BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Desa Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara berada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser TNGL merupakan
salah satu habitat orangutan yang masih tersisa dan bekas stasiun rehabilitasi orangutan yang secara resmi ditutup pada tahun 1997 SK Menteri Kehutanan No.
280kpts II 1995. Setelah status Bukit Lawang bukan merupakan stasiun rehabilitasi, maka saat ini nama program yang berjalan di Bukit Lawang adalah Pusat Pengamatan
Orangutan Sumatera PPOS.
Orangutan atau mawas, merupakan kera besar yang hanya ada di Pulau Sumatera bagian Utara dan Borneo Kalimantan dan Sabah Malaysia. Orangutan
Sumatera Pongo abelii, memiliki warna tubuh merah kekuningan dan lebih terang dibandingkan dengan orangutan Kalimantan Pongo pygmaeus. Orangutan ini hidup
pada hutan tropis, mulai dari dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian ± 100-1.500 meter di atas permukaan laut dpl. Orangutan cenderung hidup menyendiri
dan tidak membuat keluarga atau kelompok. Biasanya hanya betina yang diikuti dengan satu atau dua anaknya yang belum mandiri, sedangkan yang jantan datang
mendekat saat musim kawin atau mau berpasangan dengan betina saja Wahyono, 2005.
Di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bukit Lawang terdapat 16 ekor orangutan eks-peliharaan yang berasal dari hasil sitaan masyarakat. Di antaranya ada
pasangan induk-anak dan ada pula anak yang tidak memiliki induk. Pemeliharaan orangutan di kawasan tersebut dilakukan sebagai upaya konservasi, namun demikian
searah dengan berubahnya status Bukit Lawang sebagai daerah ekowisata yang kemudian diiringi dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang ke kawasan
Universitas Sumatera Utara
tersebut, kehidupan dan kesejahteraan orangutan di kawasan tersebut mulai terganggu. Berdasarkan data bulan Agustus 2006 hingga Juli 2007 diketahui adanya 3 bayi
orangutan yang mati sebelum mencapai usia 5 tahun Dellatore, 2007. Kondisi ini kemungkinan besar akan semakin diperburuk dengan pola ekowisata dan rehabilitasi
yang kurang memadai, kesehatan orangutan yang tidak terjamin atau karena faktor internal dari orangutan itu sendiri.
Jolly 1972 menyatakan bahwa umumnya primata orangutan pada masa kanak-kanak merupakan masa yang relatif penting dari seluruh kehidupannya,
sehingga banyak yang harus dipelajari oleh primata muda untuk tumbuh normal. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak orangutan lebih
banyak mengandalkan proses belajar learning dari induknya dan alam sekitarnya.
Van Schaik 2006 menjelaskan bahwa bayi orangutan akan mulai berjalan- jalan pada usia 6 bulan sambil mencari pengalaman di hutan, bergerak memanjat dan
bergantung di atas kepala induknya. Bayi orangutan disapih pada usia kurang lebih tujuh tahun, dan masih tetap tinggal bersama induknya selama kira-kira dua tahun
lebih setelah disapih.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siregar 2008, beberapa induk dan anak orangutan yang berada di Bukit Lawang memiliki perilaku yang
menyimpang dari populasi liar. Hal ini disebabkan karena orangutan telah terbiasa mendapatkan makanan instan dari manusia yang memeliharanya, kondisi ini
menyebabkan keinginan untuk mencari dan mendapatkan makanan menjadi berkurang. Pengunjung yang datang ke kawasan ekowisata Bukit Lawang juga
memberikan pengaruh negatif bagi orangutan, karena memberi makanan berupa nasi goreng, kacang, buah-buahan, minuman misalnya soft drink dan lain-lain. Selain itu
pengunjung juga membuang sampah di sembarang tempat, seperti kulit buah yang sering dikutip dan dimakan oleh orangutan di kawasan ini.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Permasalahan