Pengaruh Pengetahuan, Persepsi dan Motivasi PSK terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru

(1)

PENGARUH PENGETAHUAN PERSEPSI DAN MOTIVASI PSK TERHADAP PEMANFAATAN PELAYANAN KLINIK

IMS/HIV-AIDS DI PUSKESMAS BANDAR BARU

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARINA SITEPU 107032200 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Telah diuji

Pada Tanggal : 26 Juli 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Drs. Heru Santoso, M.S, Ph.d Anggota : 1. Drs. Tukiman, M.K.M

2. drh. Hiswani, M.Kes


(3)

PERNYATAAN

PENGARUH PENGETAHUAN PERSEPSI DAN MOTIVASI PSK TERHADAP PEMANFAATAN PELAYANAN KLINIK

IMS/HIV-AIDS DI PUSKESMAS BANDAR BARU

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dalam acuan naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2012

Marina Sitepu 107032200 / IKM


(4)

ABSTRAK

Puskesmas Bandar Baru merupakan wilayah kerja yang memiliki tempat lokalisasi PSK yang berada di pemukiman masyarakat, sehingga dibentuklah klinik IMS/HIV-AIDS bertujuan untuk mencegah penularan IMS. Pada periode Juni 2011 ditemukan 1 orang terinfeksi HIV dan 2 orang mengalami penyakit menular seksual yaitu sipilis. Periode Januari-Mei 2012 ditemukan 5 orang terinfeksi HIV dan 16 orang menderita sipilis. Peningkatan penderita IMS/HIV disebabkan kunjungan pemeriksaan kesehatan PSK, dari 84 orang hanya 47 orang yang memanfaatkan kunjungan ke Klinik IMS/HIV-AIDS.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh pengetahuan, persepsi dan Motivasi PSK terhadap pemanfaatan pelayanan klinik IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru. Jenis penelitian adalah penelitian survey dengan pendekatan cross sectional. Populasi adalah PSK yang beroperasi di wilayah Puskesmas Bandar Baru sebanyak 84 orang dan seluruh populasi dijadikan sampel penelitian. Pengumpulan data menggunakan wawancara berpedoman kepada kuesioner. Data dianalisis menggunakan

Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan (p=0,006<0,25), persepsi (p=0,064<0,25), dan motivasi PSK (p=0,000<0,25) berpengaruh terhadap pemanfaatan klinik IMS/HIV-AIDS dan motivasi merupakan faktor yang dominan memengaruhi pemanfaatan klinik IMS/HIV-AIDS.

multiple regression logistic.

Disarankan kepada Kepala Dinas Kesehatan Deli Serdang mengusulkan dibentuknya lembaga rehabilitasi bagi PSK terinfeksi HIV/AIDS dan membantu menyediakan fasilitas yang lebih memadai dalam mendukung pelayanan kesehatan reproduksi dan melakukan pelatihan konseling kepada petugas kesehatan dalam meningkatkan sumber daya manusia sebagai konselor yang terlatih untuk memberikan penyuluhan/konseling secara rutin setiap bulan kepada PSK dan muncikari sehingga termotivasi untuk memeriksakan kesehatan reproduksinya. Petugas kesehatan melakukan pendataan bagi PSK yang baru terdaftar sebagai PSK. Membentuk peer group PSK sebagai konselor kesehatan dalam memberikan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi kepada sesama PSK sehingga cakupan kunjungan dapat tercapai.

Kata kunci : Pengetahuan, Persepsi, Motivasi, Pemanfaatan Klinik IMS/HIV-AIDS


(5)

ABSTRACT

Puskesmas (Public Health Center) at Bandar Baru has the working area of the localization of prostitutes which is located in the midst of the settlement; therefore, an IMS/HIV-AIDS clinic is needed to prevent them from the IMS contagion. In the period of June, 2011, there was one person who was infected by HIV, and two people were affected by venereal disease, syphilis. In the period of January until May, 2012, five people were infected by HIV, and 16 people were affected by syphilis. The increase IMS/HIV patients was found by the health workers who visited the localization of prostitutes. Of 84 prostitutes, 47 of them visited the IMS/HIV-AIDS clinic.

The aim of the research was to know and to analyze the influence of knowledge, perception, and motivation of the prostitutes on the health service of the IMS/HIV-AIDS clinic at Puskesmas, Bandar Baru. The type of the research was a survey with cross sectional approach. The population was 84 prostitutes who ‘operate’ at the working area of Puskesmas, Bandar Baru, and all of them were used as the samples. The data were gathered by conducting interviews, based on the questionnaires, and analyzed by using multiple regression logistic tests.

The result of the research showed that knowledge (p=0.006<0.25), perception (p=0.064<0.25), and motivation of the prostitutes (p = 0.000 < 0.25) had influence on the utilization of the IMS/HIV-AIDS clinic and motivation is the dominant factor influencing the utilization of IMS/HIV/AIDS clinic.

The Head of Deli Serdang Health Service is suggested to propose the establishment of rehabilitation institution for the prostitutes infected by HIV/AIDS and help provide the more adequate facility to support the reproductive health service and implement training on counseling for the health workers to improve human resources to be trained councelors to provide extension / counseling routinely every month for the commercial sex workers and the pimps that they are motivated to have their reproductive health checked. The health workers collect the data of the newly registered PSK (commercial sex workers). To establish PSK (commercial sex workers) peer group to play a role as the health counselor in providing information and education on reproductive health to the other PSK that the coverage of visit can be achieved.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberi rahmat dan berkat-Nya sehingga dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”Pengaruh Pengetahuan, Persepsi dan Motivasi PSK terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M&H., M.Sc (CTM)., Sp.A, (K).

2. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Dr. Drs. Surya Utama, M.S atas kesempatan penulis menjadi mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si.


(7)

4. Ketua Komisi Pembimbing Drs. Heru Santoso, M.S, Ph.D dan Anggota Komisi Pembimbing Drs. Tukiman, M.K.M atas segala ketulusannya dalam menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan, dorongan, saran dan perhatian selama proses proposal hingga penulisan tesis ini selesai.

5. Tim Penguji drh. Hiswani, M.Kes dan dr. Yusniwarti Yusad, M.Si yang telah banyak memberikan saran, bimbingan dan perhatian selama penulisan tesis.

6. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang dan Kepala Puskesmas Bandar Baru yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

7. Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Ucapan terima kasih yang tulus saya tujukan kepada orangtua Ayahanda S. Sitepu dan Ibunda T. Br. Ginting serta keluarga besar yang telah memberikan

dukungan moril serta doa dan motivasi selama penulis menjalani pendidikan. 9. Teristimewa buat Suami Tercinta Ir. Ramlan Sembiring, dan Ananda Elsa Aprillia

Sembiring Maha, Gilberth Sembiring Maha dan Egidia Putri Teresia Sembiring Maha atas dorongan materi dan semangat hingga penulis termotivasi untuk menyelesaikan studi S2 ini.


(8)

10. Teman-teman seperjuangan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, atas bantuannya dan memberikan semangat dalam penyusunan tesis.

Akhirnya saya menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Agustus 2012 Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

Marina Sitepu, lahir pada tanggal 15 Apirl 1975 di Martelu Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara, beragama Kristen Protestan, bertempat tinggal di Jalan Karet 15 No. 10 Perumnas Simalingkar Medan. Menikah dengan Ir. Ramlan Sembiring Maha pada tanggal 11 September 1998 dan dikarunia 1 orang putra dan 2 orang putri, yaitu Gilberth Ravafi Sembiring Maha, Elsa Aprillia Sembiring Maha dan Egidia Putri Teresia Sembiring Maha.

Pendidikan, SDN No.060894 Medan Baru (1988), SMPN 8 Medan (1991). SPK Pemda Kabanjahe (1994). D-1 Kebidanan Kesdam I Binjai (1995), D-III Kebidanan Elisabeth Medan (2002). D-IV Bidan Pendidik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2004).

Penulis memulai karir sebagai bidan pegawai tidak tetap di Puskesmas Bandar Baru tahun 2005. Penulis menjadi pegawai negeri sipil tahun 2008 dan bekerja sebagai staf di Puskesmas Bandar Baru sampai sekarang.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Hipotesis ... 10

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Infeksi Menular Seksual (IMS) ... 11

2.1.1 Definisi IMS ... 11

2.1.2 Jenis Penyakit IMS ... 11

2.1.3 Penatalaksanaan IMS ... 13

2.1.4 Komplikasi Penyakit Menular Seksual ... 14

2.2 Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immuno-Deficiency Syndrome 2.2.1 (HIV/AIDS)... 15

Definisi HIV/AIDS 2.2.2 ... 15

Masa Inkubasi HIV/AIDS 2.2.3 ... 16

Cara Penularan HIV/AIDS 2.2.4 Cara Pemeriksaan HIV ... 18

... 16

2.2.5 Pencegahan HIV/AIDS 2.2.6 ... 19

Penanggulangan HIV/AIDS 2.3 Klinik IMS/HIV-AIDS ... 20

... 19

2.3.1 Strategi Klinik dalam Pengendalian IMS/HIV-AIDS ... 20

2.3.2 Strategi Dasar Intervensi Khusus untuk Klinik IMS/ HIV-AIDS di Indonesia ... 24

2.3.3 Pelayanan Kesehatan Klinik IMS/HIV-AIDS ... 25

2.3.4 Faktor–faktor yang Memengaruhi Pelayanan Kesehatan Klinik IMS/HIV-AIDS ... 32


(11)

2.4 Pekerja Seks Komersial (PSK) ... 34

2.5 Pengetahuan ... 35

2.5.1 Definisi Pengetahuan ... 35

2.5.2 Tingkatan Pengetahuan ... 36

2.6 Persepsi ... 39

2.6.1 Definisi 2.6.2 Reaksi Persepsi terhadap Stimulus... 40

Persepsi ... 39

2.6.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Persepsi ... 40

2.6.4 Obyek Persepsi ... 44

2.7 Motivasi ... 44

2.8 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan ... 47

2.9 Landasan Teori ... 49

2.10 Kerangka Konsep ... 53

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 54

3.1 Jenis Penelitian ... 54

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 54

3.3 Populasi dan Sampel ... 55

3.3.1 Populasi ... 55

3.3.2 Sampel ... 55

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 55

3.4.1 Validitas dan Reliabilitas ... 56

3.5 Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1 Independen Variabel ... 58

... 58

3.5.2 Dependen Variabel ... 59

3.6 Metode Pengukuran ... 59

3.6.1 Pengukuran Variabel Independen ... 59

3.6.2 Pengukuran Variabel Dependen ... 61

3.7 Metode Analisis Data ... 62

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 63

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 63

4.2 Hasil Penelitian ... 64

4.2.1. Analisa Univariat ... 64

4.2.1.1. Karakteristik Pekerja Seks Komersial ... 64

4.2.1.2. Distribusi Pengetahuan Responden ... 66

4.2.1.3. Distribusi Persepsi Responden ... 68

4.2.1.4. Distribusi Motivasi Responden ... 73

4.2.1.5. Distribusi Pemanfaatan Klinik IMS/HIV-AIDS ... 78

4.2.2. Analisa Bivariat ... 80 4.2.2.1. Hubungan Pengetahuan dengan Pemanfaatan


(12)

Baru Kabupaten Deli Serdang ... 81

4.2.2.2. Hubungan Persepsi dengan Pemanfaatan Klinik IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang ... 81

4.2.2.3. Hubungan Motivasi dengan Pemanfaatan Klinik . IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang ... 82

4.2.3. Analisa Multivariat... 83

BAB 5. PEMBAHASAN ... 85

5.1. Pengaruh Pengetahuan PSK terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang Balita ... 85

5.2. Pengaruh Persepsi PSK terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang Balita ... 88

5.3. Pengaruh Motivasi PSK terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang Balita ... 90

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

6.1 Kesimpulan ... 93

6.2 Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 96


(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman 3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Butir Instrumen Variabel ... 57 3.2 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian ... 61 4.1. Distribusi Karakteristik Pekerja Seks Komersil di Puskesmas

Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang ... 65 4.2 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Pengetahuan

di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang ... 67 4.3. Distribusi Kategori Pengetahuan Responden di Puskesmas

Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang ... 68 4.4. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Persepsi

Faktor Internal di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli

Serdang ... 70 4.5. Distribusi Kategori Persepsi Faktor Internal Responden di

Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang ... 71 4.6. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Persepsi

Faktor Eksternal di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli

Serdang ... 72 4.7. Distribusi Kategori Persepsi Faktor Eksternal Responden di

Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang ... 73 4.8. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Motivasi

berdasarkan Motif di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli

Serdang ... 74 4.9. Distribusi Kategori Motivasi Berdasarkan Motif di Puskesmas

Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang ... 74 4.10. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Motivasi

Berdasarkan Harapan di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten


(14)

4.11. Distribusi Kategori Motivasi Berdasarkan Harapan di

Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang ... 76 4.12. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Motivasi

Berdasarkan Insentif di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli

Serdang ... 77 4.13. Distribusi Kategori Motivasi Berdasarkan Insentif di Puskesmas

Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang ... 77 4.14. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Pemanfaatan

Klinik IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten

Deli Serdang ... 79 4.15. Distribusi Kategori Pemanfaatan Klinik IMS/HIV-AIDS di

Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang ... 80 4.16. Hubungan Pengetahuan dengan Pemanfaatan Klinik

IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang ... 81 4.17. Hubungan Persepsi dengan Pemanfaatan Klinik IMS/HIV-AIDS

di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang ... 82 4.18. Hubungan Motivasi dengan Pemanfaatan Klinik

IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang ... 83 4.19. Hasil Uji Regresi Logistik Berganda Pengaruh Pengetahuan,

Persepsi dan Motivasi PSK terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru Kabupaten


(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.1. Teori Green Anderson (1968), Health Belief Model (HBM) (dalam

Rosenstock, 1974) ... 52 2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 53


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ... 98

2. Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang ... 99

3. Surat telah Selesai Meneliti dari Dinas Kesehatan Kebupaten Deli Serdang ... 100

4. Kuesioner Penelitian ... 101

5. Pengolahan Data ... 108


(17)

ABSTRAK

Puskesmas Bandar Baru merupakan wilayah kerja yang memiliki tempat lokalisasi PSK yang berada di pemukiman masyarakat, sehingga dibentuklah klinik IMS/HIV-AIDS bertujuan untuk mencegah penularan IMS. Pada periode Juni 2011 ditemukan 1 orang terinfeksi HIV dan 2 orang mengalami penyakit menular seksual yaitu sipilis. Periode Januari-Mei 2012 ditemukan 5 orang terinfeksi HIV dan 16 orang menderita sipilis. Peningkatan penderita IMS/HIV disebabkan kunjungan pemeriksaan kesehatan PSK, dari 84 orang hanya 47 orang yang memanfaatkan kunjungan ke Klinik IMS/HIV-AIDS.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh pengetahuan, persepsi dan Motivasi PSK terhadap pemanfaatan pelayanan klinik IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru. Jenis penelitian adalah penelitian survey dengan pendekatan cross sectional. Populasi adalah PSK yang beroperasi di wilayah Puskesmas Bandar Baru sebanyak 84 orang dan seluruh populasi dijadikan sampel penelitian. Pengumpulan data menggunakan wawancara berpedoman kepada kuesioner. Data dianalisis menggunakan

Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan (p=0,006<0,25), persepsi (p=0,064<0,25), dan motivasi PSK (p=0,000<0,25) berpengaruh terhadap pemanfaatan klinik IMS/HIV-AIDS dan motivasi merupakan faktor yang dominan memengaruhi pemanfaatan klinik IMS/HIV-AIDS.

multiple regression logistic.

Disarankan kepada Kepala Dinas Kesehatan Deli Serdang mengusulkan dibentuknya lembaga rehabilitasi bagi PSK terinfeksi HIV/AIDS dan membantu menyediakan fasilitas yang lebih memadai dalam mendukung pelayanan kesehatan reproduksi dan melakukan pelatihan konseling kepada petugas kesehatan dalam meningkatkan sumber daya manusia sebagai konselor yang terlatih untuk memberikan penyuluhan/konseling secara rutin setiap bulan kepada PSK dan muncikari sehingga termotivasi untuk memeriksakan kesehatan reproduksinya. Petugas kesehatan melakukan pendataan bagi PSK yang baru terdaftar sebagai PSK. Membentuk peer group PSK sebagai konselor kesehatan dalam memberikan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi kepada sesama PSK sehingga cakupan kunjungan dapat tercapai.

Kata kunci : Pengetahuan, Persepsi, Motivasi, Pemanfaatan Klinik IMS/HIV-AIDS


(18)

ABSTRACT

Puskesmas (Public Health Center) at Bandar Baru has the working area of the localization of prostitutes which is located in the midst of the settlement; therefore, an IMS/HIV-AIDS clinic is needed to prevent them from the IMS contagion. In the period of June, 2011, there was one person who was infected by HIV, and two people were affected by venereal disease, syphilis. In the period of January until May, 2012, five people were infected by HIV, and 16 people were affected by syphilis. The increase IMS/HIV patients was found by the health workers who visited the localization of prostitutes. Of 84 prostitutes, 47 of them visited the IMS/HIV-AIDS clinic.

The aim of the research was to know and to analyze the influence of knowledge, perception, and motivation of the prostitutes on the health service of the IMS/HIV-AIDS clinic at Puskesmas, Bandar Baru. The type of the research was a survey with cross sectional approach. The population was 84 prostitutes who ‘operate’ at the working area of Puskesmas, Bandar Baru, and all of them were used as the samples. The data were gathered by conducting interviews, based on the questionnaires, and analyzed by using multiple regression logistic tests.

The result of the research showed that knowledge (p=0.006<0.25), perception (p=0.064<0.25), and motivation of the prostitutes (p = 0.000 < 0.25) had influence on the utilization of the IMS/HIV-AIDS clinic and motivation is the dominant factor influencing the utilization of IMS/HIV/AIDS clinic.

The Head of Deli Serdang Health Service is suggested to propose the establishment of rehabilitation institution for the prostitutes infected by HIV/AIDS and help provide the more adequate facility to support the reproductive health service and implement training on counseling for the health workers to improve human resources to be trained councelors to provide extension / counseling routinely every month for the commercial sex workers and the pimps that they are motivated to have their reproductive health checked. The health workers collect the data of the newly registered PSK (commercial sex workers). To establish PSK (commercial sex workers) peer group to play a role as the health counselor in providing information and education on reproductive health to the other PSK that the coverage of visit can be achieved.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat individu rentan terhadap infeksi HIV. Cara penularan penyakit IMS yaitu melalui hubungan seksual dan diikuti dengan perilaku yang menempatkan individu dalam risiko terinfeksi HIV, seperti mereka berperilaku bergantian pasangan seksual, dan tidak konsisten dalam menggunakan kondom (Badan Narkotika Nasional, 2004).

Masalah HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius, ini terlihat dari penyebaran penyakit yang sangat cepat tanpa mengenal batas negara dan masyarakat di dunia. Epidemi HIV/AIDS sudah menjadi efek global sehingga World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa penyakit ini sebagai wabah yang paling mematikan sepanjang sejarah.

Perkembangan penyakit HIV/AIDS di dunia pada saat ini telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Sejak awal epidemi HIV/AIDS sampai sekarang sekitar 35 juta orang telah terinfeksi HIV/AIDS. Sepuluh negara terbanyak terinfeksi HIV/AIDS antara lain: Afrika Selatan 5,7 juta orang, Nigeria 3,3 juta orang, India 2,4 juta orang, Kenya 1,5 juta orang, Mozambik 1,4 juta orang, Tanzania 1,4 juta


(20)

orang, Zimbabwe 1,2 juta orang, Uganda 1,2 juta orang, dan Amerika Serikat 1,2 juta orang (Wiratama, 2012).

Data laporan Badan AIDS PBB tahun 2009 telah menyebutkan lebih dari 1,7 juta perempuan di Asia hidup dengan HIV, dan sekitar 90% perempuan tertular HIV dari suami/pasangan seksual tersebut yaitu pada saat melakukan hubungan seksual dalam jangka panjang (Badan AIDS PBB, 2009). Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di Asia Tenggara yang hampir setiap tahunnya mengalami peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS. Total jumlah kasus AIDS dari 1 April s.d 30 Desember 2010 adalah 24.131, pada laki-laki 17.626 orang dan 6.416 orang pada perempuan, dengan jumlah yang meninggal sebanyak 4.539 orang (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2010).

Program Kemenkes RI dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia sejak 19 tahun terakhir ini menyebutkan, adanya penurunan jumlah kasus HIV baru tahun 2011 dibandingkan tahun 2010. Sedangkan jumlah kumulatif kasus HIV sejak tahun 1987 sampai dengan bulan Desember 2011 tercatat sebanyak 76.879 kasus HIV dan AIDS sebanyak 29.879 kasus. Kasus baru HIV mengalami penurunan dari tahun 2011 dibandingkan tahun 2010, yaitu dari 21.591 kasus (2010) menjadi 21.031 kasus (2011). Sedangkan jumlah kumulatif kasus AIDS yaitu 5.744 kasus (2010) menurun menjadi 4.162 kasus (WHO, 2010).


(21)

Proporsi kasus AIDS di Indonesia tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun yaitu 11.438 orang, 30-39 tahun 7.553 orang, 40-49 tahun 2.268 orang, 50-59 tahun 628 orang dan yang berumur lebih dari 60 tahun sebanyak 49 orang. Cara penularan yang terbanyak adalah melalui hubungan heteroseksual yaitu 12.717 orang, jarum suntik 9.242 orang dan 661 diantaranya adalah perempuan, penularan melalui homoseksual sebanyak 724 orang, perinatal 628 orang, tranfusi darah 48 orang dan tidak diketahui sebanyak 772 orang. Dengan infeksi oportunistik yang menyertai yaitu TBC 11.836 orang dan diare sebanyak 7.277 orang (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2010).

Berdasarkan data Komisi penanggulangan AIDS Nasional Daerah Sumatera Utara yang bersumber dari Dinas Kesehatan provinsi Sumatera Utara 2009, disebutkan jumlah penderita AIDS mulai tahun 1994 sampai bulan April 2009 sebanyak 872 kasus dimana Kabupaten Deli Serdang terbanyak kedua setelah Medan sebesar 66 kasus. Jumlah Penderita HIV (+) di Sumatera Utara mulai Tahun 1992 sampai bulan April 2009 sebanyak 808 kasus, dimana Kabupaten Deli Serdang merupakan daerah terbanyak kedua setelah Medan sebesar 76 kasus. (KPA, 2010). Peningkatan kasus tersebut menuntut adanya upaya-upaya yang nyata untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS di kalangan masyarakat terutama para pekerja seks komersial.

Daerah Tanjung Balai Karimun tercatat sejak tahun 1995 ditemukan hanya 1% pekerja seks yang terinfeksi, sejak tahun 2000 kasus HIV/AIDS meningkat menjadi 8,3% (Parikesit, 2008). Data dari Departemen Kesehatan menunjukkan


(22)

peningkatan kasus HIV di antara pekerja seks, misalnya di Provinsi Irianjaya prevalensi pekerja seks yang positif HIV/AIDS adalah 26,5%, Jawa Barat 5,5% dan DKI Jakarta 3,36% (Depkes RI, 2006).

Penderita HIV positif amat sukar untuk dibedakan dengan manusia sehat, selama tidak muncul gejala penyakit seperti infeksi oportunistik. Ketika seorang penderita HIV positif datang dirawat di rumah sakit, klinik atau puskesmas, pasien tersebut rata-rata dirawat di ruang rawat dengan penyakit infeksi oportunistik.

Orang yang mengidap AIDS amat mudah tertular oleh berbagai macam penyakit karena sistem kekebalan tubuh penderita telah menurun. HIV/AIDS dapat menular ke orang lain melalui: hubungan seksual (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindungi (tanpa kondom) dengan orang yang telah terinfeksi HIV, jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan dipakai bergantian, mendapatkan transfusi darah yang mengandung virus HIV dan ibu penderita HIV Positif kepada bayinya ketika dalam kandungan, saat melahirkan atau melalui air susu ibu (ASI) (Parikesit, 2008)

Selanjutnya Parikesit (2008) menambahkan bahwa kelompok rawan mempunyai risiko besar tertular HIV penyebab AIDS yaitu orang yang berperilaku seksual dengan berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom, pengguna narkoba suntik yang menggunakan jarum suntik secara bersama-sama dan pasangan seksual pengguna narkoba suntik dan bayi yang ibunya positif HIV.


(23)

Penularan HIV/AIDS juga dapat ditularkan melalui hubungan seksual dengan Pekerja Seks Komersil. Menurut Daili (2007), PSK adalah kelompok resiko tinggi untuk terinfeksi IMS. Menurut Kartono (2003), PSK adalah suatu pekerjaan atau profesi dengan melacurkan diri, penjualan diri dengan jalan memperjual belikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan bayaran. Alasan komersial mereka siap melakukan apa saja untuk kepuasan pelanggan sampai pada perilaku seks yang tidak sehat, sehingga kelompok ini berisiko tinggi untuk terkena penyakit infeksi dan HIV/AIDS (Djoerban, 2000).

Situasi yang dihadapi penderita HIV/AIDS sangat kompleks, selain harus menghadapi penyakitnya sendiri, mereka juga menghadapi stigma dan diskriminasi, sehingga mengalami masalah pada fisik, psikis dan sosial sehingga diperlukan intervensi komprehensif (medikamentosa, nutrisi, dukungan sosial maupun psikoterapi/konseling). Voluntry Counseling and Test (VCT) salah satu pilihan terapi untuk mereka yang merasa mendekati kematian, terisolasi, maupun mengalami masalah psikis lainnya sehingga akan mengalami keselarasan/harmoni internal maupun eksternal. Pada terapi ini penderita HIV/AIDS diarahkan untuk mengembangkan diri dengan perubahan kesadaran agar nantinya dapat mengelola emosinya secara mandiri sehingga dapat melakukan aktivitas seperti layaknya orang sehat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya (Panduan VCT, 2003).


(24)

Hasil penelitian Purba (2009) di Puskesmas Kabanjahe bahwa variabel yang berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan klinik IMS adalah karakteristik demografi (umur, jenis kelamin dan status perkawinan), struktur sosial (pendidikan, pekerjaan dan pendapatan) dan motivasi (p<0,05). Besarnya pengaruh variabel bebas secara serentak adalah 62,7%. Variabel yang paling berpengaruh adalah motivasi dengan koefisien (β) 0,360).

Perilaku kesehatan merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan status sehat atau sakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Secara umum perilaku dapat diartikan sebagai hasil interaksi dari individu dengan lingkungan sekitarnya (Depkes RI, 2003). Menurut Robbin (2003) ada beberapa komponen yang membentuk perilaku antara lain pengetahuan, persepsi dan motivasi.

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya (Notoatmodjo, 2003). Lebih lanjut Hasibuan (2003) mengatakan bahwa teori motivasi mempunyai sub variabel yaitu motif, harapan dan insentif.

Menurut Green dalam Notoadmojo (2007), kesehatan seseorang itu dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (nonbehavior causes). Selanjutnya perilaku ini di tentukan oleh 3 faktor


(25)

utama yaitu; faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors) dan faktor penguat (reinforcing factors). Faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai– nilai, norma sosial dan sebagainya. Faktor pemungkin (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, akses serta tersedia atau tidaknya fasilitas–fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat–obatan, alat kontrasepsi, dan sebagainya. Faktor penguat (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau masyarakat, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Perilaku kesehatan juga dapat ditinjau dari Model Andersen (1968), suatu pendekatan konseptual yang banyak digunakan dalam pemanfaatan pelayanan terdiri dari predisposisi keluarga untuk menggunakan jasa pelayanan kesehatan, kemampuan untuk melaksanakannya, dan kebutuhan terhadap jasa pelayanan tersebut. Model Green dalam Notoadmojo (2007) dan Anderson (1968) dapat digunakan untuk menganalisa pemanfaatan pelayanan kesehatan di klinik IMS/HIV-AIDS Puskesmas Bandar Baru.

Hasil survei awal dari Puskesmas Bandar Baru diperoleh bahwa Klinik IMS/VCT didirikan pada bulan Januari 2008, kemudian pada tahun 2009 sampai dengan 2010 tidak aktif, dan kembali aktif pada tahun 2011. Data PSK periode Juli tahun 2011 berjumlah 84 orang, dan hanya 47 orang yang memanfaatkan kunjungan ke Klinik IMS/HIV-AIDS dan ditemukan 1 orang terinfeksi HIV dan 2 orang mengalami penyakit menular seksual yaitu sifilis. Hasil Evaluasi periode Januari


(26)

sampai Mei 2012 terdapat peningkatan penderita HIV/AIDS menjadi 5 orang dan penyakit sifilis 16 orang. PSK yang terinfeksi HIV/AIDS sebelum sudah bekerja 3-4 tahun di Pulau Jawa dan Kota Medan serta bekerja di lokalisasi Bandar Bandar Baru di atas 6 bulan. Untuk mengantisipasi penularan IMS/HIV-ADIS, Puskesmas Bandar Baru memiliki program kegiatan antara lain: melakukan penyuluhan-penyuluhan untuk meningkatkan wawasan/pengetahuan PSK, sosialisasi tentang perilaku menggunakan kondom, berganti-ganti pasangan menyebabkan PSK risiko tinggi mengalami IMS/HIV-AIDS dan membagikan kondom gratis, dan kunjungan ke lokalisasi PSK dan melakukan koordinasi dengan membentuk Penafisan yang terdiri dari lintas sektoral yaitu Camat, TNI, Tokoh-tokoh masyarakat. Namun tokoh-tokoh masyarakat yang diundang kurang berpartisipasi dalam mendamping Tim Penafisan tersebut.

Walaupun upaya-upaya telah dilakukan oleh Puskesmas Bandar Baru namun kunjungan yang dilakukan para PSK yang pada umum berasal dari pulau Jawa cenderung kurang memanfaatkan klinik IMS/HIV-AIDS. PSK yang melakukan pemerksaan untuk memeriksa kesehatan diri setiap Senin dan Kamis hanya sebagain kecil saja.

Hasil wawancara dengan beberapa PSK pada umumnya mengatakan bahwa PSK sudah lebih dari 6 bulan berada di Lokalisasi Bandar Baru. PSK pada umumnya belum memahami tentang infeksi menular seksual atau HIV/AIDS dan pelayanan kesehatan klinik IMS/HIV-AIDS (47%). PSK memiliki penilaian yang kurang baik tentang adanya klinik IMS/HIV-AIDS (35%). PSK menyatakan bahwa keberadaan


(27)

klinik IMS/HIV-AIDS merupakan klinik hanya untuk memeriksakan penyakit infeksi menular seksual/HIV-AIDS bagi yang sudah menderita saja.

PSK berkeinginan untuk memeriksakan kesehatan dirinya secara teratur untuk mengetahui apakah dirinya terinfeksi penyakit menular seksual. Sebagian lagi menyatakan PSK merasa takut akan kerahasian penyakit yang terdiagnosa mengalami penyakit infeksi menular, sehingga para pelanggan tidak mau lagi untuk memakai jasanya. Demikian juga para muncikari merasa bahwa PSK yang akan melakukan pemeriksaan ke Klinik IMS/HIV-AIDS dapat mengganggu pelanggan-pelanggan yang ingin memakai jasa PSK dan takut jika para PSKnya ketahuan mengalami berbagai penyakit menular seksual sehingga para pelanggan tidak mau kembali lagi. Dalam telaahan pemanfaatan Klinik IMS dan HIV/AIDS oleh Pekerja Seks Komersial (PSK), sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, persepsi dan motivasi mereka sehingga efektifitas klinik IM/HIV-AIDS belum dapat menjaring kunjungan PSK secara optimal dalam upaya mencegahan IMS/HIV-AIDS. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana persepsi dan motivasi PSK dalam memengaruhi pemanfaatan pelayanan klinik IMS/HIV/AIDS di salah satu Puskesmas wilayah Kabupaten Deli Serdang yaitu Puskesmas Bandar Baru Kecamatan Sibolangit.

1.2. Permasalahan

Berdasar latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan diteliti adalah bagaimana pengaruh pengetahuan, persepsi dan motivasi PSK terhadap pemanfaatan pelayanan Klinik IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru.


(28)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh pengetahuan, persepsi dan Motivasi PSK terbadap pemanfaatan pelayanan klinik IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru.

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh pengetahuan, persepsi dan motivasi PSK terhadap pemanfaatan pelayanan klinik IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Memberikan masukan kepada pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang dan Puskesmas Bandar Baru sebagai pertimbangan perumusan kebijakan program kesehatan reproduksi dalam rangka pengembangan mutu Pelayanan Klinik IMS/HIV-AIDS di puskesmas sewilayah Kabupaten Deli Serdang khususnya di Puskesmas Bandar Baru.

2. Sebagai bahan acuan dalam sistem informasi pelayanan Klinik tentang kesehatan reproduksi bagi masyarakat khususnya bagi PSK di wilayah kerja Puskesmas Bandar Baru sehingga memanfaatkan klinik IMS/HIV-AIDS.

3. Sebagai bahan referensi dalam penelitian selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas pelayanan Klinik IMS/HIV-AIDS di wilayah Kabupaten Deli Serdang khususnya di Sibolangit.


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Menular Seksual (IMS)

2.1.1. Definisi IMS

Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang sebagian besar menular lewat hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular. Hubungan seks ini termasuk hubungan seks lewat liang senggama, lewat mulut (oral) atau lewat dubur. IMS juga disebut penyakit kelamin atau penyakit kotor. Namun itu hanya menunjuk pada penyakit yang ada di kelamin. Istilah IMS lebih luas maknanya, karena menunjuk pada cara penularannya. Tanda-tandanya tidak selalu ada di alat kelamin. Tanda-tandanya juga ada di alat penglihatan, mulut, saluran pencernaan, hati,otak dan bagian tubuh lainnya. Contohnya HIV/AIDS dan Hepatitis B yang menular lewat hubungan seks, tetapi penyakitnya tidak bisa dilihat dari alat kelaminnya. Artinya, alat kelaminnya masih tampak sehat meskipun orangnya membawa bibit penyakit-penyakit ini (Depkes RI, 2004).

2.1.2. Jenis Penyakit IMS

IMS ada banyak sekali jenisnya. Beberapa diantaranya yang paling penting adalah : GO atau kencing nanah, Klamidia, Herpes kelamin, Sifilis atau raja singa, Jengger ayam, Hepatitis, dan HIV/AIDS. Tidak semua IMS bisa diobati seperti HIV/AIDS, Herpes, Jenger Ayam dan Hepatitis termasuk jenis-jenis IMS yang tidak bisa disembuhkan. HIV/AIDS termasuk paling berbahaya. HIV/AIDS tidak bisa


(30)

disembuhkan dan merusak kekebalan tubuh manusia untuk melawan penyakit apapun. Akibatnya, orang menjadi sakit-sakitan dan banyak yang meninggal karenanya. Sementara Herpes, sering kambuh dan sangat nyeri kalau kambuh. Pada Herpes, yang diobati cuma gejala luarnya saja, tetapi bibit penyakitnya akan tetap hidup di dalam tubuh selamanya. Hepatitis juga tidak bisa disembuhkan. Walau begitu, ada jenis Hepatitis tertentu yang bisa dicegah dengan imunisasi (Lelyana, 2006).

1. Sifilis

Sifilis ialah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum; sangat kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua anggota tubuh, mempunyai masa laten dan dapat ditularkan dari ibu ke janin (Djuanda, 2008).

a. Gejala Klinis : Stadium I (Sifilis Primer)

Timbul suatu ulkus yang disebut ulkus durum yang mempunyai sifat khusus, antara lain tidak nyeri (indolen), sekitar ulkus teraba keras (indurasi), dasar ulkus bersih dan bewarna merah seperti plak, dan soliter (biasanya hanya 1-2 ulkus). Lokasi ulkus ini pada laki-laki biasanya terdapat pada preputium, ulkus koronarius, batang penis dan skrotum. Pada wanita di labium mayora dan minora, klitoris dan serviks. Ulkus bisa terdapat ekstra genital misalnya pada anus, rektum, bibir, mulut, lidah, tonsil, jari, dan payudara (Barakbah, 2008).


(31)

Stadium II (Sifilis Sekunder)

Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan pustul. Jarang dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis kongenital. Pada sifilis sekunder yang mengalami relaps, lesi sering unilateral dan berbentuk arsiner. Pada kulit kepala dijumpai alopesia yang disebut moth-eaten alopecia yang dimulai pada daerah oksipital (Daili, 2003).

Stadium III (Sifilis Lanjut)

Kecuali gumma, lesi sifilis lanjut berupa endarteritis obliterans pada bagian ujung arteriol dan pembuluh darah kecil yang menyebabkan peradangan dan nekrosis (Daili, 2003). Pross gumma juga terjadi pada laring, paru, gastrointestinal, hepar, dan testis. Pada kardiovaskuler, sifilis III menyebabkan miokarditis, gangguan katup jantung dan aneurisma aorta (Barakbah, 2008).

2.1.3. Penatalaksanaan IMS

Menurut WHO(2003), penanganan pasien infeksi menular seksual terdiri dari dua cara, bisa dengan penaganan berdasarkan kasus(case management) ataupun penanganan berdasarkan sindrom (syndrome management). Penanganan berdasarkan kasus yang efektif tidak hanya berupa pemberian terapi antimikroba untuk


(32)

menyembuhkan dan mengurangi infektifitas mikroba, tetapi juga diberikan perawatan kesehatan reproduksi yang komprehensif. Sedangkan penanganan berdasarkan sindrom didasarkan pada identifikasi dari sekelompok tanda dan gejala yang konsisten, dan penyediaan pengobatan untuk mikroba tertentu yang menimbulkan sindrom.

Penanganan infeksi menular seksual yang ideal adalah penanganan berdasarkan mikrooganisme penyebnya. Namun, dalam kenyataannya penderita infeksi menular seksual selalu diberi pengobatan secara empiris (Murtiastutik, 2008).

Antibiotika untuk pengobatan IMS adalah:

1. Pengobatan gonore: penisilin, ampisilin, amoksisilin, seftriakson, spektinomisin, kuinolon, tiamfenikol, dan kanamisin (Daili, 2007).

2. Pengobatan sifilis: penisilin, sefalosporin, termasuk sefaloridin, tetrasiklin, eritromisin, dan kloramfenikol

3. Pengobatan herpes genital: asiklovir, famsiklovir, valasiklovir 4. Pengobatan klamidia: azithromisin, doksisiklin, eritromisin 5. Pengobatan trikomoniasis: metronidazole (Wells dkk., 2003).

Resisten adalah suatu fenomena kompleks yang terjadi dengan pengaruh dari mikroba, obat antimikroba, lingkungan dan penderita. Menurut Warsa (2004), resisten antibiotika menyebabkan penyakit makin berat, makin lama menderita, lebih lama di rumah sakit, dan biaya lebih mahal.


(33)

2.1.4. Komplikasi Penyakit Menular Seksual

Suatu studi epidemiologi menggambarkan bahwa pasien dengan infeksi menular seksual lebih rentan terhadan HIV. Infeksi menular seksual diimplikasikan sebagai faktor yang memfasilitasi penyebaran HIV (WHO, 2004).

2.2. Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (HIV/AIDS)

HIV (Human Immuno Deficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Virus ini dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia dan menimbulkan kelainan patologi (Zein, 2006).

2.2.1. Definisi HIV/AIDS

AIDS singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome. Acquired artinya didapat bukan penyakit turunan. Immuno berarti sistem kekebalan tubuh. Deficiency artinya kekurangan, sedangkan syndrome adalah kumpulan gejala. Jadi AIDS adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh mudah diserang penyakit lain yang dapat berakibat fatal, padahal penyakit tersebut tidak akan menyebabkan gangguan

yang sangat berarti pada orang yang sistem kekebalan tubuhnya normal. Berkurangnya kekebalan tubuh itu sendiri disebabkan berkurangnya sel limfosit CD4 karena diserang oleh HIV. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya


(34)

berbagai infeksi, baik itu akibat virus, bakteri, parasit, maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik (Zein, 2006).

Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Pertama kali ditemukan pada tahun 1983 oleh Montagnier dari Institute Pasteur Prancis diberi nama Lymphadenopathy Associated Virus dari penderita AIDS dan diberi nama Human T cell Leukaemia Virus type III (HTLV-III). Pada tahun 1996 atas kesepakatan internasional nama virus itu ditetapkan menjadi Human Immunodeficiency Virus (HIV) (WHO, 2004).

Menurut Lembaga Internasional Program PBB mengenai HIV/AIDS (UNAIDS) mengumumkan bahwa di seluruh dunia, setiap 11 detik seorang tewas akibat AIDS dan satu orang tertular virus AIDS setiap enam detik. Penyakit tersebut akan merenggut 68 juta jiwa lagi jika upaya pencegahan tidak ditingkatkan (KPN, 2008).

Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel lymfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh. Sebagai vetikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkannya di antaranya semen, cairan vagina atau serviks, dan darah penderita (WHO, 2004).


(35)

Masa inkubasi AIDS diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat, virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama (WHO, 2004).

2.2.2. Masa Inkubasi HIV/AIDS

Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui:

2.2.3. Cara Penularan HIV/AIDS

1. Transmisi seksual, penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki-laki-laki dengan laki-laki-laki-laki. Senggama berarti kontak seksual penetrasi vaginal, anal (anus/dubur), oral (mulut) antara dua individu. Risiko tertinggi penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak seksual langsung mulut ke penis (zakar) atau mulut ke vagina, merupakan risiko rendah tertular HIV. Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang keluar dan masuk ke dalam tubuh seseorang melalui ”pintu masuknya”, seperti adanya luka kecil pada alat kelamin, mulut, gusi, dan atau penyakit gigi dan mulut yang diderita (Zein, 2006).


(36)

2. Transmisi non seksual, ada dua yaitu transmisi parental yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Dapat juga terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan. Sedangkan transmisi transplasental yaitu penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai risiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan, dan sewaktu menyusui. Penularan melalui Air Susu Ibu (ASI) termasuk penularan dengan risiko rendah. Selain itu juga penularan HIV/AIDS dapat melalui transfusi darah/produk darah yang sudah tercemar.

2.2.4. Cara Pemeriksaan HIV

Berkembangnya teknologi pemeriksaan saat ini mengijinkan kita untuk mendeteksi HIV lebih dini. Beberapa pemeriksaan tersebut antara lain:

1. ELISA

ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay), tes ini mendeteksi antibodi yang dibuat tubuh terhadap virus HIV. Antibodi tersebut biasanya diproduksi mulai minggu ke dua (2) atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah terpapar virus HIV

2. Western Blot

Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Western blot menjadi tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini lebih


(37)

sensitif dan lebih spesifik, sehingga kasus 'yang tidak dapat disimpulkan' sangat kecil. Walaupun demikian, pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian lebih dalam melakukannya.

3. IFA

IFA atau indirect fluorescent antibody juga meurupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Seperti halnya dua pemeriksaan diatas, IFA juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Salah satu kekurangan dari pemeriksaan ini adalah biayanya sangat mahal.

4. PCR Test

PCR atau polymerase chain reaction adalah uji yang memeriksa langsung keberadaan virus HIV di dalam darah. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat yaitu sekitar seminggu setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan memerlukan alat yang canggih. Oleh karena itu, biasanya hanya dilakukan jika uji antibodi diatas tidak memberikan hasil yang pasti. Selain itu, PCR test juga dilakukan secara rutin untuk uji penapisan (screening test) darah atau organ yang akan didonorkan.

Menurut Mulyana (2005), ada beberapa strategi yang penting dalam mencegah penularan HIV/AIDS ibu ke bayi. Pertama, dengan pemberian obat antiretroviral. Obat ini bekerja langsung menghambat replikasi dan perkembangan virus HIV Kedua, melakukan persalinan yang aman pada saat kehamilan, selama 2.2.5. Pencegahan HIV/AIDS


(38)

persalinan, dan setelah persalinan. Cara persalinan yang diperkenankan pada ibu dengan HIV positif adalah dengan operasi, penularan HIV dari ibu ke anak dapat ditekan sampai 50% dibandingkan dengan persalinan normal. Setelah anak dilahirkan, ada beberapa hal yang juga harus diperhatikan terutama saat menyusui si bayi. Disarankan, ibu yang melahirkan anak dengan HIV positif sebaiknya tidak menyusui karena dapat terjadi penularan HIV dari ibu ke bayi antara 10-20%, terlebih jika payudara ibu mengalami luka lecet ataupun radang.

Prinsip dasar penanggulangan HIV/AIDS dan narkoba di Indonesia (Djoerban, 2000):

2.2.6. Penanggulangan HIV/AIDS

1. Setiap upaya penanggulangan HIV/AIDS dan narkoba harus mencerminkan nilai-nilai sosio-budaya masyarakat setempat.

2. Setiap kegiatan diharapkan untuk mempertahankan dan memperkukuh ketahanan dan kesejahteraan keluarga serta sistem dukungan sosial yang mengakar dalam masyarakat.

3. Pencegahan penularan HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba diarahkan kepada upaya pendidikan dan penyuluhan untuk memantapkan perilaku.

4. Setiap orang berhak mendapatkan informasi yang benar guna melindungi diri sendiri dan orang lain terhadap infeksi HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba. 5. Setiap kebijakan, pelayanan dan kegiatan harus tetap menghormati harkat dan


(39)

6. Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV/AIDS harus didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan. Sebelum dan sesudah pemeriksaan harus diberikan konseling yang memadai dan hasil pemeriksaan wajib dirahasiakan.

7. Setiap pemberi layanan berkewajiban memberikan pelayanan tanpa diskriminasi pada pengidap HIV/AIDS.

2.3. Klinik IMS/HIV-AIDS

Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di Klinik IMS ini mencakup: (a) melaksanakan kegiatan pencegahan seperti promosi kondom dan seks aman, (b) memberikan layanan pemeriksaan dan pengobatan bagi mereka yang telah tertular IMS, (c) melaksanakan kegiatan penapisan untuk IMS asymptomatic bagi semua populasi beresiko secara rutin sedikitnya sekali setiap 3 (tiga) bulan, (d) memberikan layanan konseling, pemeriksaan, dan pengobatan bagi pasangan tetap klien pekerja seks melalui sistem partner notification, (e) menjalankan sistem monitoring dan surveilans, dan (f) memberikan layanan KIE tentang mitos penggunaan obat–obat bebas untuk mencegah atau mengobati IMS (KPA Nasional, 2005).

Maksud dan tujuan dari layanan IMS adalah bertujuan untuk menjalankan fungsi kontrol dan menekan penyebaran IMS pada PSK perempuan, pria, waria, pelanggan PSK dan pasangan seks tetapnya (KPA Nasional, 2005).

Berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Klinik Sanitasi IMS yang dikembangkan melalui kerjasama Depkes RI, USAID dan Family Health


(40)

Internationa (2007) menyebutkan bahwa struktur di dalam klinik IMS harus mempunyai fungsi seperti hal berikut ini: (a) ruang tunggu dan registrasi, (b) ruang pemeriksaan, (c) laboratorium untuk memfasilitasi secepatnya diagnosa dan pengobatan pada pasien, sebaiknya ruang pemeriksaan dan laboratorium berdampingan tetapi dipisahkan dengan sebuah horden atau sekat, (d) ruang pengobatan dan konseling. Setiap bangunan klinik harus dipelihara dengan baik untuk mendapatkan lingkungan yang nyaman, aman, dan hygienis. Setiap klinik harus memelihara peralatan kliniknya dalam keadaan bekerja dengan baik. Setiap waktu kewaspadaan universal untuk mencegah penularan infeksi melalui darah dan indikator lain untuk mengendalikan infeksi harus diterapkan.

Standar Minimum untuk Klinik IMS yang telah dikembangkan untuk memperbaiki kualitas diagnosis dan pengobatan IMS secara keseluruhan untuk klinik IMS di Indonesia. Untuk melaksanakan ini, setiap klinik IMS harus melakukan antara:

1. Kegiatan pencegahan seperti promosi kondom dan seks yang aman,

2. Pelayanan ditargetkan untuk kelompok beresiko tinggi; (kelompok “inti” misalnya pekerja seks dan kelompok “penghubung” pelanggan mereka),

3. Pelayanan yang yang efektif, yaitu pengobatan secepatnya bagi orang dengan gejala.

4. Program penapisan, dan pengobatan secepatnya untuk IMS yang tanpa gejala pada kelompok risiko tinggi yang menjadi sasaran,


(41)

6. Sistim monitoring dan surveilans yang efektif. Jika sebagai model klinik untuk klinik-klinik yang ada disekitarnya harus berusaha untuk melaksanakan pelayanan klinis IMS yang sama, dengan memberikan pelatihan yang sesuai pada klinik-klinik tersebut. Bentuk pelayanan IMS dan promosi yang diberikan harus berdasarkan pada pengetahuan dari kelompok sasaran dalam kebiasaannya mencari pengobatan (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).

2.3.1. Strategi Klinik dalam Pengendalian IMS/HIV-AIDS

Ada beberapa strategi yang telah menunjukkan dampaknya terhadap penularan IMS di masyarakat jika hal ini diterapkan dengan tepat. Ini harus termasuk penapisan dan pengobatan secepatnya dari kelompok berisiko tinggi. Orang yang berisiko tinggi terkena IMS dan penularan infeksi berikutnya yang belum menerima pelayanan harus dicapai dengan intervensi ini dan harus dimasukkan ke dalam model pelayanan. Akses yang adekuat dalam memberikan pelayanan pada kelompok risiko tinggi dan pasien lain diperoleh dengan memprioritaskan pelaksanaan jam buka klinik yang tepat. Strategi untuk perubahan perilaku berkesinambungan dapat menjelaskan secara eksplisit unsur-unsur yang berhubungan dengan IMS (contoh pengenalan gejala, pentingnya dapat pengobatan segera, pentingnya menyelesaikan pengobatan, pentingnya pengobatan pasangan, interaksi antara IMS dan HIV, dll) harus dikembangkan dan dilaksanakan (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).

Untuk memilih startegi mana yang akan diterapkan setiap klinik harus melaksanakan pengkajian dan analisa dari kelompok sasaran yang akan dilayani. Ada beberapa langkah-langkah yang dapat diikuti untuk melaksanakan hal tersebut:


(42)

1. Menilai banyaknya IMS, pada kelompok di mana klinik IMS tersebut akan memberikan pelayanan. Setiap klinik harus membuat pemetaan kelompok sasaran yang akan mereka layani dengan baik. Registrasi populasi harus dibuat untuk kelompok ini. Dan harus diperbaharui secara teratur, setiap bulan

2. Menganalisa kesempatan untuk melakukan tindakan pencegahan pada kelompok ini. Strategi dan kegiatan berikut ini telah menunjukan adanya dampak terhadap penularan IMS di masyarakat, jika diterapkan dengan tepat. Intervensi yang paling tepat untuk pelayanan IMS adalah intervensi yang mempunyai sasaran untuk mungurangi waktu infektivitas dari IMS. Kemampauan pelayanan IMS untuk menerapkan masing-masing kegiatan intervensi ini akan tergantung pada sumber yang mereka miliki, dan tingkat efisiensi serta pengorganisasian yang bisa mereka capai.

3. Mengembangkan kebijakan pencegahan dan menerapkan prosedur yang berdasar pada hasil penilaian dan analisa.

4. Menciptakan tujuan pencegahan, yang berdasar pada data yang dikumpulkan oleh pelayanan IMS pada langkah penilaian, analisa dan pengembangan kebijakan pencegahan.

5. Mengevaluasi kemajuan dari tujuan pencegahan dengan cara mengkaji keefektifan dan cakupannya secara teratur (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).dem

6.


(43)

2.3.2. Strategi Dasar Intervensi Khusus untuk Klinik IMS/HIV-AIDS di Indonesia

1. Kurangi waktu infektifitas untuk mencegah penularan & komplikasi lebih lanjut, dilakukan; (a) deteksi dini (penemuan kasus), (b) pengobatan, (c) penemuan kasus secara aktif melalui penapisan, pengawasan, dan notifikasi pasangan, (d) memperbaiki akses yang efektif pada perawatan medis (faktor-faktornya mencakup biaya, mutu, lokasi dan waktu), (e) meningkatkan kepekaan terhadap IMS, memperbaiki pengetahuan tentang gejala dan kebiasaan untuk mencari perawatan kesehatan, (f) Enhanced Syndromic management’ dari IMS, misal perpendek atau hilangkan waktu tunggu antara kunjungan ke klinik IMS sampai pengobatan IMS (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).

2. Kurangi Intensitas terkena infeksi dari orang yang rentan, jika terpapar: (a) kurangi efisiensi penularan per paparan, (b) tingkatkan penggunaan kondom, (c) kurangi praktek seksual yang berisiko mis. hubungan seks melalui anal tanpa perlindungan, (d) kurangi faktor pendamping yang kritis mis. obati IMS untuk mengurangi penularan HIV, (e) kurangi paparan seksual pada tahap kritis infeksi mis. HSV-2 primer, (f) promosi kebersihan alat genital (mis. mencuci sebelum dan sesudah behubungan seks) (Depkes RI, Usaid dan FHI, 2007).

3. Kurangi paparan dari orang yang rentan terhadap orang yang terinfeksi: (a) modifikasi perilaku dari orang yang rentan, (b) modifikasi perilaku dari orang yang diketahui terkena infeksi, (c) modifikasi perilaku orang yang berpotensi untuk terkena infeksi, (d) promosikan penundaan kegiatan seksual, abstinensia,


(44)

monogami, atau mengurangi angka pertukaran pasangan, (e) promosikan tes secara meluas, seperti konseling dan testing HIV secara sukarela, (f) kembangkan dan promosikan pesan media dengan target orang yang terkena atau berpotensial terkena infeksi untuk melindungi pasangannya, (g) promosikan kesehatan dan kebersihan alat genital, (h) kurangi paparan pada masyarakat yang melakukan seksual berisiko sangat tinggi (mis. tempat pelacuran) dan ciptakan upaya-upaya pencegahan di lingkungan tersebut (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).

2.3.3. Pelayanan Kesehatan Klinik IMS/HIV-AIDS

Menurut Levey dan Loombo yang dijabarkan oleh Azwar (1996), menyatakan bahwa pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.

Dalam mencapai kesejahteraan dan pemeliharaan penyembuhan penyakit sangat diperlukan pelayanan kesehatan yang bermutu dimana tanpa adanya pelayanan kesehatan yang bermutu dan menyeluruh di wilayah Indonesia ini tidak akan tercapai derajat kesehatan yang optimal. (Azwar, 1996).

1. Pelayanan Kesehatan Klinik IMS

Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di Klinik IMS mencakup: (a)melaksanakan kegiatan pencegahan seperti promosi kondom dan seks aman,


(45)

(b)memberikan layanan pemeriksaan dan pengobatan bagi mereka yang telah tertular IMS, (c) melaksanakan kegiatan penapisan untuk IMS asymptomatic bagi semua populasi beresiko secara rutin sedikitnya sekali setiap 3 (tiga) bulan, (d) memberikan layanan konseling, pemeriksaan, dan pengobatan bagi pasangan tetap klien pekerja seks melalui sistem partner notification, (e) menjalankan sistem monitoring dan surveilans, dan (f) memberikan layanan KIE tentang mitos penggunaan obat-obat bebas untuk mencegah atau mengobati IMS (KPA Nasional, 2008).

Setiap klinik harus mempunyai staf yang ramah, client-oriented, tidak menghakimi dan dapat menjaga konfidensialitas, serta dapat melakukan fungsi-fungsi berikut ini dengan baik, meliputi : (a) administrasi klinik, registrasi pasien, pencatatan dan pelaporan, (b) anamnesis kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual, pemeriksaan fisik dan pengobatan, (c) laboratorium berdasarkan tes diagnostik, (d) konseling, serta (e) memelihara standar klinis untuk penatalaksanaan IMS (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).

Standar Minimum untuk Klinik IMS yang telah dikembangkan untuk memperbaiki kualitas diagnosis dan pengobatan IMS secara keseluruhan untuk klinik IMS di Indonesia. Untuk melaksanakan ini, setiap klinik IMS harus melakukan hal-hal:

a. Kegiatan pencegahan seperti promosi kondom dan seks yang aman

b. Pelayanan ditargetkan untuk kelompok beresiko tinggi; (kelompok “inti” misalnya pekerja seks dan kelompok “penghubung” pelanggan mereka).


(46)

d. Program penapisan, dan pengobatan secepatnya untuk IMS yang tanpa gejala pada kelompok risiko tinggi yang menjadi sasaran.

e. Program penatalaksanaan mitra seksual,

f. Sistim monitoring dan surveilans yang efektif. Jika sebagai model klinik untuk klinik-klinik yang ada disekitarnya harus berusaha untuk melaksanakan pelayanan klinis IMS yang sama, dengan memberikan pelatihan yang sesuai pada klinik-klinik tersebut. Bentuk pelayanan IMS dan promosi yang diberikan harus berdasarkan pada pengetahuan dari kelompok sasaran dalam kebiasaannya mencari pengobatan (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).

2. Pelayanan Kesehatan Klinik HIV/AIDS

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) memerlukan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan, pemantauan yang seksama untuk mencegah infeksi, serta pengobatan segera agar infeksi sekunder tidak berlarut-larut dan menyebabkan cacat. Seringkali merawat ODHA lebih sulit dari penyakit kronik lain, karena:

a. Terbatasnya tenaga yang terdidik dan terlatih b. ODHA memerlukan dukungan emosi khusus.

c. Pemantauan medik untuk mencegah kekambuhan sehingga dapat dicegah perawatan di rumah sakit.

d. Beberapa tenaga kesehatan sendiri masih cemas dan ketakutan untuk merawat karena belum mendapat penerangan dan pendidikan yang baik.


(47)

a. Fasilitas Perawatan Akut

Fasilitas rawat inap intensif yang mempunyai staf lengkap dan sudah berpengalaman. Di ruang rawat ini pasien AIDS diawasi 24 jam penuh. Jenis pelayanan dasar yang diperlukan adalah penyakit dalam, bedah, anastesi, laboratorium, radiologi, gizi, dan farmasi.

b. Fasilitas Perawatan Khusus

Adalah fasilitas perawatan yang sudah terbiasa merawat pasien AIDS. Unit ini menyediakan perawatan untuk pasien AIDS yang tidak dalam fase akut tetapi memerlukan perawatan si rumah sakit untuk rehabilitasi.

c. Fasilitas Perawatan Intermediat

Fasilitas ini diperlukan untuk ODHA yang tidak terus menerus memerlukan dokter atau perawat yang berpengalaman. Ini berlaku baik untuk fasilitas rawat inap maupun rawat jalan.

d. Fasilitas Perawatan Masyarakat (Shelter)

ODHA yang sedang tidak dirawat di rumah sakit kadang-kadang memerlukan beberapa jenis fasilitas non medik, seperti perumahan, pengadaan makanan, dan bantuan aktifitas sehari-hari seperti makan, mandi atau ke toilet.

e. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)

Puskesmas yang diperlukan adalah yang dilengkapi dengan pelayanan psikologis, rehabilitasi, sosial, gizi, dan pendidikan kesehatan.


(48)

Fasilitas ini diperlukan oleh ODHA agar ia tetap tinggal dirumahnya sambil terus dipantau dan mendapat perawatan medik yang berkesinambungan. Untuk tujuan tersebut diperlukan pekerja sosial, perawat, dan relawan baik dari kalangan agama maupun dari lapisan masyarakat lain (Djoerban, 2000).

a) Voluntary Counselling and Testing (VCT)

Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS (Depkes RI, 2005).

VCT merupakan proses konseling pra testing, post testing dan testing HIV secara sukarela yang bersifat confidential dan secara dini membantu orang mengetahui status HIV. Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang HIV dan manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing dan perencanaan atas issue HIV yang akan dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang untuk mengerti dan menerima status (HIV +) dan merujuk pada layanan dukungan (KPA Sumut, 2009).

Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan.


(49)

1) Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat klien mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi opurtunistik, dan ART.

2) VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh interfensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan risiko terinfeksi HIV, mendapatkan informasi HIV/AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.

3) Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dari orang lain, setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi yang ada (Depkes RI, 2005)

Berdasarkan pendapat di atas, bahwa pelayanan kesehatan klinik IMS/HIV-AIDS pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan kesehatan reproduksi atau kesehatan jasmani, fisik dan mencegah supaya tidak menular kepada orang lain sehingga masyarakat berusaha untuk merubah perilaku risiko mendapat penyakit menular seksual dan penyebaran HIV.

Upaya Kementerian Kesehatan RI dalam penanggulangan HIV/AIDS terhadap epidemi sudah ada sejak tahun 1986, yaitu sejak sebelum kasus AIDS ditemukan di Indonesia pada tahun 1987, dan terus meningkat sejalan dengan


(50)

masalah yang dihadapi. Salah satu kegiatan pengendalian HIV/AIDS dan IMS (Infeksi Menular Seksual) di Indonesia, meliputi:

1. Memperkuat aspek legal pengendalian HIV-AIDS dan IMS.

2. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi termasuk Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) dan Intervensi Perubahan Perilaku (IPP).

3. Pengembangan sumber daya manusia.

4. Memperkuat jejaring kerja dan meningkatkan partisipasi masyarakat. 5. Memperkuat logistik.

6. Meningkatkan konseling dan tes HIV.

7. Meningkatkan perawatan, dukungan dan pengobatan. 8. Meningkatkan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. 9. Meningkatkan pengendalian IMS.

10. Meningkatkan program pengurangan dampak buruk. 11. Meningkatkan pengamanan darah donor dan produk danah 12. Meningkatkan kewaspadaan universal.

13. Meningkatkan kolaborasi TB-HIV.

14. Meningkatkan surveilans epidemiologi dan pengembangan sistem informasi. 15. Monitoring dan evaluasi.

16. Mengembangkan dan memperkuat sistem pembiayaan (Depkes RI, 2005).

Salah satu upaya penting untuk pencegahan HIV adalah menghindari hubungan seks berisiko tinggi, maka upaya yang dilakukan antara lain:


(51)

1. Mendorong daerah untuk menyusun regulasi tentang pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS, khususnya pencegahan pada hubungan seks berisiko. 2. Bekerja sama dengan KPAN untuk peningkatan jumlah outlet, distribusi, dan

promosi penggunaan kondom.

3. Peningkatan jumlah klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) di Puskesmas wilayah berisiko tinggi (Depkes RI, 2005).

2.3.4. Faktor–faktor yang Memengaruhi Pelayanan Kesehatan Klinik IMS/HIV-AIDS

Menurut Dever yang dikutip oleh Rachman, 1994 dalam Zein (2006), faktor– faktor yang memengaruhi pelayanan kesehatan adalah :

1. Faktor Sosiokultural, terdiri dari :

a. Norma dan nilai sosial dan keyakinan yang ada di masyarakat

Norma, nilai sosial dan keyakinan yang ada dimasyarakat akan memengaruhi seseorang dalam bertindak termasuk dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.

b. Teknologi yang digunakan dalam pelayanan kesehatan

Kemajuan teknologi di satu sisi dapat meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan seperti : transplantasi organ, penemuan organ–organ artificial serta kemajuan di bidang radiologi. Sedangkan di sisi lain dapat menurunkan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sebagai contoh dengan ditemukannya berbagai vaksin untuk penyakit menular akan mengurangi pemanfaatan pelayanan kesehatan.


(52)

a. Ketersediaan sumber daya, yaitu sumber daya yang mencukupi baik dari segi kuantitas dan kualitas, sangat memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan.

b. Keterjangkauan lokasi, yakni berkaitan dengan tempat dan waktu. Keterjangkauan tempat diukur dengan jarak tempuh, waktu dan biaya.

c. Keterjangkauan sosial, yaitu konsumen memperhitungkan sikap petugas kesehatan terhadap konsumen seperti etnis, jenis kelamin, umur, ras, dan hubungan keagamaan.

3. Faktor Interaksi Konsumen dan Petugas Kesehatan, termasuk di dalamnya

a. Faktor sosiodemografi, yaitu : umur, jenis kelamin, ras, bangsa, status perkawinan, jumlah keluarga, dan status sosial ekonomi.

b. Faktor sosiopsikologi, yaitu: persepsi sakit, gejala sakit, dan keyakinan terhadap perawatan medis atau dokter.

c. Faktor epidemiologis, yaitu : mortalitas, morbiditas, dan faktor risiko.

2.4. Pekerja Seks Komersial (PSK)

Pekerja seks langsung adalah seseorang yang menjual seks sebagai pekerjaan penghasilan utama mereka, baik yang berbasis di rumah bordil/lokalisasi atau bekerja di jalanan. Sedangkan pekerja seks tidak langsung adalah seseorang yang bekerja di bisnis–bisnis hiburan seperti bar, karaoke, salon atau panti pijat yang menambah penghasilan mereka dengan menjual seks. Namun, tidak semua mereka yang bekerja di tempat-tempat tersebut terindikasi menjual seks (KPAN, 2008).


(53)

Para PSK biasanya mengelompok dan berkumpul dengan teman-temannya yang berasal dari kampung atau desa yang sama. Hubungan mereka sangat terbatas dengan para wanita lain yang datang dari desa/kampung yang berbeda. Jadi umumnya pekerja seks di kompleks pelacuran cenderung membentuk kelompok berdasarkan daerah asal. Kelompok seperti ini sangat berpengaruh dan memberi dukungan kuat secara psikologis kepada pelacur yang tinggal di dalam kompleks (Gunawan FX, 1997).

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan di dua daerah, sumber pelacuran yang terkenal adalah kecamatan tertentu di Indramayu Jawa Barat dan Wonogiri Jawa Tengah, tidak diragukan lagi, ada faktor-faktor tertentu yang mendorong sehingga daerah tersebut menjadi daerah spesialisasi penyalur para pelacur. Misalnya, faktor rendahnya penghasilan di desa, besarnya jumlah keluarga, perkawinan dini dan tingginya angka perceraian, rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya ketaatan kepada agama.

Hasil penelitian di Surabaya mengatakan bahwa beberapa faktor yang memengaruhi masuknya wanita ke dunia prostitusi antara laian adalah mereka yang pendidikannya yang relatif rendah, faktor ekonomi sehingga tidak melanjutkan sekolah, menikah pada usia muda (dipaksa orang tua) sehingga terjadi perceraian, membantu orang tua dengan bekerja untuk menopang keluarga, ada juga karena gagal dalam ujian, pengangguran sehingga pelacuran merupakan pekerjaan pertama bagi mereka, tidak punya pilihan lain. Karena ekonomi orang tua sangat miskin, harus menopang hidup anak atau menopang adik dan ada yang mengatakan tidak tahu


(54)

menahu kalau dibawa ke tempat pelacuran oleh agen yang merekrut tenaga kerja di kampung.

Hasil penelitian di Bandung mengatakan faktor yang memengaruhi PSK sehingga masuk ke dunia prostitusi antara lain : ekonomi atau mendapatkan uang. Namun kebanyakan kasus, masuknya para pekerja ke industri seks ini dilakukan secara sukarela, terutama didorong oleh hasrat untuk memperoleh penghasilan yang relatif besar dalam waktu yang singkat (instant money) (Hull, 1997).

2.5. Pengetahuan 2.5.1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraaan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni : indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overbehaviour). Berdasarkan pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Simon-Morton, dkk., (1995), pengetahuan merupakan hasil stimulasi informasi yang diperhatikan dan diingat. Informasi dapat berasal dari berbagai bentuk termasuk pendidikan formal maupun non formal, percakapan harian, membaca, mendengar radio, menonton TV dan dari pengalaman hidup. Pengukuran


(55)

pengetahuan dapat dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner berisi materi yang ingin diukur dari responden (Azwar, 2003).

2.5.2. Tingkatan Pengetahuan

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan (Notoatmodjo, 2007), yaitu :

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifikn dari seluruh bahan yang I pelajari atau rangsangan yang telah di terima. Oleh sebab itu, “tahu”ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginerprestasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan sebagainya terhadap objek yang telah dipelajari, misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan yang bergizi.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang riil (sebenarnya). Aplikasi ini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya


(56)

dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistic dalam penghitungan-penghitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) didalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek kedalam komponen-komponen tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja ,dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokan, dan sebagainya.

5. Sintesis (syntesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam satu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun suatu formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukn justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahauan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau


(57)

responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas.

Sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) didalam diri seseorang terjadi proses yang berurutan yakni :

a. Awareness ( kesadaran ) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

d. Trial, sikap dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang di kehendaki oleh stimulus

e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2.6. Persepsi

2.6.1. Definisi Persepsi

Menurut Scheerer yang dikutip oleh Sarwono (2007) menyatakan bahwa persepsi adalah representasi fenomenal tentang obyek-obyek distal sebagai hasil pengorganisasian objek distal itu sendiri, medium dan rangsang proksimal. Bruner menyatakan bahwa persepsi adalah proses kategorisasi. Organisasi diransang oleh suatu masukan tertentu (obyek-obyek di luar, peristiwa, dan lain-lain) dan organisme


(58)

ini berespon dengan menghubungkan masukan itu dengan salah satu kategori (golongan) obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa.

Manusia mengamati suatu objek psikologik dengan kacamatanya sendiri yang diwarnai oleh kepribadiannya. Sedangkan objek psikologik itu sendiri dapat berupa kejadian, ide, atau situasi tertentu. Faktor-faktor pengalaman, proses belajar atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat. Sedangkan cakrawalanya memberikan arti terhadap objek psikologi tersebut. Melalui komponen akan timbul ide, kemudian konsep mengenai apa yang dilihat. Selanjutnya komponen kognisi yang menentukan kesediaan/kesiapan jawaban berupa tindakan terhadap objek. Atas dasar tindakan ini maka situasi yang semula kurang seimbang menjadi seimbang kembali. keseimbangan ini berarti bahwa objek yang dilihat sesuai dengan penghayatan dimana unsur nilai dan norma dirinya dapat menerima secara rasional dan emosional. Jika situasi ini tercapai maka individu menolak dan reaksi yang timbul adalah sikap apatis dan acuh tak acuh. Keseimbangan ini dapat kembali jika persepsi dapat diubah melalui komponen kognisi (Jalaluddin, 2005).

2.6.2. Reaksi Persepsi terhadap Stimulus

Menurut Sudjana (2005), reaksi persepsi terhadap suatu stimulus (rangsangan) dapat terjadi dalam bentuk :


(59)

1. Reciving / attending, yaitu semacam kepekaan menerima stimulus dari luar dalam bentuk masalah, situasi, gejala. Dalam tipe ini termasuk kesadaran keinginan untuk menerima stimulus, kontrol dan seleksi gejala atau ransangan luar.

2. Responding (Jawaban), yaitu reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulus yang datang dari luar, hal ini mencakup ketepatan reaksi, perasaan, keputusan dalam menjawab stimulus dari luar dirinya.

3. Valuing (Penilaian), yaitu berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus yang diterima, termasuk kesediaan menerima nilai, latar belakang atau pengalaman untuk menerima nilai kesepakatan terhadap nilai tersebut.

4. Organisasi, yaitu pengembangan dan nilai ke dalam suatu sistem organisasi, termasuk hubungan suatu nilai dengan nilai lain,pemantapan dan prioritas nilai yang dimilikinya termasuk konsep tentang nilai dan organisasi sistem nilai.

5. Karakteristik nilai atau internalisasi nilai, yaitu keterpaduan semua sistem yang dimiliki seseorang yang memengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya, termasuk keseluruhan nilai dan karakteristiknya.

2.6.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Persepsi Persepsi ditentukan oleh dua faktor yaitu : 1. Faktor Fungsional

Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, dan lain-lain yang termasuk dengan apa yang disebut sebagai faktor-faktor personal yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli itu. Faktor-faktor fungsional


(60)

yang memengaruhi persepsi ini lazim disebut sebagai kerangka rujukan, sedang di dalam kegiatan komunikasi, kerangka rujukan memengaruhi bagaimana orang memberikan makna pada pesan yang diterimanya. Misalnya seorang ahli komunikasi tidak akan memberikan pengertian apa-apa apabila ahli kedokteran berbicara tentang Flour albud, adnesti, dan lain-lain, karena ahli komunikasi tidak memiliki kerangka rujukan untuk memahami istilah-istilah kedokteran.

2. Faktor Struktural

Faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Bila kita mempersepsikan sesuatu, kita mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan, bukan melihat bagian-bagiannya lalu menghimpunnya. Misalnya untuk dapat memahami seseorang maka kita harus melihatnya dalam konteksnya, dalam lingkungannya, dan dalam masalah yang dihadapinya (Jalaluddin, 2005).

Dengan melihat kedua faktor yang memengaruhi persepsi tersebut, maka Krech dan Cruchfield (1977) dalam Notoatmodjo (2003) membuat empat dalil tentang persepsi yaitu :

a. Persepsi bersifat selektif secara fungsional

b. Medan perceptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan lebih diberi arti.

c. Sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur pada umumnya ditentukan oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan.

d. Objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi bagian dari struktur yang sama.


(1)

i4

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 30 35,7 35,7 35,7

Setuju 45 53,6 53,6 89,3

Tidak setuju 9 10,7 10,7 100,0

Total 84 100,0 100,0

i5

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 30 35,7 35,7 35,7

Setuju 44 52,4 52,4 88,1

Tidak setuju 10 11,9 11,9 100,0

Total 84 100,0 100,0

i6

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 14 16,7 16,7 16,7

Setuju 61 72,6 72,6 89,3

Tidak setuju 9 10,7 10,7 100,0

Total 84 100,0 100,0

e1

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 19 22,6 22,6 22,6

Setuju 58 69,0 69,0 91,7

Tidak setuju 7 8,3 8,3 100,0

Total 84 100,0 100,0

e2

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 31 36,9 36,9 36,9

Setuju 42 50,0 50,0 86,9

Tidak setuju 11 13,1 13,1 100,0


(2)

e3

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 23 27,4 27,4 27,4

Setuju 46 54,8 54,8 82,1

Tidak setuju 15 17,9 17,9 100,0

Total 84 100,0 100,0

e4

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 31 36,9 36,9 36,9

Setuju 42 50,0 50,0 86,9

Tidak setuju 11 13,1 13,1 100,0

Total 84 100,0 100,0

e5

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 25 29,8 29,8 29,8

Setuju 47 56,0 56,0 85,7

Tidak setuju 12 14,3 14,3 100,0

Total 84 100,0 100,0

e6

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 21 25,0 25,0 25,0

Setuju 58 69,0 69,0 94,0

Tidak setuju 5 6,0 6,0 100,0

Total 84 100,0 100,0

m1

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 1 1,2 1,2 1,2

Setuju 19 22,6 22,6 23,8

Tidak setuju 64 76,2 76,2 100,0


(3)

m2

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 3 3,6 3,6 3,6

Setuju 20 23,8 23,8 27,4

Tidak setuju 61 72,6 72,6 100,0

Total 84 100,0 100,0

m3

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 2 2,4 2,4 2,4

Setuju 25 29,8 29,8 32,1

Tidak setuju 57 67,9 67,9 100,0

Total 84 100,0 100,0

m4

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Setuju 11 13,1 13,1 13,1

Tidak setuju 73 86,9 86,9 100,0

Total 84 100,0 100,0

h1

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 5 6,0 6,0 6,0

Setuju 39 46,4 46,4 52,4

Tidak setuju 40 47,6 47,6 100,0

Total 84 100,0 100,0

h2

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 10 11,9 11,9 11,9

Setuju 40 47,6 47,6 59,5

Tidak setuju 34 40,5 40,5 100,0


(4)

h3

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 12 14,3 14,3 14,3

Setuju 32 38,1 38,1 52,4

Tidak setuju 40 47,6 47,6 100,0

Total 84 100,0 100,0

is1

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 14 16,7 16,7 16,7

Setuju 50 59,5 59,5 76,2

Tidak setuju 20 23,8 23,8 100,0

Total 84 100,0 100,0

is2

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 14 16,7 16,7 16,7

Setuju 43 51,2 51,2 67,9

Tidak setuju 27 32,1 32,1 100,0

Total 84 100,0 100,0

is3

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat setuju 17 20,2 20,2 20,2

Setuju 25 29,8 29,8 50,0

Tidak setuju 42 50,0 50,0 100,0

Total 84 100,0 100,0

pk1

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 45 53,6 53,6 53,6

Tidak 39 46,4 46,4 100,0


(5)

pk2

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 35 41,7 41,7 41,7

Tidak 49 58,3 58,3 100,0

Total 84 100,0 100,0

pk3

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 41 48,8 48,8 48,8

Tidak 43 51,2 51,2 100,0

Total 84 100,0 100,0

pk4

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 36 42,9 42,9 42,9

Tidak 48 57,1 57,1 100,0

Total 84 100,0 100,0

pk5

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 38 45,2 45,2 45,2

Tidak 46 54,8 54,8 100,0

Total 84 100,0 100,0

pk6

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 42 50,0 50,0 50,0

Tidak 42 50,0 50,0 100,0


(6)

pk7

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 41 48,8 48,8 48,8

Tidak 43 51,2 51,2 100,0

Total 84 100,0 100,0

pk8

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 52 61,9 61,9 61,9

Tidak 32 38,1 38,1 100,0

Total 84 100,0 100,0

pk9

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 34 40,5 40,5 40,5

Tidak 50 59,5 59,5 100,0

Total 84 100,0 100,0

pk10

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 43 51,2 51,2 51,2

Tidak 41 48,8 48,8 100,0


Dokumen yang terkait

Pengaruh Faktor Predisposisi, Pemungkin dan Kebutuhan terhadap Pemanfaatan Pelayanan Jampersal di Wilayah Kerja Puskesmas Parongil Kabupaten Dairi

5 67 131

Pengaruh Persepsi Tentang Mutu Pelayanan Terhadap Pemanfaatan Poli Gigi di Puskesmas Gunungsitoli Selatan Tahun 2014

4 92 107

Pengaruh Pengetahuan, Sikap, Dukungan Keluarga dan Kader terhadap Pemanfaatan Posyandu Lanjut Usia di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Dolok Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang

40 222 116

Pengaruh Peran Keluarga dan Kader Lansia terhadap Pemanfaatan Pelayanan Posyandu Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan

25 230 143

Pengaruh Pengetahuan, Persepsi dan Motivasi PSK terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS/HIV-AIDS di Puskesmas Bandar Baru

0 46 145

Pengaruh Faktor Organisasi dan Faktor Pemberi terhadap Pemanfaatan Kembali Puskesmas Bandar Huluan Kecamatan Bandar Huluan Kabupaten Simalungun oleh Pasien Umum

1 62 92

Pengaruh Karakteristik Dan Motivasi Pasien Terhadap Pemanfaatan Pelayanan Klinik IMS Di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2009

0 39 138

Pengaruh Persepsi tentang Posyandu Usila terhadap Tingkat Pemanfaatan Posyandu Usila di Puskesmas Martoba Kota Pematangsiantar Tahun 2010

1 44 94

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2.1.1 Pengertian Persepsi - Pengaruh Persepsi Tentang Mutu Pelayanan Terhadap Pemanfaatan Poli Gigi di Puskesmas Gunungsitoli Selatan Tahun 2014

0 1 25

Pengaruh Persepsi Tentang Mutu Pelayanan Terhadap Pemanfaatan Poli Gigi di Puskesmas Gunungsitoli Selatan Tahun 2014

0 0 13