkan dengan ion kalium di dalam air laut alami adalah 28, maka artemia masih dapat bertahan pada perbandingan antara 8-173 (Mudjiman, 1989).

Perkembangan artemia yang baik membutuhkan kadar garam yang tinggi sebab pada kadar garam yang tinggi itu musuh-musuhnya sudah tidak dapat hidup lagi, sehingga artemia akan dapat aman tanpa gangguan. Untuk pertumbuhan telur, ternyata dibutuhkan air yang kadar garamnya lebih rendah dari


(32)

10

pada suatu batas tertentu. Batas ini berlainan untuk setiap jenis artemia (Mudjiman,1989).

Artemia dapat hidup dan menyesuaikan diri pada tempat yang kadar oksigennya rendah maupun yang mengalami kejenuhan oksigen. Pengaruh pH terhadap kehidupan artemia muda dan dewasa belum jelas namun berpengaruh terhadap penetasan telur. Apabila pH untuk penetasan kurang dari 8, maka efisiensi penetasan akan menurun (Mudjiman, 1989).

2. Penggunaan artemia pada metode BST

Artemia adalah hewan coba yang digunakan untuk praskrining aktivitas antikanker di National Cancer Institude (NCI), Amerika Serikat (Meyer

et al., 1982). Metode ini sering digunakan untuk skrining awal terhadap senyawa

aktif yang terdapat di dalam ekstrak tanaman karena murah, cepat, mudah (tidak memerlukan kondisi aseptis), dan dapat dipercaya (Meyer et al., 1982). Artemia secara luas telah digunakan untuk pengujian aktivitas farmakologi ekstrak suatu tanaman. Lebih dari itu, uji larva udang ini juga dapat digunakan untuk skrining awal terhadap senyawa-senyawa yang diduga berkhasiat sebagai antitumor karena uji ini seringkali mempunyai korelasi yang positif dengan potensinya sebagai antitumor (Anderson, Goets, and Mc Laughin, 1991).

Penggunaan artemia ini memang tidak spesifik untuk antitumor maupun fisiologis aktif tertentu, namun beberapa penelitian terdahulu menunjukkan adanya korelasi yang signifikan terhadap beberapa bahan, baik berupa ekstrak tanaman, atas aksinya sebagai antitumor secara lebih cepat dibandingkan dengan prosedur pemeriksaan sitotoksisitas yang umum, misalnya


(33)

11

dengan biakan sel tumor (Meyer et al., 1982). Melihat adanya potensi sebagai antitumor tersebut, maka penelitian lanjutan dapat dilakukan, yaitu dengan mengisolasi senyawa berkhasiat yang terdapat didalam ekstrak disertai dengan monitoring aktivitasnya dengan uji larva udang atau metode yang lebih spesifik sebagai antitumor (Mayer et al., 1982).

Penggunaan hewan uji artemia dimaksudkan bahwa artemia memiliki kesamaan tanggapan dengan mammalia, misalnya tipe DNA-dependent RNA

polimerase artemia serupa dengan yang terdapat pada mammalia dan organisme

ini memiliki ouabaine-sensitive Na+ and K+ dependend ATPase. Pengujian dengan artemia terhadap tingkat ketoksikan senyawa kimia, antara lain adalah pengujian pestisida, mikotoksin, anestetika, dan lain-lain (Meyer et al., 1982).

Artemia dapat digunakan sebagai hewan uji karena artemia memiliki kesamaan tanggapan dengan mamalia, misalnya tipe DNA-dependent RNA

polymerases yang terdapat pada artemia serupa dengan yang terdapat pada

mamalia dan organisme ini juga memiliki ouabaine-sensitive Na+ and K+

dependent ATPase (Solis et al., 1992).

DNA-dependent RNA polymerases merupakan DNA yang

mengarahkan proses transkripsi RNA yang bergantung pada RNA polymerases. Enzim ini membuka pilinan kedua untai DNA sehingga terpisah dan mengkaitkannya bersama-sama nukleotida RNA pada saat nukleotida-nukleotida ini membentuk pasangan-basa di sepanjang cetakan DNA. Eukariotik mempunyai 3 macam RNA polymerases yaitu mRNA (messenger RNA) yang merupakan pembawa kode genetik dari DNA ke ribosom, tRNA (transfer RNA) yang


(34)

12

berfungsi untuk menterjemahkan kodon dan mengikat asam amino yang akan disusun menjadi protein dan mengangkutnya ke ribosom, serta rRNA (ribosomal

RNA) yang bersama dengan protein membentuk ribosom. Jika RNA polymerases

tersebut dihambat, maka DNA tidak dapat mensintesis RNA dan RNA tidak dapat terbentuk sehingga sintesis protein juga dihambat. Protein merupakan komponen utama semua sel. Protein berfungsi sebagai unsur struktural, hormon, imunoglobulin, serta terlibat dalam kegiatan transport oksigen, kontraksi otot, dan lainnya (Nuswantari, 1998). Tidak terbentuknya protein dapat mengganggu metabolisme sel, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan kematian sel.

Enzim Na+ K+ ATPase merupakan enzim yang mengkatalisis hidrolisis ATP menjadi ADP serta menggunakan energi untuk mengeluarkan 3 Na+ dari sel dan mengambil 2 K+ ke dalam, tiap sel bagi tiap mol ATP dihidrolisis. Na+ K+ ATPase ditemukan dalam semua bagian tubuh. Aktivitas enzim ini dihambat oleh

ouabaine. Adanya ouabaine menyebabkan keseimbangan ion Na+ dan K+ tetap

terjaga (homeostasis). Selain itu, sekarang ini ouabaine juga digunakan untuk terapi payah jantung. Di dalam jantung, Na+ K+ ATPase secara tak langsung mempengaruhi transport Ca2+ karena Na+ ekstrasel akan ditukar dengan Ca2+ intrasel. Jika kerja Na+ K+ ATPase dihambat, maka lebih sedikit Ca2+ intrasel dikeluarkan dan Ca2+ intrasel meningkat, sehingga memudahkan kontraksi otot jantung (Ganong, 1995).

Suatu senyawa yang mempunyai aktivitas mengganggu kerja salah satu enzim ini pada artemia dan menyebabkan kematian artemia, maka senyawa tersebut bersifat toksik dan dapat menyebabkan kematian sel mamalia. Metode


(35)

13

BST dengan hewan uji artemia tidak dapat digunakan untuk pengujian senyawa yang dalam mengganggu kerja salah satu enzim tersebut memerlukan aktivasi dalam sel mamalia, seperti 6-mercaptopurine yang harus dimetabolisme terlebih dahulu dalam sel mamalia. Sehingga jika senyawa 6-mercaptopurine diujikan pada artemia, maka akan memberikan LC50 yang lebih besar dari 1000 (bersifat tidak toksik pada artemia) (Solis et al.,1992)

Tingkat toksisitas dari ekstrak tanaman dapat ditentukan dengan melihat harga LC50. Analisis data dilakukan dengan analisis probit untuk menghitung LC50. Dari persentase data kematian larva artemia dikonversikan probit untuk menghitung harga LC50. Apabila harga LC50 ≤ 1000 μg/ml maka dikatakan toksik. Apabila pengujian dengan larva artemia menghasilkan harga LC50 ≤ 1000 μg/ml dapat dilanjutkan dengan pengujian antikanker menggunakan biakan sel kanker. Dengan cara ini akan menghemat waktu dan biaya penelitian (Meyer et al., 1982). Keuntungan penggunaan artemia sebagai hewan uji adalah kesederhanaan dalam pelaksanaan, waktu relatif singkat, dan konsentrasi kecil sudah dapat menimbulkan aktivitas biologi (Meyer et al., 1982).

D. Toksisitas Akut

Pada prinsipnya metode BST merupakan uji toksisitas akut yang dilakukan dengan menghitung jumlah kematian Artemia salina Leach untuk menentukan besarnya efek toksik.

Toksisitas dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu zat untuk menimbulkan kerusakan (Katzung, 1987). Uji toksisitas akut merupakan uji dengan pemberian suatu senyawa pada hewan uji pada suatu saat atau uji


(36)

14

ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis tunggal pada hewan uji tertentu dan pengamatan dilakukan selama 24 jam. Maksud dari toksisitas akut yaitu untuk menentukan suatu gejala dan tingkat kematian hewan uji akibat pemberian senyawa tersebut. Pengamatan aktivitas biologi uji toksisitas akut berupa pengamatan gejala klinik, kematian hewan uji atau pengamatan histopatologi organ (Loomis, 1978).

Uji toksisitas akut dilakukan untuk mempersempit kisaran dosis dan terakhir dilakukan uji toksisitas akut untuk mendapatkan presentase kematian. Data yang diperoleh dari uji toksisitas akut dapat berupa data kuantitatif yang dinyatakan dengan LD50 (median lethal dose) atau LC50 (median lethal

concentration). Harga LD50 dan LC50 suatu senyawa harus dilaporkan sesuai

dengan lamanya pengamatan. Bilamana lama pengamatan tidak ditunjukkan, dianggap bahwa pengamatan dilakukan selama 24 jam (Loomis, 1978).

Parameter yang digunakan untuk menunjukkan adanya aktivitas biologis suatu senyawa pada artemia adalah kematian. Keuntungan penggunaan artemia sebagai hewan uji adalah kesederhanaan dalam pelaksanaan, waktu relatif singkat, dan konsentrasi kecil sudah dapat menimbulkan aktivitas biologis (Meyer

et al., 1982).

E. Kanker

Kanker adalah suatu penyakit yang ditandai dengan terjadinya pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali. Sel-sel kanker akan terus membelah diri, terlepas dari pengendalian pertumbuhan, dan tidak lagi menuruti hukum-hukum pembiakan. Jika pertumbuhan ini tidak


(37)

15

cepat dihentikan dan diobati maka sel kanker akan terus berkembang. Sel kanker akan tumbuh menyusup ke jaringan sekitarnya (invasive), lalu membuat anak sebar (metastasis) ke tempat yang lebih jauh melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening. Selanjutnya akan tumbuh kanker baru di tempat lain sampai akhirnya menyebabkan kematian penderita. Pembentukan kanker dapat dirangsang oleh karsinogen seperti senyawa kimia, faktor fisika (radiasi bom atom dan radioterapi agresif), virus (virus hepatitis B dan C), dan hormon (Dalimartha, 2003).

F. Penyarian

Pemilihan penyari dalam penyarian merupakan hal yang harus dipertimbangkan. Cairan penyari untuk ekstrak sebaiknya sesuai dengan zat aktif yang berkhasiat, dalam arti dapat memisahkan zat aktif tersebut dari senyawa lainnya dalam bahan sehingga ekstrak mengandung sebagian besar senyawa aktif berkhasiat yang diinginkan (Anonim, 2000).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (Anonim, 1979).

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia ke dalam penyari. Penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya beda konsentrasi antara larutan di dalam dan di luar sel. Larutan yang lebih pekat akan terdesak keluar. Peristiwa ini


(38)

16

berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dan di luar sel (Anonim, 1986 ).

G. Kromatografi Kolom Vakum

Kromatografi kolom vakum adalah suatu bentuk fraksinasi kolom yang terutama bermanfaat untuk fraksinasi secara kasar dengan cepat. Metode ini merupakan modifikasi kromatografi kinerja tinggi, sehingga dapat diperoleh resolusi atau pemisahan senyawa yang lebih baik. Cara ini mengacu pemisahan terpen dan campuran lipid. Kelebihan metode ini antara lain: tekniknya sederhana, waktunya cepat, fase diam dan fase gerak yang digunakan relatif sedikit. Selain itu, pemilihan sistem pelarut dapat dilakukan dengan sistem yang sederhana dan murah yaitu Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Cara ini melibatkan elusi berdasarkan tingkat kepolaran fase gerak dan kolom diperbolehkan mengering setelah masing-masing fraksi dikumpulkan. Sampel yang digunakan tidak kurang dari 1 gram dan hanya 10-15 ml fraksi yang bisa dikumpulkan dari masing-masing polaritas. Fase diam yang biasa digunakan adalah silika gel dan diisikan ke dalam kolom dengan tinggi tidak lebih dari 5 cm (coll & bowden, 1986).

Kolom kromatografi dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penyerap lalu di vakumkan lagi. Kolom di hisap sampai kering dan siap dipakai. Cuplikan, dilarutkan dalam pelarut yang cocok, dimasukkan langsung di bagian atas kolom dan dihisap perlahan-lahan ke dalam kemasan dengan memvakumkannya. Kolom, dielusi


(39)

17

dengan campuran pelarut yang cocok, mulai dengan pelarut yang kepolarannya rendah lalu kepolaran ditingkatkan perlahan-lahan (Hostettman & Marston, 1986)

H. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis (KLT) ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang memisahkan terdiri dari bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam atau lapisan yang cocok (Stahl, 1985).

Kelebihan khas KLT ialah keserbagunaan, kecepatan, dan kepekaannya. Keserbagunaan KLT disebabkan oleh kenyataan bahwa disamping silika, sejumlah penjerap yang berbeda-beda dapat disaputkan pada pelat kaca atau penyangga lain. Kecepatan KLT yang lebih besar disebabkan oleh sifat penjerap yang lebih padat bila disaputkan pada pelat dan merupakan keuntungan bila digunakan untuk menelaah senyawa labil. Kepekaan KLT sedemikian rupa, sehingga bila diperlukan dapat dipisahkan bahan yang jumlahnya lebih sedikit dari ukuran µg (Harborne, 1987)

Fase diam (lapisan penjerap) dibuat dari salah satu penjerap yang khusus digunakan untuk KLT. Penjerap yang umum digunakan ialah silika gel, aluminium oksida, kieselgur, selulosa, dan lain-lain. Untuk analisis, tebal penyerap 0,1-0,3 mm, biasanya 0,2 mm (Stahl, 1985).

Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri dari satu atau beberapa pelarut, bergerak di dalam fase diam yang merupakan lapisan berpori, yang dipengaruhi oleh gaya kapiler (Stahl, 1985).


(40)

18

Deteksi senyawa pada pelat KLT biasanya dilakukan dengan penyemprotan (Harborne, 1987). Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa yang menunjukkan penyerapan di daerah UV dengan panjang gelombang 254 nm (gelombang pendek) atau jika senyawa itu dapat dieksitasi ke fluoresensi radiasi UV gelombang pendek dan atau gelombang panjang (365 nm) (Stahl, 1985).

Jarak pengembangan senyawa pada kromatografi biasanya dapat digunakan untuk identifikasi senyawa yang dianalisa.

Rf =

awal titik dari depan garis

Jarak

awal titik dari bercak pusat

titik Jarak


(41)

19

I. KETERANGAN EMPIRIS

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data empiris tentang toksisitas fraksi paling toksik ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan terhadap larva artemia dengan metode BST yang dinyatakan dalam LC50 serta untuk memperoleh profil kromatografi lapis tipis fraksi paling toksik daun tumbuhan tembelekan.

Data empiris yang diperoleh melalui uji toksisitas fraksi daun tumbuhan tembelekan ini memungkinkan untuk dilakukan eksplorasi guna mendapatkan senyawa antikanker.


(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis eksperimental murni dengan rancangan Posttest Only Control Group Design.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas

Jenis fraksi dari ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan yang diujikan pada metode BST.

b. Variabel tergantung

Nilai LC50 dari tiap fraksi setelah diuji dengan metode BST. c. Variabel pengacau terkendali

1) Lingkungan tempat percobaan: sinar lampu 5 watt, suhu penetasan 25o -30o C, serta pH air laut buatan antara 7-8 dengan kadar garam 5 permil.

2) Hewan uji: Umur larva artemia adalah 48 jam.

3) Tanaman: spesies atau varietas tumbuhan tembelekan.

4) Air laut buatan : merupakan campuran dari 5 gram natrium klorida (NaCl), 1,3 g magnesium sulfat (MgSO4), 1 g magnesium klorida


(43)

21

(MgCl2), 0,3 g kalsium klorida (CaCl2), 0,2 g kalium klorida (KCl), dan 2 g natrium hidrokarbonat (NaHCO3) dalam 1 liter aquades.

2. Definisi operasional

a. Daun tumbuhan tembelekan yang digunakan adalah daun yang masih muda, merupakan daun ke-3 sampai 4 dari ujung tangkai, dipetik pada saat tumbuhan sedang berbunga.

b. LC50 (lethal concentration-50) merupakan kadar senyawa uji yang mampu mengakibatkan terbunuhnya separuh (50%) jumlah hewan uji dan ditentukan setelah 24 jam perlakuan

c. Ekstrak etanol yang digunakan untuk proses fraksinasi merupakan ekstrak etanol kering yang telah diketahui toksisitasnya terhadap larva artemia. d. Fraksi merupakan hasil dari pemisahan ekstrak etanol dengan metode

Vaccum Coloumn Chromatography (VCC) yang belum diketahui LC50 -nya.

e. Fraksi toksik adalah fraksi yang diperoleh dari fraksinasi ekstrak etanol kering dengan metode VCC menggunakan fase gerak toluen-etil asetat (85:15 v/v) serta fase diam Silika gel GF 254, yang memiliki LC50 ≤ 1000

μg/ml dalam metode BST.

f. Fraksi paling toksik adalah fraksi yang memiliki harga LC50 paling kecil dari semua fraksi uji dalam kisaran ≤ 1000 μg/ml dalam metode BST. g. Hewan Uji adalah larva artemia yang telah berumur 48 jam.


(44)

22

C. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan penelitian

a. Bahan utama

Daun tumbuhan tembelekan diperoleh pada bulan Agustus 2006 dari tumbuhan tembelekan di belakang RSJ Grahasia, Pakem, Sleman, Yogyakarta.

b. Bahan untuk penyarian

Bahan yang digunakan untuk penyarian berderajat pro analysis (p.a.), kecuali bila disebutkan lain. Bahan tersebut adalah aquades (yang diambil dari Laboratorium Farmakognosi Fitokimia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta).

c. Bahan untuk BST

1) Telur artemia Viper (Jeannie Hoo., LTD, China) 2) Air laut buatan dengan kadar garam 5 per mil 3) Fraksi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan, 4) Ragi Saccharomyces cerevisae.

d. Bahan untuk air laut buatan

Bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan berderajat teknis. Bahan-bahan terdiri dari natrium klorida, magnesium sulfat, magnesium klorida, kalsium klorida, kalium klorida, natrium hidrokarbonat, aquadest, dan aquadest bebas CO2.


(45)

23

e. Bahan untuk KLT

Lempeng KLT dengan fase diam silika gel GF254 (MERCK), larutan pengembang toluen, etilasetat, pereaksi semprot vanillin-asam sulfat, ekstrak etanol dan fraksi aktif tumbuhan tembelekan.

f. Bahan untuk Fraksinasi

Fase diam silika gel GF 254 (E.merck), fase gerak Toluen, Etil asetat, ekstrak etanol tumbuhan tembelekan.

2. Alat penelitian

a. Alat untuk penyarian

Gelas ukur (Pyrex), waterbath (Memmert), Erlenmeyer (Pyrex), neraca analitik (Mettler Toledo AB 204), vaccum rotary evaporator (Janke & Kunkel), batang pengaduk, sendok, cawan porselen.

b. Alat untuk uji BST

Flakon, bak penetasan artemia (lokal), mikropipet (Socorex ISBA S.A), lampu 5 watt (dop), aerator (Niko Nk 1200), pipet tetes, neraca analitik (Mettler Toledo AB 204), Vortex (Dijkstra).

c. Alat untuk KLT

Pipa kapiler 5 µl, bejana kromatografi, alat semprot, kertas saring, plat kaca, lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 365 nm. d. Alat untuk Fraksinasi

Pipa kolom, vaccum hose Buchner, Beaker glass, gelas ukur, corong, cawan porselen, sinteredglass.


(46)

24

D. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tumbuhan tembelekan

Determinasi tumbuhan bertujuan untuk memastikan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah Lantana camara L.. Determinasi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Kebun Obat, Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta dengan menggunakan buku acuan menurut Becker and Backhuizen vol. I (1963) dan Vol II (1965). Hasil determinasi tumbuhan berupa nama jenis (species) tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini.

2. Pengumpulan bahan

Daun tumbuhan tembelekan diambil saat tumbuhan sedang berbunga dan berbuah pada bulan Agustus 2006 di belakang RSJ Grahasia, Pakem, Sleman, Yogyakarta.

3. Penyiapan bahan

Daun tumbuhan tembelekan yang sudah diambil dicuci dengan air bersih yang mengalir, kemudian diangin-anginkan. Apabila sudah bersih daun tumbuhan tembelekan dikeringkan dibawah sinar matahari secara tidak langsung dengan ditutupi kain hitam. Daun dapat diasumsikan kering apabila daun diremas dapat hancur. Setelah kering dipotong kecil-kecil dan diserbuk.

4. Maserasi

Serbuk daun tumbuhan tembelekan ditimbang sebanyak 30 g, dimasukkan dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan pelarut etanol pro analysis (p.a) sebanyak 225 ml. Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil, lalu diletakkan pada mesin pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm) selama 24 jam lalu


(47)

25

larutan disaring dengan kertas saring. Maserat ditampung dan disimpan pada suhu kamar sedangkan ampasnya dimaserasi lagi dengan 225 ml etanol p.a. menggunakan shaker 130 rpm selama 24 jam, lalu disaring dan maserat ditampung untuk digabungkan dengan maserat hasil maserasi 24 jam pertama.

Maserat yang terkumpul lalu dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator sampai kental (volume kira-kira 1/3 nya). Setelah itu, dengan menggunakan cawan porselen yang sudah ditimbang terlebih dahulu, ekstrak diuapkan di atas waterbath dengan suhu 50°C dan dengan kipas angin sampai didapatkan ekstrak kering.

5. Fraksinasi

Sebelumnya dilakukan KLT orientasi/panduan untuk fraksinasi. Hal ini dilakukan untuk optimasi pemilihan fase gerak pada proses fraksinasi. Fase diam yang digunakan adalah silika gel GF 254 dan fase gerak yang digunakan adalah campuran toluen-etil asetat dengan perbandingan 85:15 v/v.

a. Pembuatan kolom fase diam

Serbuk silica gel dimasukkan ke dalam kolom sampai setinggi ± 5 cm, dituang ke dalam beaker glass 200 ml, ditambahkan fase gerak sampai terendam lalu diaduk hingga menjadi bubur homogen. Kolom dipasang di atas vaccum hose buchner, beakerglass 100 ml diletakkan ke dalamnya, pompa vakum dihubungkan. Bubur dituangkan ke dalam kolom, kemudian dihisap sampai tidak ada tetesan, larutan disingkirkan.


(48)

26

b. Persiapan sampel

Ekstrak kental ditimbang 0,5 – 1 g dengan cawan porselen, ditambahkan silica gel sesedikit mungkin, diaduk hingga menjadi serbuk kering. Serbuk sampel dituang ke atas fase diam sampai rata. Sedikit serbuk silica gel ditaburkan di atas serbuk sampel, ditutup dengan kertas saring sesuai dengan diameter kolom untuk menjaga agar ekstrak tidak bergeser ketika dituangi fase gerak.

c. Proses Fraksinasi

Beaker gelas kosong ditempatkan pada posisi penampungan, fase gerak pertama sebanyak 50 ml dituangkan secara hati-hati pada kolom, hisap dengan pompa vakum sampai tidak menetes. Beaker gelas yang berisi larutan sampel dipindahkan dan disimpan, diberi label no 1. Beaker gelas diganti dengan yang baru, fase gerak kedua dituang sebanyak 50 ml ke dalam kolom secara hati-hati, hisap dengan pompa vakum sampai tidak menetes. Pindahkan dan simpan beaker gelas yang berisi larutan sampel, beri label no 2. Cara yang sama dilakukan untuk sampel no 3 dan selanjutnya. Proses fraksinasi dihentikan ketika profil bercak pada KLT fraksi sudah sesuai dengan profil bercak pada KLT orientasi.

d. Uji KLT fraksinasi

Sampel yang diperoleh kemudian dikentalkan sampai sekitar ± 30 ml, ditotolkan 5 µl pada lempeng KLT (fase diam silica gel GF 254), dielusi pada fase gerak toluene-etil asetat (85:15). Deteksi dengan dilihat pada UV 254 nm dan 365 nm serta dengan vanillin-asam sulfat. Kromatogram didokumentasikan. Fraksi dengan kesamaan bercak dijadikan satu.


(49)

27

6. Pembuatan air laut buatan

Komposisi bahan yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan berkadar garam 5 per mil adalah 5 gram natrium klorida (NaCl), 1,3 g magnesium sulfat (MgSO4), 1 g magnesium klorida (MgCl2), 0,3 g kalsium klorida (CaCl2), 0,2 g kalium klorida (KCl), dan 2 g natrium hidrokarbonat (NaHCO3) dicampur dalam 1 liter aquades. Bahan-bahan sebagian dilarutkan dalam sebagian aquadest dalam labu takar satu liter. Khusus untuk magnesium sulfat dilarutkan dalam air panas, sedangkan natrium hidrokarbonat dilarutkan dengan air bebas CO2. Kemudian ditambah aquadest sampai volume tepat 1 liter. Air laut buatan berkadar garam 5 per mil dan pH antara 7,3 – 8,4 (Mudjiman, 1989).

7. Penetasan telur artemia

Artemia ditetaskan dari telurnya dengan media air laut buatan berkadar 5 permil. Telur artemia ditetaskan dalam aquarium yang disekat menjadi dua bagian, bagian terang dan bagian gelap, dengan sekat berlubang. Bagian gelap merupakan tempat telur artemia ditaburkan. Telur menetas setelah kira-kira 24-36 jam kemudian menjadi nauplius (Mudjiman, 1989). Nauplius yang aktif akan bergerak menuju tempat yang terang melalui lubang pada sekat. Setelah 48 jam, nauplius diambil dari bagian yang terang menggunakan pipet dan digunakan sebagai hewan uji (Meyer et al., 1982).


(50)

28

8. Pembuatan larutan sampel

a. Pembuatan larutan A dan B ( larutan stok ) 1) F2

Larutan A dengan konsentrasi 10 mg/ml (10 μg/μl) dibuat dengan menimbang 100,0 mg ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sampai 10,0 ml. Larutan B dengan konsentrasi 1 μg/μl dibuat dengan mengambil 1,0 ml dari larutan A kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sampai 10,0 ml.

2) F3

Larutan A dengan konsentrasi 10 mg/ml atau 10 μg/μl dibuat dengan menimbang 50,0 mg ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sampai 5,0 ml. Larutan B dengan konsentrasi 1 μg/μl dibuat dengan mengambil 1,0 ml dari larutan A kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sampai 10,0 ml. Larutan C dengan konsentrasi 0,5 μg/μl dibuat dengan mengambil 0,5 ml dari larutan A kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sampai 10,0 ml.

3) F4

Larutan A dengan konsentrasi 10 mg/ml atau 10 μg/μl dibuat dengan menimbang 50,0 mg ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sampai 5,0 ml. Larutan B dengan konsentrasi 1 μg/μl dibuat dengan mengambil 1,0 ml dari larutan A kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sampai 10,0 ml.


(51)

29

b. Pembuatan larutan sampel

Dari larutan stok tersebut dibuat seri konsentrasi untuk tiap fraksi (cara memperoleh konsentrasi lihat pada Lampiran 9).

1) F2 : (100; 178; 316,84; 563,97; 1003,87) μg/ml. 2) F3 : ( 5; 10,5; 22,05; 43,3; 97,2) μg/ml.

3) F4 : (10; 32; 102,4; 327,7; 1048,6) μg/ml.

Tabel I. Seri konsentrasi larutan sampel daun tumbuhan tembelekan

Konsentrasi larutan stok Volume larutan stok yang diambil Volume air laut buatan yang ditambahkan Konsentrasi larutan sampel yang diujikan (C1) (V1) (V2) (C2) Sampel

(μg/ml) (ml) (ml) (μg/ml)

0,50 5 100

1000

0,890 5 178 0,160 5 316,84 0,280 5 563,97 F2

10000

0,50 5 1003,87

500 0,050 5 5

0,050 5 10,5 0,110 5 22,05 0,220 5 43,3 F3

1000

0,490 5 97,2 0,050 5 10 0,160 5 32 1000

0,510 5 102,4 0,160 5 327,7 F4

10000


(52)

30

9. Uji toksisitas akut dengan BST

Uji toksisitas dilakukan dengan menggunakan larva artemia yang berumur 48 jam (Meyer et al., 1982). Sepuluh ekor larva artemia yang berumur 48 jam diambil, dimasukkan ke dalam flakon yang telah berisi sampel dengan konsentrasi tertentu, air laut buatan sebanyak 3 ml dan 1 tetes ragi (3mg/5ml) sebagai makanan yang kemudian divortek. Air laut buatan ditambahkan sampai 5 ml. Setiap pengujian selalu disertai dengan kontrol dan masing-masing konsentrasi dibuat dalam 5 kali replikasi. Flakon dijaga agar selalu mendapat penerangan. Setelah 24 jam, jumlah larva artemia yang mati dihitung untuk mengetahui nilai probit dan dianalisis untuk mengetahui harga LC50 (Meyer et al., 1982).

10.Uji KLT fraksi toksik daun tumbuhan tembelekan

Uji dengan KLT ini bertujuan untuk mengetahui profil bercak dari fraksi yang terdapat dalam fraksi daun tumbuhan tembelekan. Ekstrak kental fraksi daun tumbuhan tembelekan dilarutkan dengan etanol dan ditotolkan pada lempeng KLT. Lempeng KLT dimasukkan dalam bejana yang berisi fase gerak yang telah jenuh lalu dielusi sampai jarak rambat 15 cm, kemudian diangkat dan dikeringkan. Setelah itu elusi yang terjadi diamati dengan melihat bercak yang timbul. Pengamatan bercak dilakukan dibawah sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 365 nm serta dengan pereaksi semprot.

Identifikasi triterpenoid, sistem KLT yang digunakan adalah sebagai berikut : fase diam : silika gel GF 254 (MERCK)


(53)

31

deteksi : visibel, UV 254 nm dan UV 365 nm, dan vanillin asam sulfat (pemanasan 100-110 °C, 10 menit)

11.Analisis hasil

Data persentase kematian larva artemia yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis probit SPSS untuk menghitung harga LC50. Dalam perhitungan analisis probit secara manual, konsentrasi ditransformasikan menjadi log konsentrasi (sebagai nilai x) dan % kematian ditransformasikan menjadi nilai probit (sebagai nilai y). Setelah didapatkan persamaan garis data di atas, dicari nilai LC50 dengan menghitung nilai x pada y=5. Setelah itu, nilai x di anti-log kan untuk mendapatkan konsentrasi dimana dapat membunuh 50% hewan uji.

Jika pada kontrol ada artemia yang mati, maka persen kematian ditentukan dengan rumus Abbot :

kontrol pada kematian % 100 kontrol pada kematian % -perlakuan pada kematian % KEMATIAN % =


(54)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman

Determinasi dilakukan untuk memastikan kebenaran tumbuhan yang akan digunakan dalam penelitian. Determinasi tumbuhan dilakukan secara makroskopis dengan melihat ciri-ciri morfologi tumbuhan secara keseluruhan mulai dari daun, bunga, batang kemudian dibandingkan dengan determinasi tumbuhan yang terdapat dalam buku acuan menurut Backer and Bakhuizen Van den Brink (1963 & 1965).

Berdasarkan determinasi tumbuhan yang telah dilakukan (lampiran 1), diperoleh kesimpulan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah benar-benar tumbuhan Lantana camara L.

B. Pengumpulan Bahan

Daun tumbuhan tembelekan diperoleh dari tumbuhan tembelekan yang tumbuh di belakang RSJ Grahasia, Pakem.Lokasi tumbuh diusahakan sama untuk menghindari variasi kandungan kimia yang terlalu besar karena perbedaan kondisi lingkungan. Pemilihan daun ke-4 sampai ke-5 dari ujung tangkai bertujuan agar daun yang digunakan memiliki umur yang relatif sama sehingga kadar senyawa aktifnya tidak berbeda secara bermakna (Anonim, 1985). Daun diambil dalam keadaan tumbuhan sedang berbunga karena pada saat itu kandungan kimia mencapai kadar optimum sehingga senyawa aktif yang terbentuk juga dalam keadaan optimal (Anonim, 1985).


(55)

33

Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air sehingga tidak ditumbuhi jamur, mempermudah pembuatan serbuk, dan menjamin agar kualitasnya tetap baik sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Reaksi enzimatis serta perubahan kimiawi juga dapat diminimalkan, sehingga senyawa aktif yang terkandung dalam daun tumbuhan tembelekan tidak hilang terurai (Anonim, 1986).

Pembuatan serbuk bertujuan untuk memperluas permukaan yang kontak dengan cairan penyari sehingga kandungan kimia yang terlarut dalam proses penyarian lebih banyak dan penyarian dapat berlangsung lebih sempurna (Anonim, 1986).

C. Maserasi Daun Tumbuhan Tembelekan

Maserasi merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan merendam serbuk sampel dalam cairan penyari. Penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel ditarik oleh cairan penyari sehingga di dalam cairan penyari terdapat zat aktif. Penyarian dengan cara maserasi perlu dilakukan pengadukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar serbuk sampel sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya perbedaan konsentrasi yang sebesar-besarnya antara larutan dalam sel dengan larutan diluar sel. Makin besar perbedaan konsentrasi, makin besar pula daya dorong untuk memindahkan massa dari dalam sel ke dalam cairan penyari (Anonim, 1986).


(56)

34

Maserasi kinetika adalah maserasi dengan menggunakan mesin shaker yang berputar terus menerus dilakukan 6 sampai 24 jam (Anonim, 1986). Dalam penelitian ini digunakan 30 gram serbuk daun tembelekan dan 225 ml etanol p.a. yang dimasukkan dalam Erlenmeyer yang ditutup dengan aluminium foil. Hal ini bertujuan agar larutan penyari (etanol p.a.) tidak menguap terlebih dahulu, sehingga penyarian dapat maksimal.

Pada penelitian didapatkan maserat sebanyak 450 ml. Untuk mendapatkan ekstrak etanol kering maka etanol diuapkan menggunakan vaccum rotary evaporator hingga kental (± 100 ml), kemudian dipekatkan lagi di waterbath dengan suhu tidak lebih 60° C menggunakan cawan. Vaccum rotary evaporator digunakan karena dengan alat ini dapat diketahui dan diatur tekanan alat (175 mmHg pada 40o C untuk etanol), sebab pada tekanan sebesar itu dapat menurunkan titik didih dari etanol yang nantinya akan mempercepat penguapan etanol tanpa membutuhkan pemberian panas tinggi. Selain itu, dengan menggunakan alat ini dapat meningkatkan efisiensi biaya penelitian karena etanol yang menguap dapat diperoleh kembali dalam suatu wadah penampung pada rangkaian alat.

Pengeringan maserat didapatkan 2,27 gram ekstrak etanol kering. Cawan porselen yang berisi ekstrak etanol kemudian ditutup dengan aluminium foil lalu dimasukkan dalam eksikator. Dalam eksikator tidak ada air dan udara yang masuk, karena dalam eksikator terdapat kapur tohor yang dapat menyerap air di udara, yang dapat memungkinkan terjadinya perubahan senyawa dalam ekstrak tersebut atau dapat merusak senyawa oleh adanya bakteri atau cendawan.. Selain


(57)

35

itu, dapat juga menarik sisa air yang mungkin masih tertinggal dalam ekstrak karena proses pengeringan yang kurang sempurna.

D. Fraksinasi Ekstrak Etanol Hasil Maserasi

Kromatografi kolom vakum adalah suatu bentuk kolom yang terutama bermanfaat untuk fraksinasi secara kasar dengan cepat. Fraksinasi ini tidak dapat mengisolasi dalam bentuk suatu senyawa tunggal namun hanya mengisolasi berdasarkan polaritas senyawa pada fase gerak. Senyawa ataupun golongan senyawa yang diperoleh bisa lebih dari satu. Penggunaan vakum akan mempercepat proses pengeluasian karena selain adanya gaya gravitasi juga terdapat perbedaan tekanan pada kolom.

Ekstrak etanol dari tumbuhan tembelekan yang didapat dari metode maserasi kemudian di fraksinasi dengan kromatografi kolom vakum. Sebelum di fraksinasi dilakukan tahap KLT orientasi berdasarkan pemisahan senyawa terpenoid. Hal ini didasarkan pada kandungan senyawa golongan terpenoid yang terdapat di daun tumbuhan tembelekan. Fase gerak yang digunakan pada KLT adalah toluen-etil asetat dengan perbandingan 93 banding 7 (v/v) dan fase diam yang digunakan adalah silika gel. Toluen merupakan pelarut yang relatif non-polar memiliki indeks non-polaritas 2,4 P’ dan etil-asetat merupakan pelarut yang relatif lebih polar daripada toluen memiliki indeks polaritas 4,4 P’ (Skoog, 1985). Campuran kedua fase gerak didapatkan indeks polaritas sebesar 2,54 P’. Silika gel merupakan bahan penjerab yang polar. Hal ini dikarenakan adanya atom oksigen yang polar dan adanya gugus hidroksi pada permukaannya (Gritter dkk, 1991).


(58)

36

Hasilnya pemisahan belum cukup optimal karena pada profil bercak KLT masih terdapat beberapa bercak yang bertumpuk pada daerah awal jarak pengeluasian (awal penotolon) yang menunjukkan bahwa beberapa bercak bersifat lebih polar sehingga lebih berinteraksi kuat dengan fase diamnya (Gambar 2)..

Gambar 2. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak 93:7, jarak pengembangan 15 cm.

Keterangan :

Fase diam : silika gel GF254

Fase gerak : toluen : etil asetat (93:7 v/v) Deteksi : Sinar UV 365 nm

( Dari kiri ke kanan merupakan urutan bercak penotolan dari 1 kali penotolan sampai n kali penotolan.)


(59)

37

Bercak yang menumpuk akan mempengaruhi hasil dari proses fraksinasi yang diharapkan akan diperoleh fraksi dengan profil bercak yang jelas serta terpisah menurut kepolarannya. Modifikasi fase gerak diperlukan untuk bisa mengeluasi bercak yang bertumpuk hingga bercak terpisah dan juga untuk mendapatkan kerapatan jarak antar bercak yang teratur. Melihat sifat bercak yang polar maka modifikasi fase gerak dibuat menjadi lebih polar daripada sebelumnya yang non polar. Fase gerak non polar, dalam hal ini toluen, dikurangi konsentrasinya dan fase gerak yang lebih polar, etil asetat, konsentrasinya ditambah. Perbandingan fase gerak dibuat toluen (90) : etil asetat (10), indeks polaritas campuran 2,6 P’.

Setelah dilakukan proses eluasi, hasil pemisahan dengan perbandingan ini masih belum memuaskan karena masih terdapat bercak yang menumpuk dan kerapatan jarak antar bercak masih belum merata (Gambar 3).


(60)

38

Gambar 3. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak 90:10, jarak pengembangan 15 cm.

Keterangan :

Fase diam : silika gel GF254

Fase gerak : toluen : etil asetat (90:10 v/v) Deteksi : Sinar UV 365 nm

Modifikasi selanjutnya dirubah pada perbandingan toluen (85) : etil asetat (15), indeks polaritas campuran fase gerak 2,7 P’. Pemisahan becak sudah baik karena bercak sudah tidak menumpuk dan diperoleh kerapatan jarak antar bercak yang hampir merata(Gambar 4).


(61)

39

Gambar 4. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak 85:15, jarak pengembangan 15 cm..

Keterangan :

Fase diam : silika gel GF254

Fase gerak : toluen : etil asetat (85:15 v/v) Deteksi : Sinar UV 365 nm

Hasil dengan perbandingan 85:15 sudah baik, namun dirasa masih perlu dilakukan modifikasi lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi. Perbandingan selanjutnya yang digunakan adalah toluen (80) banding etil asetat (20). indeks polaritas campuran fase gerak 2,8 P’. Hasilnya kerapatan jarak antar


(62)

40

bercak sudah merata dan namun terdapat bercak yang menumpuk pada posisi akhir jarak pengeluasian(Gambar 5).

Gambar 5. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan untuk panduan fraksinasi dengan perbandingan fase gerak 80:20, jarak pengembangan 15 cm.

Keterangan :

Fase diam : silika gel GF254

Fase gerak : toluen : etil asetat (80:20 v/v) Deteksi : Sinar UV 365 nm


(63)

41

Melihat profil dari ke empat KLT orientasi di atas maka diputuskan untuk memakai fase gerak toluen-etil asetat dengan perbandingan 85:15 v/v.

Setelah diperoleh sistem pemisahan dari KLT orientasi, kemudian diaplikasikan ke metode Vaccum Coloumn Chromatography (VCC) atau disebut juga Kromatografi Kolom Vakum. Volume fase gerak yang digunakan untuk setiap kali fraksinasi sebanyak 50 ml karena diharapkan dapat mengeluasi bercak berdasarkan urutan kepolarannya. Pada perbandingan fase gerak 85:15, indeks polaritas campuran dari kedua senyawa tersebut adalah 2,7 P’ yang masuk dalam kategori fase gerak yang relatif non-polar. Bercak/senyawa yang bersifat non polar akan terfraksinasi terlebih dahulu. Berturut-turut selanjutnya akan didapatkan bercak/senyawa yang cenderung lebih polar. Senyawa-senyawa yang non-polar akan berinteraksi dengan fase gerak yang non-polar sehingga lebih cepat tereluasi sedangkan senyawa yang relatif lebih polar akan berinteraksi dengan fase diam sehingga waktu eluasinya lebih lama.

Fase diam yang digunakan adalah silika gel yang dibuat menjadi bubur dengan pelarut fase gerak yang akan digunakan. Pembuatan bubur ini bertujuan untuk memudahkan dalam pemasukan ke dalam kolom serta untuk menghindari terjadinya rongga udara pada kolom yang dapat mengganggu dalam proses fraksinasi. Penghisapan pelarut bubur dalam kolom dimaksudkan untuk lebih memampatkan fase diam sehingga diperoleh kerapatan fase diam yang kompak dan merata.

Fraksinasi dengan menggunakan kromatografi vakum-cair didapatkan 12 fraksi hasil (Gambar 6).


(64)

42

Gambar 6. Kromatogram 12 fraksi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan hasil fraksinasi dengan jarak pengembangan 15 cm.

Keterangan :

Fase diam : silika gel GF254

Fase gerak : toluen : etil asetat (85:15 v/v) Deteksi : Sinar UV 365 nm

Proses fraksinasi dapat dihentikan karena sudah didapatkan profil bercak yang sesuai dengan KLT orientasi. Pada fraksi no 1 didapatkan profil bercak yang berwarna hijau pada UV 365 nm. Profil bercak ini sudah sesuai dengan profil bercak pada KLT orientasi yang tereluasi pertama kali yang juga memberikan warna hijau pada UV 365 nm. Akhir pengeluasian pada profil bercak KLT orientasi juga ditandai dengan bercak yang berwarna hijau pada UV 365 nm dan bercak ini sudah diperoleh profil bercaknya mulai dari fraksi no 8.


(65)

43

Fraksi-fraksi yang mempunyai kesamaan bercak kemudian digabung. Selain itu penggabungan bercak juga didasarkan pada bercak yang dominan pada fraksi. Bercak dominan adalah bercak yang mempunyai area relatif lebih lebar dan terlihat lebih tebal. Fraksi yang mempunyai kesamaan bercak yaitu pada fraksi no 8 sampai 12 yang kemudian digabung menjadi satu. Profil bercak pada fraksi no 3 sampai 7 mempunyai profil yang hampir sama dalam rentang panjang bercak pengeluasiannya. Namun, profil bercak pada fraksi no 4 sampai 7 lebih dominan pada bercak bagian bawah pengeluasian (polar) sehingga fraksi no 4 sampai 7 digabung menjadi satu. Fraksi no 1 sampai 3 tidak digabung karena mempunyai karakteristik bercak dominan yang berbeda. Penggabungan ini bertujuan untuk mendapatkan profil fraksi dari yang nonpolar sampai ke fraksi yang polar. Selain itu untuk mendapatkan profil dari fraksi yang memiliki efek toksik pada larva artemia.

Tabel II. Penggabungan hasil fraksinasi menjadi 5 fraksi berdasarkan data gambar 6

Penggabungan Fraksi

no nama dan berat fraksi gabungan 1 F1 berat 40 mg

2 F2 berat 150 mg

3 F3 berat 60 mg

4 sampai 7 F4 berat 150 mg

8 sampai 12 F5 berat 20 mg

Hasil penggabungan didapatkan lima fraksi yaitu F1, F2, F3, F4, F5. Tabel penggabungan fraksi menunjukkan berat dari fraksi gabungan. Berat fraksi yang besar ditunjukkan pada F2 dan F4. Lima fraksi gabungan tersebut, tiga fraksi yang diujikan dengan metode BST yaitu F2, F3, F4. Pengujian dengan metode BST tidak


(66)

44

melibatkan F1 karena profil bercak KLT pada F1 sudah terwakili pada F2. Pada F5 tidak diuji karena profil nya sudah terwakili pada F4.

E. Pembuatan Air Laut Buatan (ALB)

Komposisi bahan pembuat ALB terdiri dari natrium klorida, magnesium sulfat, magnesium klorida, kalsium klorida, kalium klorida, natrium hidrokarbonat, dan aquadest. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan air laut alami sehingga lingkungan hidupnya hampir sama. Natrium hidrokarbonat dilarutkan dengan menggunakan air bebas karbondioksida untuk mempertahankan sifat kebasaan atau agar pH tetap dipertahankan. Pemecahan cangkang siste dibantu oleh kegiatan enzim penetasan yang membutuhkan pH lebih dari 8 (antara 8-9), sehingga pH sangat berpengaruh terhadap penetasan siste.

ALB memiliki kadar garam 5 permil yang artinya dalam 1 ml aquadest mengandung 5 mg Natrium klorida. Menurut Mudjiman (1989), peningkatan kadar garam yang mendadak dari 5 permil menjadi 35 permil tidak akan mempengaruhi kehidupan artemia, sebab mereka mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan kadar garam. Bahkan lebih dari 35 permil, misalnya sampai 140 permil. Hal ini disebabkan artemia mempunyai kelenjar garam, yang dapat mengatur penyesuaian diri terhadap perubahan kadar garam.

F. Penetasan Telur Artemia

Siste yang kering memiliki kadar air kurang dari 10% berisi embrio dalam keadaan diapauze (metabolisme terhenti sementara). Perendaman


(67)

45

dilakukan agar siste menyerap sejumlah air yang digunakan untuk mengaktifkan metabolismenya. Air tawar digunakan dalam merendam siste karena proses penyerapan air ke dalam siste berlangsung secara hiperosmotik (tekanan osmose di dalam siste lebih tinggi dibandingkan tekanan osmose diluar siste).

Siste dimasukkan pada media ALB berkadar 5 per mil dengan pH 8. Untuk pertumbuhan siste diperlukan ALB dengan kadar garam rendah, karena jika kadar garam terlalu tinggi maka siste tidak akan menetas karena tekanan osmose di luar siste lebih tinggi sehingga siste tidak dapat menyerap air yang cukup untuk proses metabolismenya. Suhu juga berpengaruh untuk pertumbuhan artemia yang baik. Suhu yang baik berkisar antara 25oC – 30oC sehingga penelitian dilakukan dalam suhu kamar. Selain kadar garam dan pengaruh suhu, kadar oksigen juga sangat menentukan proses penetasan siste. Untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen terlarut sekitar 3mg/l maka selama penetasan media diberi udara (aerasi) dengan menggunakan aerator, gelembung udara juga berfungsi untuk mengaduk siste secara merata agar siste tidak mengendap di dasar. Siste yang mengendap akan kekurangan oksigen dan tidak menetas. Untuk merangsang penetasan, media penetasan perlu disinari dengan lampu 5 watt yang diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu panas. Pemisahan cangkang telur dan larva dapat dipercepat dengan memanfaatkan sifat artemia yang tertarik pada cahaya (fototaksis positif). Wadah penetasan dibagi dalam dua kompartemen yaitu kompartemen gelap dengan cara ditutup kaca hitam dan kompartemen terang dengan cahaya lampu. Larva terseleksi akan bergerak dari kompartemen gelap ke kompartemen terang melalui celah, sedangkan larva yang tidak cukup kuat dan aktivitasnya kurang


(68)

46

baik tidak dapat menuju kompartemen terang. Antara kedua kompartemen tersebut diberi sekat dengan lebar celah kira-kira 1 cm.

Setelah larva menetas, maka larva dipindahkan ke dalam wadah penetasan yang berisi ALB yang berkadar garam 5 permil dengan kondisi sama. Pengambilan larva dilakukan dengan menggunakan pipet tetes. Pemindahan larva ke dalam satu tempat tersebut bertujuan agar umur larva yang akan digunakan pada saat penelitian sama. Umur larva yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda. Larva artemia yang digunakan untuk uji yaitu larva yang berumur 48 jam setelah menetas. Larva yang berumur 48 jam dalam keadaan paling peka karena dinding selnya masih lunak sehingga hanya diperlukan konsentrasi sampel yang kecil untuk menimbulkan efek yang diamati.

G. Uji Toksisitas dengan Metode BST

Uji toksisitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode BST (Brine Shrimp Lethality Test). Metode BST merupakan skrining awal untuk mengetahui toksisitas suatu senyawa. Karena itu uji toksisitas akut yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek toksik fraksi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan. Uji toksistas akut dengan metode BST ini menggunakan larva artemia sebagai organisme uji. Toksisitas akut dapat ditentukan dengan melihat nilai LC50nya, jika harga LC50 lebih kecil dari 1000

μg/ml dikatakan toksik, sebaliknya jika harga LC50 lebih besar dari 1000 μg/ml dikatakan tidak toksik. Tingkat ketoksikan tersebut akan memberikan makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor (Meyer et al., 982). Larva artemia


(69)

47

sangat mungkin digunakan untuk mendeteksi senyawa yang memiliki aktivitas biologis terhadap mamalia (misalnya senyawa yang memiliki aktivitas sitotoksisitas) karena memiliki kesamaan dengan sistem enzim pada mamalia. Beberapa sistem tersebut antara lain tipe DNA-dependent RNA polimerase, dan ouabaine sensitive Na+ and K+ dependent ATPase (Solis et al., 1993), sehingga jika suatu senyawa antikanker berefek toksik terhadap larva artemia maka senyawa antikanker tersebut dapat digunakan pada mamalia.

Penelitian ini menggunakan larva artemia yang berumur 48 jam. Tzong & Jiann (1987) mengungkapkan bahwa pada umur ini sifat selnya masih lunak dan peka sehingga hanya dibutuhkan konsentrasi sampel yang kecil untuk menimbulkan efek toksik yang diinginkan pada percobaan. Sifat sel yang masih lunak pada kulit artemia diasumsikan sebagai membran semipermiabel pada sel mamalia. Sampel yang diujikan diharapkan masuk ke dalam tubuh artemia melalui difusi pasif karena perbedaan gradien kadar yang kemudian diharapkan sampel tersebut memberikan efek toksik pada artemia. Membran semi permiabel terdiri atas lapisan lipid-air-lipid maka senyawa yang bersifat nonpolar (terpenoid) akan lebih mudah masuk ke dalam sel.

Sampel tiap fraksi dilarutkan dalam etanol, dengan mikropipet larutan sampel diambil dan dimasukkan ke dalam flakon sesuai konsentrasi yang digunakan. Sebelum dibuat seri konsentrasi, masing-masing sampel fraksi dilakukan orientasi kadar terlebih dahulu yaitu 10, 100, 1000 μg/ml (Meyer et al., 1982). Dalam pembuatan seri konsentrasi, dibuat konsentrasi tinggi yang dapat membunuh semua atau hampir semua hewan uji, dan konsentrasi rendah yang


(1)

Lampiran 12. Perhitungan data statistik SPSS 10.00 dengan menggunakan

analisis probit terhadap F

4

daun tumbuhan tembelekan

* * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * *

DATA Information

5 unweighted cases accepted.

0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group.

0 cases rejected because LOG-transform can't be done. MODEL Information

ONLY Normal Sigmoid is requested.

Parameter estimates converged after 8 iterations. Optimal solution found.

Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX): Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E.

KONS ,63690 ,08387 7,59380

Intercept Standard Error Intercept/S.E. -1,27778 ,17825 -7,16866

Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = 1,740 DF = 3 P = ,628

Since Goodness-of-Fit Chi square is NOT significant, no heterogeneity

factor is used in the calculation of confidence limits.

Observed and Expected Frequencies

Number of Observed Expected

KONS Subjects Responses Responses Residual Prob

1,00 100,0 25,0 26,080 -1,080 ,26080


(2)

,50103

2,52 100,0 57,8 62,715 -4,945 ,62715

3,02 100,0 76,6 74,087 2,503 ,74087

Confidence Limits for Effective KONS

95% Confidence Limits Prob KONS Lower Upper ,01 ,02258 ,00116 ,13194 ,02 ,06049 ,00436 ,29024 ,03 ,11303 ,01010 ,47898 ,04 ,18092 ,01897 ,69853 ,05 ,26525 ,03167 ,94984 ,06 ,36736 ,04897 1,23421 ,07 ,48877 ,07175 1,55324 ,08 ,63116 ,10098 1,90879 ,09 ,79639 ,13775 2,30293 ,10 ,98647 ,18328 2,73795 ,15 2,39300 ,59605 5,62245 ,20 4,83971 1,51344 10,01522 ,25 8,85592 3,34433 16,54259 ,30 15,23667 6,75825 26,18365 ,35 25,19188 12,81689 40,55033 ,40 40,59503 23,12430 62,47576 ,45 64,40997 39,93524 97,27524 ,50 101,45066 66,19380 155,34914 ,55 159,79258 105,81414 257,24682 ,60 253,53441 164,88203 443,91391 ,65 408,55375 254,17206 800,47469 ,70 675,49128 393,77546 1517,53738 ,75 1162,18671 623,41688 3065,91974 ,80 2126,62153 1029,89034 6773,84996 ,85 4300,96714 1834,74152 17197,53074 ,90 10433,44847 3767,99324 55923,18195 ,91 12923,60429 4479,82269 74408,36965 ,92 16306,75240 5404,91614 101502,40898 ,93 21057,39309 6642,23442 142848,43285 ,94 28016,61618 8359,32021 209287,34296 ,95 38801,71888 10862,12187 323637,73663 ,96 56887,81071 14770,06500 540315,96276 ,97 91054,61611 21540,60958 1015075,32469 ,98 170161,10189 35548,15513 2348657,67534 ,99 455900,23354 78201,32164 8821418,52454


(3)

Probit Transformed Responses

Log of KONS

3,5 3,0

2,5 2,0

1,5 1,0

,5

P

robi

t

,8 ,6 ,4 ,2 0,0 -,2 -,4 -,6


(4)

Deteksi warna senyawa

uji

bercak

no Rf visibel Rf UV 254 Rf UV

365 Rf

Vanilin-as.sulfat

1 0,39 kuning

hijau 0,39

kuning

hijau 0,30

merah

muda 0,30 ungu

2 0,43 hijau 0,43

hijau coklat muda

0,39 merah 0,39 kuning hijau

3 0,51 Hijau

kuning 0,51

hijau

kuning 0,43

merah

hijau 0,43 hijau

4 0,55 Hijau

tua 0,55

hijau

kecoklatan 0,51

merah

gelap 0,47 ungu

5 0,85 kuning 0,85 kuning 0,55 merah

muda 0,51

hijau kuning

6 0,85 hijau 0,55 hijau tua

7 0,64 ungu

Fraksi 2

8 0,85 ungu

1 0,30 hijau

tua 0,30

coklat

gelap 0,20

merah

muda 0,25 ungu biru

2 0,39 kuning

hijau 0,39

hijau

kuning 0,30

merah

muda 0,30

ungu hijau

3 0,43 hijau 0,43

coklat muda terang

0,39 merah 0,39 hijau

kuning

4 0,51 kuning

hijau 0,51

hijau

kuning 0,43

merah

hijau 0,43 hijau

5 0,55 hijau 0,55

hijau coklat muda

0,51 merah gelap 0,47 ungu

6 0,55 merah

muda 0,51

hijau kuning

Fraksi 3

7 0,55 hijau tua

1 0,10 kuning 0,10 kuning hijau 0,10 gelap hijau 0,14 ungu

2 0,20 kuning

hijau 0,20

hijau

coklat 0,20

merah

muda 0,20 ungu biru

3 0,30 hijau

tua 0,24 ungu 0,30

merah

muda 0,25 ungu biru

4 0,51 hijau

kuning 0,30

hijau

kuning 0,51

merah

gelap 0,30 ungu

5 0,39 hijau

kuning 0,55

merah

muda 0,51

hijau kuning

Fraksi 4

6 0,51 hijau


(5)

Lampiran 14. Data kromatogram KLTPreparatif dari bercak Rf 0,3 pada F

3

Deteksi warna Senyawa

uji

bercak no

Rf visibel Rf UV

254 Rf UV 365 Rf

Vanilin-as.sulfat

1 0,14 hijau 0,14 hijau 0,07 merah

muda 0,07 ungu

2 0,09 merah muda 0,09 hijau

Bercak RF 0,3

dari F3


(6)

Robertus Hendra Krismawan merupakan anak

kedua dari pasangan Y. Suwondo dan Th.

Sutirah. Dilahirkan di Ngawi pada tanggal 23

April 1981. Menempuh pendidikan di SD

Negeri Tambakromo 2 Geneng pada tahun

1988-1994, dilanjutkan ke SLTP Negeri 2

Ngawi tahun 1994-1997.

Pendidikan Sekolah Menengah Atas ditempuh di SMFK Bina Farma, Madiun

tahun 1997-2000 dan melanjutkan jenjang S1 di Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta tahun 2001-2007. Sebelum melanjutkan kuliah,

penulis pernah bekerja di Century Health Care, Jakarta sebagai asisten apoteker

pada tahun 2000-2001. Selama kuliah, penulis bekerja pada Apotik Amalia dari

tahun 2005-sekarang. Penulis juga aktif dalam mengikuti beberapa kegiatan

organisasi di kampus dan juga aktif mengikuti kegiatan sosial di Pos Kesehatan

Kotabaru.