dari peranan militer untuk mengembangkan Sekber Golkar ke daerah-daerah melalui campur tangan militer. Setelah terbentuknya Sekber Golkar pusat di Jakarta, tanggal
20 Oktober 1964, maka pucuk pimpinan angkatan darat menginstruksikan kepada semua jajarannya di seluruh Indonesia untuk membantu mengkoordinir pembentukan
Sekber Golkar di daerah masing-masing.
2.5 Partisipasi Golkar Dalam Pemilu Masa Orde Baru
Setelah Orde Baru hadir Pada 1966, Sekber Golkar terus melakukan konsolidasi. Dalam perkembangannya, melalui Rakornas II November 1967
dilakukan pengelompokan organisasi berdasarkan kekaryaannya dalam 7 Kelompok Induk Organisasi KINO, yaitu: KINO KOSGORO; KINO SOKSI; KINO MKGR;
KINO Profesi; KINO Ormas Hankam; KINO GAKARI; dan KINO Gerakan Pembangunan.
Seiring dengan rencana Pemilu yang melalui Ketetapan MPR No: XLIIMPRS1968, bahwa Pemilu diselenggarakan selambat-lambatnya pada tanggal
5 Juli 1971, pemerintah Orde Baru berupaya mencari kekuatan-kekuatan politik yang didukung pada pemilu tersebut. Antara lain wacana yang mengemuka adalah dengan
mendukung NU. Tetapi dengan pertimbangan masih kentalnya suasana “politik aliran” dan NASAKOM, maka akhirnya yang didukung adalah Sekber
GolkarGolkar. Di sisi lain, pada tahun 1968 sejumlah tokoh dari ormas Islam yang
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya bergabung dalam Sekber Golkar mendirikan Partai Muslimin Indonesia PARMUSI yang dipersiapkan untuk menghadapi Pemilu.
19
Pilihan jatuh kepada Golkar karena tidak diragukan lagi kiprah dan perjuangannya dalam melawan pihak-pihak yang mencoba menggantikan Pancasila
dengan ideologi lain, dan sejak berdirinya Golkar berdasarkan dan berideologi Pancasila, sehingga sesuai dengan tekad Orde Baru di dalam menjalankan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Keikutsertaan Sekber Golkar pada Pemilu 1971 dimungkinkan oleh UU No. 15
Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan
PermusyawaratanPerwakilan Rakyat. Dalam rangka menhadapi Pemilu 1971, pada tahun 1969 keluar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1969 yang pada
waktu itu terkenal dengan sebutan permen 12, yang mengatur PNSbirokrasi agar mentaati azas monoloyalitas.
20
19
Leo Suryadinata, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta: LP3ES, 1992, hal. 15
Pada Pemilu pertama di Orde Baru yaitu 1971 dengan dukungan penuh militer dan birokrasi, Sekber Golkar yang kemudian menjadi Golkar
berhasil meraih suara sebesar 62,80 atau lebih 34 juta pemilih 236 kursi dari 360 kursi di DPR, dimana sebelumnya Golkar diperkirakan hanya akan memperoleh
suara sebesar 30-40 saja. Kemenangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan langsung militer TNI.
20
Buku Materi Pendidikan dan Latihan Kader Penggerak Teritorial Desa: Lembaga Pengelola Kaderisasi Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, hal. 106
Universitas Sumatera Utara
Pada pemilihan umum 1971 jumlah anggota DPR 460 orang dan yang dipilih melalui pemilihan umum sebanyak 360 orang. Cara membagi 360 kursi ini ke daerah-
daerah pemilihan di 27 provinsi melalui 2 tahap. Pada tahap pertama dibagikan terlebih dahulu kursi DPR yang diperebutkan
yaitu 360 kursi kepada 285 Daerah Tingkat II yang ada DKI Jaya ditetapkan 8 kursi sisanya 75 kursi. Kemudian pada tahap kedua, jumlah kursi yang ada di daerah
pemilihan tersebut yang sama dengan Daerah Tingkat II nya dikalikan 400.000. kalau masih ada sisa suara, yang dihitung kemudian adalah dengan perimbangan sisa di
daerah lain cukup untuk satu wakil maka daerah itu ditambah wakilnya, demikian seterusnya sampai sisa suara yang ada habis.
21
Pada tanggal 16 Juli 1971 sampai dengan tanggal 20 Juli 1971, PPD Tingkat II Kabupaten Dairi melakukan sidang perhitungan suara dan pembagian kursi bagi tiap-
tiap organisasi peserta pemilihan umum. Sidang tersebut dihadiri oleh semua pengurus partai politik serta pejabat lainnya yang sengaja diundang untuk menghadiri
sidang. Dari sidang perhitungan dan pembagian kursi tersebut jumlah keseluruhan suara
yang masuk sebanyak 74.100 suara, jumlah anggota dewan yang dipilih sebanyak 16 orang. Dari hasil penghitungan suara tersebut, ternyata beberapa partai tidak dapat
memenuhi suara minimal untuk mendudukkan wakilnya di DPRD.
21
Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1985, hal. 160
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan angka yang diperoleh dan penggabungan suara, maka didapatkan jumlah kursi dewan sebagai berikut: Partai Katolik 1 kursi; PNI 1kursi; Parkindo
2 kursi; dan Golkar 12 kursi, sedangkan beberapa partai peserta pemilu seperti PSII, NU, Parmusi, Murba, Partai Islam Perti, dan IPKI sama sekali tidak
mendapatkan satu kursi pun di dewan atau perolehan suara mereka tidak memenuhi suara minimal untuk mendudukkan wakilnya di DPRD.
Dalam rangka menyikapi hal tersebut, diadakanlah penyederhanaan sistem kepartaian. Pada tahun 1973 terdapat kesepakatan antara pemerintah dan tokoh-tokoh
nasional untuk melakukan fusi partai-partai politik ke dalam tiga kelompok dengan pendekatan sebagai berikut:
1. Kelompok partai politik yang di dalam program perjuangannya
menitikberatkan pada aspek-aspek pembangunan yang bersifat spiritual dengan tidak mengabaikan pada aspek-aspek pembangunan material:
bergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan atau PPP meliputi NU, Parmusi, PSII, dan Perti
2. Kelompok partai politik yang di dalam perjuangannya menitikberatkan pada
aspek-aspek pembangunan yang bersifat material dengan tidak mengabaikan pada aspek-aspek pembangunan spiritual: bergabung ke dalam Partai
Demokrasi Indonesia atau PDI meliputi PNI, Murba, Partai Katolik, Parkindo, dan IPKI
Universitas Sumatera Utara
3. Organisasi sosial politik yang di dalam perjuangannya memperhatikan
keseimbangan antara pembangunan material dengan pembangunan spiritual, yakni Golkar.
Dalam pemilu-pemilu setelah 1971 1977-1997 kontestan Pemilu terdiri dari PPP, PDI, dan Golkar, sebagaimana yang telah diatur di dalam UU No. 3 Tahun 1975
tentang Parpol dan Golkar. Undang-undang tersebut menerapkan kebijakan massa mengambang floating mass, dimana secara struktural parpol tidak memiliki
kepengurusan sampai ke tingkat pedesaan.
22
Secara umum, kemenangan Golkar pada masa Orde Baru tersebut ditentukan oleh:
Pada setiap Pemilu Orde Baru 1971- 1997 Golkar selalu mendapatkan kemenangan dengan persentase perolehan suara
sebagai berikut: Pemilu 1971 sebanyak 62,80; Pemilu 1977 sebanyak 62,12; Pemilu 1982 sebanyak 64,34; Pemilu 1987 sebanyak 73,20; Pemilu 1992
sebanyak 68; dan Pemilu 1997 sebanyak 74,54
a. Pilihannya yang tegas sebagai kekuatan politik yang mengedepankan
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan Negara serta mengupayakan pembaharuan dan pembangunan modernisasi dalam segala aspek kehidupan
masyarakat b.
Adanya dukungan dari militer baik secara langsung maupun tidak langsung dan dukungan dari birokrasi
22
Ibid., hal. 108
Universitas Sumatera Utara
c. Adanya dukungan dari berbagai kalangan masyarakat, seperti kelompok-
kelompok independen, intelektualcendekiawan, akademisi, pembaharu, dan kalangan profesional yang tidak lagi tertarik dengan politik aliran
d. Adanya Undang-Undang Parpol dan Golkar yang kondusif bagi Golkar itu
sendiri, dalam hal ini setiap partai politik peserta Pemilu harus menyerahkan daftar nama calonnya untu diseleksi oleh PPI Panitia Pemilihan Indonesia
yang kemudian diseleksi lagi oleh Kopkamtib, sehingga calon yang ditetapkan berdasarkan kehendak pemerintah, dimana pada saat itu pemerintah pro
terhadap Golkar. e.
Adanya kebijakan politik massa mengambang floating mass f.
Kompetitor politik yang terbatas hanya ada 3 kontestan Pemilu g.
Infrastruktur yang dibentuk dan dibangun ole Golkar bersifat nyata dan kuat mengakar dari pusat hingga ke daerah-daerah
2.6 Perubahan Budaya Politik