mengoksidasi dari reaksi radikal bebas. Pada penelitian ini digunakan standard antiokisdan rutin karena efek penghambatan flavonoid rutin dan quersetin
terhadap peroksidasi lipid bergantung pada ion Fe dalam lesitin liposom. Senyawa flavonoid tersebut bekerja dengan cara mengkelat logam, serta menangkap
aktivitas radikal bebas. Dalam hal ini terjadi interaksi rutin dengan ion superoksida. Rutin secara signifikan lebih efektif menghambat sistem peroksidasi
lipid yang tergantung ion Fe. Pengkelatan ion Fe menyebabkan kompleks ion inert dan tidak dapat mengawali terjadinya peroksidasi lipid,mekanisme pengkelatan
rutin lebih kuat dibandingkan dengan vitamin C. Winarsih., 2007.
O
O O
OH HO
OH OH
Rhamoglikosida
Gambar 2. Struktur rutin
C. Metode Folin-Ciocalteu
Senyawa fenolik dapat ditetapkan dengan metode Folin-Ciocalteu. Prinsip kerja dari metode ini adalah reaksi reduksi oksidasi. Reagen Folin
– Ciocalteu merupakan reagen pengoksidasi berupa larutan berwarna kuning.
Senyawa fenolik dalam sampel akan dioksidasi oleh molybdotungstate yang merupakan komponen dari Folin
–Ciocalteu membentuk senyawa berwarna biru.
Reaksi antara senyawa fenolik dengan Folin –Ciocalteu berjalan lambat pada
suasana asam, sehingga perlu penambahan natrium bikarbonat agar terbentuk suasana basa dan reaksi dapat berjalan lebih cepat. Penggunaan metode ini telah
digunakan oleh Agustiningsih, Wildan, dan Mindaningsih, 2010 dalam menetapkan kandungan senyawa fenolik pada ekstrak daun pandan wangi
Pandanus amaryllifous Roxb . Pengukuran dengan Folin-Ciocalteu digunakan untuk pengukuran
senyawa fenolik total. Prinsipnya berdasarkan pada rekasi oksidasi dari senyawa fenolik dan reduksi dari senyawa yang memiliki kromofor. Jika dalam sampel
tersebut t terdapat agen pereduksi seperti asam askorbat, asam amino, xantin dan protein akan mengganggu pada pengukuran ini Makar., 2003. Reagen ini
terdiri dari campuran polimer anionik yang akan tereduksi menjadi warna biru. Struktur dari bentuk kromofor ini tergantung dari sifat fenolik dan panjang
gelombang maksimum pada 760 nm Hemingway and Laks,1992.
D. Antioksidan
1. Pengertian antioksidan
Senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron. Secara biologis pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam
dampak dari oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas
senyawa oksidan teresbut bisa dihambat Winarsih, 2007.
2. Sumber antioksidan
a. Antioksidan alami Tumbuhan mengandung berbagai jenis antioksidan , namun yang paling
penting adalah vitamin C, vitamin E, senyawa fenol meliputi flavonoid, tokoferol dan lignin. Khasiat antioksidan untuk mencegah bahaya radikal bebas terdapat
pada tanaman dan buah-buahan yang kaya akan antioksidan. Mekanisme kerja dari zat tersebut sebagai antiokisdan adalah sebagai berikut.
1 Vitamin E Vitamin E atau tokoferol adalah inhibitor terhadap lipida peroksidasi.
Terdapat delapan jenis tokoferol alam yang mempunyai aktivitas sebagai vitamin E, tetapi alfa tokoferol yang paling aktif secara biologis.
Tokoferol suatu antiokisdan yang sangat efektif, yang dengan mudah menyumbangkan atom hidrogen pada gugus hidroksil OH dari struktur
cincin ke radikal bebas sehingga radikal bebas menjadi tidak reaktif. Dengan menyumbangkan hidrogen, vitamin E sendiri menajdi suatu
radikal , tetapi lebih stabil karena elektron yang tidak berpasangan pada atom oksigen mengalami delokalisasi ke dalam struktur cincin
aromatikSilalahi, 2006. 2 Vitamin C
Vitamin C merupakan suatu antioksidan penting yang larut dalam air. Vitamin C secara efektif menagkap radikal-radikal O
2
-, OH, peroksil dan oksigen singlet, dan juga berperan dalam melindungi membrane biologis.
Dengan mengikat radikal peroksil dalam fase berair dari plasma atau
sitosol, vitamin C dapat melindungi membran biologis dari kerusakan peroksidatif. Sifat penting dari vitamin C sebagai antioksidan pertama,
karena mempunyai potensial reduksi yang rendah sehingga radikal askorbil mampu bereaksi dengan radikal biologis dan mereduksi oksidan-
oksidan. Stabilitas dan reaktivitas yang rendah dari radikal askorbil, yang terbentuk ketika askorbat yang menangkap SOR dan senyawa nitrogen
yang reaktif Silalahi, 2006. 3 β karoten
Senyawa karotenoid bekerja sebagai antioksidan, yakni penangkap radikal bebas, terutama radikal peroksil dan hidroksil maupun oksigen
singlet. Sebagai antioksidan, beta karoten memperlambat fase inisiasi. Senyawa ini lebih efektif sebagai antiokisdan biologis terutama pada
bagian yang memiliki tekanan partial oksigen rendah Silalahi, 2006. b. Antioksidan sintetik
Antioksidan sintetik merupakan antiokisdan yang dibuat di pabrik untuk tujuan tertentu misalnya untuk mengawetkan makanan. Sebagai contoh dari
senyawa antiokisdan sintetik adalah BHA Butil Hidroksi Anisol, BHT Butil hidroksi toluena dan TBHQ Tersier Butil Hidro Quinon . Namun saat ini
penggunaan dari antiokisdan bautan mulai dibatasi penggunaannya karena dapat menimbulkan penyakit seperti kanker, asma, urtikaria, dsb Race, 2009.
3. Penggolongan antioksidan
Berdasarkan mekanisme kerjanya , antioksidan digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu antioksidan primer, sekunder, dan tersier.
a. Antioksidan primer Antioksidan primer meliputi enzim superoksida dismutase SOD ,
katalase, dan glutation peroksidase GSH-Px. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan primer, apabila dapat memberikan atom hydrogen secara tepat kepada
senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil.sebagai antioksidan, enzim-enzim tersebut
menghambat pembentukan radikal bebas, dengan cara memutus rekasi berantai polimerisasi, kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil Winarsi,
2007. b. Antioksidan sekunder
Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenus atau non enzimatis. Antioksidan dalam kelompok ini juga disebut sistem pertahanan .
Dalam sistem pertahanan ini, terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal atau dirusak pembentukannya. Pengkelatan metal
terjadi dalam cairan ekstraseluler. Antioksidan non-enzimatis dapat berupa komponen-nutrisi dan komponen nutrisi dari sayuran dan buah-buahan. Kerja
sistem antioksidan non enzimatik, yaitu dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dan radikal bebas atau dengan cara menangkapnya. Akibatnya, radikal
bebas tidak akan bereaksi dengan komponen seluler. Antioksidan sekunder meliputi vitamin E, vitamin C, flavonoid Winarsi, 2007.
c. Antioksidan tersier Kelompok antioksidan tersier meliputi enzim DNA repair dan metionin
sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi sebagai perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang terinduksi
senyawa radikal bebas dicirikan dengan rusaknya single dan double strand, baik gugus non-basa maupun basa Winarsi, 2007.
4. Metode uji aktivitas antiokisdan
a. Metode DPPH Salah satu metode yang digunakan untuk pengujian aktivitas antioksidan
suatu bahan adalah dengan menggunakan radikal bebas DPPH. DPPH adalah radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokasi
elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak aktif sebagaimana radikal bebas yang lain. Proses delokalisasi ini ditunjukkan dengan
adanya warna ungu violet pekat yang dapat dikaraterisasi pada absorbansi Molyneux, 2004.
Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan prinsip spektrofotometer. Senyawa DPPH akan berwarna ungu pada panjang
gelombang 517 nm. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya
untuk berikatan dengan DPPH membentuk DPPH tereduksi,ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu menjadi kuning Molyneux, 2004. Struktur
DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan adalah sebagai berikut:
O
2
N NO
2
NO
2
N N
+ DH
O
2
N NO
2
NO
2
N N
+ D
H
Gambar 3. Reaksi DPPH dengan senyawa antioksidan
b. Metode CUPPRAC Metode pengukuran aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode
Cupprac menggunakan bahan bis neurokoprin tembaga II sebagai pewarna kromogenik. Pereaksi bis neurokoprin tembaga II yang berwarna biru akan
mengalami reaksi reduksi setelah senyawa yang berpotensi sebagai antiokisdan ditambahkan ke dalamnya dan akan mengakibatkan terbentuknya warna kuning
dari hasil reaksi reduksi menjadi bentuk bis neurokoprin tembaga I. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 453,4 nm Widyastuti., 2010.
c. Metode FRAP Metode pengujian antiokisdan dengan metode FRAP menggunakan
kompleks besi ligan 2,4,6 –tripiridil –triazin sebagai pereaksi. Senyawa kompleks
ini memiliki warna biru akan berfungsi sebagai zat yang melakukan pengoksidasi dengan adanya senyawa antioksidan dan akan mengalami reaksi reduksi yang
menghasilkan produk yang berwarna kuning pada suasana asam .Pengukuran kemudian dilakukan pada panjang gelombang 598 nm. Metode pengujian ini
harus dilakukan apabila senyawa antioksidan dapat mereduksi Fe III TPTZ pada
kondisi reaksi secara termodinamika dan memiliki laju reaksi yang cukup cepat Widyastuti, 2010.
Dari ketiga metode pengujian antioksidan yang ada, peneliti memilih menggunakan pengujian dengan metode DPPH karena metode ini lebih praktis
dibandingkan dengan menggunakan pengujian aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode yang lain.
E. Radikal Bebas 1. Pengertian radikal bebas
Radikal bebas merupakan suatu atom ataupun gugus yang memiliki satu ataupun lebih elektron yang tak berpasangan. Karena jumlah elektron ganjil,
sehingga tidak semua elektron dapat berpasangan. Meskipun suatu radikal bebas tidak bermuatan positif atau negatif, spesi ini sangat reaktif karena adanya
elektron tidak berpasangan. Suatu radikal bebas biasanya dijumpai sebagai zat antara yang tak dapat diisolasi usia pendek, sangat reaktif, dan berenergi tinggi
Fessenden and Fessenden, 1992.
2. Kerusakan sel akibat radikal bebas
Radikal oksigen dan turunannya dapat mematikan sel. Radikal hidroksil menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap protein, DNA, lemak membran yang
mengandung lebih dari satu ikatan rangkap pada rantai hidrokarbon, dan komponen sel lain. Protein, membran, karbohidrat dan asam nukleat dapat
menjadi rusak karena akibat radikal bebas oksigen. Kerusakan radikal bebas ini diperkirakan berperan menimbulkan berbagai macam penyakit. Pada protein,
asam amino prolin, hisitidin, arginin, sistein, dan metionin rentan terhadap serangan radikal hidroksil dan kerusakan oksidatif. Oksidasi asam amino dalam
protein menimbulkan fragmentasi protein, pembentukan ikatan silang dan agregrasi Marks, Momeji, and Moghaddam, 1996.
3. Pembentukan radikal bebas
Proses oksidasi merupakan proses yang meyebabkan atom mengalami peningkatan jumlah ikatan dengan oksigen atau penurunan jumlah ikatan dengan
hidrogen atau kehilangan elektron. Oksigen merupakan molekul unsur memiliki konfigurasi elektron dwiradikal. Reaksi terbentuknya radikal bebas terdiri dari 3
tahap yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasiCairns, 2004. a. Inisiasi
Pada tahap ini terjadi pembelahan fisi homolitik ikatan kovalen di dalam molekul obat dan menghasilkan radikal bebas. Sumber energi pada proses
ini berasal dari cahaya, baik cahaya ultraviolet maupun cahaya tampak yang mengenai sampel. Cahaya dengan panjang gelombang ini cukup energetik untuk
memecah pasangan elektron dalam suatu ikatan kovalen dan menghasilkan dua radikal Cairns, 2004.
b. Propagasi Propagasi meruapkan reaksi kimia yang utama. Pada langkah ini
radikal bebas bereaksi bersama-sama dan menghasilkan lebih banyak lagi spesies yang berekasi. Pada oksidasi, tahap propagasi ini melibatkan pembentukan
peroksida dan hidroperoksida. Hidroperoksida dapat mengalami dekomposisi
lebih lanjut dan menghasilkan aldehid serta keton yang memiliki berat molekul kecil Cairns, 2004.
c. Terminasi Radikal bebas reaktif bergabung bersama membentuk ikatan kovalen,
dan secara efektif proses reaksi rantai dan mengahsilkan senyawa yang stabil Cairns, 2004.
4. Radikal bebas dalam tubuh
Radikal bebas juga mucul di dalam proses fungsi normal di dalam sel. Proses metabolisme memerlukan banyak reaksi kimia yang melibatkan aksi dari
radikal bebas, sebagai contoh adalah penggabungan rantai-rantai asam amino polimerisasi untuk membentuk protein atau polimerisasi dari molekul glukosa
menjadi polisakarida menjadi glikogen,melibatkan aksi radikal bebas. Dalam proses metabolisme juga diproduksi radikal bebas yang penting dan berpotensi
bahaya seperti radikal peroksida dan hidroksil Youngson,1998. Bahaya radikal bebas dalam tubuh telah penelitian yang menggunakan ikan kerapu yang diinduksi
dengan radikal bebas. Radikal bebas juga dapat menyebabkan berbagai macam penyakit misalnya pada penyakit Parkinson, kerusakan disebabkan akibat
pembentukan radikal bebas oksigen yang berlebihan atau berkurangnya kemampuan inaktivasi radikal bebas di dalam inti ganglion basal. Karena nukleus
kaudatus striatum tersebut juga berperan dalam fungsi emosi dan kognitif, defisiensi sintesis neurotransmitter yang disebabkan oleh kerusakan sel yang
dicetuskan oleh radikal oksigen pada nukleus ini Mark, et al, 1996.
F. Metode Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan senyawa kimia yang terdapat pada tanaman atau hewan ataupun komponen lain dengan menggunakan pelarut
yang sesuai. Senyawa kimia yang didapatkan dari proses ekstraksi merupakan campuran dari hasil metabolit ataupun senyawa lain yang terdapat pada tanaman.
Pada tanaman merupakan sumber senyawa fenolik yang cukup banyak, proses ekstraksi untuk mendapatkan senyawa fenolik ini tergantung dari berat molekul,
polaritas konsentrasi, jumlah gugus hidroksil dan cincin aromatik. Di dalam sampel terdapat berbagai variasi struktur dari senyawa fenolik itu sendiri,
misalnya terdapat flavonoid, asam fenolat, antosianin dan proantosianin, oleh karena itu diperlukan metode ekstraksi yang tepat Khoddami, Wilkes,and
Roberts,2013. Pemilihan pelarut pada proses ekstraksi sangat tergantung dari sifat fisika
kimia bahan aktif yang terdapat dalam sampel tanaman. Pemilihan pelarut yang baik untuk proses ekstraksi meliputi tidak bersifat toksik, mudah diuapkan pada
suhu yang rendah, dapat mengawetkan hasil ekstraksi, tidak mengakibatkan kerusakan pada senyawa yang terdapat dalam sampel. Faktor yang cukup penting
untuk pemilihan pelarut adalah jumlah senyawa fitokimia yang dapat diekstrak, lama proses ekstraksi, keberagaman jumlah senyawa aktif yang dapat diekstraksi,
meskipun dalam proses ekstrkasi terdapat pelarut yang masih sisa, pelarut tersebut harus tidak toksik dan tidak mengganggu dalam proses pengukuran selanjutnya,
pemilihan pelarut tergantung dari senyawa yang akan diekstrak Tiwari, Kumar , Kaur, and Kaur, 2011.
Pada penelitian ini metode ekstraksi yang digunakan adalah dengan menggunakan metode maserasi karena tidak dilakukan pemanasan dengan
maserasi sehingga dapat digunakan untuk mengestraksi senyawa yang bersifat termostabil. Metode maserasi dilakuakn dengan cara mencampurkan serbuk
dengan pelarut yang sesuai sampai pada waktu beberapa hari dan kemudian sampai semua senyawa yang dituju dalam sampel dapat terekstraksi. Metode
maserasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan pelarut etanol 70 karena dengan konsentrasi etanol 70 dapat mendapatkan senyawa aktif
bioflavonoid yang tinggi dibandingkan dengan menggunakan etanol yang murni. Hal ini disebabkan karena etanol 70 terdiri dari 30 kandungan air sehingga
mengakibatkan kepolaran dari pelarut akan meningkat sehingga akan mempermudah dalam proses ekstraksi, etanol 70 akan mengakibatkan penetrasi
ke dalam membran seluler untuk mengekstraksi bahan material intraseluler. Alasan lain digunakan pelarut etanol adalah tidak toksik dan lebih aman
dibandingkan dengan pelarut metanol Tiwari, et al, 2011 . Penelitian ini tidak menggunakan penyarian dengan alat Sokletasi karena
teknik ini diperlukan dengan melakukan pemanasan untuk sampel sampai 90 C
meskipun untuk melakukannya hanya diperlukan beberapa jam saja dibandingkan dengan metode maserasi yang memerlukan hingga beberapa hari. Senyawa
fenolik meruapakan senyawa yang bersifat termolabil sehingga bila dilakukan dengan penyarian dengan alat Sokletasi akan mengakibatkan rusaknya senyawa
fenolik yang menjadi target utama dalam proses ekstraksi Khoddami, et al, 2013. Sedangkan bila digunakan dengan metode perkolasi membutuhkan lebih
banyak cairan pelarut yang digunakan dibandingkan dengan menggunakan metode maserasi karena pelarut tersebut terus-menerus akan dimasukkan ke dalam
perkolator sampai semua bahan metabolit sekunder tersebut sudah tersari semua dan juga harus selalu diguankan pelarut yang baru sehingga dirasakan kurang
efisien dibandingkan dengan metode maserasi Tiwari,et al, 2011.
G. Landasan Teori