Pengaruh Fasilitas Kerja Terhadap Sikap Kerja dan Kelelahan pada Pekerja Bagian Penggorengan Industri Rumah Tangga Keripik Singkong di Kabupaten Aceh Besar

(1)

yang sangat berarti dalam menyelesaikan tesis ini, serta kepada anggota komisi pembimbing dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan keiklasan sehingga tesis ini selesai.

5. Tim penguji Dr. Ir. Gerry Silaban, M. Kes dan Umi Salmah, SKM, M. Kes yang telah banyak memberikan bimbingan, kritik serta saran yang sangat membantu untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

6. Camat Kecamatan Kota Jantho dan Lembah Seulawah yang telah memberi izin penelitian dan dukungan dalam rangka menyelesaikan pendidikan S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat.

7. Keuchik Desa Jantho Baru dan Suka Damai yang telah banyak memberikan informasi, masukan serta saran dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Para pengelola Industri keripik Singkong dan seluruh pekerjanya yang ada di Desa Jantho baru dan Suka Damai yang turut membantu sehingga tesis ini selesai.

9. Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera utara.

10. Terima kasih tak terhingga kepada Ayahanda Usman Raden dan Ibunda Rumani Latief serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan moril, doa dan motivasi kepada penulis selama menjalani pendidikan.

11. Kepada Suami tercinta Marshall, S.E, Ak dan anak-anak M. Rayshal Hafizh, Anissa Zahra Izzati dan Tasqiya Zalva Humaira yang selalu setia


(2)

mendampingi dan memberikan motivasi serta dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

12. Teman-teman seperjuangan Mahasiswa/wi Minat Studi Kesehatan Kerja Angkatan 2009 atas dukungannya selama ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini, dengan karapan semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2012 Penulis,


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Hipotesis ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Kelelahan Kerja ... 9

2.1.1 Pengertian Kelelahan ... 9

2.1.2 Penyebab Kelelahan ... 12

2.1.3 Akibat Kelelahan... 14

2.1.4 Pengukuran Kelelahan ... 14

2.2 Sikap Kerja ... 16

2.2.1 Sikap Kerja Duduk ... 17

2.2.2 Sikap Kerja Berdiri ... 18

2.2.3 Sikap Kerja Dinamis ... 19

2.3 Metode Penilaian Postur Kerja ... 20

2.3.1 Metode OWAS (Ovako Working Analysis Sistem) ... 20

2.3.2 Metode RULA (Rapid Upper Limb Assessment)... 21

2.3.3 Metode REBA (Rapid Entire Body Assessment) ... 22


(4)

2.3.5 Metode Identifikasi Penilaian MSDs dengan Checklist .. 24

2.4 Fasilitas Kerja ... 24

2.5 Antropometri dan Aplikasinya dalam Perancangan Fasilitas Kerja ... 25

2.6 Landasan Teori ... 28

2.7 Kerangka Konsep ... 30

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 31

3.1 Jenis Penelitian ... 31

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 31

3.2.2 Waktu Penelitian ... 32

3.3 Populasi dan Sampel ... 32

3.4 Metode Pengumpulan Data. ... 32

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 33

3.5.1 Variabel Penelitian ... 33

3.5.2 Definisi Operasional ... 33

3.6 Metode Pengukuran ... 33

3.6.1 Aspek Pengukuran ... 45

3.7 Metode Analisis Data ... 45

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 47

4.1 Gambaran Umum Industri Keripik Singkong ... 47

4.2 Data Antropometri Pekerja di Bagian Penggorengan ... 48

4.2.1 Pengumpulan Data Antropometri ... 48

4.2.2 Pengolahan Data Antropometri ... 49

4.2.3 Perancangan Fasilitas Kerja Berdasarkan Data Antropometri ... 49

4.3 Hasil Penelitian ... 53

4.3.1 Analisis Univariat ... 53

4.3.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur.... 53

4.3.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan ... 53

4.3.1.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja ... 54

4.3.1.4 Distribusi Frekuensi Sikap Kerja ... 54

4.3.1.4.1 Distribusi Frekuensi Sikap Kerja Duduk sebelum Intervensi ... 54

4.3.1.4.2 Distribusi Frekuensi Sikap Kerja Berdiri sebelum Intervensi ... 59

4.3.1.4.3 Distribusi Frekuensi Sikap Kerja Duduk setelah Intervensi ... 64


(5)

4.3.1.4.4 Distribusi Frekuensi Sikap Kerja

Berdiri setelah Intervensi ... 68

4.3.1.5 Distribusi Frekuensi Tingkat Kelelahan ... 72

4.3.1.5.1 Distribusi Frekuensi Tingkat Kelelahan Pekerja sebelum Intervensi ... 72

4.3.1.5.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Kelelahan Pekerja setelah Intervensi ... 74

4.4 Analisis Bivariat ... 75

4.4.1 Perbedaan Sikap Kerja Duduk sebelum dan sesudah Intervensi ... 75

4.4.2 Perbedaan Sikap Kerja Berdiri sebelum dan sesudah Intervensi ... 77

4.4.3 Perbedaan Tingkat Kelelahan sebelum Kerja sebelum dan Sesudah Intervensi... 78

4.4.4 Perbedaan Tingkat Kelelahan sesudah Kerja sebelum dan Sesudah Intervensi... 80

4.4.5 Perbedaan Sikap Kerja Duduk Antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan ... 81

4.4.6 Perbedaan Sikap Kerja Berdiri Antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan ... 83

4.4.7 Perbedaan Tingkat Kelelahan sebelum Kerja Antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan ... 84

4.4.8 Perbedaan Tingkat Kelelahan sesudah Kerja Antara Kelompok Kontrol dan Perlakuan ... 85

BAB 5. PEMBAHASAN ... 88

5.1 Pengaruh Fasilitas Kerja terhadap Sikap Kerja pada Pekerja Bagian Penggorengan Industri Rumah Tangga Keripik Singkong di Kabupaten Aceh Besar ... ... 88 5.2 Pengaruh Fasilitas Kerja terhadap Kelelahan Kerja pada Pekerja Bagian Penggorengan Industri Rumah Tangga Keripik Singkong di Kabupaten Aceh Besar ... ... 97 5.3 Keterbatasan Penelitian ... 101

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

6.1 Kesimpulan ... 102


(6)

DAFTAR PUSTAKA ... 104 LAMPIRAN ... 107


(7)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1 Skor Penilaian Lengan Atas ... 35

3.2 Skor Lengan Bawah ... 36

3.3 Skor Pergelangan Tangan ... 36

3.4 Skor Grup A ... 37

3.5 Skor Aktivitas ... 38

3.6 Skor Beban ... 38

3.7 Skor Bagian Leher ... 39

3.8 Skor Bagian Batang Tubuh ... 39

3.9 Skor Bagian Kaki ... 39

3.10 Skor Grup B Trunk Postur Score ... ... 40 3.11 Skor Aktivitas ... 40

3.12 Skor Beban ... 41

3.13 Grand Total Score Table ... 41

3.14 Kategori Tindakan RULA ... 41

3.15 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian ... 45

4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di Industri Keripik Singkong Kabupaten Aceh Besar ... 53


(8)

4.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di Industri Keripik Singkong Kabupaten Aceh Besar

Migas PT. X ... 54

4.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja di Industri Keripik Singkong Kabupaten Aceh Besar ... 54

4.4 Skor Group A pada Sikap Kerja Duduk sebelum Intervensi ... 56

4.5 Skor Group B pada Sikap Kerja Duduk sebelum Intervensi ... 57

4.6 Skor Akhir pada Sikap Kerja Duduk ... 58

4.7 Distribusi Frekuensi Sikap Kerja Duduk sebelum Intervensi ... 59

4.8 Skor Group A pada Sikap Kerja Berdiri sebelum Intervensi ... 61

4.9 Skor Group B pada Sikap Kerja Berdiri sebelum Intervensi ... 62

4.10 Skor Akhir pada Sikap Kerja Berdiri ... 63

4.11 Distribusi Frekuensi Sikap Kerja Berdiri sebelum Intervensi ... 63

4.12 Skor Group A pada Sikap Kerja Duduk setelah Intervensi ... 65

4.13 Skor Group B pada Sikap Kerja Duduk setelah Intervensi ... 66

4.14 Skor Akhir pada Sikap Kerja Duduk ... 67

4.15 Distribusi Frekuensi Sikap Kerja Duduk setelah Intervensi Skor ... 68

4.16 Skor Group A pada Sikap Kerja Berdiri setelah Intervensi ... 69

4.17 Skor Group B pada Sikap Kerja Duduk Berdiri Intervensi ... 71

4.18 Skor Akhir pada Sikap Kerja Berdiri ... 71

4.19 Distribusi Frekuensi Sikap Kerja Berdiri setelah Intervensi ... 72

4.20 Distribusi Frekuensi Tingkat Kelelahan Pekerja sebelum Intervensi . 73 4.21 Distribusi Frekuensi Tingkat Kelelahan Pekerja setelah Intervensi ... 75


(9)

4.22 Perbedaan Skor RULA pada Posisi Duduk sebelum dan sesudah

Intervensi Pada Kelompok Kontrol ... 76 4.23 Perbedaan Skor RULA pada Posisi Berdiri sebelum dan sesudah

Intervensi pada Kelompok Kontrol ... 77 4.24 Perbedaan Skor Kelelahan Sebelum Kerja sebelum dan sesudah

Intervensi ... 79 4.25 Perbedaan Skor Kelelahan Sesudah Kerja sebelum dan sesudah

Intervensi ... 80 4.26 Perbedaan Skor RULA Posisi Duduk Antara Kelompok Kontrol dan

Perlakuan ... 82 4.27 Perbedaan Skor RULA Posisi Berdiri Antara Kelompok Kontrol dan

Perlakuan ... 83 4.28 Perbedaan Kelelahan Sebelum Kerja Antara Kelompok Kontrol dan

Perlakuan ... 85 4.29 Perbedaan Kelelahan Sesudah Kerja Antara Kelompok Kontrol dan


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Teori Kombinasi Penyebab Kelelahan... 29

2.2 Kerangka Konsep ... 30

3.1 Alat Ukur Waktu Reaksi (Reaction Timer) ... 34

3.2 Rancangan Kursi Kerja ... 44

3.3 Rancangan Tungku Penggorengan ... 44

4.1 Rancangan Kursi Kerja ... 51

4.2 Rancangan Tungku Penggorengan ... 51

4.3 Kursi Kerja ... 52

4.4 Tungku Penggorengan ... 52

4.5 Kondisi Kerja Saat Menggoreng pada Sikap Kerja Duduk ... 55

4.6 Kondisi Kerja Saat Menggoreng pada Sikap Kerja Berdiri ... 60

4.7 Kondisi Kerja Saat Menggoreng pada Posisi Duduk ... 64

4.8 Kondisi kerja Saat Menggoreng pada Posisi Berdiri ... 68

5.1 Sikap Kerja Saat Duduk sebelum Intervensi ... 89

5.2 Sikap Kerja Saat Berdiri sebelum Intervensi ... 90

5.3 Sikap Kerja Saat Duduk sesudah Intervensi ... 95


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 107

2. Lembar pengukuran Dimensi Tubuh (Antropometri) Pekerja ... 108

3. Lembar Penilaian Sikap Kerja dengan Metode RULA ... 109

4. Lembar penilaian Pengukuran Kelelahan (Sebelum Bekerja) ... 110

5. Lembar penilaian Pengukuran Kelelahan (Sesudah Bekerja) ... 111

6. Data Antropometri Pekerja yang Berhubungan dengan Fasilitas Kerja yang Akan di Rancang ... 112

7. Penilaian Sikap Kerja dengan Metode RULA ... 113


(12)

ABSTRAK

Industri rumah tangga keripik singkong di Kabupaten Aceh Besar belum menerapkan prinsip-prinsip ergonomi selama melakukan pekerjaan. Dari survey pendahuluan diketahui bahwa seluruh pekerja di bagian penggorengan menunjukkan sikap kerja yang tidak alamiah dan sebagian besar pekerja mengalami kelelahan sesudah kerja. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh fasilitas kerja terhadap sikap kerja dan kelelahan kerja pada pekerja di bagian penggorengan industri rumah tangga keripik singkong di Kabupaten Aceh Besar. Jenis penelitian ini adalah True Eksperimental Design dengan rancangan Pretest-postest Control Group Design yang dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2012.

Penelitian ini dilakukan intervensi berupa fasilitas kerja yang egonomis. Populasi adalah seluruh pekerja di bagian penggorengan industri rumah tangga keripik singkong yaitu sebanyak 66 orang dan seluruh populasi dijadikan sampel yang dibagi secara acak ke dalam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan masing-masing 33 orang. Analisis data dengan uji t-berpasangan dan t-tidak berpasangan.

Hasil penelitian dengan metode RULA dan pengukuran kelelahan menggunakan Reaction Timer menunjukkan bahwa seluruh pekerja di bagian penggorengan keripik singkong menunjukkan sikap kerja yang tidak alamiah dengan tingkat risiko sedang dan sebagian besar pekerja mengalami kelelahan sesudah kerja dengan tingkat kelelahan berat. Sesudah penerapan fasilitas kerja yang ergonomis, terjadi perbaikan sikap kerja dan penurunan tingkat kelelahan pada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan ada pengaruh fasilitas kerja terhadap sikap kerja dan kelelahan kerja pada pekerja di bagian penggorengan industri rumah tangga keripik singkong di Kabupaten Aceh Besar. Disarankan para pekerja di bagian penggorengan agar dapat menerapkan fasilitas kerja yang ergonomis sehingga sikap kerja menjadi lebih alamiah dan tingkat kelelahan berkurang.


(13)

ABSTRACT

During its operation, home industry of cassava chips in Aceh Besar District has not applied the principles of ergonomics yet. The result of preliminary survey indicated that all of the workers working in the frying section showed the unnatural work attitude and most of them suffered from fatigue after work. The purpose of this true experimental study with Pretest-Posttest Control Group Design conducted from March to July 2012 was to analyze the influence of work facilities on work attitude work fatigue in the workers working in the frying section of home industry of cassava chips in Aceh Besar District.

The intervention done in this study was the provision of ergonomic work facilities. The population of this study was 66 workers working in the frying section of home industry of cassava chips and all of them were selected to be the samples for this study which were then divided into 2 groups – control group and experiment group – and each group consisted of 33 workers. The data obtained were analyzed through paired and unpaired t-tests.

The result of this study was observing with RULA method by using Reaction Timer showed that all of the workers working in the frying section of home industry of cassava chips showed the unnatural work attitude with medium risk level and most of the workers suffered from after-work fatigue with severe level. After the application of ergonomic work facilities, the workers’ work attitude became better and the level of fatigue decreased in the experiment group. This indicated that work facilities had influence on work attitude and work fatigue in the workers working in the frying section of home industry of cassava chips in Aceh Besar District. The workers working the frying section are suggested to apply the ergonomic work facilities that their work attitude becomes more natural and their fatigue level decreases.


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap individu meluangkan banyak waktu untuk bekerja. Hal ini karena bekerja merupakan salah satu kegiatan utama bagi setiap orang atau masyarakat untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Peran serta manusia sebagai pekerja merupakan unsur dominan dalam proses industri yang perlu mendapat perhatian khusus guna menghasilkan suatu produk yang bermanfaat bagi masyarakat. Interaksi antara manusia, alat dan bahan serta lingkungan kerja menimbulkan beberapa pengaruh terhadap pekerja termasuk sikap kerja pekerja saat melakukan pekerjaan.

Dalam suatu industri, pekerja melakukan pekerjaan dalam berbagai posisi/sikap kerja yaitu duduk, berdiri atau dinamis. Posisi tubuh saat bekerja ditentukan oleh jenis pekerjaan yang akan dilakukan dan fasilitas kerja yang digunakan. Fasilitas kerja yang tidak sesuai dengan ukuran tubuh pekerja dapat menjadi beban kerja tambahan bagi pekerja yang dapat menimbulkan sikap kerja yang salah atau tidak alamiah serta kelelahan.

Menurut Tarwaka (2004), kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan ini bersifat subjektif dan menunjukkan kondisi yang berbeda-beda pada setiap individu.


(15)

Kelelahan diklasifikasikan dalam dua jenis, yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot adalah merupakan tremor pada otot/perasaan nyeri pada otot, sedang kelelahan umum biasanya ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan karena monotoni, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, sebab-sebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi. Secara umum gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai perasaan yang sangat melelahkan. Kelelahan subyektif biasanya terjadi pada akhir jam kerja, apabila rata-rata beban kerja melebihi 30-40% dari tenaga aerobic maksimal(Tarwaka, 2004).

Suatu pengalaman yang dikenal oleh masyarakat umum adalah bahwa kelelahan yang terus-menerus untuk jangka waktu yang panjang menjelma menjadi kelelahan yang kronis. Rasa lelah yang dialami oleh penderita tidak hanya terjadi sesudah melakukan pekerjaan yaitu pada waktu sore hari, melainkan juga selama bekerja, bahkan sebelumnya. Jika pekerja telah mulai merasa lelah dan tetap ia paksa untuk terus bekerja, kelelahan akan semakin bertambah dan kondisi lelah demikian sangat mengganggu kelancaran pekerjaan yang berefek buruk pada pekerja yang bersangkutan (Suma’mur, 2009).

Perkembangan industri di Indonesia saat ini berlangsung amat pesat, baik industri formal maupun industri di rumah tangga, pertanian, perdagangan dan perkebunan. Hal ini akan menimbulkan lapangan kerja baru dan menyerap tambahan angkatan kerja baru yang sebagian besar (70-80%) berada di sektor informal. Yang dimaksud dengan industri informal adalah kegiatan ekonomi tradisional, usaha-usaha diluar sektor modern/ formal yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :


(16)

- Sederhana

- Skala usaha relatif kecil

- Umumnya belum terorganisir secara baik

Industri rumah tangga keripik singkong yang ada di Kabupaten Aceh Besar terdapat di Desa Jantho Baru Kecamatan Kota Jantho dan Desa Suka Damai Kecamatan Lembah Seulawah. Industri tersebut merupakan salah satu sentra industri kecil sektor informal yang ada dan turut menunjang perekonomian di Kabupaten Aceh Besar. Menurut keterangan dari Ketua Kelompok Industri, jumlah industri keripik singkong di Desa Jantho Baru adalah 32 industri dengan jumlah tenaga kerja 74 orang. Sedangkan di desa Suka Damai jumlah industri yaitu 34 industri dengan jumlah tenaga kerja 85 orang. Bila permintaan keripik singkong meningkat, pemilik industri juga memperkerjakan pekerja harian. Para pekerja tersebut berusia 20-50 tahun. Di bagian penggorengan, pekerjaan dilakukan oleh pekerja wanita.

Berdasarkan pengamatan awal yang dilakukan pada bulan November 2010 pada industri rumah tangga keripik singkong yang ada di desa Jantho Baru dan Suka Damai, diketahui bahwa proses produksi keripik singkong dilakukan secara manual dengan peralatan yang sederhana. Khusus di bagian penggorengan, pekerja bekerja selama ±5 jam sehari dari jam 09.00 WIB sampai dengan jam 14.00 WIB setiap harinya. Berdasarkan hasil wawancara dengan 2 orang pekerja di 2 industri keripik singkong, selama melakukan pekerjaan mereka merasakan keluhan-keluhan seperti sakit kepala, perasaan berat pada kaki, pegal-pegal pada lengan dan pinggang, dan


(17)

nyeri pada punggung. Keluhan-keluhan tersebut merupakan kemungkinan tanda-tanda kelelahan pada pekerja.

Kelelahan yang dirasakan oleh pekerja dapat disebabkan karena fasilitas kerja yang tidak ergonomis sehingga menyebabkan munculnya sikap kerja yang tidak alamiah saat melakukan pekerjaan. Para pekerja di bagian penggorengan melakukan pekerjaan dalam posisi duduk dan berdiri secara bergantian. Saat bekerja, pekerja sering melakukan sikap kerja yang tidak alamiah. Pada saat duduk, pekerja sering melakukan gerakan membungkuk melebihi 20º, sedangkan pada posisi berdiri pekerja sering melakukan gerakan menunduk dalam waktu yang lama saat menggoreng keripik. Gerakan membungkuk dan menunduk yang dilakukan pekerja disebabkan karena tungku penggorengan yang rendah dan terletak agak jauh dari pekerja sehingga pekerja harus menjangkau melebihi jangkauan tangannya. Tinggi tungku penggorengan rata-rata 35 cm. Ukuran ini menunjukkan bahwa fasilitas kerja yang dimiliki oleh pekerja tidak ergonomis. Untuk tinggi permukaan tungku penggorengan, Nurmianto (2004) mengatakan dapat disesuaikan dalam rentang 83,8 – 99 cm. Fasilitas kerja yang tidak ergonomis tersebut menyebabkan munculnya sikap kerja yang tidak alamiah, dan bila hal ini dilakukan secara monoton dan terus-menerus dapat mempercepat munculnya kelelahan dan berbagai keluhan kesehatan.

Manuaba (1992) dalam Tarwaka (2004) mengatakan bahwa lingkungan kerja yang nyaman sangat dibutuhkan oleh pekerja untuk dapat bekerja secara optimal dan produktif. Oleh karena itu lingkungan kerja harus ditangani atau didesain sedemikian


(18)

rupa sehingga menjadi kondusif terhadap pekerja untuk melaksanakan kegiatan dalam suasana yang aman dan nyaman.

Postur/sikap kerja merupakan posisi kerja yang secara alamiah dibentuk oleh tubuh pekerja akibat berinteraksi dengan fasilitas yang digunakan. Menurut Das (1991) dan Pulat (1992), posisi duduk-berdiri merupakan posisi terbaik dan lebih dikehendaki daripada hanya posisi duduk saja atau berdiri saja. Hal tersebut disebabkan karena memungkinkan pekerja berganti posisi kerja untuk mengurangi kelelahan otot karena sikap paksa dalam satu posisi kerja. Selain itu Helander (1995) juga mengatakan bahwa posisi duduk-berdiri mempunyai keuntungan secara biomekanis dimana tekanan pada tulang belakang dan pinggang 30% lebih rendah dibandingkan dengan posisi duduk maupun berdiri terus-menerus (Tarwaka, 2004).

Menurut Effendi (2007), sikap tubuh dalam bekerja berhubungan dengan tempat duduk, meja kerja dan luas pandangan. Untuk merencanakan tempat kerja dan perlengkapannya diperlukan ukuran-ukuran tubuh yang menjamin sikap tubuh paling alamiah dan memungkinkan dilakukannya gerakan-gerakan yang dibutuhkan.

Rancangan kerja yang salah dapat dihindari dengan cara membuat rancangan kerja yang memperhatikan ukuran tubuh manusia (antropometri). Rancangan kerja yang lebih ergonomis akan membuat pekerja tidak harus bekerja dengan posisi membungkuk atau posisi lain yang tidak memberikan kenyamanan bagi anggota tubuh lainnya. Pendekatan ergonomis dalam proses perancangan produk, fasilitas ataupun lingkungan fisik kerja akan mampu menghasilkan efektivitas dan efisiensi


(19)

kerja, disamping juga meningkatkan nilai-nilai manusiawi pekerja dalam bentuk keselamatan, kesehatan dan kepuasan kerja (Wignjosoebroto. 2008).

Menurut Hamonangan (2006) dalam penelitiannya pada pekerja bagian pengemasan (packing) distribusi obat di PT. “K” Medan mengatakan bahwa fasilitas kerja yang tidak ergonomis dapat menimbulkan penyesuaian sikap kerja seperti sikap kerja duduk membungkuk dan jongkok yang menyebabkan munculnya keluhan rasa sakit dan kelelahan kerja.

Rahmani (1998) dalam penelitiannya mengatakan dari 19 orang pekerja di bagian sanding CV Citra Jepara Divisi Kerang Jati Kab Semarang, 11 orang mempunyai sikap kerja non ergonomis akibat fasilitas kerja yang tidak ergonomis dan terdapat hubungan yang bermakna antara sikap kerja dengan kelelahan kerja.

Pada penelitian Astono (2002) di dapat dari 98 subyek yang diteliti, sebanyak 45,9 % pekerja dengan sikap kerja berdiri mengalami kelelahan. Terdapat hubungan bahwa subyek penelitian yang tinggi meja kerjanya tidak sesuai dengan tinggi sikunya, lebih besar kemungkinan untuk mengalami kelelahan. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kelelahan kerja pada sikap kerja berdiri adalah umur pekerja, Hb darah, kebiasaan olah raga dan kebiasaan merokok.

Berdasarkan dari survei awal yang dilakukan , diduga kelelahan yang dialami oleh pekerja bagian penggorengan disebabkan oleh fasilitas kerja yang tidak ergonomis sehingga terjadi sikap kerja yang tidak alamiah. Oleh karena itu peneliti akan melakukan penelitian tentang pengaruh fasilitas kerja terhadap sikap kerja dan kelelahan pada pekerja bagian penggorengan pada industri rumah tangga keripik


(20)

singkong di desa Jantho Baru dan Suka Damai Kabupaten Aceh Besar. Dalam penelitian ini, penulis akan merancang fasilitas kerja berupa kursi dan tungku penggorengan yang ergonomis agar sikap kerja berubah menjadi sikap kerja dinamis sehingga kenyamanan dalam bekerja dapat tercipta.

1.2.Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian tentang bagaimana pengaruh fasilitas kerja terhadap sikap kerja dan kelelahan pada pekerja bagian penggorengan industri rumah tangga keripik singkong di Kabupaten Aceh Besar.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh fasilitas kerja terhadap sikap kerja dan kelelahan pada pekerja bagian penggorengan industri rumah tangga keripik singkong di Kabupaten Aceh Besar.

1.4. Hipotesis

1.4.1. Ada pengaruh yang signifikan dari fasilitas kerja terhadap sikap kerja dan kelelahan pada pekerja bagian penggorengan industri rumah tangga keripik singkong di Kabupaten Aceh Besar.

1.4.2. Tidak ada Pengaruh yang signifikan dari fasilitas kerja terhadap sikap kerja dan kelelahan pada pekerja bagian penggorengan industri rumah tangga keripik singkong di Kabupaten Aceh Besar.


(21)

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Secara teoritis, dapat bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu kesehatan masyarakat khususnya tentang keselamatan dan kesehatan kerja serta pengembangan penelitian sejenis di masa yang akan datang.

1.5.2. Bagi peneliti bermanfaat untuk menambah pengetahuan khususnya tentang pengaruh fasilitas kerja terhadap sikap kerja dan kelelahan pekerja.

1.5.3. Bagi lokasi penelitian, dapat memberikan informasi bagi pengusaha industri sehingga pengusaha dapat menerapkan sikap kerja yang baik dengan memberikan fasilitas kerja yang ergonomis.


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelelahan Kerja

2.1.1. Pengertian Kelelahan

Kata lelah (fatigue) menunjukan keadaan tubuh fisik dan mental yang berbeda, tetapi semuanya berakibat kepada penurunan daya kerja dan berkurangnya ketahanan tubuh untuk bekerja. Terdapat dua jenis kelelahan,yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot ditandai antara lain oleh tremor atau rasa nyeri yang terdapat pada otot. Kelelahan umum ditunjukkan oleh hilangnya kemauan untuk bekerja, yang penyebabnya adalah keadaan persyarafan sentral atau kondisi psikis-psikologis (Suma’mur, 2009).

Kelelahan mental dapat bersumber dari overload ataupun underload ; dari suatu pekerjaan yang menghasilkan kebutuhan yang berlebihan dari pekerjaan yang tidak menarik dan mudah tersebut. Kedua kondisi tersebut dapat meningkatkan stress, akan tetapi jika diperpanjang, keduanya akan mengurangi gairah kerja ( Nurmianto, 2008).

Kelelahan akibat kerja seringkali diartikan sebagai proses menurunnya efisiensi, kemampuan kerja, dan berkurangnya kekuatan/ ketahanan fisik yang dapat mendatangkan kecelakaan. Timbulnya rasa lelah dalam diri manusia merupakan


(23)

proses yang terakumulasi dari berbagai faktor penyebab dan mendatangkan ketegangan atau stress (Sulistyadi dan susanti, 2003).

Kelelahan merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut, sehingga akan terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan secara umum ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja (Tarwaka, 2004).

Sampai saat ini masih berlaku dua teori tentang kelelahan otot, yaitu teori kimia dan teori syaraf pusat terjadinya kelelahan. Pada teori kimia secara umum menjelaskan bahwa terjadinya kelelahan adalah akibat berkurangnya cadangan energi dan meningkatnya sisa metabolisme sebagai penyebab hilangnya efisiensi otot, sedangkan perubahan arus listrik pada otot dan saraf adalah penyebab sekunder. Sedangkan pada teori syaraf pusat menjelaskan bahwa perubahan kimia hanya merupakan penunjang proses. Perubahan kimia yang terjadi mengakibatkan dihantarkannya rangsangan syaraf melalui syaraf sensoris ke otak yang disadari sebagai kelelahan otot. Rangsangan aferen ini menghambat pusat-pusat otak dalam mengendalikan gerakan sehingga frekuensi potensial kegiatan pada sel saraf menjadi berkurang. Berkurangnya frekuensi tersebut akan menurunkan kekuatan dan kecepatan kontraksi otot dan gerakan atas perintah kemauan menjadi lambat. Dengan demikian semakin lambat gerakan sesorang akan menunjukkan semakin lelah kondisi otot seseorang (Tarwaka, 2004).

Ada beberapa macam kelelahan dan diakibatkan oleh faktor yang berbeda-beda seperti :


(24)

a. Lelah otot

Kelelahan dapat dilihat dalam bentuk munculnya gejala kesakitan yang amat sangat ketika otot harus menerima beban yang berlebihan.

b. Lelah visual

Kelelahan yang diakibatkan ketegangan yang terjadi pada organ visual (mata) yang terkonsentrasi secara terus- menerus pada suatu obyek (layar komputer). Cahaya yang terlalu kuat yang mengenai mata juga akan menimbulkan gejala yang sama.

c. Lelah mental

Kelelahan datangnya bukan diakibatkan secara langsung oleh aktivitas fisik, melainkan lewat kerja mental (proses berpikir sebagai contoh). Lelah mental ini seringkali pula disebut sebagai lelah otak.

d. Lelah monotonis

Kelelahan yang disebabkan oleh aktivitas kerja yang bersifat rutin, monoton atau pun lingkungan kerja yang sangat menjemukan (Wignjosoebroto, 2008). Kelelahan yang disebabkan oleh sejumlah faktor yang berlangsung terus menerus dan terakumulasi akan menyebabkan apa yang disebut dengan “lelah kronis”. Gejala-gejala yang tampak jelas akibat lelah kronis ini dapat dicirikan seperti :


(25)

1. Meningkatnya emosi dan rasa jengkel sehingga orang menjadi kurang toleran atau a-sosial terhadap orang lain.

2. Munculnya sikap apatis terhadap pekerjaan. 3. Depresi yang berat, dll( Wigjosoebroto, 2008)

2.1.2. Penyebab Kelelahan

Faktor-faktor penyebab terjadinya kelelahan antara lain : a. Keadaan yang monoton

Pekerjaan monoton, adalah suatu kerja yang berhubungan dengan hal yang sama dalam periode atau waktu yang tertentu, dan dalam jangka waktu yang lama dan biasanya oleh suatu produksi yang besar.

b. Intensitas dan lamanya kerja fisik dan mental

Lamanya seseorang bekerja dengan baik dalam sehari pada umumnya 6-10 jam. Sisanya (14-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga dan masyarakat, istirahat, tidur, dan lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan lama kerja tersebut biasanya tidak disertai efisiensi, efektifitas dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan biasanya terlihat penurunan kualitas dan hasil kerja serta bekerja dengan waktu yang berkepanjangan timbul kecenderungan untuk terjadinya kelelahan,penyakit dan kecelakaan serta ketidakpuasan (Suma’mur, 2009) c. Lingkungan fisik


(26)

Lingkungan fisik adalah salah satu faktor yang datang dari luar diri manusia dan berpengaruh terhadap aktivitas kerja. Beberapa kondisi lingkungan fisik yang mempengaruhi kerja manusia :

a) Temperatur b) Siklus udara c) Pencahayaan d) Kebisingan e) Getaran

d. Kondisi psikologis

Faktor psikologis juga memainkan peran besar dalam menimbulkan kelelahan. Seringkali pekerja tidak mengerjakan sesuatu apapun juga, karena merasakan kelelahan. Sebabnya ialah adanya konflik mental (batin). Konflik mental mungkin didasarkan atas pekerjaan itu sendiri,mungkin bersumber kepada sesama pekerja atau atasan, mungkin pula berpangkal kepada peristiwa dirumah tangga atau dalam pergaulan hidup dalam masyarakat (Suma’mur, 2009) .

e. Sikap kerja

Sikap tubuh yang salah /janggal atau cara yang tidak ergonomik dalam melakukan pekerjaan dapat menimbulkan kelelahan fisik, keluhan dan gangguan kesehatan pada pekerja (Depkes RI, 2005).


(27)

Kesehatan pekerja dan produktifitas kerja erat bertalian dengan tingkat/ keadaan gizi. Pekerja memerlukan makanan yang bergizi untuk pemeliharaan tubuh, untuk perbaikan dari sel-sel dan jaringan, untuk pertumbuhan sampai masa-masa tertentu dan untuk melakukan kegiatan-kegiatan, termasuk pekerjaan. Kekurangan akan zat gizi akan mengakibatkan gangguan kesehatan dan juga produktifitas kerja (Budiono dkk, 2008).

2.1.3. Akibat Kelelahan

Kelelahan yang berkadar tinggi dapat menyebabkan seseorang tidak mampu lagi bekerja sehingga berhenti bekerja oleh karena merasa lelah bahkan yang bersangkutan tertidur oleh karena kelelahan. Jika pekerja telah mulai merasa lelah dan tetap ia paksa untuk terus bekerja, kelelahan akan semakin bertambah dan kondisi lelah demikian sangat mengganggu kelancaran pekerjaan dan juga berefek buruk kepada pekerja yang bersangkutan (Suma’mur, 2009).

Pada akhirnya kelelahan fisik ini dapat menyebabkan sejumlah hal yang kurang menguntungkan seperti : melemahnya kemampuan pekerja dalam melakukan pekerjaannya dan meningkatnya kesalahan dalam melakukan kegiatan kerja dan akibat fatalnya adalah terjadinya kecelakaan kerja ( Ramandhani, 2008).

2.1.4. Pengukuran Kelelahan

Untuk mengetahui tingkat kelelahan kerja dapat dilakukan dengan berbagai macam pendekatan yaitu :


(28)

Waktu reaksi adalah jangka waktu pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau dilaksanakan kegiatan.

Pengukuran waktu reaksi dilakukan dengan menggunakan alat Reaction Timer. Alat ini mengukur gerakan lambat, cepat dan reaksinya, dengan mengukur waktu respon dari keseluruhan tubuh atau tangan terhadap cahaya dan suara. Setyawati (1996) melaporkan bahwa dalam uji waktu reaksi, ternyata stimuli terhadap cahaya lebih signifikan daripada stimuli suara. Hal tersebut disebabkan karena stimuli suara lebih cepat diterima oleh reseptor daripada stimuli cahaya.

2. Uji hilangnya kelipan (Flicker Fusion Test)

Dalam kondisi yang lelah, kemampuan pekerja untuk melihat kelipan akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang waktu yang diperlukan untuk jarak antar dua kelipan. Uji kelipan disamping untuk mengukur kelelahan juga menunjukkan kewaspadaan pekerja.

3. Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan

Pada metode ini, kualitas output digambarkan sebagai jumlah proses kerja (waktu yang digunakan) atau proses operasi yang dilakukan setiap unit waktu. 4. Uji mental

Pada metode ini, konsentrasi merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan menyelesaikan pekerjaan.. 5. Kuesioner kelelahan 30 item, yang terdiri dari :


(29)

10 pertanyaan tentang pelemahan kegiatan, yaitu : (1) perasaan berat di kepala, (2) lelah seluruh tubuh, (3) berat di kaki, (4) menguap, (5) pikiran

kacau, (6) mengantuk, (7) ada beban pada mata, (8) gerakan canggung dan kaku, (9) berdiri tidak stabil, (10) ingin berbaring

10 pertanyaan tentang pelemahan motivasi : (11) susah berpikir, (12) lelah untuk berbicara, (13) gugup, (14) tidak berkonsentrasi, (15) sulit memusatkan konsentrasi, (16) mudah lupa, (17) kepercayaan diri berkurang,

(18) merasa cemas, (19) sulit mengontrol sikap, (20) tidak tekun dalam pekerjaan.

10 pertanyaan tentang gambaran kelelahan fisik :(21) sakit di kepala, (22) kaku di bahu, (23) nyeri di punggung, (24) sesak nafas, (25) haus, (26) suara serak, (27) merasa pening, (28) spasme dikelopak mata, (29) tremor pada anggota badan, (30) merasa kurang sehat (Tarwaka, 2004).

2.2. Sikap Kerja

Sikap tubuh dalam bekerja adalah suatu gambaran tentang posisi badan, kepala dan anggota tubuh (tangan dan kaki) baik dalam hubungan antar bagian-bagian tubuh tersebut maupun letak pusat gravitasinya. Faktor- faktor yang paling berpengaruh meliputi sudut persendian inklinasi vertikal badan, kepala, tangan dan kaki serta derajat penambahan atau pengurangan bentuk kurva tulang belakang. Faktor-faktor tersebut akan menentukan efisiensi atau tidaknya sikap tubuh dalam bekerja (Community,2008)


(30)

Sikap tubuh dalam bekerja yang dikatakan secara ergonomik adalah yang memberikan rasa nyaman, aman, sehat dan selamat dalam bekerja, yang dapat dilakukan antara lain dengan cara ;

a. Menghindarkan sikap yang tidak alamiah dalam bekerja b. Diusahakan beban statis menjadi sekecil-kecilnya

c. Perlu dibuat dan ditentukan kriteria dan ukuran baku tentang peralatan kerja yang sesuai dengan antropometri pekerja penggunanya.

d. Agar diupayakan bekerja dengan sikap duduk dan berdiri secara bergantian (Ramandhani, 2008)

Sikap tubuh dalam melakukan pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, susunan, dan penempatan mesin dan peralatan serta perlengkapan kerja; juga bentuk, ukuran dan penempatan alat kendali serta alat petunjuk, cara kerja mengoperasikan mesin dan peralatan yang merinci macam gerak, arah dan kekuatannya yang harus dilakukan (Suma’mur, 2009).

2.2.1. Sikap Kerja Duduk

Duduk memerlukan lebih sedikit energi dari pada berdiri, karena hal itu dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Namun sikap duduk yang keliru akan merupakan penyebab masalah-masalah punggung. Tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring (Nurmianto, 2008)

Grandjean (1993) berpendapat bahwa bekerja dengan posisi duduk mempunyai keuntungan antara lain : pembebanan pada kaki, pemakaian energi dan


(31)

keperluan untuk sirkulasi darah dapat dikurangi. Namun demikian sikap kerja duduk yang terlalu lama dapat menyebabkan otot perut melembek dan tulang belakang melengkung sehingga cepat merasa lelah. Pulat (1992), memberikan pertimbangan tentang pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan posisi duduk yaitu sebagai berikut :

1. Pekerjaan yang memerlukan kontrol dengan teliti pada kaki

2. Pekerjaan utama adalah menulis atau memerlukan ketelitian pada tangan 3. Tidak diperlukan tenaga dorong yang besar

4. Obyek yang dipegang tidak memerlukan tangan bekerja pada ketinggian lebih dari 15 cm dari landasan kerja

5. Diperlukan tingkat kestabilan tubuh yang tinggi 6. Pekerjaan dilakukan pada waktu yang lama

7. Seluruh obyek yang dikerjakan atau disuplai masih dalam jangkauan dengan posisi duduk ( Tarwaka, 2004)

2.2.2. Sikap Kerja Berdiri

Selain posisi kerja duduk, posisi berdiri juga banyak ditemukan di perusahaan. Menurut Sutalaksana (2000), bahwa sikap berdiri merupakan sikap siaga baik fisik maupun mental, sehingga aktifitas kerja yang dilakukan lebih cepat, kuat dan teliti. Namun demikian mengubah posisi duduk ke berdiri dengan masih menggunakan alat kerja yang sama akan melelahkan. Pada dasarnya berdiri itu sendiri lebih melelahkan daripada duduk dan energi yang dikeluarkan untuk berdiri lebih banyak 10-15% dibandingkan dengan duduk (Tarwaka, 2004).


(32)

Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan terjadi penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki, hal ini akan bertambah bila berbagai bentuk bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai (Santoso, 2004).

Untuk meminimalkan pengaruh kelelahan dan keluhan subyektif maka pekerjaan harus didesain agar tidak terlalu banyak menjangkau, membungkuk, atau melakukan gerakan dengan posisi kepala yang tidak alamiah. Untuk maksud tersebut Pulat (1992) dan Clark (1996) memberikan pertimbangan tentang pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan posisi berdiri adalah sebagai berikut :

1. Tidak tersedia tempat untuk kaki dan lutut

2. Harus memegang obyek yang berat ( lebih dari 4,5 kg) 3. Sering menjangkau keatas, kebawah, dan kesamping 4. Sering melakukan pekerjaan dengan menekan kebawah 5. Diperlukan mobilitas tinggi (Tarwaka, 2004)

2.2.3. Sikap Kerja Dinamis

Sikap kerja dinamis yaitu sikap kerja duduk dan berdiri bergantian. Das (1991) dan Pulat (1992) dalam Tarwaka (2004) menyatakan bahwa posisi duduk – berdiri merupakan posisi terbaik dan lebih dikehendaki daripada hanya posisi duduk saja atau berdiri saja. Hal tersebut disebabkan karena memungkinkan pekerja berganti posisi kerja untuk mengurangi kelelahan otot karena sikap paksa dalam satu posisi kerja.

Helander (1995) dan Tarwaka (1995), memberikan batasan ukuran ketinggian landasan kerja untuk pekerjaan yang memerlukan sedikit penekanan yaitu 15 cm di


(33)

bawah tinggi siku untuk kedua posisi kerja. Menurut Helander (1995), posisi duduk-berdiri yang telah banyak dicobakan di industri, ternyata mempunyai keuntungan secara biomekanis di mana tekanan pada tulang belakang dan pinggang 30% lebih rendah dibandingkan dengan posisi duduk maupun berdiri terus menerus.

2.3 Metode Penilaian Postur Kerja

Ada beberapa cara yang telah diperkenalkan dalam melakukan evaluasi ergonomi untuk mengetahui hubungan antara tekanan fisik dengan resiko keluhan otot skeletal. Alat ukur ergonomik yang dapat digunakan cukup banyak dan bervariasi. Namun demikian, dari berbagai alat ukur dan berbagai metode yang ada tentunya mempunyai kelebihan dan keterbatasan masing-masing. Dibawah ini akan dibahas beberapa metode observasi postur tubuh yang berkaitan dengan resiko gangguan pada sistem muskuloskeletal (seperti metode OWAS, RULA, REBA) dan penilaian subjektif terhadap tingkat keparahan pada sistem muskuloskeletal dengan metode Nordic Body Map serta checklit sederhana yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi potensi bahaya pada pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan resiko MSD’s.

2.3.1 Metode OWAS (Ovako Working Analysis Syistem)

Metode OWAS merupakan suatu metode yang digunakan untuk menilai postur tubuh saat bekerja. Metode OWAS ini merupakan metode yang sederhana dan dapat digunakan untuk menganalisis suatu pembebanan pada postur tubuh. Metode ini awalnyaditujukan untuk mempelajari suatu pekerjaan di industri baja di Finlandia.


(34)

Aplikasi metode OWAS didasarkan pada hasil pengamatan dari berbagai posisi yang diambil dari pekerja selama melakukan pekerjaannya. Langkah pertama dari metode ini adalah pengumpulan data atau perekaman posisi yang dapat dilakukan dengan melalui observasi pada pakerja, analisis foto, video atau melihat aktivitas yang sedang dilakukan untuk kemudian dibuat kode berdasarkan dta tersebut. Evaluasi penilaian didasarkan pada skor dari tingkat bahaya postur kerja yang ada dan selanjutnya dihubungkan dengan kategori tindakan yang harus diambil.

Klasifikasi postur kerja dari metode OWAS adalah pada pergerakan tubuh bagian belakang (punggung), lengan (arms), dan kaki (legs). Setiap postur tubuh tersebut terdiri atas 4 postur bagian belakang, 3 postur lengan , 7 postur kaki dan berat beban yang dikerjakan juga dilakukan penilaian dengan 3 kisaran beban.

2.3.2 Metode RULA (Rapid Upper Limb Assessment)

Metode RULA merupakan suatu metode dengan menggunakan target postur tubuh untuk mengestimasi terjadinya resiko gangguan otot skeletal, khususnya pada anggota tubuh bagian atas (upper limb disorder), seperti adanya gerakan repetitif, pekerjaan diperlukan pengerahan kekuatan, aktifitas otot statis pada otot skeletal, dll. Penilaian dengan metode Rula ini merupakan penilaian yang sistematis dan cepat terhadap resiko terjadinya gangguan dengan menunjuk bagian anggota tubuh pekerja yang mengalami gangguan tersebut. Analisis dapat dilakukan sebelum dan sesudah intervensi, untuk menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan akan dapat menurunkan resiko cedera. Di samping itu , metode RULA merupakan alat untuk melakukan analisis awal yang mampu menentukan seberapa jauh resiko pekerja yang


(35)

terpengaruh oleh faktor-faktor penyebab cedera, yaitu postue tubuh, kontraksi otot statis, gerakan repetitif, dan pengerahan tenaga dan pembebanan.

Pengukuran terhadap postur tubuh dengan metode RULA pada prinsipnya adalah mengukur sudut dasar yaitu sudut yang dibentuk oleh perbedaan anggota tubuh (limbs) dengan titik tertentu pada postur tubuh yang dinilai. Dalam mempermudah penilaiannya maka tubuh dibagi atas 2 segmen group yaitu group A dan group B. Postur tubuh group A terdiri atas lengan atas , lengan bawah, pergelangan tangan dan putaran pergelangan tangan, sedangkan group B meliputi leher, batang tubuh dan kaki.

2.3.3 Metode REBA (Rapid Entire Body Assessment)

Metode REBA dirancang oleh Sue Hignet dan Lynn McAtamney (2000) sebagai sebuah metode penilaian postur kerja untuk menilai faktor resiko gangguan tubuh secara keseluruhan. Data yang dikumpulkan adalah data mengenai postur tubuh, kekuatan yang digunakan, jenis pergerakan atau aksi, pengulangan dan pegangan. Skor akhir REBA dihasilkan untuk memberi sebuah indikasitingkat resiko dan tingkat keutamaan dari sebuah tindakan yang harus diambil.

Faktor postur tubuh yang dinilai dibagi atas dua kelompok utama atau group yaitu group A yang terdiri atas postur tubuh kanan dan kiri dari batang tubuh, leher dan kaki. Sedangkan group B terdiri atas postur tubuh kanan dan kiri dari lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Pada masing-masing group diberikan suatu skala postur tubuh dan suatu pernyataan tambahan. Diberikan juga faktor beban/kekuatan dan pegangan (coupling).


(36)

REBA dapat juga digunakan ketika penilaian postur kerja diperlukan dan dalam sebuah pekerjaan:

1. Keseluruhan bagian badan digunakan.

2. Postur tubuh statis, dinamis, cepat berubah atau tidak stabil.

3. Melakukan sebuah pembebanan seperti mengangkat benda baik secara rutin ataupun sesekali.

4. Perubahan dari tempat kerja, peralatan atau pelatihan pekerja sedang dilakukan dan diawasi sebelum atau sesudah perubahan.

2.3.4 Metode “Nordic Body Map” (NBM)

Metode ‘Nordic Body Map” berbeda dengan ketiga metode yang telah dijelaskan sebelumnya. Metode ini, merupakan metode yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan atas terjadinya gangguan atau cedera pada otot-otot skeletal. Sementara itu, metode OWAS, RULA, dan REBA ditujukan untuk menilai postur tubuh selama periode kerja, menentukan tingkat risiko dan melakukan tindakan perbaikan, tanpa melihat tingkat keparahan atau keluhan yang dialami oleh pekerja. Dengan demikian metode ‘Nordic Body Map” merupakan metode lanjutan yang dapat digunakan setelah selesai melakukan observasi dengan metode OWAS, RULA, dan REBA.

Dalam aplikasinya, metode “Nordic Body Map” dengan menggunakan lembar kerja berupa peta tubuh (body map) merupakan cara yang sangat sederhana, mudah dipahami, murah dan memerlukan waktu yang sangat singkat (± 5 menit) per individu. Pengukuran gangguan otot skeletal dengan menggunakan kuesioner


(37)

“Nordic Body Map” sebaiknya digunakan untuk menilai tingkat keparahan gangguan otot skeletal individu dalam kelompok kerja yang cukup banyak atau kelompok sample yang dapat merepresentasikan populasi secara keseluruhan.

2.3.5 Metode Identifikasi Penilaian MSDs dengan Checklist

Checklist merupakan alat ukur ergonomik yang paling sederhana dan mudah, oleh karena itu pada umumnya menjadi pilihan pertama untuk melakukan pengukuran yang masih bersifat umum. Checklist terdiri dari daftar pertanyaan yang diarahkan untuk mengidentifikasi sumber keluhan/penyakit. Untuk mengetahui sumber keluhan otot, pada umumnya daftar pertanyaan yang diajukan dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertanyaan yang bersifat umum dan khusus. Pertanyaan umum biasanya mengarah pada pengumpulan tentang tingkat beban kerja, tingkat kesulitan pekerjaan, kondisi lingkungan kerja, waktu dan sikap kerja. Sedangkan pertanyaan khusus diarahkan untuk memperoleh data yang lebih spesifik seperti berat badan, jarak angkat, jenis pekerjaan dan frekwensi kerja.

2.4. Fasilitas Kerja

Perancangan fasilitas kerja haruslah memperhatikan gerakan-gerakan kerja sehingga dapat memperbaiki dan mengurangi kelelahan kerja. Mengingat dimensi ukuran tubuh manusia berbeda-beda, maka diperlukan penyesuaian fasilitas kerja harus selalu mempertimbangkan antropometri pemakainya. Dengan fasilitas kerja yang ergonomis, maka karyawan dapat bekerja dengan nyaman, aman dan produktif. Apabila fasilitas kerja tidak ergonomis, maka akan timbul sikap kerja yang tidak


(38)

benar, sehingga perfomansi kerja orang tersebut akan menurun, tidak efektif dan efisien (Sutalaksana, 1999).

Suatu disain fasilitas kerja disebut ergonomis apabila secara antropometri, faal, biomekanik dan psikologis cocok dengan manusia pemakainya. Mendesain fasilitas kerja, yang sangat penting diperhatikan adalah suatu desain berpusat pada manusia pemakainya. (Sutalaksana, 1999)

Menurut Wignjosoebroto (2008), dalam perancangan fasilitas kerja terdapat aspek-aspek yang mempengaruhi, meliputi :

1. Memperhatikan perbaikan-perbaikan metode atau cara kerja dengan menekan prinsip-prinsip ekonomi gerakan dengan tujuan pokok meningkatkan efisiensi dan produktifitas kerja.

2. Mempertimbangkan kebutuhan akan data yang menyangkut dimensi tubuh manusia. Data antropometri akan menunjang dalam proses perancangan fasilitas kerja dengan tujuan mencari keserasian hubungan fasilitas kerja dengan manusia yang memakainya.

3. Mempertimbangkan pengaturan tata letak fasilitas kerja yang digunakan, pengaturan ini pada prinsipnya bertujuan untuk mencari gerakan-gerakan yang efisien.

2.5. Antropometri dan Aplikasinya dalam Perancangan Fasilitas Kerja

Istilah antropometri berasal dari kata antro yang berarti manusia dan metri yang berarti ukuran. Secara defenitif antropometri dapat dinyatakan sebagai satu studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia. Antropometri secara luas


(39)

akan digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan ergonomis dalam memerlukan interaksi manusia. Data antropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara luas antara lain dalam hal perancangan areal kerja, perancangan peralatan kerja, perancangan produk-produk konsumtif dan perancangan lingkungan kerja fisik (wingjosoebroto, 2008).

Pengukuran antropometri tidak dapat dilakukan dengan mudah karena banyak faktor yang mempengaruhi yaitu ukuran tubuh manusia yang beragam, dan tergantung pada umur, jenis kelamin dan suku bangsa. Berdasarkan kondisi tersebut maka antropometri dibagi menjadi 2 bagian yaitu antropometri statis dan dan antropometri dinamis. Antropometri statis adalah dimensi tubuh manusia yang diukur pada saat manusia dalam keadaan statis atau diam untuk posisi yang telah ditentukan atau standar. Antropometri dinamis adalah dimensi tubuh manusia yang diukur pada saat seseorang melakukan aktifitas atau sedang melakukan pekerjaan (Sulistyadi dan Susanti, 2003).

Antropometri merupakan suatu pengukuran yang sistematis terhadap tubuh manusia, terutama seluk beluk dimensional ukuran dan bentuk tubuh manusia. Antropometri yang merupakan ukuran tubuh digunakan untuk merancang atau menciptakan suatu sarana kerja yang sesuai dengan ukuran tubuh pengguna sarana kerja tersebut (Ramandhani, 2008 ).

Menurut Sulistyadi dan Susanti (2003), pengukuran antropometri pada hakekatnya adalah pengukuran jarak antara dua titik pada tubuh manusia yang ditentukan. Ada dua metode pengukuran antropometri yaitu :


(40)

1. Metode ukur dengan antropometer

Antropometer adalah alat ukur dengan satuan panjang sentimeter yang dirancang secara khusus untuk digunakan dalam pengukuran ukuran-ukuran tubuh manusia, mulai dari tinggi badan tegak (berdiri), tinggi duduk tegak sampai dengan ukuran lainnya. Dengan bantuan alat ini diukur data antropometri dengan mudah.

2. Metode ukur tukang jahit

Pengukuran antropometri dengan metode ukur tukang jahit adalah pengukuran terhadap ukuran bagian tubuh manusia dengan menggunakan pita atau rol ukur yang biasa digunakan oleh tukang jahit. Pada pengukuran antropometri tukang jahit, pengukuran yang biasa dilakukan dengan antropometer diselenggarakan dengan meteran ukur plastik biasa.

Sulistyadi dan Susanti (2003) mengatakan bahwa hasil pengukuran data antropometri diaplikasikan untuk perancangan fasilitas kerja. Mengingat data ukuran data jenis kelamin yang berbeda pada tiap individu maka dalam merancang digunakan data antropometri berdasarkan :

1. Prinsip perancangan fasilitas kerja berdasarkan individu ekstrim dapat dibagi menjadi dua. Pertama, perancangan dengan data nilai persentil tinggi (90%, 95% atau 99%). Misalnya untuk merancangkan tinggi pintu diambil dari tinggi manusia persentil 99% ditambah dengan kelonggaran. Kedua, perancangan fasilitas dengan data persentil kecil atau rendah (10%, 5% atau


(41)

1%). Misalnya membuat tinggi jemuran pakaian digunakan data tinggi jangkauan tangan persentil rendah.

2. Perancangan fasilitas kerja yang dapat disesuaikan

Untuk fasilitas kerja yang dapat disesuaikan, dirancang memiliki daerah ukuran minimal (persentil 5%) sampai dengan ukuran maksimal (persentil (95% atau 99%). Perlu diperhatikan bahwa rancangan yang demikian ini biasanya memerlukan ongkos yang lebih mahal tetapi memiliki nilai fungsi yang lebih tinggi.

3. Perancangan fasilitas kerja berdasarkan data rata-rata pemakainya

Perancangan fasilitas kerta berdasarkan data rata-rata bertujuan untuk memberikan kenyamanan atau nilai fungsi yang tinggi bagi banyak orang dengan biaya yang rendah. Misalnya tinggi kursi tempat duduk.

2.6.Landasan Teori

Landasan teori pada penelitian ini mengacu pada teori kombinasi yang dikemukakan oleh Grandjean (1988), yang menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya kelelahan sangat bervariasi, dan untuk memelihara / mempertahankan kesehatan dan efisiensi proses penyegaran harus dilakukan. Faktor-faktor penyebab kelelahan digambarkan sebagai berikut :


(42)

Gambar 2.1 Teori Kombinasi Penyebab Kelelahan

Fasilitas kerja yang tidak ergonomis dapat menimbulkan penyesuaian sikap kerja seperti sikap kerja duduk membungkuk dan jongkok yang menyebabkan keluhan rasa sakit pada bagian tubuh dan terjadi peningkatan kelelahan pada pekerja (Sabrina, 2009).

Samudro, dkk (2006) dalam penelitian pada pekerja di industri rumah tangga plastik Hasta Cipta Indoplast Surabaya mengatakan bahwa fasilitas kerja yang tidak

Penyembuhan Tingkat


(43)

ergonomis dapat mengakibatkan terjadinya kelelahan dan keluhan rasa sakit di bagian tubuh serta postur kerja yang tidak alamiah. Hal ini diketahui setelah penilaian dengan metode Rula di dapat skor 7 yang berarti perlu segera dilakukan perbaikan postur kerja dengan perbaikan fasilitas kerja.

Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan tersebut, maka peneliti akan memfokuskan untuk mengkaji tentang fasilitas kerja. Fasilitas kerja ini merupakan bagian dari faktor fisiologis kerja yang dapat menyebabkan munculnya sikap kerja tidak alamiah dan kelelahan kerja.

2.7. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Fasilitas Kerja

Sikap Kerja


(44)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah merupakan studi intervensional dengan menggunakan metode True Experimental Desain dengan pola Pretest-Posttest Control Group Design. Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih secara random, kemudian diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil pretest yang baik bila nilai kelompok eksperimen tidak berbeda secara signifikan (Sugiono, 2008).

Dalam penelitian ini akan dilakukan intervensi dengan pemberian fasilitas kerja berupa kursi dan tungku penggorengan. Kelompok eksperimen adalah kelompok yang diberikan fasilitas kerja, sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak diberikan fasilitas kerja. Observasi dan pengukuran terhadap sikap kerja dan kelelahan dilakukan sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) intervensi fasilitas kerja.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada industri keripik singkong di Kabupaten Aceh Besar yaitu di Desa Jantho Baru Kecamatan Kota Jantho dan Desa Suka Damai Kecamatan


(45)

Lembah Seulawah. Pemilihan lokasi tersebut karena Desa Jantho Baru dan Desa Suka Damai merupakan sentra industri keripik singkong di Kabupaten Aceh Besar.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan berlangsung dari bulan Maret sampai dengan Juli 2012, dengan kegiatan dimulai dengan pengajuan judul, penelusuran perpustakaan, seminar proposal, penyusunan hasil penelitian, serta seminar hasil.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja industri rumah tangga keripik singkong bagian penggorengan di Desa Jantho Baru Kecamatan Kota Jantho dan Desa Suka Damai Kecamatan Lembah Seulawah Aceh Besar yaitu sebanyak 66 orang yaitu 32 orang dari Desa Jantho Baru dan 34 orang dari desa Suka Damai. Sampel dalam penelitian ini adalah pekerja bagian penggorengan sebanyak 66 orang (total sampling) yang dibagi ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol masing-masing 33 orang. Pemilihan sampel ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol ditentukan secara acak.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data primer adalah data yang dikumpulkan dari responden dengan melakukan pengamatan terhadap fasilitas kerja, pengukuran antropometri tubuh pekerja, sikap kerja dan pengukuran kelelahan pekerja. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dengan melakukan wawancara langsung dengan Kepala Desa dan pemilik industri keripik singkong untuk mengetahui gambaran umum tentang industri


(46)

keripik singkong yang ada di Desa Jantho Baru dan Suka Damai Kabupaten Aceh Besar.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas (X) yaitu fasilitas kerja

2. Variabel terikat (Y) Sikap kerja dan Kelelahan kerja

3.5.2. Definisi Operasional

1. Kelelahan pekerja adalah kelelahan umum yang dirasakan pekerja saat menggoreng keripik singkong yang ditandai dengan lambatnya waktu reaksi terhadap cahaya.

2. Sikap kerja adalah posisi/ postur tubuh pekerja pada saat menggoreng keripik.

3. Fasilitas kerja yaitu peralatan kerja berupa kursi dan tungku penggorengan yang dirancang secara ergonomis berdasarkan data antropometri pekerja untuk membantu pekerja dalam melakukan pekerjaan.

3.6. Metode Pengukuran

1. Pengukuran kelelahan dilakukan secara obyektif. Pada penelitian ini, pengukuran obyektif dilakukan dengan menggunakan alat Reaktion Timer, karena alat ini lebih mudah dibawa dan cara penggunaannya tidak rumit sehingga responden mudah memahaminya. Pengukuran dilakukan dengan melihat lambat, cepat dan reaksinya dengan mengukur waktu respons dari


(47)

tangan terhadap cahaya. Penghitungan waktu reaksi setiap pekerja dilakukan dengan pengukuran sebanyak 5 kali pada saat sebelum bekerja dan 5 kali setelah bekerja. Hasil pengukuran setiap pekerja akan dirata-rata dan selanjutnya akan ditetapkan sebagai waktu reaksi pekerja yang bersangkutan. Alat ukur waktu reaksi yang digunakan dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 3.1 Alat Ukur Waktu Reaksi (Reaction Timer)

Menurut Setyawati (1994) dalam Rusdjijati (2005), kelelahan dapat dikatagorikan ke dalam 4 tingkatan yaitu :

a. Normal bila waktu reaksi ≤ 240 milidetik b. Ringan bila waktu reaksi > 240 – 410 milidetik c. Sedang bila waktu reaksi > 410 – 580 milidetik d. Berat bila waktu reaksi > 580 milidetik

2. Penilaian Sikap kerja dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap sikap kerja pekerja pada saat melakukan pekerjaan dengan menggunakan metode RULA (Rapid Upper Lime Assesment) karena pada penelitian ini responden lebih banyak bekerja dengan menggunakan ekstremitas atas tanpa


(48)

pembebanan. Metode ini merupakan penilaian yang sistematis dan cepat terhadap risiko gangguan khususnya pada anggota tubuh bagian atas. Metode ini juga tidak membutuhkan peralatan spesial dalam penetapan penilaian postur leher, punggung dan lengan atas. Setiap pergerakan diberi skor yang ditetapkan. Rula dikembangkan sebagai suatu metode untuk mendeteksi postur kerja yang merupakan faktor resiko (Mc Atamney dan Corlett, 1993)

Dalam mempermudah penilaiannya maka tubuh dibagi atas 2 segmen group yaitu group A dan group B.

A. Penilaian Postur Group A

Postur tubuh group A terdiri atas lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower arm), pergelangan tangan (wrist) dan putaran pergelangan tangan (wrist twist). a. Lengan Atas (upper arm)

Penilaian terhadap lengan atas (upper arm) adalah penilaian yang dilakukan terhadap sudut yang dibentuk lengan atas pada saat melakukan aktivitas kerja. Sudut yang dibentuk oleh lengan atas diukur menurut posisi batang tubuh.

Tabel 3.1 Skor Penilaian Lengan Atas

Pergerakan Skor Skor Perubahan

20º (ke depan maupun ke belakang dari tubuh)

1 + 1 jika bahu naik >20º (ke belakang) atau

20-45º

2 +1 jika lengan berputar/ bengkok

45-90º 3 >90º 4


(49)

b. Lengan Bawah (lower arm)

Penilaian terhadap lengan bawah (lower arm) adalah penilaian yang dilakukan terhadap sudut yang dibentuk lengan bawah pada saat melakukan aktivitas kerja.

Tabel 3.2 Skor Lengan Bawah

Pergerakan Skor Skor Perubahan

60-100º 1 +1 jika lengan bawah bekerja melewati garis tengah atau keluar dari sisi tubuh

<60º atau 100º 2 c. Pergelangan Tangan (wrist)

Penilaian terhadap pergelangan tangan (wrist) adalah penilaian yang dilakukan sterhadap sudut yang dibentuk oleh pergelangan tangan pada saat melakukan aktivitas kerja.

Tabel 3.3 Skor Pergelangan Tangan

Pergerakan Skor Skor Perubahan

Posisi neutrals

0-15º (ke atas maupun ke bawah) >15º (ke atas maupun ke bawah)

1 2 3

+1 jika pergelangan tangan putaran menjauhi sisi tengah

d. Putaran Pergelangan Tangan (wrist twist)

Untuk putaran pergelangan tangan (wrist twist) pada postur yang netral diberi skor :

1=Posisi tengah dari putaran 2=Pada atau dekat dari putaran


(50)

Nilai dari postur tubuh lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan putaran pergelangan tangan dimasukkan ke dalam tabel postur tubuh group A untuk memperoleh skor seperti terlihat pada tabel berikut :

Tabel 3.4 Skor Grup A

Wrist

Upper Lower 1 2 3 4

Arm Arm Wrist Twist Wrist Twist Wrist Twist Wrist Twist

1 2 1 2 1 2 1 2

1 1 2 2 2 2 3 3 3

1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 2 3 2 3 3 3 4 4 1 2 2 2 3 3 3 4 4

2 2 2 2 2 3 3 3 4 4 3 2 3 3 3 3 4 4 5 1 2 3 3 3 4 4 5 5

3 2 2 3 3 3 4 4 5 5 3 2 3 3 4 4 4 5 5 1 3 4 4 4 4 4 5 5

4 2 3 4 4 4 4 4 5 5 3 3 4 4 5 5 5 6 6 1 5 5 5 5 5 6 6 7

5 2 5 6 6 6 6 7 7 7 3 6 6 6 7 7 7 7 8 1 7 7 7 7 7 8 8 9

6 2 7 8 8 8 8 9 9 9 3 9 9 9 9 9 9 9 9 e. Penambahan Skor Aktivitas

Setelah diperoleh hasil skor untuk postur tubuh group A pada table di atas, maka hasil skor tersebut ditambahkan dengan skor aktivitas. Penambahan skor aktivitas dapat dilihat pada tabel berikut :


(51)

Tabel 3.5 Skor Aktivitas

Aktivitas Skor Keterangan

Postur Statik Pengulangan

+1 +1

Satu atau lebih bagian tubuh statis/diam Tindakan dilakukan berulang-ulang lebih dari 4 kali permenit

f. Penambahan Skor Beban

Setelah diperoleh hasil penambahan dengan skor aktivitas untuk postur tubuh grup A pada Tabel , maka hasil hasil skor tersebut ditambahkan dengan skor beban. Penambahan skor beban tersebut berdasarkan kategori yang dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.6 Skor Beban

Beban Skor Keterangan

< 2 kg 2 kg – 10 kg >10 kg

0 1 3

-

+1 jika postur statis dan dilakukan berulang-ulang

B.Penilaian Postur Tubuh Grup B

Postur tubuh grup B terdiri atas leher (neck), batang tubuh (trunk), dan kaki (leght).

a. Leher (neck)

Peniaian terhadap leher (neck) adalah penilaian yang dilakukan terhadap posisi leher pada saat melakukan aktivitas kerja. Adapun skor penilaian untuk leher (neck) dapat dilihat pada tabel 3.7.


(52)

Tabel 3.7 Skor Bagian Leher

Pergerakan Skor Skor Perubahan

0 – 10º 10º – 20º >20º Ekstensi 1 2 3 4

+1 jika leher berputar/bengkok +1 batang tubuh bengkok

b. Batang Tubuh (trunk)

Penilaian terhadap batang tubuh (trunk), merupakan penilaian terhadap sudut yang dibentuk tulang belakang tubuh pada saat melakukan aktivitas kerja dengan kemiringan yang sudah diklasifikasikan.

Tabel 3.8 Skor Bagian Batang Tubuh (Trunk)

Pergerakan Skor Skor Perubahan

Posisi normal (90º ) 0-20º 20º-60º >60º 1 2 3 4

+1 jika leher berputar/bengkok +1 jika batang tubuh bengkok

c. Kaki (legs)

Penilaian terhadap kaki (legs) adalah penilaian yang dilakukan terhadap posisi kaki pada saat melakukan aktivitas kerja.

Tabel 3.9 Skor Bagian Kaki (legs) Pergerakan Skor

Posisi normal/seimbang Tidak seimbang

1 2


(53)

Nilai dari skor postur tubuh leher, batang tubuh dan kaki dimasukkan ke dalam tabel berikut :

Tabel 3.10 Skor Grup B Trunk Postur Score Trunk Postur Score

Neck 1 2 3 4 5 6

Legs Legs Legs Legs Legs Legs

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 3 2 3 3 4 5 5 6 6 7 7

2 2 3 2 3 4 5 5 5 6 7 7 7

3 3 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 7

4 5 5 5 6 6 7 7 7 7 7 8 8

5 7 7 7 7 7 8 8 8 8 8 8 8

6 8 8 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9

d. Penambahan Skor Aktivitas

Setelah diperoleh hasil skor untuk postur tubuh grup B pada Tabel 3.10, maka hasil skor tersebut ditambahkan dengan skor aktivitas.

Tabel 3.11 Skor Aktivitas

Aktivitas Skor Keterangan

Postur Statik Pengulangan

+1 +1

Satu atau lebih bagian tubuh statis/diam Tindakan dilakukan berulang-ulang lebih dari 4 kali permenit


(54)

e. Penambahan Skor Beban

Setelah diperoleh hasil penambahan dengan skor aktivitas untuk postur tubuh grup B pada table 3.11, maka hasil skor tersebut ditambahkan dengan skor beban. Pada skor beban tersebut berdasarkan kategori yang dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.12 Skor Beban

Beban Skor Keterangan

<2 kg 2 kg – 10 kg >10 kg

0 1 3

-

+1 jika postur statis dan dilakukan berulang-ulang

-

Untuk memperoleh skor akhir (grand score), skor yang diperoleh untuk postur tubuh grup A dan grup B dikombinasikan ke tabel berikut ;

Tabel 3.13 Grand Total Score Table

Score Score Group B

Group A 1 2 3 4 5 6 7 1 1 2 3 3 4 5 5

2 2 2 3 4 4 5 5

3 3 3 3 4 4 5 6

4 3 3 3 4 5 6 6

5 4 4 4 5 6 7 7

6 4 4 5 6 6 7 7

7 5 5 6 6 7 7 7


(55)

Hasil skor dari tabel 3.13 diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori level resiko pada tabel 3.14.

Tabel 3.14 Katagori Tindakan RULA

Katagori Tindakan Level Resiko Tindakan

1 – 2 Minimum Aman

3 – 4 Kecil Diperlukan beberapa waktu ke depan 5 – 6 Sedang Tindakan dalam waktu dekat

7 Tinggi Tindakan sekarang juga

Berdasarkan penilaian dengan metode RULA tersebut, sikap kerja dikatagorikan menjadi 4 level risiko yaitu :

a. Sikap kerja aman, bila setelah dilakukan penilaian dengan metode RULA, didapat grand total score 1 - 2

b. Sikap kerja dengan level risiko kecil, bila setelah dilakukan penilaian dengan metode RULA, didapat grand total score 3 – 4

c. Sikap kerja dengan level risiko sedang, bila setelah dilakukan penilaian dengan metode RULA, didapat grand total score 5 – 6.

d. Sikap kerja dengan level risiko tinggi, bila setelah dilakukan penilaian dengan metode RULA, didapat grand total score 7.

3. Untuk merancang fasilitas kerja, dilakukan pengukuran terhadap dimensi tubuh pekerja dengan menggunakan meteran. Ukuran tubuh yang diukur adalah sebagai berikut:


(56)

1). Pada posisi berdiri

a. Tinggi badan berdiri, diukur dari puncak kepala ke telapak kaki pada posisi berdiri dengan belakang kepala berada pada garis vertikal terhadap dinding.

b. Tinggi siku, diukur dari siku dan lengan bawah pada posisi horizontal ke telapak kaki pada posisi berdiri.

c. Tinggi pinggul, diukur dari bagian pinggul teratas ke telapak kaki pada posisi berdiri.

d. Lebar pinggul, diukur jarak antara bagian terluar pinggul kanan dan kiri pada posisi berdiri.

e. Tinggi pantat, diukur jarak dari telapak kaki sampai bawah pantat pada posisi berdiri

f. Panjang lengan atas, diukur jarak dari ketiak ke siku.

g. Panjang lengan bawah dan tangan, diukur jarak dari siku ke ujung jari tengah.

h. Panjang depa, diukur jarak dari ujung jari tangan kanan dan tangan kiri pada posisi horizontal.

2). Pada posisi duduk :

a. Tinggi duduk, diukur dari bagian teratas kepala ke tempat duduk. b. Tinggi siku, diukur dari siku ke tempat duduk.


(57)

d. Tinggi lutut, diukur dari lutut ke telapak kaki.

e. Panjang tungkai atas, diukur jarak dari lutut ke garis vertikal yang melalui punggung.

f. Panjang tungkai bawah, dari lipat lutut ke telapak kaki.

Berdasarkan data antropometri tersebut, fasilitas kerja yang akan diberikan dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 3.2 Rancangan Kursi Kerja


(58)

3.6.1. Aspek Pengukuran

Tabel 3.15 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian

No Variabel Hasil Ukur Alat Ukur Skala Ukur

1

2

3

Kelelahan Kerja

Sikap Kerja

Fasilitas Kerja

Normal Ringan Sedang Berat Aman Risiko kecil Risiko sedang Risiko Tinggi

Reaction Timer

Lembar Penilaian Metode RULA

Meteran

Interval

Interval

3.7. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah :

1. Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi masing-masing varibel.

2. Analisa bivariat dilakukan dengan uji t-dependen (berpasangan) untuk mengetahui perbedaan sikap kerja dan kelelahan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi. Untuk mengetahui pengaruh fasilitas kerja terhadap sikap kerja dan kelelahan dilakukan uji t-independent (tidak berpasangan) dengan rumus sebagai berikut :


(59)

b. Untuk varian yang berbeda

Keterangan :

Xa = rata-rata kelompok a Xb = rata-rata kelompok b Sp = Standar Deviasi gabungan Sa = Standar deviasi kelompok a Sb = Standar deviasi kelompok b na = banyaknya sampel di kelompok a nb = banyaknya sampel di kelompok b DF = na + nb -2


(60)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1.Gambaran Umum Industri Keripik Singkong

Industri keripik singkong yang ada di Kabupaten Aceh Besar terdapat di desa Jantho Baru Kecamatan Kota Jantho dan Desa Suka Damai Kecamatan Lembah Seulawah, dimana industri tersebut merupakan salah satu industri sektor informal yang telah ada sejak ±15 tahun yang lalu. Jumlah industri keripik singkong yang ada di desa Jantho Baru sebanyak 32 industri, dan di desa Suka Damai sebanyak 34 industri. Setiap industri keripik singkong dikelola oleh 2 - 3 orang tenaga kerja, dimana pada bagian penggorengan pekerjaan dilakukan oleh pekerja wanita. Dibagian penggorengan, dalam sehari pekerja bekerja selama ±5 jam.

Proses pembuatan keripik singkong terdiri dari beberapa tahap yaitu 1. Pengupasan

Proses pengupasan bertujuan untuk mengupas kulit singkong hingga bersih. Pengupasan dilakukan secara manual dengan alat bantu berupa pisau. Singkong yang telah dikupas kemudian dikumpulkan dalam suatu wadah. 2. Pencucian

Pencucian singkong dilakukan dengan menggunakan ember yang berisi air. Proses ini bertujuan untuk membersihkan singkong dari kotoran seperti tanah dan sebagainya. Pencucian dapat dilakukan berulang –ulang sampai singkong benar- benar bersih.


(61)

3. Perajangan

Proses perajangan singkong dilakukan secara manual. Proses ini bertujuan untuk merajang singkong yang sudah bersih menjadi tipis.

4. Penggorengan

Sebelum digoreng, singkong yang telah dirajang dipisahkan antara irisan yang satu dengan yang lain, sehingga pada saat nanti digoreng tidak ada irisan singkong yang melekat antara satu dan lainnya. Proses ini dilakukan secara manual dengan menggunakan wajan yang diisi minyak goreng. Penggorengan dilakukan diatas tungku api dengan menggunakan bahan bakar kayu bakar. 5. Pentirisan

Pentirisan dilakukan dengan menggunakan saringan yang terbuat dari kawat. Proses ini bertujuan untuk mengurangi kadar minyak dari singkong yang telah digoreng, agar singkong lebih renyah.

6. Pengemasan

Singkong yang telah digoreng dimasukkan kedalam plastik dan dikemas sesuai dengan pesanan konsumen. Pengemasan ada yang menggunakan plastik besar dan ada yang menggunakan plastik kecil.

4.2. Data Antropometri Pekerja di Bagian Penggorengan 4.2.1. Pengumpulan Data Antropometri

Pada penelitian ini data antropometri yang diambil adalah ukuran dimensi tubuh dalam posisi berdiri dan duduk, karena pekerjaan menggoreng


(62)

ini dilakukan dengan duduk pada suatu saat dan pada saat lainnya dilakukan dengan berdiri saling bergantian, sehingga sikap kerja dinamis lebih sesuai. Data antropometri ini diambil untuk menghasilkan rancangan fasilitas kerja yang baik. Antropometri pekerja diukur dengan menggunakan meteran. Untuk menghindari bias, pengukuran setiap dimensi tubuh dilakukan sebanyak 3 kali, kemudian dirata-ratakan dan hasil pengukurannya dapat dilihat pada lampiran.

4.2.2. Pengolahan Data Antropometri

Tidak semua data antropometri yang diukur dipakai untuk perancangan fasilitas kerja. Data yang diperlukan yaitu : tinggi siku berdiri (TSB), lebar pinggul berdiri (LPB), tinggi pantat berdiri (TPB), panjang tungkai atas (PTA), panjang tungkai bawah (PTB). Untuk keperluan perancangan fasilitas kerja, harus dilakukan uji statistik terlebih dahulu agar diketahui kenormalan data, nilai rata-rata, percentile, dan standar deviasi. Nilai ini digunakan untuk mendapatkan ukuran fasilitas kerja yang bisa dipakai oleh sebagian besar atau seluruh pekerja. Dari hasil uji statistik yang dilakukan, diketahui bahwa semua data yang akan dipakai untuk perancangan fasilitas kerja adalah berdistribusi normal.

4.2.3. Perancangan Fasilitas Kerja Berdasarkan Data Antropometri

Fasilitas kerja yang akan dirancang adalah kursi dan tungku penggorengan. Fasilitas kerja tersebut dirancang berdasarkan dimensi tubuh pekerja. Ukuran fasilitas kerja tersebut menggunakan percentile 5 dan 95 agar memungkinkan sebagian besar pekerja dapat menggunakannya. Ukuran fasilitas kerja adalah sebagai berikut :


(63)

1. Tinggi kursi kerja

Untuk tinggi kursi kerja disesuaikan dengan ukuran tinggi pantat berdiri (TPB), menggunakan persentile 5 dengan rumus X – 1,645 SD sehingga didapat ukuran tinggi kursi kerja 60,80 cm dibulatkan 61 cm.

2. Panjang kursi kerja

Panjang kursi kerja disesuaikan dengan lebar pinggul berdiri (LPB), dengan menggunakan persentile 95 dengan rumus X + 1, 645 SD sehingga didapat ukuran panjang kursi kerja 38,59 cm dibulatkan 39 cm.

3. Lebar kursi kerja

Untuk lebar kursi kerja digunakan persentile 95 dari data panjang tungkai atas (PTA), kemudian dibagi 2 , sehingga didapat ukuran lebar kursi kerja 24,80 cm dibulatkan 25 cm.

4. Tinggi sandaran kaki

Untuk tinggi sandaran kaki digunakan persentile 5 dari data panjang tungkai bawah (PTB), kemudian dibagi 2, sehingga didapat ukuran tinggi sandaran kaki 16,76 cm dibulatkan 17 cm.

5. Tinggi tungku penggorengan

Tinggi tungku penggorengan (tinggi landasan kerja ) disesuaikan dengan tinggi siku berdiri (TSB). Untuk pekerjaan yang dilakukan dengan sikap kerja dinamis (duduk berdiri bergantian), maka tinggi landasan kerja yaitu 15 cm dibawah tinggi siku berdiri ( Tarwaka, 2010). Untuk tinggi tungku penggorengan digunakan persentile 95 dengan rumus X + 1, 645


(64)

SD kemudian dikurangi 15cm dan dikurangi lagi dengan tinggi wajan 17 cm sehingga didapat ukuran 64,44 cm dibulatkan menjadi 64 cm.

6. Lebar tungku penggorengan

Untuk lebar tungku disesuaikan dengan lebar wajan, lebar wajan 76 cm, sehingga untuk memudahkan menggoreng dibuat lebar tungku 70 cm. Ukuran fasilitas kerja yang akan dirancang dapat dilihat di bawah ini :

Gambar 4.1 Rancangan Kursi Kerja

Gambar 4.2 Rancangan Tungku Penggorengan 39

25

61

17

70


(65)

Gambar 4.3 Kursi Kerja


(66)

4.3 Hasil Penelitian 4.3.1. Analisis Univariat

4.3.1.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Karakteristik kelompok umur responden dibagi menjadi 3 katagori yaitu kelompok umur < 30 tahun, 30 – 40 tahun, dan > 40 tahun. Distribusi frekuensi karakteristik berdasarkan umur diketahui bahwa sebagian besar responden berumur > 40 tahun yaitu sebanyak 29 orang ( 43,9%). Responden yang berumur < 30 tahun sebanyak 13 orang (19,7%), sedangkan yang berumur 30-40 tahun sebanyak 24 orang (36,4%).

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di Industri Keripik Singkong Kabupaten Aceh Besar

No Umur Jumlah Persentase (%)

1 < 30 tahun 13 19,7

2 30-40 tahun 24 36,4

3 > 40 tahun 29 43,9

Total 66 100

4.3.1.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

Karakteristik responden berdasarkan pendidikan dibagi menjadi 4 kategori yaitu SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa yang berpendidikan SMP lebih banyak yaitu sebanyak 33 orang (50,0%), sedangkan yang berpendidikan SD sebanyak 24 orang (36,4%). Responden yang berpendidikan SMA sebanyak 7 orang (10,6%) dan responden yang berpendidikan setara dengan perguruan tinggi hanya 2 orang (3,0%).


(67)

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di Industri Keripik Singkong Kabupaten Aceh Besar

No Pendidikan Jumlah Persentase (%)

1 SD 24 36,4

2 SMP 33 50,0

3 SMA 7 10,6

4 PT 2 3,0

Total 66 100

4.3.1.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja

Karakteristik responden berdasarkan masa kerja dibagi menjadi 3 kategori yaitu ≤ 5 tahun, 6 – 10 tahun, dan > 10 tahun. Berdasarkan kategori tersebut diketahui bahwa sebagian besar responden telah bekerja selama 6 – 10 tahun yaitu sebanyak 36 orang (54,5%), sedangkan 5 orang ( 7,6 %) telah bekerja selama ≤ 5 tahun dan responden yang telah bekerja selama > 10 tahun sebanyak 25 orang (37,9%).

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja di Industri Keripik Singkong Kabupaten Aceh Besar

No Masa Kerja Jumlah Persentase (%)

1 ≤ 5 tahun 5 7,6

2 6-10 tahun 36 54,5

3 > 10 tahun 25 37,9

Total 66 100

4.3.1.4. Distribusi Frekuensi Sikap Kerja

4.3.1.4.1. Distribusi Frekuensi Sikap Kerja Duduk sebelum Intervensi

Pada penelitian ini, sikap kerja dinilai dalam dua posisi yaitu posisi duduk dan posisi berdiri. Penilaian sikap kerja dilakukan berdasarkan metode RULA (Rapid Upper Limb Assesment) yang menilai pergerakan lengan atas (upper arm), lengan


(68)

bawah (lower arm), pergelangan tangan (wrist), putaran pergelangan tangan (wrist twist), leher (neck), batang tubuh (trunk) dan kaki (legs). Dalam mempermudah penilaiannya maka tubuh dibagi atas 2 segmen group yaitu group A dan group B. Penilaian postur tubuh group A terdiri atas menilai pergerakan lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower arm), pergelangan tangan (wrist), putaran pergelangan tangan (wrist twist), sedangkan penilaian postur tubuh group B terdiri atas leher (neck), batang tubuh (trunk) dan kaki (legs).Hasil penilaiannya kemudian dibagi menjadi 4 kategori yaitu resiko minimum (aman), resiko kecil, resiko sedang dan resiko tinggi sesuai dengan analisa kondisi kerja berdasarkan metode RULA. Analisa kondisi kerja ini dinilai pada sikap kerja duduk dan berdiri. Contoh analisa kondisi kerja pada sikap kerja duduk sebelum intervensi dapat dilihat pada gambar 4.5.

Gambar 4.5 Kondisi Kerja Saat Menggoreng pada Sikap Kerja Duduk


(1)

95% Confidence Interval of the Difference

F Sig. t df Sig. (2-tailed ) Mean Differen ce Std. Error Differenc e Lowe r Upper RULABerdiriSsdhInterv ensi Equal variances assumed 18.20 5

.000 16.4 64

64 .000 2.182 .133 1.91 7 2.447 Equal variances not assumed 16.4 64 52.3 97

.000 2.182 .133 1.91 6

2.448

T-Test

Group Statistics

KlpkResp N Mean Std. Deviation Std. Error Mean K1SsdhIntervensi Klpk Kontrol 33 248.48 46.241 8.050

Klpk Eksperimen 33 240.30 36.868 6.418

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference

F Sig. T df

Sig. (2-tailed) Mean Differen ce Std. Error Differe

nce Lower Upper K1SsdhInterven

si

Equal variances assumed

2.859 .096 .795 64 .430 8.182 10.295 -12.385 28.748

Equal variances not assumed


(2)

T-Test

Group Statistics

KlpkResp N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

K2SsdhIntervensi Klpk Kontrol 33 634.24 72.415 12.606

Klpk Eksperimen 33 378.18 64.685 11.260

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference

F Sig. T df

Sig. (2-tailed)

Mean Differenc e

Std. Error Differenc

e Lower Upper

K2SsdhInterven si

Equal variances assumed

1.359 .248 15.149 64 .000 256.061 16.903 222.2 94

289.82 7


(3)

Group Statistics

FasilitasKerja N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

RULADudukSsdhInte rvensi

Tidak ergonomis

33 5.15 .619 .108

Ergonomis 33 3.09 .292 .051

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Differ ence

Std. Error Differenc

e Lower Upper RULADudukSsdhInterv

ensi

Equal variances assumed

13.35 4

.001 17.30 7

64 .000 2.061 .119 1.823 2.298

Equal variances not assumed

17.30 7

45.58 3


(4)

T-Test

Group Statistics

FasilitasKerja N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

RULABerdiriSsdhIntervens i

Tidak ergonomis 33 5.36 .653 .114

Ergonomis 33 3.18 .392 .068

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Differen ce

Std. Error Differen ce

Lowe r Upper RULABerdiriSsdhInterv

ensi

Equal variances assumed

18.20 5

.000 16.46 4

64 .000 2.182 .133 1.91 7

2.447

Equal variances not assumed

16.46 4

52.397 .000 2.182 .133 1.91 6


(5)

FasilitasKerja N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

K1SsdhIntervensi Tidak ergonomis 33 248.48 46.241 8.050

Ergonomis 33 240.30 36.868 6.418

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Differe nce

Std. Error Differen

ce Lower Upper K1SsdhIntervens

i

Equal variances assumed

2.859 .096 .795 64 .430 8.182 10.295 -12.385 28.748

Equal variances not assumed


(6)

T-Test

Group Statistics

FasilitasKerja N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

K2SsdhIntervensi Tidak ergonomis 33 634.24 72.415 12.606

Ergonomis 33 378.18 64.685 11.260

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference

F Sig. T df

Sig. (2-tailed)

Mean Differenc e

Std. Error Differenc

e Lower Upper K2SsdhIntervens

i

Equal variances assumed

1.359 .248 15.14 9

64 .000 256.061 16.903 222.2 94

289.82 7 Equal

variances not assumed

15.14 9

63.201 .000 256.061 16.903 222.2 86

289.83 6


Dokumen yang terkait

Gambaran Perasaan Kelelahan Kerja Pada Pekerja Bagian Proses Produksi di pabrik Kelapa Sawit PT. Socfin Indonesia (Socfindo) kebun Mata Pao tahun 2010

11 83 72

IbM PENGUSAHA KERIPIK SINGKONG RUMAH TANGGA

3 33 15

PENGARUH IKLIM KERJA PANAS TERHADAP KELELAHAN PADA PEKERJA DI BAGIAN SIZING PT. ISKANDAR INDAH PRINTING Pengaruh Iklim Kerja Panas Terhadap Kelelahan Pada Pekerja Di Bagian Sizing Pt. Iskandar Indah Printing Textile Surakarta.

0 3 16

PENGARUH IKLIM KERJA PANAS TERHADAP KELELAHAN PADA PEKERJA DI BAGIAN SIZING PT. ISKANDAR INDAH Pengaruh Iklim Kerja Panas Terhadap Kelelahan Pada Pekerja Di Bagian Sizing Pt. Iskandar Indah Printing Textile Surakarta.

0 3 12

PENGARUH MUSIK PENGIRING KERJA TERHADAP KELELAHAN KERJA DAN PRODUKTIVITAS KERJA PADA TENAGA KERJA BAGIAN BATIK TULIS DI INDUSTRI BATIK BROTOSENO SRAGEN.

0 0 13

Pengaruh Kebisingan Terhadap Kelelahan Kerja Pada Tenaga Kerja Bagian Instalasi Gizi Di Rumah Sakit X Sri Suparni

0 0 68

3. Pendidikan Terakhir - Pengaruh Fasilitas Kerja Terhadap Sikap Kerja dan Kelelahan pada Pekerja Bagian Penggorengan Industri Rumah Tangga Keripik Singkong di Kabupaten Aceh Besar

0 0 52

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelelahan Kerja 2.1.1. Pengertian Kelelahan - Pengaruh Fasilitas Kerja Terhadap Sikap Kerja dan Kelelahan pada Pekerja Bagian Penggorengan Industri Rumah Tangga Keripik Singkong di Kabupaten Aceh Besar

0 0 22

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Fasilitas Kerja Terhadap Sikap Kerja dan Kelelahan pada Pekerja Bagian Penggorengan Industri Rumah Tangga Keripik Singkong di Kabupaten Aceh Besar

0 2 8

Pengaruh Fasilitas Kerja Terhadap Sikap Kerja dan Kelelahan pada Pekerja Bagian Penggorengan Industri Rumah Tangga Keripik Singkong di Kabupaten Aceh Besar

0 0 11